Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

“Gitu doang?” Nova memekik. “Soya audisi juga, dong! Iya, aku ngerti Soya itu agak nelangsa, tapi masa peran permaisuri otomatis diberikan begitu saja?”

 Soya tidak tahu mana yang lebih menyedihkan, temannya benar-benar mempertegas betapa nelangsa hidupnya (setidaknya, untuk urusan teater), atau kenyataan bahwa dirinya telah diberi peran besar tanpa berakting dulu. 

“Adil, sih,” gumam Kaspian. “Soya milih peran tunggal seperti aku. Sekalian aja kasih peran besar.”

“Kenapa kamu belain Soya mulu dari dulu?” Juni mendengus. “Soya, akting dikit aja, dong. Seenggaknya tunjukkan kalau kamu juga serius!”

Soya sempat melemparkan tatapan sebal kepada Daru, yang tahu-tahu menyeretnya ke tengah panggung tadi, saat cowok itu sedang berakting sebagai Cindelaras. Soya dibuat terbengong-bengong dengan mukanya yang melas. Siapapun yang melihat sekilas pasti mengira bahwa Soya memang berperan sebagai permaisuri. 

Perutnya mulas. Punggungnya mulai berkeringat dingin. Namun, Soya tahu ia tak bisa menghindari ini selamanya. Ia mencoba menekan rasa tegang dengan berpikir bahwa dirinya hanya perlu berakting sebentar saja—mungkin satu menit atau kalau bisa kurang—di hadapan empat kawan dan satu guru. Lima orang yang telah mengenal Soya lebih dari teman manapun di sekolah. Bahkan mungkin lebih dari orang tuanya.

Soya mendorong tubuhnya beranjak. Bahunya terasa berat dan napasnya tersendat kala ia menarik napas dalam-dalam. 

“Pejamkan mata, Soya.” Bisikan Sastra menyusup dari arah belakang punggungnya. “Anggap tak ada siapa pun selain saya.”

Ia harap topeng Spiderman itu ada di tangannya sekarang. Namun, meski ada sekalipun, pasti ia tak boleh mengenakannya. Soya memejamkan mata, mendengar debar kegugupan mengalir di nadi. 

Sebagai orang yang mengetik naskahnya, semestinya Soya bisa ingat salah satu dialog si permaisuri, tapi … pikirannya mengosong. 

Oh, tidak.

Detik-detik yang berlalu dalam kesenyapan dan kegelapan membuat Soya panik. Terbayang jelas wajah tidak sabaran keempat kawannya, dan Sastra yang melempari mereka tatapan tajam agar bersabar. 

Tidak, tidak bisa begini terus! Hampir tersisa satu bulan menjelang lomba! 

“‘A-anakku ….’” Soya berhasil mengingat satu kata—satu kata itu saja, sebab itu sering diucapkan sang permaisuri di naskah. Begitu suaranya terdengar, ia merasa malu. Apakah terlalu kecil? Terlalu gemetaran? Apa teman-temannya menertawakan tanpa suara? Apa—ah! Barusan ada suara gesekan! Apa itu suara seseorang menertawakannya?

Lalu, senyap. Soya tak berani bersuara lagi. Takut.

Hingga terdengar suara yang begitu pelan, dari arah Daru, dengan nada yang sama saat menjadi Cindelaras. “‘Ya, Ibunda? Mengapa engkau begitu gemetaran?’”

Soya menahan napas. Nyaris ia membuka mata, tetapi matanya justru terpejam kian erat. Kenapa Daru membalasnya? Apa mungkin … cowok itu sedang berusaha membantunya?

Terdengar suara Daru lagi, lembut seperti seorang anak dengan kekhawatiran tulus. “‘Apakah Ibunda teringat masa-masa kelam lagi?’”

Soya terperangah sesaat. Ia tidak ingat dialog itu ada di dalam naskah, meski Soya juga tak bisa memercayai otaknya saat ini. Namun, pertanyaan Daru sebagai Cindelaras memantik jawaban di dalam benaknya. Jawaban sang permaisuri. 

“I-iya, anakku,” jawabnya terbata-bata. Soya pun ingat bahwa ia tak bisa diam saja. Dalam bersandiwara, tubuhnya mesti ikut bergerak, sebab penonton tak punya akses televisi atau layar yang bisa menyorot ekspresi Soya. Ia mesti bertutur dalam gerakan, agar penonton terjauh tetap bisa tahu kesedihannya!

Maka Soya mengangkat tangan, tetapi ia menyadari betapa memalukan gerakannya yang kaku, jadi ia menggenggam lagi dan menarik diri. “Masa-masa kelam ….” Ia memutuskan untuk mengulang ucapan Daru saja. “Yang … Ananda tak boleh tahu.”

Cut.”

Soya tak pernah selega itu saat mendengar ucapan Sastra. Ia seketika ambruk, tergolek di lantai yang dingin. Saat ia membuka mata, tampak kawan-kawannya menyeringai—tetapi bukan menertawakan, melainkan rasa puas. Kaspian bertepuk tangan pelan, dan Nova menghampirinya. 

“Gitu, dong!” cewek itu mengacak-acak rambutnya. Saat Nova tak sengaja menyenggol Soya, ia terperanjat. “Hah, gemetaran! Bentar, bentar. Minum dulu. Daru, ambilin botol minum itu!”

Daru sigap menyusul, membukakan botol minum yang masih utuh. Soya menarik napas dalam-dalam saat mereguk air mineral yang mengguyur kegugupannya. 

“Makasih,” gumamnya kepada Daru dan Nova. 

“Nah, kamu bisa akting, gitu,” celetuk Juni. “Tapi, itu tadi akting atau sungguhan, sih? Kayak nggak ada bedanya.”

“Jun.” Kaspian melemparkan sorot tajam kepadanya.

Juni balas memelotot, ada bayang-bayang tersinggung di kedua matanya. “Bukan itu! Maksudku, kalau memang itu cara Soya bawain peran permaisuri, menurutku itu lebih bagus! Permaisurinya terlihat nelangsa banget.”

Daru menggumamkan persetujuan. “Jujur, sebagai Cindelaras, aku pikir permaisuri emang lebih pantas dibuat nestapa. Karena Cindelaras sayang ibunya, maka dia punya alasan yang lebih kuat untuk nantang Raden Putra. Seenggaknya, kalau ayahnya si raja itu nggak mau mengakui Cindelaras jadi anaknya—atau lebih buruk, malah dibunuh—seenggaknya Cindelaras bisa bantu ibunya reuni dengan ayahnya.”

“Iya juga.” Nova menelengkan kepala. “Kamu cerdas, Dar.”

“Mbahku emang suka cerita panjang lebar,” jawab cowok itu dengan bangga, alih-alih menyombongkan peringkat kelasnya. 

Soya hanya mendengarkan dalam diam. Kegugupannya telah mereda, menyisakan tubuh yang lemas dan semangat membingungkan dalam diri. Walau, ia tetap merasa dirinya tadi tidak akting, tetapi kebetulan yang terjadi antara peran permaisuri dan kegugupannya menjadi penyelamat sementara ini. 

“Audisinya udah, kan?” Soya berputar menghadap Sastra. “Tinggal peran lainnya?”

Sastra, yang sedari tadi menopang lutut di panggung, mengangguk. “Untuk peran lainnya, saya sudah tentukan. Setelah ini kita bisa mulai proses dubbing sekalian memantapkan akting masing-masing … dan properti.”

Suasana auditorium yang gelap kembali suram. Properti. Dana. Selama sesaat, tak ada yang berbicara selain bayangan masing-masing yang justru menari-nari di dinding. 

“Maaf, Pak.” Kaspian yang bersuara pertama kali. “Saya dan Soya udah berusaha mencari Pak Ishak, dan bertanya pada staf TU juga, tapi ….”

“Nggak apa-apa. Kita pikirkan cara lain.” Senyum Sastra tampak menyedihkan dengan cahaya lilin lemah di sekitarnya. “Ada untungnya juga saya belum sewa tukang kebun. Rumput tinggi itu nanti bisa jadi properti tambahan. Kerikil dan rantingnya pungut saja. Untuk properti seperti kursi dan semacamnya … kita pikirkan sambil jalan.”

“Kita tetap butuh dana, Pak,” kata Nova bersikeras. “Untuk kostum, aku bisa pinjamkan dari sanggar orang tuaku. Tapi, kalau properti kita cuma setengah-setengah atau berusaha do it yourself … kayaknya agak susah, Pak. Waktu kita tinggal satu bulan!”

Sastra menghela napas. Nova benar. Saat ia mengatakan ‘dipikir sambil jalan’, ia teringat masa lama ketika Layar Surya masih beranggotakan minimal tiga puluh orang. Tiga puluh orang yang bisa saling membantu, mengurus berbagai hal di saat yang bersamaan.

Kini Layar Surya tersisa lima anak dan satu pembina. 

“Baiklah.” Ia melompat turun dari panggung. “Kita lakukan itu saja. Kita pakai cara klasik saat butuh dana.”

Kaspian memelotot. “Danusan?”

“Bukan.” Sastra menyeringai. “Kita lakukan dengan gaya yang dicetuskan pendiri Layar Surya, alias mendiang bapak saya: kita tampil di muka umum!”

Di antara raung gerutuan dan protes, barangkali hanya Daru yang mengacungkan tinju semangat. Matanya berbinar-binar seolah menantikan ini sejak lama.

“Kita bagi tugas. Tiga orang tampil. Tiga orang keliling bawa kotak sumbangan.”

“Lokasinya?” 

“Sekitar lampu lalu lintas.” Sastra mengangguk mantap. “Kita manfaatkan waktu tunggu sekitar satu menit itu untuk tampil. Waktu tunggu yang lama bikin orang jenuh, dan kita bisa beri mereka waktu untuk ambil duit. Nah, mumpung besok hari libur dan orang tua Soya belum balik … mau coba besok?”

“Saya! Saya udah janji baca puisi sambil pirouette.” Daru menyela tidak sabar. 

“Oke, saya juga.” Sastra menepuk dada. “Ada lagi yang mau?”

Nova mengacungkan tangan, tetapi untuk menunjuk tiga kawannya yang lain. “Kas, Juni, Soya, manfaatkan wajah kalem kalian untuk bawa kotak penggalangan.”

“Juni kalem?”

“Minimal wajahnya kelihatan kalem.”

Sementara kawan-kawannya kembali riuh, Soya menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu ikut berpuisi.

Yah, untung orang tuanya bilang akan kembali waktu sore. Setidaknya ia masih bisa berpartisipasi hingga siang … kemudian pulang, dan berpura-pura tak pernah terjadi apapun selama akhir pekan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Wake Me Up With Amnesia
821      517     2     
Short Story
who would have thought that forgetting a past is a very difficult thing
Sampai Kau Jadi Miliku
1910      920     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...
Tembak, Jangan?
287      243     0     
Romance
"Kalau kamu suka sama dia, sudah tembak aja. Aku rela kok asal kamu yang membahagiakan dia." A'an terdiam seribu bahasa. Kalimat yang dia dengar sendiri dari sahabatnya justru terdengar amat menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin, dia bisa bahagia di atas leburnya hati orang lain.
Dunia Saga
6479      1739     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Lost you in Netherland
657      414     0     
Short Story
Kali ini aku akan benar - benar kehilangannya !!
Warna Untuk Pelangi
9050      2038     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Sacred Sins
1580      692     8     
Fantasy
With fragmented dreams and a wounded faith, Aria Harper is enslaved. Living as a human mortal in the kingdom of Sevardoveth is no less than an indignation. All that is humane are tormented and exploited to their maximum capacities. This is especially the case for Aria, who is born one of the very few providers of a unique type of blood essential to sustain the immortality of the royal vampires of...
Tyaz Gamma
1818      1090     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...
KASTARA
555      439     0     
Fantasy
Dunia ini tidak hanya diisi oleh makhluk hidup normal seperti yang kita ketahui pada umumnya Ada banyak kehidupan lain yang di luar logika manusia Salah satunya adalah para Orbs, sebutan bagi mereka yang memiliki energi lebih dan luar biasa Tara hanya ingin bisa hidup bebas menggunkan Elemental Energy yang dia miliki dan mengasahnya menjadi lebih kuat dengan masuk ke dunia Neverbefore dan...
THE DARK EYES
825      507     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.