Hingga Sabtu subuh, Soni tidak mengajak Soya bicara sama sekali. Bertemu saja jarang. Tak hanya sang putri yang menghindar bertemu ayahnya, tampaknya Soni juga kucing-kucingan. Menyadari ini, Soya berusaha meredam stresnya dengan fokus menekuni dialog permaisuri.
Toh, Soni dan Yasmin tidak mengemukakan penolakan terang-terangan. Tidak jelas apakah jawaban mereka tidak atau ya—walau sebuah ‘ya’ tampaknya terlalu halu untuk saat ini. Yang penting, walau tidak diajak mengobrol, Yasmin masih menyisakan satu potong ayam goreng atau empal daging kesukaannya ketika Soya makan telat.
Cuma Nino yang rutin mengganggunya sesekali. “Kakak ngapain, sih, kemarin injak-injak lantai? Kayak bocah. Awas aja aku nggak dijawab lagi!”
“Diem.” Soya menggerutu. Ia tengah melipat kostum permaisuri yang dipinjamkan Nova kemarin.
Nino balas mengerucutkan bibir. “Kakak mau ke mana pagi-pagi? Ikut. Ikut, ikut!”
Soya memelototinya. Baru saja ia mencubit hidung Nino hingga anak itu memekik, Yasmin memasuki kamar. Soya spontan melepaskan cubitan. Tegang.
Yasmin sempat melirik tas Soya, tetapi tak mengatakan apapun. Alih-alih tangannya terulur kepada Nino. “Ayo, Dek, makan dulu. Jangan ganggu Kakak. Nanti ikut jalan-jalan sama Mama, nggak?”
“Ikuuut.”
Nino sukarela meninggalkan kamar Soya, menyeret tangan ibunya agar bergegas menuju ruang makan. Melihat keduanya meninggalkan kamar, Soya tercenung. Yasmin ada arisan lagi. Jika Nino diajak, maka itu berarti mereka akan mengunjungi tempat wisata lain.
Tampaknya ... tidak ada yang mau menonton lomba teater kelak. Hati Soya kembali terasa diremas-remas, tetapi ia mencoba berbesar hati. Ini lebih baik daripada dilarang sama sekali.
Gedung Sasana Budaya Universitas Negeri Malang adalah lokasi tempat lomba diadakan. Penyelenggaranya memang berasal dari unit kegiatan mahasiswa teater lokal, yang menurut Sastra, juga almamaternya dan ayahnya dahulu.
Tepat pukul sepuluh pagi sang guru memarkir mobil sedan lawasnya, disusul mobil Kaspian. Kelima murid beranjak keluar satu per satu. Mereka telah dirias dan mengenakan sebagian kostum, dan gugup walau gladi bersih beres dilakukan.
“Tim Teater Layar Surya?” seorang panitia menyambut dengan senyum lebar. “Pak Sastra, lama nggak ketemu! Monggo, monggo. Bisa registrasi aja dulu. Ruang persiapannya ada di sebelah kiri panggung, kalau dari arah pintu masuk.”
Sastra mengibaskan tangan kepada anak-anaknya. “Biar saya yang urus registrasi. Nova, udah pernah ke sini, kan?”
Nova mengangguk. Bergegas ia mengarahkan kawan-kawannya memasuki aula gedung.
Soya terperangah. Bukan karena kain-kain hitam yang melatari panggung, atau lampu-lampu sorot yang terpasang, melainkan ratusan kursi penonton yang sedang diatur oleh panitia.
Keempat temannya mengobrol, membicarakan siapa saja anggota keluarga mereka yang berencana datang menonton. Daru, terutama, dengan bangga bercerita bahwa neneknya bakal datang bersama tetangga yang menyewakan pick-up untuk mengangkut properti sanggar.
Soya mendengarkan dengan senyum lemah. Nenek Daru saja menyempatkan datang walau mesti ditopang tongkat. Ia iri, sejujurnya, walau itu bukan berarti Soya mau menukar kedua orang tuanya dengan seorang nenek.
Sekeras apapun Soni dan Yasmin, Soya masih ... yah, masih menaruh harapan agar dirinya dimengerti. Toh ia sudah berbicara.
Setibanya di hamparan taman berpaving di pintu samping gedung, mereka bersiap-siap. Bersama tim-tim ekskul teater lain yang menempati petak-petak berbeda, para remaja menyempurnakan penampilan mereka. Di sisi seberang, kelompok teater dari Surabaya tengah berlomba-lomba mengencangkan suara mumpung belum banyak yang datang. Di sisi lain, tim teater dari Mojokerto kerepotan menambal properti pohon dari triplek yang cabangnya patah.
“Kalian udah hapal, kan?” Kaspian menggertakkan gigi saat mengawasi kawan-kawannya. “Baterai hape udah pada penuh? Laptop? Fail untuk backsound udah siap, kan?”
“Siap, Kas, siap. Kamu udah tanya seratus kali hari ini!”
“Mastiin aja!”
“Untuk kali ini, jangan tengkar, ya.” Juni mendesis. Ia sedang mempertegas goresan alis di wajah Soya. Daru yang memegang kendali dokumentasi prapentas kali ini.
Sejenak kemudian, Sastra mampir. Ia menyapa para pembina teater yang lain, sebelum mendatangi murid-muridnya sendiri.
“Jangan tegang, ya,” katanya. “Gimana perasaan kalian?”
“Pak,” Nova menyahut. Bibirnya mengerucut. “Saya iri lihat jumlah yang lain. Ada yang full quota sampai lima belas orang.”
“Nggak apa-apa.” Sastra menyeringai. “Walau cuma berlima, kita seperti bersepuluh. Bahkan dengan persiapan yang banyak gonjang-ganjingnya, kalian bisa sampai di sini. Tinggal satu langkah lagi.”
Waktu pun bergulir. Ketika jam dua belas siang tiba, seperti dugaan Sastra, acara masih molor karena salah satu juri masih belum hadir. Ketika urutan tim pertama tegang menunggu di belakang punggung, anggota tim lain masih berkeliaran sesuka hati.
Begitu pula kawan-kawan Soya, yang menyambut kedatangan keluarga mereka dengan wajah berseri-seri. Daru menuntun neneknya untuk mendapat jatah kursi di barisan terdepan. Ibu Juni ikut-ikutan menilai hasil riasan putrinya. Ayah Kaspian, seorang sutradara, sempat mencuri perhatian para juri saat muncul dengan kaos dan celana jins. Kedua orang tua Nova sibuk mengatur properti yang diusung. Soya terpekur sambil memilin-milin kain batik yang dirupakan sebagai rok, melapis di atas kaos berlengan panjang berwarna kulit.
Sastra mendekatinya. Kekhawatiran meliputi wajahnya. “Gimana, Nak? Ada kabar terbaru?”
Soya menggeleng. Ia mengecek ponselnya untuk keseratus kali siang itu dan masih tak ada pemberitahuan apa-apa.
“Ya udahlah, Pak,” katanya pasrah. “Masih mending saya nggak dilarang berangkat.”
Sastra menghela napas. Ia ikut berdiri di samping Soya, bersandar pada dinding rendah yang membatasi serambi gedung.
“Kamu bilang apa waktu itu?” tanyanya pelan. “Kamu belum cerita, selain chat ke saya kalau kamu sudah mencoba.”
“Saya tantrum, Pak.” Soya terkekeh pelan. “Saya sampai injak-injak lantai. Kayak bocah.” Ia mengulang ucapan Nino. “Nggak tahu kenapa, tapi rasanya ... saya pengen meledak waktu itu.”
Sastra ikut menarik napas. “Dan ... gimana reaksi orang tuamu?”
“Diam.” Mata Soya menerawang ke arah pepohonan di seberang. “Yah ... Mama sempat nenangin saya, tapi Papa kayak nggak peduli. Saya aja kaget Papa nggak balas apa-apa, padahal saya udah siap disemprot atau kena hukuman ... tapi, nggak. Papa langsung pergi. Pergi ke luar rumah. Trus ... sepanjang hari Jumat, saya nggak diajak ngomong. Mama juga agak kaku begitu.”
“Kamu pernah bereaksi seperti itu sebelumnya?”
Soya menggeleng. “Kayaknya, sih, Papa syok.” Lalu sebuah gagasan tebersit di benaknya dan ia tertawa sumbang. “Jangan-jangan Papa ngurus kartu keluarga baru—nama saya dicoret!”
