“Dua hari lagi.”
Sastra akhirnya muncul. Setelah sekian lama hanya berkoordinasi lewat grup percakapan, sang pembina mengendap-endap ke ruang serbaguna. Sebenarnya, mereka sempat ketahuan pihak petugas kebersihan dan karyawan, tetapi Sastra cepat untuk mengulurkan sogokan tutup mulut.
Kelima muridnya duduk melingkar di hadapannya. Sebagian gugup, sebagian tampak tak sabar.
“Persiapan aman?”
Nova dan Juni mengangguk. “Bapak Ibu saya bilang properti dan kostum boleh disewa, soal harga dibicarakan belakangan.”
“Wardrobe aman.” Juni mengacungkan jempol. “Alat tempur saya lengkap—habis obrak-abrik salon Mama lagi.”
Sastra tersenyum simpul. Ia membaca kembali ketentuan lomba yang dikirimkan panitia. “Acaranya siang setelah Zuhur. Kita dapat urutan nomor tiga, kalau dihitung termasuk jam molor dan pembukaan ... mungkin kita baru tampil pukul satu tiga puluh. Untuk latihan, besok kita latihan untuk gladi kotor. Sabtu pagi sebelum acara, kita gladi bersih. Sisanya ....”
Sastra menyapukan pandangan satu per satu kepada murid-muridnya. “Gimana dengan ... izin orang tua?”
“Saya, sih, otomatis udah dapat izin,” celetuk Nova.
“Saya juga,” kata Kaspian. “Karena tujuannya memang saya harus belajar akting.”
“Kalau saya udah acak-acak salon Mama, berarti udah dibolehin,” timpal Juni.
Daru mengangkat bahu. “Mbah nggak pernah ngelarang saya apa-apa.”
Mereka berempat otomatis melayangkan tatapan kepada Soya, yang senyumnya terpatri kecut dan napasnya terhela berat.
“Saya ...,” bisiknya pelan. “Coba izin ke Papa dan Mama nanti.”
Saat Sastra mengangguk puas, Soya masih merasa kurang tenang. “Tapi, Pak, gimana kalau ternyata ...?”
“Untuk kemungkinan terburuk?” Sastra mengangkat alis. “Sebelum itu, saya mau tanya: apa kamu mau bohong lagi?”
Satu detak jantungnya lolos. Soya sempat membuka mulut, tetapi mengatupnya kembali.
Tiap detail reaksinya tidak luput dari pandangan Sastra. Ekspresi pria itu melunak. “Apapun respons orang tuamu, Soya, yang penting kamu udah ngomong duluan. Nggak usah pikirkan hari esok. Usahakan yang terbaik dulu saat ini.”
**
Perjalanan ke rumah tak pernah terasa seberat ini.
Oke, sebelum ada yang protes—Soya mau bilang, ia hanya seorang remaja, dan tiap tekanan baru terasa lebih berat daripada sebelumnya. Macam batu bata yang terus ditimpa di pundak walau ada satu yang telah patah.
Sehingga setiap langkahnya seperti menyeret berkil0-kilo batu bata kasat mata.
Perutnya mulas semenjak Sastra mengatakan hal tersebut. Tidak usah memikirkan hari esok? Memikirkan hari ini saja? Sebagai seorang overthinker ulung, memikirkan hari ini hanya membuatnya semakin cemas dan gugup. Memikirkan masa depan membantunya melewati momen saat ini yang menegangkan. Walau, memang ia akui, memikirkan masa depan juga sama ... meresahkannya.
Tahu-tahu Soya sudah tiba di rumah. Ia menelan ludah melihat sepatu ayahnya berjajar rapi di urutan paling atas di rak sepatu. Soni pulang lebih awal—biasanya karena mau ada janji makan malam dengan klien besar. Yasmin juga ada. Beberapa hari terakhir, ibunya tidak menjemput Soya lagi karena Soni menyuruh demikian.
Soya menghela napas. Karena Papa yang suruh ... apa-apa dikontrol Papa.
Sembari memasuki rumah, ia mengalkulasikan waktu yang tepat untuk jujur. Karena waktu pulang Soni tidak bisa diprediksi—siapa tahu Soya telah terlelap kala ayahnya kembali—maka satu-satunya kesempatan adalah sebelum pukul tujuh malam. Hanya tersisa tiga jam. Tidak mungkin besok pagi, karena pagi adalah momen sakral yang mesti dilalui setenang-tenangnya, ketika banyak keriuhan menjelang jam kerja dan sekolah.
Alias: harus sekarang.
Kemungkinan terburuknya: Soya menangis lama di kamar dan memikirkan bagaimana—
Ah, nggak boleh dipikir dulu!
Namun ... susah juga, apalagi mengingat ancaman-ancaman orang tuanya tiap Soya dianggap berulah. Meski begitu, seiring waktu yang berlalu, ia yakin orang tuanya tidak akan melontarkan janji cerai secepat masa lampau. Mereka bertambah tua. Usia pernikahan kian mendewasa. Mungkin mereka telah belajar bahwa ada lebih banyak hal yang bisa dilontarkan sebagai pelampiasan selain perceraian.
“Udah pulang, Soya?” suara Soni menyapa dari arah ruang duduk. Di sampingnya ada Yasmin, yang baru saja menyuguhkan semangkok buah potong. “Baru aja Papa mau telepon. Hampir tiga puluh menit dari jam bubar sekolahmu.”
Soya tersenyum kecut. “Pa, Ma, aku mau ngomong ... boleh? Ada waktu?”
“Mau ngomong apa? Nanti jam tujuh Papa ada janji. Ngomong sekarang aja.”
Soya menarik napas dalam-dalam. Ini dia. Ia duduk di sofa seberang kedua orang tuanya, merogoh kantong depan tasnya, dan mengeluarkan tiga lembar tiket.
“Apa itu?”
Sang putri berusaha untuk tidak gemetar. Giginya terkatup sewaktu menjawab, “Tiket penonton ... lomba.”
“Lomba apa?” Soni mengernyit. Matanya menelusuri kata-kata besar yang tertera di lembaran hitam kecil itu. Tertulis jelas “Festival Teater Remaja” yang membuat alis sang ayah berkedut. “Bukannya ekskul teater itu udah dibubarkan? Apa-apaan ini?”
Yasmin membeliak. “Soya,” ancam sang ibu di antara gigi yang terkatup. “Kamu ini apa-apaan, sih? Mama udah berusaha adem-ademin Papa, kok kamu berulah lagi?”
Napas Soya tercekat.
Soni menoleh kepada Yasmin. “Bukannya saya sudah minta kamu jemput Soya tiap hari? Kenapa masih bisa kecolongan gini?”
Yasmin terperanjat. “Mama udah nurutin semua kemauan Papa!” nada sang ibu spontan meninggi. “Mama udah jemput Soya setiap hari! Jangan salahkan Mama terus, ya!”
Soni dan Yasmin spontan menoleh kepada putri sulung mereka. Usai melemparkan tiket lomba, Soni mengacungkan telunjuk kepadanya. “Kenapa kamu jadi anak pembangkang terus?!”
Tersingkaplah mulut sang anak. Matanya membeliak, jantungnya serasa melesak ke perut. Selama sesaat, tak ada suara yang ia dengar selain dengung aneh yang meredam omelan tanpa henti Soni.
Sudah dituduh menyebabkan cerai saat kecil, sekarang disebut pembangkang?
Padahal, kebohongan terbesar Soya hanya tidak pergi les, tetapi ikut teater! Uang pendaftaran Yasmin telah ia kembalikan—tidak selembar rupiah pun ia pakai untuk jajan. Ia selalu berusaha pulang tepat waktu, tetap mengerjakan latihan-latihan soal SBMPTN, dan ...
Dan ... semudah itu Soni mengatakannya pembangkang?
Ia membuka mulut sekali lagi, tetapi Soni terus menyela.
“Kamu pikir Papa itu nggak pusing mikirin keluarga? Zaman modern kayak gini, apa aja aitu bisa terjadi! Papa cuma mau semua anggota keluarga aman, anak-anaknya penurut dan bukan seorang pembangkang!”
“AKU BUKAN PEMBANGKANG!”
Soya tak pernah berteriak sekencang itu. Kata-katanya meluncur begitu saja, terdorong oleh sengatan perih air mata dan jantung yang berpacu.
Soni dan Yasmin memelotot. “Apa yang—“
“A-aku nggak pernah mau membangkang!” Soya buru-buru menyela, khawatir jika ia tidak bergegas, maka kesempatannya direnggut Soni sekali lagi. Seiring air mata yang terus mengalir, ia menceracau.
“Aku tuh nggak pernah ngerokok, nggakpernah minum, nggak ikut geng anak nakal, aku masih berusaha belajar buat SBMPTN, aku selalu pulang tepat waktu, AKU NGGAK PERNAH MEMBANGKANG!”
Ia menghentakkan kakinya dengan kesal. Biar ia disebut seperti Nino, tetapi Soya merasakan guncangan hebat di dalam diri yang harus ia keluarkan, atau dirinya bakal meledak.
“A-aku itu cuma capek belajar!!” serunya. “Masa belajar, belajar, belajar terus! Iya, aku tahu aku nggak menepati janji, tapi peringkatku nggak sejeblok itu! Buktinya aku masih belajar! Memangnya aku senakal apa di mata Papa dan Mama!?”
Ia balas menuding tiket-tiket yang berhamburan di lantai. “Aku cuma ikut ekskul teater. TEATER! Dan Papa Mama ... apa Papa Mama tahu kenapa awalnya aku ikut ini?”
Soya menatap kedua orang tuanya lagi dengan wajah memerah, suaranya gemetaran saat menjawab, “Karena Pak Sastra iming-iming saya nilai bagus! Biar apa? Biar aku bisa dapat peringkat, biar Papa Mama senang!”
Meledak-ledaklah sang putri sulung di depan kedua orang tuanya, bertingkah seperti monyet kecil yang buah-buahannya selalu direbut. Ia menghentakkan kaki, berteriak, melempar bantal sofa yang ada di belakangnya, dan menjambak-jambak rambut sendiri.
“AKU CUMA PENGEN SENANG!” bentaknya. “Aku juga pengen punya hobi, pengen senang-senang sama teman-teman! Aku juga—aku juga pengen bisa ngomong di depan umum, nggak malu-maluin lagi! Aku juga pengen ... aku juga ... pengen ... Papa dan Mama ... sesekali dukung pilihanku.”
Soya menunduk. Napasnya menderu, matanya perih dan tubuhnya tersentak-sentak oleh guncangan emosi. Tangannya mengepal kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
“Aku cuma pengen ... Papa dan Mama ... lebih luwes ... nggak terlalu mengatur ....”
Soya tidak tahu bagaimana reaksi Soni. Usai tantrum begini, ia mendadak baru menyadari apa yang dilakukannya tadi. Ketakutan menyerangnya, membuat kedua lututnya lemas. Ia merosot di lantai, tersedu-sedu dengan bahu gemetar.
Hingga, tiba-tiba terasa jari Yasmin merengkuh pundaknya.
“Sudah, sudah,” bisik ibunya. “Sabar.”
Namun, itu bukan perintah. Soya tahu, walau ibunya tidak mengatakan apa-apa lagi, nadanya barusan bukanlah sebuah perintah atau paksaan.
Mungkin, mungkin saja, Soya menduga Yasmin tidak pernah merasa cukup kuat untuk mengatakan itu kepada Soni.
Kini Soya melakukannya.
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas