Kuakui, aku agak menyesal sudah mengatakan kepada Shila bahwa aku akan ikut berolahraga bersamanya dengan begitu bersemangat. Karena pada kenyataannya, aku berpikir bahwa aku akan pingsan sebentar lagi.
“Ayo, Win!”
Shila berteriak menyemangati dari depan sana, seolah tidak melihatku terduduk di pinggir jalan kecil berumput sambil menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Matahari masih bermalasan-malasan mengeluarkan sinarnya, tapi aku sudah banjir keringat. Padahal yang kami lakukan hanyalah maraton pagi biasa, bukan lomba lari.
“Sebentar lagi sampai, kok. Perasaan kemarin kamu semangat banget, deh,” katanya lagi.
Sepertinya semangatku itu sedikit terkikis ketika aku terbangun dari mimpi tadi pagi. “Dari tadi kamu selalu bilang sebentar lagi,” sahutku pelan.
Aku bangkit dari duduk, lalu memutuskan untuk berjalan menyusul Shila yang sudah kembali berlari kecil. Sabtu ini, pagiku dibangunkan oleh dering telepon dari teman semejaku itu, mengatakan kalau dia sudah menunggu di depan rumah. Aku buru-buru cuci muka dan berganti pakaian. Setelah pamit pada ibuku yang keheranan melihatku bangun sepagi ini di akhir pekan, aku dan Shila pun memutuskan untuk berlari kecil menuju taman kompleks.
Antusiasme memenuhi diriku ketika kami pemanasan selama lima belas menit. Aku tidak terlalu hapal jalan menuju taman karena jarang pergi ke sana, jadi aku membiarkan Shila mendahuluiku. Tapi, kurang dari sepuluh menit, tubuhku yang jarang olahraga itu mulai terasa berat. Napasku terengah-engah dan jantungku berdebar lebih cepat. Disusul dengan keringat yang mulai bercucuran.
Namun, Shila terus-terusan mengatakan kalau tamannya sudah tidak jauh lagi, padahal tempat itu belum terlihat sama sekali. Aku mengingatkan diriku untuk tidak lagi asal ngomong di depan Shila, karena dia orangnya tegas dan menepati janji. Kalau aku sudah mengajaknya melakukan sesuatu, maka dia akan mewujudkannya.
Setelah lima menit berjalan, akhirnya aku sampai di taman kompleks. Pohon-pohon ketapang yang teduh membuat udara pagi ini terasa segar di hidungku. Aroma makanan dari para penjual keliling ikut menyatu bersama udara pagi.
Ternyata di sini lumayan ramai. Orang-orang memakai setelan santai dan melakukan kegiatan mereka masing-masing. Di sisi lain taman, anak-anak bermain ayunan, jungkat-jungkit, dan perosotan sambil tertawa riang.
Shila yang sampai duluan sudah duduk di salah satu bangku taman. Aku mengambil tempat di sebelahnya setelah membeli sebotol minuman dari warung terdekat.
“Bagaimana? Segar, kan, habis lari pagi?” tanyanya.
Aku merasakan air membasuh tenggorokanku yang kering. Kakiku mulai pegal dan tubuhku rasanya lelah sekali. Tapi ada kenyamanan yang kurasakan dan pikiranku perlahan-lahan menjadi jernih. Aku pun menanggapi pertanyaan itu dengan anggukan.
“Tapi capek banget!”
Shila tertawa. “Wajar, dong. Soalnya selama ini kamu hampir tidak pernah lari pagi seperti ini, kan?”
Kami menikmati keramaian dan sinar matahari yang mulai menghangat. Aroma bubur ayam yang gurih membuat perutku berbunyi.
“Ngomong-ngomong, kenapa kemarin kamu tiba-tiba jadi bersemangat? Aku memang bilang kalau mau mengajakmu olahraga, tapi aku mengira kalau kamu tidak akan seantusias itu.”
Benar juga. Shila pasti kaget karena aku belum mengatakan alasannya.
“Ingat, tidak, ketika aku terjatuh dari pohon mangga stelah menemukan cincin di sarang burung?” Shila mengangguk, lalu aku melanjutkan. “Kamis kemarin, ada senior perempuan yang datang mencari cincin. Ternyata cincinnya yang hilang adalah cincin yang kutemukan tempo hari itu. Ketika aku mengembalikannya, wajah senior itu kelihatan sangat senang. Dia bahkan mengucapkan banyak terima kasih kepadaku karena cincin itu adalah benda yang sangat berharga baginya. Saat itu, ada perasaan aneh yang membuatku jadi bersemangat, membuatku merasa berguna. Aku jadi berpikir untuk menemukan lebih banyak benda lagi. Kupikir, kalau aku memperkuat staminaku, aku bisa mengelilingi sekolah sampai ke sudut-sudutnya, dan membantu orang-orang yang kehilangan barangnya.”
“Berarti kamu masuk ke klub yang tepat, ya,” sahut Shila. “Kamu jadi melakukan hal yang sebelumnya tidak kamu lakukan, dan merasakan emosi yang sebelumnya belum pernah kamu rasakan.”
Aku menoleh seraya menelengkan kepala. “Aku baru seminggu bergabung. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan begitu.”
Shila menaik-turunkan bahunya. “Kalau begitu, kamu harus bertahan cukup lama sampai kamu bisa mengambil kesimpulan.”
Itu benar. Tapi, Shila tidak tahu kalau klub yang kumasuki itu punya misteri yang mencurigakan, yang membuatku tidak terlalu yakin apakah aku akan betah lama-lama di sana.
***
Baru saja aku akan menyusul Shila ke kantin ketika sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Bang Jovin. Senin ini adalah jadwalnya menjaga ruangan klub, tapi katanya, ada urusan OSIS yang tidak bisa ditinggalkannya. Kak Mela yang juga tergabung dalam OSIS pun tidak bisa menggantikannya. Dia memintaku untuk bertukar jadwal, sehingga hari Kamis nanti, dialah yang gantian menjaga ruangan.
Dalam perjalanan menuju gedung D, aku bertanya-tanya mengapa Bang Jovin tidak bertukar jadwal dengan Bang Damian yang hampir setiap hari datang ke ruangan, atau dengan Arya yang selalu kelihatan bersemangat itu.
Atau, bisa jadi, justru karena kedua orang itu terlalu sering datang, Bang Jovin memilihku yang datang hanya saat jam aktif ekskul dan saat jadwal jaga ruanganku tiba. Entahlah.
Ketika akhirnya aku masuk ke dalam ruang klub, aku menyadari bahwa kakiku mulai terbiasa berjalan ke sini. Masih ada keringat yang membulat di dahi dan lelah yang menghinggapi, tapi rasanya tidak seberat waktu aku pertama kali ke sini.
Aku pun langsung mengambil beberapa bungkus roti isi keju dan duduk di salah satu bangku. Sembari mengunyah, aku memeriksa buku catatan klub dan memastikan semuanya sudah dimasukkan ke tabel barang temuan.
Kira-kira lima menit kemudian, terdengar derap langkah kaki yang berlari mendekat. Langkah itu berhenti di depan pintu, lalu ada suara ketukan yang menyusul. Mungkin itu Bang Damian, pikirku, jadi aku menyahutinya dengan santai dan menyuruhnya masuk.
Namun, yang datang bukanlah Bang Damian, melainkan murid laki-laki yang tidak kukenal.
Dia memasuki ruangan dengan langkah yang agak terburu-buru, dan langsung menyampaikan maksud kedatangannya sebelum aku sempat menyapa.
“Aku mau mencari pena warna abu-abu yang hilang di hari Jumat.”
Melihat sikap murid tinggi berwajah kecil itu yang resah dan mendengar napasnya yang tersengal, kutebak pena itu cukup penting sampai-sampai dia berlari untuk segera datang ke sini. Hal itu membuatku langsung menelusuri tabel barang temuan.
Memang belum lama aku bergabung, tapi aku bisa mengatakan dengan yakin kalau benda yang paling sering kami temukan adalah alat tulis seperti pena, pensil, dan penghapus. Setiap menyisiri sekolah, pasti ada saja alat tulis yang ditemukan. Kardus berlabel alat tulis pun merupakan kardus dengan isi terbanyak.
Berbanding terbalik dengan jumlahnya, orang-orang yang datang untuk mengambilnya justru sangat sedikit. Mungkin, karena itu adalah benda-benda yang mudah didapatkan dan murah harganya, jadi mereka tidak masalah jika kehilangannya.
