Kop rumah sakit jiwa dan obrolan di dapur kala itu kembali memancing rasa penasaran Soya.
Apalagi, ucapan Ishak—Waka Kesiswaan—tentang Layar Surya yang bermasalah. Ia bahkan tak merasa ada masalah apa pun selain dari dirinya sendiri.
Gara-gara itu semua, Soya baru sadar bahwa dirinya hampir tak pernah tahu kehidupan pribadi Sastra. Ia tahu sedikit dari masing-masing anggota teater, tetapi bagaimana dengan sang guru sendiri?
Jika ada yang bisa ditanyai, mungkin itu Nova.
Maka, keeesokan harinya di jam istirahat sekolah, Soya menghampiri Nova yang sedang menyantap makaroni pedas di depan kelas.
“Kamu tahu, nggak, masalah Pak Sastra?”
“Hah?” refleks Nova menjawab, bibirnya penuh serbuk cabai yang membara. Sambil mendesis menahan pedas, ia menambahkan, “Ngomong apa, sih?”
Buru-buru Soya menjelaskan apa yang membuatnya penasaran. Ekspresi Nova melunak, lantas cewek itu mengangguk-angguk misterius.
“Kamu nyadar, ya,” katanya. “Dari semua anggota teater, yang nanya cuma kamu. Padahal aku yakin, nggak ada orang yang tahu kecuali angkatan lama.”
“Apa maksudnya? Angkatan lama?”
Nova menjilat sisa bumbu jari. “Mhm. Angkatan Teater Layar Surya sebelum hiatus, lalu dijalankan lagi.”
Soya terperangah. Ia tak pernah mendengar bahwa ekstrakurikuler itu sempat terhenti. “Kapan?”
“Dua belas … atau sebelas tahun yang lalu, ya? Lupa. Pokoknya tujuh tahun yang lalu, Teater Layar Surya dibuka lagi, tapi karena masalah itu, pendaftarnya nggak seramai dulu. Pihak sekolah juga kayaknya sengaja nggak bantu mempromosikan teater ke mana-mana. Waktu demo ekskul juga selalu ditaruh urutan terakhir! Apalagi, senior-senior dilarang buat cerita ke angkatan baru.” Nova mengangkat bahu, ekspresinya angkuh saat berkata, “tapi aku tahu, karena dikasih tahu orang tuaku.”
Soya sudah menduganya, dan itulah alasan mengapa ia bertanya kepada Nova alih-alih orang lain. Sebab orang tua Nova sempat bermain satu panggung dengan mendiang ayah Sastra.
“Masalah itu, apa?” Soya berbisik. “Ada hubungannya dengan rumah sakit jiwa?”
Ekspresi Nova mengeruh. “Pak Sastra … pernah jadi pasien di sana,” katanya, “tapi sebenarnya bukan itu masalah utamanya. Beliau sempat depresi berat karena dituduh melakukan hal yang—kami yakin—-nggak dia lakukan! Cuma persepsi orang tuh jelek banget, ya. Apalagi pihak yayasan dan sekolah memperlakukan teater kita kayak gitu, jadinya … seolah-olah membuat Pak Sastra memang bersalah!”
Soya belum paham sepenuhnya, tetapi penjelasan Nova sudah cukup membuatnya syok.
“‘Kami’?” ia mengulang. “Siapa ‘kami’?”
“Siapa lagi? Aku, orang tuaku, dan orang-orang di dunia seni teater yang tahu.”
“Masalahnya belum selesai?”
“Semestinya sudah.” Nova menggeleng. Bertambah muram ekspresinya. “Tapi, Pak Sastra nggak pernah mau ngomong. Nggak tahu, deh, kenapa Pak Sastra memutuskan nggak speak up.”
Membeliak kedua mata Soya. Ini … obrolan ini mengingatkannya pada ucapan Sastra kemarin sore! Mendadak, cewek itu merasakan tubuhnya merinding.
Sastra, yang menyeretnya ke Teater Layar Surya dengan segala cara sampai-sampai menyinggung kekurangan Soya yang tak bisa bicara di depan umum ….
Menyadari ini, Soya mengembuskan napas keras-keras.
“Emang, apa masalah yang bikin Pak Sastra depresi berat?” tanyanya lagi. “Sampai-sampai beliau memilih nggak speak up?”
Nova menggeleng. “Bukan ranahku buat cerita soal itu,” jawabnya. “Ada alasan juga kenapa Pak Sastra milih nggak pernah membicarakannya.”
Soya menatapnya dengan kecewa. Padahal, sedikit lagi ia bisa menemukan titik temu antara benang-benang misteri itu!
“Tapi,” kata Nova, setelah mengamati ekspresi kecewa Soya. “Kalau mau cari tahu, kamu mesti hati-hati, ya.”
“Kenapa?”
Nova mendengus. “Kepala yayasan itu ibunya Pak Sastra sendiri!” bisiknya sebal. “Kalau kamu sembarangan cari info, bisa bahaya!”
“Apanya yang bahaya?”
Soya dan Nova terperanjat saat ada suara ketiga menyeruak di obrolan mereka. Untung saja pemilik suara itu adalah Kaspian. Walau, kehadirannya di depan kelas XI Bahasa juga aneh, mengingat ia bukan teman sekelas mereka.
Nova otomatis menggerutu. “Nguping!”
Kaspian melipat tangan. “Nggak butuh nguping. Suaramu udah keras, mau berbisik sepelan apa pun.”
Sebelum perdebatan meletus lagi di antara mereka, Soya buru-buru menengahi. “K-Kas, ada keperluan apa ke sini?”
Cowok itu tampak lega dengan kesigapan Soya. “Aku mau ngobrol sama Soya sebentar,” katanya sambil melirik Nova.
Bahkan tanpa diberitahu, cewek berambut bergelombang itu pun ogah berada dekat-dekat Kaspian. Ia bergegas memasuki kelas dan meninggalkan mereka berdua.
“Akhirnya Mak Lampir hilang.” Kaspian mengangguk puas. “Sebenarnya aku cuma mau nanya soal proposal lomba tempo hari, sih, tapi Mak Lampir satu itu suka ambil alih keputusan mentang-mentang merasa paling tahu soal teater.”
Soya teringat tentang proposal lomba teater yang sudah dititipkan ke meja Waka Kesiswaan tempo hari. Walau Ishak sempat menyuruh mereka menyimpan proposalnya dahulu, pada akhirnya proposal itu tetap diterima di meja beliau.
“Kamu udah dapat panggilan?” tanya Soya, berharap.
Namun ekspresi Kaspian berubah muram. “Aku baru mau tanya, apa kamu udah ….” Saat cowok itu tak menyelesaikan kalimat, mereka lantas tersadar akan situasi masing-masing. Mereka refleks bersandar lemas pada dinding lorong.
Setelah beberapa detik penuh renungan, Kaspian menyugar rambut. “Kayaknya cuma formalitas, deh.”
Pikiran Soya telah melanglang buana, pada obrolannya dengan Nova tadi, pada skeptisnya Ishak, dan pada misteri di sekeliling Sastra. “Kayaknya nggak bakal dibaca,” imbuhnya getir.
Ia lantas bertanya-tanya, membayangkan jika proposal pendanaan itu membutuhkan persetujuan pihak yayasan, maka pasti Ibu Kepala Yayasan bakal membacanya.
Ibu dari Sastra sendiri.
Namun, kalau kabar pendanaan itu tak kunjung turun, apakah itu berarti beliau menolak? Kenapa? Bukankah Layar Surya dibina oleh putranya sendiri?
Kenapa pihak yayasan dan sekolah tak lagi mendukung ekstrakurikuler teater Layar Surya yang pernah membesarkan namanya?
Hela napas Kaspian memecahkan lamunan Soya. “Kita tunggu sampai Jumat,” katanya, masih berusaha menyimpan harapan. “Karena ekskul basket, Paskibraka, dan yang lain udah nerima bagian pendanaan mereka. Cuma proposal kita yang belum direspons.”
Soya menatap Kaspian dengan kekhawatiran tak terbendung, dan cowok itu membalas sama muramnya.
“Padahal harusnya besok kita belanja bareng untuk kelengkapan properti.” Kaspian memijat pelipis. “Kita tunda dulu sampai Sabtu, ya? Nanti aku jemput kamu langsung di depan rumahmu.”
Soya mengangguk, agak gugup dengan gagasan dijemput seorang cowok di depan rumah, walau Kaspian hanya teman, dan Juni bilang bakal ikut. Semoga orang tuanya tidak ada saat itu.
Namun, Kaspian tidak bergegas beranjak setelah Soya merespons. Padahal bel tanda waktu istirahat telah berakhir.
“Satu lagi ….” Cowok itu menelengkan kepala. “Kenapa kamu mendadak nggak jadi nebeng mobilku kemarin?”
Soya menelan ludah. Ia tidak mungkin bilang kalau Juni menegurnya, bukan? Sebenarnya, Soya bisa saja membantu membayar bensin, tetapi uang pribadinya sudah telanjur terpakai untuk membeli kanvas. Ia tak mungkin meminta orang tuanya lagi.
“Eh, itu, nggak apa-apa … kan, Sabtu besok nebeng.”
Kaspian menghela napas. “Itu beda. Bukannya kamu sendiri yang minta untuk nebeng kemarin? Malah ending-nya nebengin Mak Lampir itu aja. Untung ada Juni, kalau nggak mungkin dia udah kutendang keluar. Nova nggak mau berhenti komentar soal pewangi mobil.”
Soya terkekeh canggung. “M-maaf.”
“Apa karena Juni?”
Keterkejutan Soya tak bisa ditahan. Refleks keluar, sebagaimana mestinya ketika Kaspian bertanya. Cewek itu tak menduga bahwa ia tahu.
Melihat ekspresi Soya, Kaspian menekuk wajah. “Nggak usah didengerin,” katanya. “Juni emang gitu. Suka sok ngatur kayak mamaku. Makanya banyak yang ngira dia pacarku, padahal nggak.”
“Ya, siapa tahu … kalian emang cocok? Juni perhatian sama kamu.”
“Hanya karena seseorang perhatian terus-menerus, apa mesti dipacarin?” Kaspian tertawa sumbang. “Aku nggak suka dipaksa keadaan gitu, sih. Kasihan Juni yang ada.”
“Tapi—”
“Kok obrolannya jadi merembet gini, sih? Udah, aku balik ke kelas dulu. Pokoknya, kamu tetap harus nebeng mobilku, karena kamu yang minta tolong. Aku ogah nebengin Nova lagi kalau kamu nggak ikut. Ngerti?”
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas