Percakapanku dengan Bang Damian sore itu membuatku tidur larut akibat terus memikirkannya. Aku membayangkan seekor kuda poni tiba-tiba muncul dari dalam loker, atau keberadaan terowongan menuju dunia lain yang tersembunyi di balik pintunya, sampai-sampai gambaran itu muncul di mimpiku. Tapi, kalau itu yang jadi kejutannya, seharusnya klub tersebut sudah terkenal seseantero SMA Mentari.
Cahaya matahari yang masih gemilang, membuat benakku kembali pada saat ini. Selasa sore, aku berdiri bermandikan panas matahari alih-alih duduk santai di dalam ruangan klub bersama Arya dan Bang Jovin. Di hadapanku, Kak Mela dan Bang Damian sedang menjelaskan tentang kegiatan menyisir yang akan kami lakukan.
“Singkatnya, daerah yang kita sisiri adalah seluruh lingkungan sekolah kecuali ruangan seperti kelas, kamar mandi, dan laboratorium. Kalau kamu menemukan benda yang kehilangan pemiliknya, kamu harus memfoto dulu sebagai dokumentasi, lalu mencatat waktu dan tempat ditemukannya, jenis bendanya, serta nama bendanya,” simpul Kak Mela.
“Jenis benda itu seperti perhiasan dan alat tulis, ya, Kak?” Aku ingat sempat membaca label pada kardus-kardus yang ada di meja panjang, jadi kuduga label itu didasarkan pada jenis barang yang berbeda-beda.
“Betul sekali,” sahut Kak Mela. “Setelah mengumpulkan benda-benda itu, kita akan kembali ke ruangan untuk mendatanya. Setelah didata, benda-benda tersebut baru akan disimpan di dalam kardus sesuai dengan jenisnya dan menunggu di sana sampai pemiliknya datang untuk mengambilnya.”
“Tapi, bukan berarti kita betul-betul harus keliling ke setiap sudut sekolah, loh,” tambah Bang Damian. “Karena waktunya juga singkat, kita hanya menyisiri tempat-tempat yang sempat kita datangi saja. Kalau hari ini hanya bisa memeriksa koridor gedung utama, besoknya gantian ke taman belakang, begitu.”
Aku mengangguk paham. Ternyata, kegiatan menyisir itu cukup mudah. Mungkin yang sulit adalah staminaku yang tidak seberapa ini.
“Ayo berpencar sekarang. Tapi, karena ini hari pertama Windi, Kak Mela temani dia dulu, ya,” saran Bang Damian.
Kami pun berpisah jalan. Bang Damian pergi ke arah gedung utama, sedangkan aku dan Kak Mela menuju lapangan upacara.
Lapangan upacara SMA Mentari berada di halaman depan sekolah. Pohon ketapang dan pohon mangga yang berselang-seling di sekelilingnya, membuat pinggiran lapangan menjadi lebih teduh dibandingkan bagian tengahnya. Meskipun di bawah pepohonan terdapat bangku-bangku dengan sandaran dan meja panjang, hampir tidak ada murid yang menongkrong di sana. Mereka biasanya lebih suka duduk di taman tengah atau taman belakang yang lebih sejuk dan dekat dengan kantin maupun kedai.
Aku dan Kak Mela berjalan mengitari sisi yang berseberangan dengan arah gedung utama. Kami berjalan di bawah naungan pepohonan, menghindari panas matahari.
Sambil menunduk menatapi rumput pendek, aku mengayunkan kaki pelan-pelan, mencari-cari seuatu yang mungkin terjatuh. Kudengar tawa ringan dari Kak Mela yang membuatku mendongak menatapnya, mempertanyakan apakah dia menemukan sesuatu yang lucu.
“Ada apa, Kak?”
“Ah, tidak. Maaf,” jawabnya. “Kamu serius sekali sampai menunduk begitu, menurutku itu agak lucu. Aku tidak bisa menahan tawaku.”
Aku menggaruk tengkuk yang lembab oleh keringat. Ini pengalaman pertamaku dan aku berpikir harus menemukan sesuatu, setidaknya satu benda, di hari pertamaku menyisir ini.
“Aku suka melihatmu bersemangat melakukan kegiatan ini, tapi kamu tetap perlu melihat-lihat sekitar, menikmati pemandangan sekolah. Jangan sampai kamu menabrak seseorang atau tersandung batu saking fokusnya mencari sesuatu. Kadang-kadang, kamu justru menemukan benda-benda itu ketika kamu tidak sengaja melihatnya.” Kak Mela tersenyum dan menepuk pundakku dua kali. “Jadi, santai saja, ya.”
Aku tidak menyangka dia akan mengatakan bahwa aku tampak bersemangat, sedangkan aku sendiri tidak merasa begitu. Tapi yang dikatakannya benar juga, aku terlalu fokus pada rumput-rumput sampai leherku pegal menunduk.
“Begitu, ya, Kak,” sahutku. “Aku agak gugup karena ini hari pertamaku melakukan kegiatan menyisir.”
Mulut Kak Mela membuka lagi, aku menunggunya mengatakan sesuatu, tapi dia justru menoleh ke arah belakangku dan berjalan cepat ke sana. Aku yang kebingungan, segera mengikutinya.
Di dekat salah satu bangku yang catnya masih mengilap, Kak Mela berhenti. Dia menunjuk ke kaki bangkunya sambil tersenyum senang.
“Lihat, Windi! Ada benda yang terjatuh di sini.”
Ketika Kak Mela berjongkok untuk memfoto dan mengambilnya, sepasang murid dengan seragam olahraga berjalan melewati tengah lapangan. Kulihat mereka melirik ke arah sini, lalu berbisik satu sama lain, kemudian pergi setelah sekali lagi melayangkan tatapan penuh tanya.
“Ternyata ini gantungan kunci akrilik. Lucu sekali!” Kak Mela sudah berdiri kembali. Dia memperlihatkan gantungan kunci bergambar jeruk dengan hiasan rantai dan bandul bulat jingga itu kepadaku.
Gantungan kunci itu memang imut, tapi ada pertanyaan yang mengambil alih perhatianku dari keimutan benda kecil itu.
“Kak Mela, ada yang mau kutanyakan,” ucapku. Begitu Kak Mela menatapku, aku menyambung, “Pernah tidak, sih, ada murid yang mencurigai kegiatan menyisir ini? Misalnya, mereka berpikir kalau anggota Klub Lost & Found ini lagi mencuri?” Aku tidak tahu apakah murid-murid tadi memikirkan hal itu, tapi mereka kelihatan penasaran.
Seusai menyimpan gantungan kunci, Kak Mela menjawab, “Pernah. Bahkan sampai ada yang melaporkannya ke pihak sekolah.” Dia tersenyum meringis, mungkin sedang mengingat sesuatu.
Aku pun ikut meringis mendengarnya. “Lalu, apa yang terjadi, Kak?”
“Pihak sekolah jelas sudah tahu apa saja kegiatan setiap ekskul dan klub di sekolah ini, jadi mereka menganggapnya sebagai kesalahpahaman saja. Kami pun memutuskan untuk memperlihatkan apa saja yang dilakukan di klub ini supaya mereka tidak salah paham lagi. Semuanya berakhir dengan baik. Sisi bagusnya, klub ini jadi agak terkenal, jadi lumayan menguntungkan juga.”
“Syukurlah, kesalahpahamannya teratasi,” sahutku pelan.
Ada begitu banyak ekstrakurikuler di sini, dan menurutku wajar saja kalau ada yang tidak tahu tentang salah satu atau beberapa kegiatannya, karena aku sendiri juga begitu. Tapi, jika aku mengalami hal yang sama dengan yang diceritakan Kak Mela, aku akan lebih senang kalau orang-orang yang curiga itu bertanya langsung kepadaku daripada melaporkannya ke sekolah.
Cahaya matahari sudah agak meredup, tidak sepanas tadi. Aku melihat jam tangan yang menunjukkan bahwa sudah setengah jam berlalu sejak kami keluar dari ruangan klub.
“Kak Mela, bagaimana kalau sekarang kita berpencar?” saranku. “Aku sudah paham apa-apa saja yang dilakukan di kegiatan menyisir ini. Jadi kurasa sebaiknya kita berpencar supaya mencari bendanya jadi lebih maksimal.”
Kulihat Kak Mela terdiam sejenak, sepertinya sedang mempertimbangkan perkataanku. “Bagus juga. Tapi, kamu tidak apa-apa sendiri?”
“Tidak apa-apa.” Aku mengangguk untuk meyakinkannya.
“Baiklah. Kalau ada apa-apa kabari, ya. Jam lima nanti kita kumpul lagi di ruangan. Oke?”
“Oke, Kak.”
Aku kembali menyusuri pinggiran lapangan begitu Kak Mela pergi ke arah taman belakang berada.
Ketika aku sampai di sisi lain lapangan, aku mengistirahatkan diri di salah satu bangku. Sembari menghirup napas dalam-dalam, aku mengelap keringat di dahi yang terus mengucur meskipun awan-awan sudah menghalangi panas matahari.
Sebenarnya, alasan lain yang membuatku menyarankan untuk berpencar adalah karena aku agak segan untuk beristirahat kalau ada Kak Mela. Dia kelihatan senang saat menjelaskan dan menunjukkan ini-itu kepadaku, meskipun aku yakin Kak Mela akan mengijinkan jika aku bilang ingin duduk sebentar unttuk merehatkan kaki.
Tiba-tiba, aku dapat membayangkan Shila yang sedang mengomel. Dia pasti akan mengatakan sesuatu tentang stamina yang lemah, berolahraga ringan, dan sebagainya jika dia melihatku saat ini.
Angin berembus pelan, meniup kering keringatku. Saat aku sedang kehausan dan menyesal tidak membawa sebotol air minum, aku melihat ada sesuatu yang berkilaun di kejauhan.
Aku coba memperhatikannya dengan lebih teliti, dan menemukan bahwa kilauan cahaya itu berasal dari dahan pohon mangga di seberangku. Penasaran, aku pun berjalan ke sana.
Sesampainya di bawah pohon mangga itu, aku mendongak. Sepertinya ada sesuatu yang menyangkut di ranting atas itu. Sebenarnya, aku bisa saja mengabaikannya, tapi mengingat aku belum menemukan apa-apa dan ada kemungkinan kalau itu adalah benda yang penting, aku pun memberanikan diri untuk memanjat.
Aku memijakkan kaki pada dahan-dahan rendah, kemudian perlahan-lahan memanjat cukup tinggi. Mataku mencari-cari, lalu menemukan sebuah sarang burung. Di dalamnya, agak tersembunyi di balik telur-telur kecil, terdapat benda yang janggal. Sebuah cincin permata. Sepertinya berlian bulat di tengah-tengah cincin itu yang memantulkan cahaya sampai membuat mataku kesilauan.
Aku memegang batang kayu erat-erat dengan tangan kiri, sebelum mengambil ponsel dengan tangan satunya dan memfoto cincin itu. Setelah menyimpan ponsel beserta cincin itu ke dalam kantong rok, aku menghadapi satu masalah.
Bagaimana caranya turun dari sini?
Mendadak, aku lupa di mana saja letak dahan-dahan yang tadi kujadikan pijakan untuk naik. Aku melihat ke bawah, baru menyadari bahwa aku memanjat lumayan tinggi.
Sekarang keringatku meluncur lagi, karena kepanasan dan juga gugup memikirkan nasibku saat ini. Kucoba menggerakkan kaki kananku turun mencari dahan terdekat. Kemudian menyusul kaki kiri. Aku melakukannya satu-satu, memastikan bahwa aku memijak dahan yang tepat.
“Oke, bagus. Satu dahan lagi,” gumamku menyemangati diri. Tapi ketenangan yang baru kudapat itu membuatku lengah.
Aku terburu-buru ingin sampai di bawah sehingga melewatkan keberadaan ranting kecil yang mencuat. Ujung rokku tersangkut pada ranting itu saat kakiku sudah bersiap untuk melompat ke tanah, membuatku kehilangan keseimbangan. Tanganku tidak sempat meraih pegangan, dan aku pun terjerembap.
Aku cepat-cepat berdiri dan melihat sekeliling, kemudian mendesah lega ketika mendapati lapangan yang sepi. Setelah memastikan bahwa ponsel dan cincinnya aman, aku menepuk-nepuk seragam yang kotor. Aku baru tahu bahwa kulitku terluka ketika kurasakan perih di bagian lutut dan siku.
Di hari kedua mengikuti ekskul, aku sudah mendapatkan luka. “Bagus sekali,” sarkasku.
Besoknya, aku tidak masuk sekolah gara-gara demam dan pegal-pegal.