Maka dari itu, menurutku orang-orang yang datang untuk mengambil alat tulis mereka yang hilang adalah orang yang sangat menghargai hal kecil yang dimilikinya.
Ah, akhirnya aku menemukannya! Pena abu-abu yang hilang di hari Jumat. Aku menunjukkan informasi dalam tabel kepada murid itu untuk dikonfirmasi. Sekilas, tertangkap olehku tatapan keraguan dari matanya. Walau begitu, dia memberikan anggukan. Ada apa, ya?
Tatapan penuh keraguan itu semakin kentara saat aku membawakan pena abu-abu yang disimpan rapi di dalam plastik klip kepadanya.
“Penanya bukan yang ini, ya?” tanyaku.
“Benar yang ini,” jawab murid laki-laki itu. Tapi keraguan masih membayangi wajahnya.
Aku ikut resah dibuatnya. Sepertinya dia segan untuk membicarakannya padaku karena takut kerepotan, tapi aku tidak tahu pasti. Akhirnya aku mencoba memikirkan alasan di balik ekspresinya itu.
Kalau diperhatikan, bentuk pena abu-abu itu panjang dan permukannya tampak licin. Ujung-ujungnya juga tidak bersudut tajam. Setahuku, pena seperti itu biasanya memiliki hiasan karakter kartun di bagian atasnya.
“Apa mungkin,” aku berkata pelan, menarik perhatian murid laki-laki yang kelihatan agak murung itu, “ada yang hilang dari pena itu?”
Tebakanku benar, ada hiasan yang hilang dari pena itu. Murid laki-laki itu baru saja mengonfirmasinya dengan anggukan.
Namun, sekarang aku jadi kebingungan. Ketika belajar bersama Bang Damian tempo hari, dia tidak memberitahukan apa-apa tentang situasi seperti ini, mungkin lupa. Aku pun saat itu tidak kepikiran akan menghadapi hal ini, jadi tidak ada inisiatif untuk menanyakannya lebih dulu.
Jantungku berdegup lebih kencang, menandakan kegugupan yang kini muncul. Aku harus melakukan sesuatu, pikirku.
Pada dasarnya, Klub Lost & Found bertujuan untuk membantu orang-orang menemukan kehilangannya di sekolah. Kami mendata informasi mengenai barang yang ditemukan saat menyisiri sekolah, lalu mencocokkannya dengan informasi dari murid yang mencari barangnya yang hilang.
Benar! Aku perlu mengumpulkan informasi.
Aku berdeham, cukup keras untuk dapat didengar oleh murid laki-laki di depanku yang sedang menatapi pena abu-abunya. Setelah atensinya beralih padaku, aku bertanya. “Bagaimana bentuk hiasan penanya yang hilang? Sepertinya kami bisa membantu menemukannya.”
Secercah cahaya penuh harap kudapati pada matanya. Tapi, alih-alih menjawabnya dengan kata-kata, murid itu langsung menunjukkan gambar dari ponselnya kepadaku.
Aku langsung mengenali salah satu karakter ikonik dari film animasi Jepang berjudul “My Neighbor Totoro”. Itu film animasi lama yang masih terkenal sampai sekarang. Hiasan pena yang hilang itu ternyata boneka kecil dari karet lunak berbentuk Totoro.
Setelah aku selesai menuliskan informasi tersebut, layar ponsel yang kusetel dalam mode sunyi menyala. Ada telepon dari Bang Damian.
Benar juga, seruku dalam hati, kenapa aku tidak kepikiran untuk menelepon Bang Damian? Sepertinya aku sangat kebingungan tadi sampai-sampai tidak terlintas untuk melakukannya.
“Permisi,” kataku kepada si murid laki-laki. “Ada telepon yang harus diangkat, tolong tunggu sebentar, ya.”
Aku pergi menjauh ke pojok depan kelas, tepat di samping papan tulis. Mungkin karena aku berada di situasi yang tidak familiar, mendengar suara Bang Damian di seberang sana membuatku mengembuskan napas lega.
“Kata Bang Jovin, kalian bertukar jadwal, ya? Aman saja, kan, Win? Aku lagi ada kerja kelompok di taman dekat perpustakaan makanya belum bisa ke sana.”
“Tidak aman, Bang,” jawabku. Bang Damian tertawa, padahal aku sedang tidak bercanda.
“Eh, serius, ya?” Dia baru menyadari keseriusanku ketika aku tidak menanggapi tawanya. “Ada apa?”
Menarik napas, aku mulai menjelaskan dengan cepat. “Begini, ada murid yang datang untuk mengambil pena. Tapi hiasan penanya hilang. Aku bilang akan membantu menemukannya dan sudah meminta informasi tentang hiasan yang hilang itu. Sekarang aku tidak tahu apa yang perlu dilakukan selanjutnya.”
“Ah! Maaf, aku lupa mengajarimu tentang itu. Langkahmu sudah benar, kok. Windi cepat tanggap juga, ya.”
Lagi-lagi aku merasa lega. Untung saja aku kepikiran hal itu.
“Selanjutnya, cari formulir pencarian barang yang ada di dalam folder yang sama dengan formulir pengembalian barang. Isi formulir itu, kemudian barulah kita akan akan membantunya menemukan barang yang dicari.”
Aku kembali mendekati meja dan mencari formulir yang dimaksud Bang Damian di laptop milik klub.
“Ketemu?”
“Ketemu.”
Tanpa mematikan sambungan telepon, aku langsung mengisi formulir itu. Kugenggam telepon di tangan kiri dengan posisi menempel di telinga, sedangkan tangan kananku menjelajahi papan ketik. Pertama, nama dan kelas dari si pencari.
Aku menoleh pada murid laki-laki tadi dan baru menyadari kalau posisi duduknya terlihat sedikit canggung. “Sebelum mencari hiasan penanya, ada formulir yang harus diisi. Em, namanya siapa dan dari kelas berapa?”
Murid itu langsung menjawab, “Yoan dari kelas 11 IPA 1.”
Ternyata dia seorang senior. Kudengar Bang Damian mengatakan bahwa dia mengenal senior itu.
Kedua, nama barang. Boneka kecil hiasan pena.
Ketiga, jenis barang. Alat tulis.
Terakhir, deskripsi barang. Hiasan pena berupa boneka berbentuk karakter kartun Totoro, warnanya abu-abu, dan ukurannya sekitar 3-4 cm. Kutambahkan keterangan dari tabel barang temuan bahwa penanya sendiri ditemukan di koridor kelas 11 IPA pada hari Jumat.
Selesai mengisi, aku memperlihatkan formulir itu pada Bang Yoan. Dia membacanya dengan teliti, tapi cepat, kemudian mengatakan kalau semuanya sudah sesuai.
“Jadi, kapan akan dicari?” tanya Bang Yoan kemudian. Wajahnya tidak terlalu ekspresif, tapi dari nada suara dan kilau matanya, aku tahu kalau dia ingin menemukan barang itu secepatnya.
“Nanti sore, saat jam aktif ekskul,” kudengar Bang Damian berkata di telepon.
Namun aku mengumumkan jawaban yang berbeda. “Bagaimana kalau saat jam istirahat makan siang nanti? Barangnya hilang hari Jumat, jadi sudah dua hari berlalu. Jadi, lebih bagus kalau segera dicari.”
Mendengar jawabanku, Bang Damian akhirnya setuju. “Betul juga, ya. Baiklah, nanti kutemani,” sahutnya.
“Apa boleh....”
“Ya?”
“Apa boleh aku ikut mencarinya?” tanya Bang Yoan.
Sebelum aku dilanda kebingungan untuk kesekian kalinya, Bang Damian memberikan jawabannya padaku.
“Boleh, kok. Bilang sama Yoan, kita bertemu di kantin saja.”
“Boleh.” Aku mengulangi jawaban itu untuk Bang Yoan. “Titik temunya di kantin, ya, Bang. Terus, nanti Bang Damian juga akan ikut menemani.”
Kulihat senyum tipis Bang Yoan. “Terima kasih, ya.”
“Terima kasih kembali.”
Bang Yoan pun meninggalkan ruangan dan Bang Damian juga sudah memutuskan sambungan telepon. Akhirnya, aku benar-benar merasa lega setelah berhasil menghadapi situasi baru ini. Sekarang aku harus kembali ke kelas karena jam istirahat akan berakhir dalam lima menit.