Sastra tersenyum masam. “Jangan gitu, mungkin aja ....”
Pria itu memutuskan ucapan. Matanya melebar saat melihat ke arah tangga. Tanpa mengatakan apapun, ia menyikut lengan Soya dengan lembut.
Mengikuti arah pandang sang guru, Soya melihat ke titik yang sama, dan ....
Soni. Pria itu sedang menaiki tangga dengan ekspresi kaku. Di belakangnya, Yasmin sedang menggandeng Nino yang berteriak heboh.
“Ahh, Kakak! Itu Kakak! Ih, Kakak pake apa itu?”
Soya sempat terbengong-bengong. Ia tak memercayai pandangannya. Bahkan hingga Sastra melangkah maju duluan dan menyapa Soni.
“Ayahnya Soya.” Sastra terdengar sesantun mungkin. “Saya senang Bapak hadir di sini.”
Soni mengangguk canggung. Ia menjabat uluran tangan Sastra tanpa mengatakan apapun. Pandangannya tertuju pada Soya.
Seolah tidak mempermasalahkan sikap ayah cewek itu, Sastra ganti menyapa Yasmin. Kali ini sang ibu beramah-tamah dengan santun sebagaimana orang dewasa normal.
Kala Soni tiba di hadapan Soya, yang tebersit di benaknya adalah kekhawatiran bahwa ... sang ayah kemari untuk menjemputnya. Memaksanya pulang. Bukannya—
“Kenapa belum mulai?” Soni mengernyit saat mengerling ke bagian dalam ruangan, lantas menatap Soya. “Padahal sudah lewat jam dua belas.”
Sastra yang menjawab. “Ada salah satu juri yang mengalami keterlambatan, Pak, tapi kayaknya sebentar lagi sampai, kok.”
Soni mendengus. “Ya sudah. Urutan keberapa kamu, Soya?”
Alih-alih menjawab pertanyaannya, cewek itu bertanya balik. “Papa mau nonton?”
“Trus buat apa Papa di sini?”
Yasmin menyikut lengan suaminya pelan. “Papa, ih, diatur suaranya. Ada orang lain.” Lalu, sang ibu melempar senyum kaku kepada Soya. “Mau nonton dong, Soya. Udah dibelikan tiket juga, kok. Apalagi Nino. Paling penasaran.”
Sang adik meringis lebar. Kedua lengannya tak mau berhenti menepuk-nepuk badannya sendiri. “Apa itu teater? Kapan mulai? Dikasih jajan, nggak?”
Paham bahwa Nino takkan berhenti mengoceh, Yasmin memutuskan untuk mendahului suaminya mengisi buku tamu, lantas menggiring Nino ke dalam. Sastra sukarela menemani mereka. Sementara Soni masih bertahan, tatapannya tajam ke arah Soya.
“Kamu belum jawab pertanyaan Papa.”
“Urutan ketiga, Pa.” Soya menelan ludah, masih tidak memercayai apa yang terjadi. Otaknya bahkan masih menyugesti bahwa Soni mau memaksanya pulang. “Tiap tim dikasih waktu lima belas menit.”
“Oke.”
“Papa ... nggak berencana tiba-tiba jemput paksa aku, kan ...?” tanya Soya takut-takut.
Soni mendengus. “Gimana, si, katany akamu mau punya hobi? Mau senang-senang sama teman? Papa datang ke sini karena mau tahu, apa sih bagusnya ekskul teater yang kamu bela-belain sampai segitunya. Padahal ekskulnya bermasalah, tapi kamu belain sampai berani teriak ke Papa.”
Soya merenggut malu. Untung saja Sastra tak lagi bersama mereka.
“Itu—“
“Udah, sana masuk.” Soni mendorong bahu Soya. “Acaranya udah mulai.”
Sang ayah benar. Pembawa acara tengah memberi salam pembuka, dan orang-orang menyesaki bangku penonton. Soya pun bergegas memasuki ruangan, menyelinap di pinggir aula hingga mencapai pintu belakang. Ia sempat menoleh sejenak, memastikan ayahnya mengambil kursi yang tersisa di barisan belakang.
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas