Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Sudah lazimnya hari-hari sering dinaungi langit kelabu, sebab sedang musim penghujan. Namun, terkhusus Jumat ini, Soya merasakan firasat yang berbeda. 

Benar saja, hingga bel tanda pulang berbunyi, belum ada panggilan untuk menerima amplop berisi uang anggaran. Yang ada hanya gelengan staf tata usaha saat Soya dan Kaspian bertanya untuk ketiga kalinya hari itu. 

“Pak Ishak nggak titip apa-apa untuk ekskul teater, tuh.”

Melesaklah bahu muda-mudi itu. Mereka bertukar tatap dengan nanar, bahkan mata Soya telah berkaca-kaca. 

Aneh sekali, padahal kepala yayasan adalah ibunya Sastra sendiri! Masa ekstrakurikuler yang dibina sang putra justru tidak diberi anggaran?

“Udah, buka danusan aja,” celetuk sang staf dengan nada mencemooh. “Coba tanya gimana anggota OSIS danusan buat konser pensi. Risol dua ribu!”

Wajah Soya memerah. Beruntung, Kaspian tidak berniat berdebat. Cowok itu sebenarnya cukup kalem, kalau tidak berhadapan dengan anggota teater yang suka bikin pening. Usai mengucapkan terima kasih, ia menyeret Soya keluar gerbang. 

“Eh, Kas, jangan seret-seret.” Soya kelabakan. Bukan karena langkah si cowok yang lebar, melainkan lirikan cewek-cewek. Sudah cukup Soya sering dipelototi Juni, ia tidak mau menambah masalah yang remeh, hanya karena mantan aktor cilik itu mencengkeram lengannya ke mana-mana. Walau Kaspian lama tak tampil di layar televisi, tetap saja ia masih dikagumi cewek-cewek dari berbagai angkatan. Selumrahnya demikian. 

“Kas, lepas! Aku mau pulang!”

Kaspian refleks melepaskan genggamannya. “Maaf,” gerutunya. “Refleks.”

Mereka berhenti di trotoar yang mengarah ke kediaman Sastra. Soya pun memahami refleks yang dimaksud ketua ekstrakurikulernya. “Kamu mau langsung menemui Pak Sastra? Kenapa nggak besok sekalian? Daru juga udah pulang, kan dia bendahara kita.”

“Besok? Kelamaan.” Kaspian menggertakkan gigi. “Besok emang hari libur, tapi kita nggak bisa kumpul seharian. Kita mesti mikirin cara alternatif dapetin dana, kalau nggak gitu kita mesti mulung buat properti dan itu butuh waktu banyak. Sementara waktu kamu terbatas.”

Ekspresi Soya mengeruh. Ternyata itu sumber kekhawatiran sang ketua. Yah, ia tak bisa protes. Orang tuanya memang ketat, tapi …

“Besok aku bisa ikut kumpul seharian. Dari pagi? Sampai jam sembilan malam? Bisa!”

Jawaban yang di luar nalar itu membuat Kaspian bengong sesaat. Apa benar yang baru saja berucap adalah Soya? Bukan Juni, Daru, atau Nova?

Seorang Soya Mayanura?!

Namun, alih-alih memberi alasan penuh, Soya cuma cengar-cengir. “Besok aku datang paling pagi! Lihat aja!”

Lalu, tanpa memberi kesempatan Kaspian bertanya, cewek itu bergegas berjalan pulang. Langkahnya ringan, setengah melompat-lompat riang.

**

Ucapan Soya semula ditanggapi sebagai candaan. Tak ada seorangpun di grup percakapan LINE yang percaya malam itu. 

 

Nova Carissa

Latihan malam aja nggak bisa ikut. Ya kali besok seharian di luar. Kalo beneran, ini salah satu tanda-tanda kiamat. 

Alam Darusena

Kalo Soya bener datang lebih pagi dari saya, nanti saya baca puisi di muka umum sambil pirouette. 

Juni Candrarini

Parah banget temen sekelasnya nggak ada yang percaya!! πŸ˜‚ Asik~ bahan konten, nih.

Soya Mayanura

Kok gitu…

Kaspian Kamasmara

Honestly aku nggak mau setuju sama Mak Lampir, tapi beneran besok kiamat?

Nova Carissa

Mohon mf lahir batin, Kas.

Kaspian Kamasmara

Ya.

Juni Candrarini

WOW KAS DAN NOVA AKUR?? 😱

Alam Darusena

Kayaknya besok beneran kiamat.

Soya Mayanura

Kenapa nggak ada yang percaya, sih?? T___T

 

Obrolan terus berlanjut semalaman, membuat ponsel Sastra tak berhenti bergetar. Pria itu hanya membaca percakapan murid-muridnya dari notifikasi. Senyum tersungging di bibir saat ia melirik ke arah paha, pada ponsel yang dipangku dan tersembunyi di balik taplak meja. 

Tidak. Ia tidak ikut menimbrung. 

Walau Sastra dekat dengan kelima murid bimbingannya, ia tahu jika para remaja kadang lebih nyaman mengobrol dengan satu sama lain saja. 

Lagi pula, ia sedang terperangkap. 

Malam ini adalah Jumat terakhir di Februari. Agenda rutin di hidup Sastra hanya tiga: mengajar, memikirkan Layar Surya, dan makan malam dengan sang ibu setahun sekali di hari ulang tahun beliau.

Kepala Yayasan Surya Cendekia selalu mengosongkan malam di hari ulang tahunnya untuk keluarga, walau melihat wajah satu-satunya putra saja ia malas. Barulah esok ia akan merayakan ulang tahunnya dengan pesta besar yang digelar Yayasan di Hotel Tugu. Untuk saat ini, ia duduk di depan Sastra, menyantap sup tom yam dalam diam.

Kadang-kadang Sastra pun penasaran mengapa sang ibu masih mengizinkannya mengajar di SMA Surya Cendekia. Ingin ia berpikir positif bahwa ibunya masih ingin berada dekat dengannya, tetapi wajahnya saja jarang sekali dipandang. 

Yah, setidaknya, walau enggan mengobrol banyak-banyak dengan Sastra, Ibu Kepala Yayasan masih tampil rapi. Rambutnya yang kelabu sempurna disanggul rapi tanpa ada satu helai pun mencuat. Caranya menyesap sup perlahan begitu berbeda dengan Sastra yang berulang kali meneguk minumannya cepat-cepat. 

Sastra tak tahan dengan keheningan itu. “Ibu, bagaimana kabarnya?” tanyanya. Tenggorokannya tercekat. Sudah lima menit sejak hidangan tersaji, dan lebih banyak menit berlalu sebelum itu mereka habiskan dalam diam. “Usia Ibu tepat ketujuh puluh … lima, ya.”

Ibu Kepala Yayasan tidak menjawab, meski Sastra merasa seperti mendengar dengung yang sangat pelan dari beliau, seolah-olah mencemooh pilihan topik sang anak. 

Bahu Sastra menegang. Buru-buru ia berkata, “Ibu tahu, tetangga dekat rumah saya—kalau Ibu ingat, namanya Pak Pramono—itu makin susah tidur. Jadi Ibu juga perlu ….”

“Nggak usah,” sang ibu memotong. “Nggak usah mendadak peduli dengan kondisi tidur saya, kalau kamu saja membunuh suami saya.”

Sastra memang belum menyentuh porsi sup tom yamnya, tetapi baru detik itu nafsu makannya menguap utuh. Tak ada yang tersisa dari dalam dirinya selain gejolak asam yang meranggas naik, dan selama satu jam berikutnya, ia tak ingat apa pun yang terjadi di restoran itu. 

Sastra baru berpijak seutuhnya di bumi, merasakan sepatunya menginjak rerumputan tinggi alih-alih aspal, saat pagar rumahnya berkeriut begitu nyaring sampai-sampai menggelitik telinga. Sastra terperangah. Pandangannya yang semula kosong kini kembali hidup, memandang semak-semak mawar dan kembang sepatu yang masih berusaha diselamatkan Daru, tumpukan gabus dan triplek hasil karya murid-muridnya di teras, dan rumah yang gelap gulita. 

Ah … benar, ia lupa menyalakan lampu sebelum berangkat tadi. Kini rumah berarsitektur kolonial itu tampak seperti bangunan terbengkalai di antara hingar-bingar cahaya hangat rumah lain. 

“Pak Sastra, monggo,” seorang pria seusianya melambatkan mobil yang disetirnya di depan rumah Sastra. Ada sepasang manula di jok belakang. Keduanya ikut memberi anggukan dengan senyuman. 

Sastra segera memasang senyum lebar, menutup kekacauan hatinya. “Dari mana, Pak?”

“Biasa, ngantar orang tua saya check-up bulanan.”

“Angka kolesterol saya naik lagi, Pak Sastra!” Nyonya Pramono berseru dengan cekikikan geli. 

“Emang sukanya makan jeroan,” balas sang putra.

Pak Pramono ikut menimpali. “Pak Sastra coba, deh, kedai baru dekat SMA situ! Enak, loh.”

“Ajak ibu sampeyan juga, Pak Sastra!”

Senyum Sastra melunak. “Ibu saya kurang suka jeroan,” katanya, dan tak ingin mencabik-cabik hatinya lebih jauh lagi dengan pemandangan harmonis di hadapannya itu, ia pun berpesan kepada pasangan tua Pramono agar menjaga kesehatan. 

Sembari membalas ucapan Sastra dengan menyuruhnya menyewa jasa tukang kebun dan segera menikah, keluarga tua itu lantas berlalu menuju rumah mereka di ujung jalan. Sastra berbalik punggung. 

Ia butuh bersuara. 

Segera setelah memasuki rumah, Sastra tidak repot-repot menyalakan seluruh lampu. Hanya lampu teras, untuk memperingatkan maling mana pun bahwa masih ada orang di rumah, dan ruang kerjanya, sebab ia percaya bahwa mematikan lampu di ruangan itu akan ikut memadamkan aura imajinasi yang sudah dirawat selama sepuluh tahun. 

Namun, selebihnya, Sastra nyaman dalam kegelapan. Baginya, suasana ini tak ada bedanya kala ia bersandiwara di dalam black box. Benar, orang-orang mengelilinginya—semua mata tertuju padanya, tetapi satu: mereka takkan bisa menghentikannya, mencemoohnya, atau memutus ucapannya. 

Sebab apapun yang ia katakan di panggung adalah kebenaran. Itu adalah dirinya, atau persona yang tengah ia sajikan kepada audiens. Seorang penonton tak bisa begitu saja menyelanya kala berakting. Mereka mesti menonton—toh itulah peran mereka kala Sastra berdiri di panggung. 

Sembari melonggarkan kancing-kancing kemeja batik yang mencekik leher, Sastra menekan tombol radio. Berlatar suara Nike Ardilla yang melantunkan “Panggung Sandiwara”, ia menyambar bendelan naskah “Cindelaras” yang dikarang murid-muridnya saat liburan lalu. 

Esok Soya bisa bergabung dengan mereka di auditorium SMA Surya Cendekia. Ini kesempatan yang mungkin takkan sering terjadi, sehingga Sastra berencana untuk mengaudisi mereka untuk menetapkan peran, sebelum memulai dubbing. 

Ia sangat memahami Soya. Sehingga ketika sang murid berkata bahwa dirinya besok bisa ikut latihan seharian, Sastra langsung memercayainya, walau kawan-kawan anak itu menertawakannya. 

Sastra percaya. Sebab ia pernah seperti Soya. 

Pria itu mengempaskan tubuhnya ke sofa, berbaring dengan mata basah saat berusaha membaca dalam keremangan. Ia berbalik badan agar cahaya dari teras bisa terpantul ke lembar-lembar naskah. Ia sengaja tidak menutup jendela. 

“‘Berkatalah, Cindelaras, mengapa kau tak mau jujur kepada Raden Putra? Bukankah kau putranya?’” Sastra mulai menggumamkan dialog ayam jago yang diketik Soya, hasil usulan kawan-kawannya. Ia mengernyit pada kata ‘Raden Putra’ dan memutuskan untuk menggantinya menjadi ‘Paduka’. 

“Ini lebih baik bisik-bisik …,” gumam Sastra sambil menambah catatan dengan tulisan cakar ayam. Ia lantas berdeham, mengulang dialog si ayam jago dengan bisikan konspiratif.

“‘Bagaimana mesti aku berkata?’” Sastra membaca bagian Cindelaras di bawahnya. “‘Jika menantang Paduka saja membawaku pada ambang kematian. Kejujuran mungkin akan ….’”

Suara Sastra memelan saat menyadari rangkaian kata-kata yang tertulis. Sesuatu terasa menyangkut di tenggorokan. Jantungnya berdebar-debar, teringat akan sup tom yam yang mengejutkan asam lambungnya, ibunya yang menolak menatap matanya sepanjang bersantap, dan pengingat menyakitkan itu. 

Dengan pipi basah, pria itu menarik napas dalam-dalam dan mengulang. “‘Kejujuran mungkin akan … memperlebar jurang antara Ibunda dan Paduka, dan kepala saya terpenggal.’”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Pensil HB dan Sepatu Sekolah
56      53     0     
Short Story
Prosa pendek tentang cinta pertama
Aku Biru dan Kamu Abu
793      470     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
267      217     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Cinta Butuh Jera
1302      837     1     
Romance
Jika kau mencintai seseorang, pastikan tidak ada orang lain yang mencintainya selain dirimu. Karena bisa saja itu membuat malapetaka bagi hidupmu. Hal tersebut yang dialami oleh Anissa dan Galih. Undangan sudah tersebar, WO sudah di booking, namun seketika berubah menjadi situasi tak terkendali. Anissa terpaksa menghapus cita-citanya menjadi pengantin dan menghilang dari kehidupan Galih. Sementa...
SEBUAH KEBAHAGIAAN
562      439     3     
Short Story
Segala hal berkahir dengan bahagia, kalau tidak bahagia maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Tetaplah bersabar dan berjuang. Dan inilah hari esok yang ditunggu itu. Sebuah kebahagiaan.
Dream of Being a Villainess
1374      786     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Tanda Tangan Takdir
143      125     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Ghea
469      308     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Everest
1890      785     2     
Romance
Yang kutahu tentangmu; keceriaan penyembuh luka. Yang kaupikirkan tentangku; kepedihan tanpa jeda. Aku pernah memintamu untuk tetap disisiku, dan kamu mengabulkannya. Kamu pernah mengatakan bahwa aku harus menjaga hatiku untukmu, namun aku mengingkarinya. Kamu selalu mengatakan "iya" saat aku memohon padamu. Lalu, apa kamu akan mengatakannya juga saat aku memintamu untuk ...
SAMIRA
317      197     3     
Short Story
Pernikahan Samira tidak berjalan harmonis. Dia selalu disiksa dan disakiti oleh suaminya. Namun, dia berusaha sabar menjalaninya. Setiap hari, dia bertemu dengan Fahri. Saat dia sakit dan berada di klinik, Fahri yang selalu menemaninya. Bahkan, Fahri juga yang membawanya pergi dari suaminya. Samira dan Fahri menikah dua bulan kemudian dan tinggal bersama. Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan...