Bapak, teater kita masih berlayar.
Adalah hal pertama yang Sastra pikirkan ketika kelima anaknya—dibantu dengan ayah Nova dan tetangga Daru si penyewa pick-up—menata properti secepat kilat dalam kegelapan, hanya terbantu oleh sorot senter ponsel dari arah kejauhan. Andai Sastra boleh membantu, ia akan turun tangan—tetapi sebagai pembina, ia tertahan di samping pembawa acara, tersembunyi di balik tirai hitam.
Ketika rekaman suara Nova untuk pembukaan mulai terputar, menyala satu lampu sorot, disusul yang lain, dan tampaklah Kaspian duduk di singgasana buatan. Suasana menghening. Yang terdengar adalah detak jantungnya dan gema suara rekaman Nova yang merambat ke sekujur ruangan.
Di samping Kaspian, ada Soya. Benar, muridnya yang dulu terbata-bata membaca naskah. Ia, Kaspian, dan Daru—yang juga memerankan patih—akan mengawali babak pertama.
Bapak. Teater Layar Surya masih berlayar di tahun 2017. Sekeras apapun badai yang menghantam, kapal yang saya wariskan ternyata masih bisa mengarungi samudra.
Meski, Ibu sendiri menjadi badai yang menghantam paling keras.
Sastra menarik napas dalam-dalam. Ia menggeleng pelan, berusaha menempatkan fokus pada ketiga murid asuhannya yang tengah berusaha sebaik mungkin. Kaspian dan Daru tidak diragukan lagi. Soya jelas sedang demam panggung—suaranya agak gemetaran, tetapi ia berani bersuara lantang. Namun, sehebat apapun Kaspian dan Daru, mereka bukanlah aktor profesional, sehingga Soya tidak terlihat terlalu buruk.
Ia menoleh kepada panitia yang berjaga di belakangnya. “Mbak, maaf, bisa minta dua botol air mineral?”
Mahasiswa panitia itu membisikkan kesanggupan. Bergegas ia menghilang ke balik juntaian tirai-tirai hitam.
Selang beberapa detik kemudian, Daru, Kaspian, dan Soya sudah menghambur ke arahnya, sementara Juni si selir dan Nova si dukun memasuki panggung. Daru dan Kaspian mengatupkan bibir, menjaga emosi mereka stabil, tetapi tidak dengan Soya. Kedua matanya terjaga lebar dan napasnya tersengal-sengal dramatis.
“Pak, deg-degan ....”
Sastra tersenyum. “Iya, panitianya masih mengambilkan minum. Tarik napas dalam-dalam.”
Soya mengangguk. Jarinya saling menggaruk hingga mahasiswa tadi datang membawakan dua botol air mineral tanggung. Soya cepat-cepat membuka satu botol, meneguknya sebagian seolah babak tiga menit tadi sama beratnya dengan berlari tiga kilometer.
Tak masalah. Toh Sastra tak menginginkan kesempurnaan. Yang penting teater gagasan Sendra Wara tetap berlayar, bukan karam.
Dan, yang terpenting ... Soya bukanlah Sastra yang kedua.
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas