“Soya, kamu beneran les di bimbel itu, nggak, sih?”
Pertanyaan Yasmin mengirimkan serangan kejut di Minggu pagi. Walau lewat telepon, debar ketakutan yang dirasakan Soya sama besarnya ketika bertatapan langsung. Suara sang ibu sama jelasnya seperti sedang berbicara dalam satu ruangan, padahal ada suara obrolan riuh dan klakson bersahutan di belakang suara Yasmin.
“Kamu ingat teman Mama yang merekomendasikan tempat bimbel itu? Anaknya, kan, juga les di sana! Waktu Mama ngobrol sama teman Mama itu, katanya anaknya nggak pernah lihat kamu di sana. Jadwal lesnya juga sama seperti kamu.”
Mampus! Soya tak pernah mempertimbangkan alasan sejauh itu. Otaknya berputar cepat memikirkan kebohongan baru.
“E-eeh … beda kelas, Ma. Kan, meski tempat bimbelnya nggak besar, tapi kelasnya banyak dan muridnya sedikit,” jawabnya asal, mengandalkan ingatan tentang luas tiap ruang yang dulu dilihatnya sepintas. “Lagi pula, aku juga jarang beli jajan di luar. Jadi … nggak pernah ketemu murid kelas lain.”
Yasmin mengeluarkan gumaman “ooh” panjang. “Ajak kenalan, dong,” kata sang ibu akhirnya. “Masa nggak kenalan sama sekali dengan teman lain? Ajak ngobrol. Anak itu dari SMA unggulan juga, loh. Siapa tahu kamu dapat inspirasi untuk jurusan kuliah nanti.”
Sembari mendengarkan ibunya bercerita, Soya menghela napas lega. Nyaris saja. Meski begitu, suasana hatinya terlanjur buruk. Semoga nanti Yasmin tidak melanjutkan topik ini setelah tiba di rumah. Soya mesti mempersiapkan diri untuk acara penggalangan dana dadakan.
**
Suasana pertigaan yang dipilih Sastra padat oleh kendaraan yang keluar masuk kota. Cukup jauh dari lokasi SMA Surya Cendekia, Sastra sengaja memilih tempat yang lengang dari pengawasan preman, dan kecil potensinya untuk bertemu wajah-wajah familiar. Ia tahu murid-muridnya lebih semangat tampil tanpa dikenal tetangga.
Minggu itu tetap mendung seperti biasa, meski tak tercium aroma hujan. Angin berembus cukup kencang, memaksa para cewek untuk menguncir rambut atau terancam mengalami bad hair day di muka umum.
Soya, Juni, dan Kaspian memeluk kardus penggalangan, sementara Daru, Nova, dan Sastra memastikan puisi-puisi yang siap mereka baca di ponsel masing-masing. Ketika lampu lalu lintas berubah merah, dan satu per satu mobil serta motor membentuk empat baris di belakang garis penyeberangan, Daru melompat duluan. Di hadapan wajah-wajah penat yang menanti tujuh puluhan detik untuk berlalu, cowok gundul itu tiba-tiba membacakan puisi Chairil Anwar sambil berputar pada satu kaki.
Itu janjinya karena Soya kemarin sungguhan datang lebih awal daripada dirinya.
Sambil menahan tawa, ketiga remaja yang lain bergegas menyebar, menyusup di antara sela mobil dan motor sambil mengacungkan kotak sumbangan. Juni, dengan senyum menawan, mampu membuat sebagian besar orang merogoh saku tanpa pikir panjang. Ketampanan Kaspian membuat ibu-ibu dan para kakak memilih dua ribu daripada sekadar recehan. Soya yang harus berjuang lebih keras, sebab ia mengatupkan bibir malu-malu dan orang-orang mengabaikannya.
Aduh.
Kalau begini caranya, ia takkan bisa membantu menggalang dana. Sudah malu, hanya dapat recehan pula. Ketika lampu lalu lintas berubah hijau dan mereka kembali berkumpul di trotoar, Soya merasa miris melihat Juni dan Kaspian berhasil mengumpulkan hampir dua puluh ribu dalam sekali edar. Ia hanya mendapat dua ribu tujuh ratus perak.
Kala Sastra mengintip isi kotak Soya, cewek itu menunduk sungkan. Sang guru pun menepuk pundaknya. “Udah terlanjur basah, sekalian menyelam, yuk.”
Soya mengangguk. Benar, ia tidak mau malu lebih daripada ini! Semalam, ia sudah berhasil berakting di hadapan kawan-kawannya. Tak ditertawakan. Saat ini pun, para pengendara itu juga takkan bertemu dengannya lagi. Mereka tidak akan mengingat Soya. Tak ada gunanya malu.
Maka, saat tiba giliran Sastra unjuk gigi, Soya bergegas menghampiri pengendara mobil terdekat. Ia mengacungkan dan berusaha menyunggingkan senyum. “Permisi …!” ujarnya. “Mohon bantuannya, Kak—terima kasih!”
Soya berbinar-binar saat seseorang menjulurkan tangan dari sela-sela kaca mobil, melempar selembar seribuan kepadanya. Bukan lagi receh!
Dalam waktu dua jam saja, mereka sudah berhasil mengumpulkan cukup banyak uang. Kelima anak itu berbinar.
“Ayo, semangat!” Daru menunjukkan antusiasmenya. Ia bersemangat jika menyangkut uang. “Kita bisa!”
“Satu kali lagi,” kata Sastra sambil tersenyum. “Setelah ini kita istirahat.”
Kali ini giliran Nova untuk tampil kembali. Sembari ia melompat ke depan para pengendara—bahkan seseorang mengacungkan ponsel untuk merekam—Soya dan kedua kawannya yang lain menyebar. Cewek itu, seperti biasa, menyasar ke arah mobil karena orang-orang lebih suka bersembunyi di balik kaca mobil, sehingga ia tak perlu overthinking bertatapan.
“Permisi!” katanya, kali ini mengacungkan kotak penggalangan dengan lebih percaya diri. Senyumnya lebar membayangkan jumlah uang yang terkumpul.
Namun, alih-alih ditolak, atau dilempari uang, kaca mobil bergulir turun, menampilkan wajah seorang sopir van dan Soni di jok penumpang depan.
Ayahnya.
“Soya?”
Mata cewek itu membeliak. Belum sempat ia bereaksi, dunia bergerak lebih cepat. Pintu di belakang si pengemudi menjeblak terbuka. Yasmin melompat turun dengan wajah panik.
“Soya!” Soni tahu-tahu keluar dari van dan melangkah lebar ke arahnya. “Apa-apaan ini?”
Soya terperanjat. “Pa—Ma—aku—”
Melihat kotak berisi uang yang digenggam erat-erat sang anak, apalagi di pertigaan bak seorang pengemis, memerahlah wajah Soni.
“PULANG SEKARANG!”
Sebelas detik yang tersisa di pertigaan itu penuh dengan keriuhan. Soya didorong ayahnya masuk ke van, menyusul sang ibu yang menutup wajahnya dengan malu karena menjadi tontonan orang-orang. Nova batal berpuisi—ia terbengong-bengong di lintasan penyeberangan hingga Daru menariknya menjauh, sebab motor-motor di jalur terdepan sudah bersiap untuk ngegas.
Sastra melompat menghampiri seraya mengacungkan tas Soya, tetapi lampu lalu lintas berubah dari merah ke hijau, dan mobil-mobil membunyikan klakson nyaring. Pria itu disentak Juni menepi ke pembatas jalan sebelum mobil terdepan menyerempetnya.
Selama sesaat, tak ada yang bersuara. Semua mata tertuju pada van yang melaju kencang, seolah ayah Soya baru saja menyuruh sopirnya mengebut pulang. Tak ada yang tahu apa yang tepatnya terjadi di balik kaca van yang gelap itu.
Bulu kuduk Nova dan Daru merinding. Karena mereka pernah menemui ayah Soya langsung, mereka langsung bertukar tatap dengan wajah pucat.
“Gawat.” Daru menelan ludah.
“Mampus.” Nova mengacak rambutnya. “Gimana, nih? Pak?”
Empat pasang mata tertuju pada Sastra, tetapi sang guru tidak cepat menjawab. Pandangannya terpaku pada ke mana arah van yang membawa Soya pergi. Dadanya berdebar kala benaknya memutar kenangan yang begitu mirip, dua puluhan tahun lalu.
Bedanya yang menyeret Sastra bukanlah sepasang orang tuanya. Melainkan hanya sang ibu. Sehingga, melihat hal serupa terjadi pada Soya, pria itu menelan ludah.
Jika menghadapi satu orang tua saja Sastra kepayahan, bagaimana dengan Soya?
Tanpa pikir panjang lagi, ia berbalik menghadap para muridnya. “Kita … kita hentikan penggalangan sampai sini dulu.” Ia tak percaya suara yang meluncur dari mulutnya hampir terdengar gemetaran. Ia menelan ludah bulat-bulat.
Tidak, ia tidak boleh terlihat terguncang di hadapan murid-murid!
“Soya … saya akan menyusul ke rumahnya.” Sastra mencengkeram selempang tas Soya di genggaman. “Saya akan jelaskan ke orang tuanya.”
Keempat murid itu bertukar tatap. Kecemasan menghantui setiap jengkal wajah, tak peduli hubungan apapun yang mereka miliki dengan Soya. Ide-ide bermunculan di antara mereka, tapi pada akhirnya, Sastra menghentikan anak-anak itu untuk berpikir lebih jauh.
Jangan sampai ada Soya kedua. Atau Sastra kedua.
“Pulanglah,” katanya. “Kaspian, antar teman-temanmu.”
Cowok itu mengangguk. Dengan enggan, ia merogoh saku celana untuk memastikan kunci mobilnya masih ada di sana. “Ayo, guys.”
“Good luck, Pak.”
Kata-kata itu menyertai Sastra, walau siapapun tahu, bahwa ia membutuhkan lebih dari sekadar keberuntungan.
Sepanjang pria itu menempuh perjalanan ke rumah Soya, yang menghantuinya justru sosok lain.
Apakah ibunya akan mendengar soal ini?
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas