Sastra bermimpi kepalanya terpenggal sungguhan malam itu. Ia mengaduh-aduh memohon ampun, berharap Raden Putra mau memandangnya sejenak sebagai anak, bukan saingan, apalagi pembunuh. Namun, semakin semu garis pembatas antara kisah Cindelaras dengan kehidupannya, semakin keras pula ia mendengar ada suara familiar. Itu Soya, berteriak di antara kerumunan warga berpakaian lusuh yang menyaksikannya dipenggal Raden Putra.
“Pak, Bapak! Bangun, Pak!”
Sastra terperanjat. Ia refleks menghirup napas dalam-dalam dan membuka mata, menyaksikan Soya melompat-lompat di balik jendela yang terbuka lebar.
“Bangun, Paaak! Jendelanya kok terbuka? Rumahnya nggak kemalingan, kan?”
Selama sesaat, pria itu terbengong dengan posisi telentang. Sembari mengumpulkan kesadaran, Sastra menyadari dirinya terlelap di sofa, bendelan naskah terkapar di lantai, dan satu tangan terkulai menggantung. Lemari jam tua di belakangnya berdentang tujuh kali. Soya, muridnya yang dahulu selalu tertekan itu, kini menertawakannya.
“Bangun, Paaak. Bukakan pintu, dong. Pintunya dikunci, tapi jendelanya malah dibuka lebar-lebar! Bapak nggak apa-apa?”
Sastra mengusap wajah. Ia mendorong tubuhnya bangkit, tangannya sedikit gemetaran. Ia kelaparan dan mulutnya bau asam.
“Ketiduran,” jawabnya asal-asalan. Semoga matanya tidak terlihat bengkak. “Semalam cuacanya agak panas.”
Soya ber-“ooh” ria sementara pria itu terhuyung-huyung ke arah pintu utama, memutar kunci untuk sang murid.
“Orang tua kamu pergi ke mana, Soya?”
“Papa dan adik ikut Mama reuni di Kota Batu, sekalian mau wisata. Besok siang baru pulang.”
“Kamu nggak ikut?”
“Nggak, ah. Mending saya manfaatin kesempatan untuk ikut latihan malam di auditorium sesekali.” Soya meringis malu. “Saya sungkan nggak pernah ikut latihan malam.”
Sastra balas tersenyum tipis. Terlepas dari lika-liku di awal pertemuan, cara Soya tetap menanggung rasa tanggung jawab dengan sepenuh hati membuatnya terenyuh.
Sastra yakin Soya tidak hadir di Layar Surya karena kebutuhan nilai sempurna lagi.
“Bagus, Soya. Mungkin saya juga satu-satunya orang dewasa yang mendukungmu untuk melakukan ini. Orang tua yang terlalu ketat biasanya melahirkan anak-anak yang rebel, padahal anak juga butuh eksplor.”
“Jangan dipertegas, dong, Pak.” Soya memanyunkan bibir. “Bapak kan guru.”
“Saya nggak sedang mengajar sekarang.” Sastra mengangkat bahu dengan sinar geli menari-nari di matanya. “Lagi pula rebel-mu nggak melakukan perbuatan terlarang. Walau … nggak semua orang tua bisa melihat sisi positifnya. Kadang-kadang, ada orang yang cuma mau mengakui sesuatu yang sesuai dengan kemauannya saja.”
Senyum Sastra mengambang seiring kalimat yang meluncur tanpa aba-aba itu. Soya, terbiasa mendengarkan, menatap gurunya dengan mata lebar.
“Apa itu pengalaman Bapak sendiri?”
Fokus pandangan Sastra bergulir menjauh. “Bukannya kamu pernah curhat gitu sama saya juga? Kalau papamu hanya menyetujui hal yang sesuai dengan keinginannya, dan segala hal yang tidak … maka dianggap gagal?”
Ekspresi sang murid ikut mengeruh. “Iya,” bisiknya. “Mama pernah bilang begitu.”
“Sama.”
“Mama—ibunya Bapak …?”
“Ayah saya.” Mulut Sastra terasa kering saat mengucapkan ini. “Ayah saya yang bilang ….”
Namun, belum sempat Sastra menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara keriut pagar dibuka, jagang sepeda yang dipasang, dan seruan kaget Daru.
“Wah, Soya! Beneran!”
Baik Sastra dan Soya melepas diri dari percakapan barusan, seolah sama-sama tahu bahwa mereka belum siap untuk membiarkan orang lain mendengar ini.
“Yeee. Mana mungkin aku bohong?” Soya menyambut kedatangan cowok itu.
“Halah. Kamu kan bohong sama orang tuamu tiga kali seminggu—aduh!” Daru tak sempat mengelak pukulan ringan Soya di bahunya. “Kenapa kamu ikut-ikutan anarkis kayak Nova sekarang?”
Rumahnya riuh lagi. Tiga kali seminggu. Sastra bersyukur alih-alih merutukinya. Kesenyapan hanya mengingatkan pria itu akan rasa sakit, dan canda tawa murid-muridnya selalu membangkitkan kenangan lama tentang Layar Surya di zaman emasnya.
Ditambah lagi, aroma donat hangat dengan gula halus yang dibawakan Daru membuat perutnya keroncongan.
“Donat buatan nenekmu, Daru?” tanya Soya saat kawannya meletakkan dus kue berisi dua belas donat bulat sempurna yang masih mengepulkan asap tipis.
Liur berkumpul di mulut Sastra membayangkan bagaimana dinginnya gula halus berpadu dengan lembutnya donat hangat, melumer seketika memasuki mulutnya.
Sementara Daru dan Soya berbincang-bincang, Sastra menyambar sebutir donat, kemudian sebutir lagi, sebelum memutuskan untuk menjerang air.
Dalam waktu tiga puluh menit, ketiga murid yang lain sudah berkumpul. Dalam waktu sekejap itu pula, dapurnya dihuni Soya yang sibuk membuatkan minuman, ruang duduknya dihuni gelegar suara Nova dan Juni yang bergantian memerankan peran permaisuri dan selir—beradu menentukan siapa yang terbaik di hadapan Sastra, Kaspian tengah menggergaji triplek di teras, dan Daru memangkas daun-daun menguning di halaman Sastra (tenang saja, ia diam-diam mendapat bayaran dari sang guru).
Kala Soya meletakkan baki berisi enam gelas es jeruk di meja, bersanding dengan satu dus makaroni pedas yang dibawakan Nova, donat-donat gula Daru yang tinggal separuh, dan stok permen asam dari Juni, ia diseret ke hadapan kedua cewek.
“Soya! Menurutmu siapa yang paling cocok meranin selir? Nova atau aku?”
Soya justru menatap Sastra. “Bukannya udah uji coba akting, Pak?”
“Itulah, mereka sama-sama oke. Ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing.”
“Udah, abaikan penilaian Pak Sastra,” timpal Nova. “Kami mau tahu pendapat orang awam.”
Namun, sebelum Soya menyuarakan pendapat, Daru menimbrung. Sembari menaruh perkakas di kotak yang tergeletak, ia berkata, “Nova dan Juni sama-sama cocok jadi selir. Nova jahat, Juni centil. Kalian nggak ada yang cocok jadi permaisuri. Peran itu terlalu alim dan teraniaya buat kalian.”
“Bilang apa?!”
Saat Nova dan Juni sama-sama memelotot, terdengar gelak tawa Kaspian dari arah teras. Soya pun tersenyum simpul.
Cewek itu memutuskan untuk menengahi. “Bukannya ada peran dukun? Dukunnya juga belum kita tentukan apakah laki-laki atau perempuan. Kalau kita buat dukunnya seorang perempuan, menurutku … yang cocok jadi dukun adalah Nova.”
“Selirnya Juni, dan Raden Putra-nya Kaspian? Cocok, sih. Aktor cetakan mah udah pasti ambil peran itu-itu aja.” Nova mencemooh.
Kaspian melongok dari jendela, dahinya mengernyit dalam. “Kayaknya semalam ada yang udah minta maaf.”
“Nggak jadi, nggak ada kiamat.”
“Fine. Kamu mau jadi selirku? Permaisuri-ku?”
“Raden Putra, bukan Kaspian! Najis!”
Sastra menggeleng. “Sudah, sudah.” Ia melerai. “Nanti malam kita audisi sekalian untuk semua peran, mumpung Soya bisa hadir.”
Ketika Sastra mengira masalah sudah terselesaikan, muncul satu lagi. Daru tiba-tiba menunjuk Soya dan berseru, “Ya, jangan panik! Ya!”
Kala semua wajah tertuju padanya, tampak begitu jelas bagaimana muka Soya memucat pada satu kata yang ditelurkan Sastra tadi.
Audisi. Semua.
**
Di bawah bayang-bayang rembulan utuh, masuklah kelima calon pemeran, satu per satu, melewati tirai hitam menuju panggung.
Menggunakan kunci yang sudah diduplikat sang guru, kelima murid yang pantas menangkring daftar teratas buronan ruang bimbingan konseling itu berjingkat melewati pagar belakang sekolah, tersembunyi sempurna di balik juntaian bunga-bunga kertas. Menyusul mereka memasuki auditorium yang lapang, menjanjikan panggung tanpa batas. Lampu dipadamkan dan lilin-lilin dinyalakan. Kain-kain hitam disangkut di tiap-tiap pintu dengan jendela, mengecoh siapapun yang mengintip bahwa hanya ada kegelapan pekat di dalam aula.
Jika ada satpam malang yang mengeyel untuk mencuri dengar, ia akan mendengar bisikan-bisikan menghantui, lantas mengira kisah noni Belanda yang menunggui auditorium itu benar adanya.
Siapa sangka di balik itu hanya ada lima murid, cekikikan tanpa suara, menari dengan kaki berjinjit, dan satu guru yang bernyanyi dalam hati?
Kaspian yang memulai audisi itu. Walau ia berusaha keras mencoba menepis tuduhan aktor cetakan dari Nova, ia memang sempurna untuk peran yang mendominasi panggung, keelokan yang gagah, dan tak pantas tampil miskin. Amarahnya akan tuduhan Nova membuat tiap dialog yang diucapkannya tajam, tudingan jarinya menusuk, dan begitu saja peran Raden Putra dianugerahkan padanya.
Nova diaudisi setelah Kaspian, semata-mata karena ia wakil dan Sastra lebih memahami jika urutan audisi ini bisa menyelamatkan tim dari pertikaian lain. Walau profesional dan akrab dengan dunia seni teater lebih lama daripada keempat kawan yang lain, Nova tetaplah seorang remaja. Langkahnya anggun dan mengancam sekaligus, ia menolak merendahkan dagu, dan tubuhnya seolah tak pernah mengenal postur lesu. Desisannya mengandung persaingan dan keengganan tunduk. Begitu saja, Sastra tahu peran permaisuri tak cocok untuknya. Peran dukun wanita diberikan kepada Nova.
Peran selir otomatis diberikan kepada Juni, yang gerik jari dan kakinya gemulai. Sebagai sosok yang paling bersinar di antara yang lain, Juni pun selalu mencuri perhatian penonton kala dirinya menyapa panggung. Caranya mengedipkan mata, menyeret suaranya yang lembut nan tinggi, dan menyibak rambut membuat peran selir lebih pantas untuk dikuasainya, lebih dari siapapun.
Menyusul Daru, bintang yang baru-baru ini meledak dan mengguncang panggung Layar Surya. Ia seperti perpaduan tanggung dari ketiganya, seperti permata mentah yang belum diasah. Langkahnya senyap, tetapi berat. Tatapannya tajam nan muram. Ia bak kesatria yang tertatih masuk, menyeret dirinya menghadap kepada para bangsawan setelah mengarungi perang demi perang yang memiskinkan kekayaannya, tetapi memperkaya kebijakan.
Kala Daru berputar menghadap Soya, menatapnya dengan penuh rasa iba dan kasih sayang, lantas berkata, “Ibunda, tidak lagi kita akan hidup dalam kenestapaan. Saya akan mengubah nasib engkau,” saat itu pula seisi ruangan tahu ke mana peran-peran besar yang tersisa mendarat.
Daru adalah Cindelaras, dan Soya adalah permaisuri yang terbuang.
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas