Tenang. Masih ada satu cara lagi yang terlintas di benak Soya, walau ia tidak yakin juga dengan efek sampingnya.
Dua hari setelah kejadian itu, ketika mereka berkumpul di rumah Sastra kembali, sang guru mengacungkan sebuah kunci.
“Saya dapat duplikat kunci auditorium.” Ucapannya disambut koor senang kelima murid, kendati Sastra justru tersenyum masam. “Dasar anak-anak nakal. Kalau sampai ketahuan, saya yang—“
“Kita nggak perlu nyalain lampu! Kan, udah biasa pakai lilin.”
“Sogok satpamnya, Pak!”
“Matiin kamera CCTV-nya!”
“Heh, siapa yang ngajarin kalian begini?”
Hampir semua menjawab berbarengan. “Bapak!”
“Ngaco!”
Kala murid-muridnya tertawa, Sastra mengibaskan tangan. “Udah, udah, ayo lanjutin kegiatan kemarin. Nanti saya atur jadwal untuk audisi dan dubbing.”
Berkumpullah kelima remaja itu mengelilingi masing-masing gabus atau triplek yang sudah diukur. Daru, Kaspian, dan Nova kebagian membuat pepohonan dari gabus, sekaligus menempelkan ranting-ranting yang mereka temukan sepanjang jalan ke batang. Soya dan Juni dibekali cat akrilik untuk melukis dinding gubuk.
Soya, yang sudah kepikiran sejak kemarin, berulang kali melirik ke arah Kaspian. Hingga akhirnya ia sadar sedang ditatap.
“Ada apa?”
“Kas, maaf, tapi ... boleh ngerepotin?” meski Soya bertanya kepada cowok itu, tetapi entah kenapa ia bisa merasakan tatapan Juni ikut terarah kepadanya.
Pertanyaan Soya membuat Kaspian terhibur. Ujung bibirnya berkedut geli. “Tumben. Mau ngerepotin apa, emangnya?”
Soya pun menjelaskan situasinya, termasuk upaya Nova dan Daru yang tidak berhasil membantu—padahal nyaris. Kaspian mendengungkan pengertian.
“Beres. Nebeng aja di mobilku. Nova sekalian.” Ia menambahkan kata-kata terakhir dengan agak sinis.
Nova menyahut. “Bukan aku yang minta, ya!”
Kaspian memutar bola mata. “Pokoknya gitu. Bilang aja ke papamu, kalau aku juga ikut kerja kelompok, yah ... dari kelas lain.”
Soya terkekeh pelan, semata-mata lega karena kesanggupan Kaspian. “Makasih banyak, ya.”
“Nggak masalah.”
Cewek itu mengangguk puas. Ia kembali menghadap Juni untuk membantu menyapukan kuas dari ujung triplek terdekat, tetapi ekspresi masam Juni membuatnya terhenti.
“Kenapa, Jun?”
“Bisa nggak, sih, Ya, kamu selesaiin masalahmu sendiri? Masa harus nyeret semua orang sekaligus?”
Soya terperangah.
Karena ia tak bergegas menjawab, Juni menghela napas. Sambil terus menyapukan campuran cat kuning, hijau, dan cokelat di triplek, Juni bergumam. “Tiga kali seminggu anterin kamu dan Nova pulang, itu juga ngabisin bensin, loh. Kaspian juga makin capek nyetir ke mana-mana.”
Jujur, cewek itu sempat tak terpikirkan apa yang Juni sebutkan. Rasa bersalah menggeliat begitu cepat di dadanya. Benar. Kenapa ia mesti merepotkan semua orang di teater demi kepentingannya?
Hanya agar kebohongannya berjalan lancar, Soya sudah membuat repot mereka sejak awal: waktu ekstrakurikuler yang berlangsung terbatas padahal persiapan lomba yang begitu banyak, semata-mata karena mencocokkan jam bubar les bimbel; meminta Nova dan Daru untuk berbohong langsung di depan Soni dan tetap berakhir gagal; hingga meminta Kaspian mengantarnya (dan Nova otomatis ikut) pulang dengan mobil.
Juni memang tak mengatakan apa-apa lagi dan melanjutkan melukis, tetapi rasa bersalah yang menyelimuti Soya menguat tanpa terkendali.
Kenapa, sih, hidupku selalu tertekan begini? Pelupuknya memberat saat memikirkan ini. Rasa malu memanaskan wajahnya. Soya menelan ludah bulat-bulat, berusaha menekan keinginan untuk menangis saat itu juga.
Saat ia melanjutkan melukis, tangannya gemetar.
Kenapa, sih, yang aku lakukan selalu keliru?
**
Sepuluh menit menjelang pukul enam sore, Soya menemui Sastra yang tengah menyiapkan teh di dapur, jauh dari keriuhan kawan-kawannya di teras.
“Pak, saya izin pulang duluan, boleh? Untuk setiap pertemuan selanjutnya ....”
Wajah Soya pucat saat menghadap Sastra. Suaranya lirih saat mengajukan permohonan itu. “Saya ... saya bawa aja tugas bagian saya ke rumah. Nanti saya kerjakan dan bawa lagi ke sini.”
Sastra termangu sesaat. Ia melirik berbagai properti yang masih mentah dan berukuran besar. “Gimana caranya kamu bakal bawa itu tanpa ketahuan orang tuamu?”
Soya bergerak gelisah. Ia pun mengutarakan ide untuk melukis latar adegan di kain kanvas yang besar alih-alih langsung di triplek, yang bisa dilipat-lipat dan dibawa ke mana pun.
“Nanti kanvasnya dipaku di tripleknya, Pak. Lumayan, kan, kalau bisa dilepas pasang dan tripleknya dipakai untuk hal lain?”
Sastra menggaruk kepala. “Ya, nggak apa-apa, sih, tapi anggarannya menipis.”
“Pakai uang saya sendiri, Pak.” Soya menelan ludah. “Nggak apa-apa.”
Sang guru tak langsung menjawab. Ia melipat tangan, berpikir sejenak, lantas bertanya, “Nggak serta-merta begitu, Soya. Kamu juga punya kebutuhan lain.” Pria itu mengamati muridnya lekat-lekat. “Kenapa kamu izin begini? Bukannya udah dapat tebengan dari Kaspian?”
Melihat cara bahu cewek itu tersentak ringan, Sastra sudah mencurigai sesuatu.
“Memangnya ... kamu nggak ingin ikut ‘bermain’ di panggung auditorium malam-malam?”
Suara yang meluncur dari mulut Soya niscaya terdengar seperti isak tangis, padahal belum ada air mata yang turun. “Pengen, Pak. Saya ... saya udah belajar ... akting ... dikit-dikit.”
Seutas senyum mekar di bibir Sastra. “Nah, kan. Jadi kenapa?”
“Saya ... saya nggak mau ngerepotin banyak orang, Pak.”
“Memangnya Kaspian bilang gitu?”
Soya tak menjawab pertanyaan tersebut. “Saya nggak mau menghalangi teman-teman untuk berusaha maksimal di sini dengan situasi saya sendiri. Saya ... saya punya cara sendiri, mereka juga.”
Kata-kata muridnya terdengar cukup familiar, setidaknya di telinga Sastra seorang. Ia refleks menghela napas.
Rasa bersalah yang sama juga mulai menggerayangi pundak Sastra, menjalar ke dada dan menembus kulit, langsung menuju hati.
“Maaf, ya, Soya,” bisiknya. “Kamu terseret ke kepentingan teater. Jadinya semakin rumit.”
“Ng-nggak, Pak!” Soya buru-buru menepis. Anehnya. Dulu, mungkin cewek itu akan mengiyakan ucapan sang guru, tetapi sekarang Soya tidak berpikir demikian. “Saya juga milih bertahan, kok!”
“Karena kuota lomba, kan?” tanya Sastra. “Atau karena janji saya untuk memberi nilai sempurna?”
Kata-kata luruh seketika di tenggorokan Soya.
Tatkala pria itu mengalihkan pandangan sejenak ke arah jam dinding kuno yang menggantung, ia berkata, “Kamu tetap akan dapat nilai sempurna, seandainya kamu memilih untuk mundur. Kamu sudah membantu semampunya, Soya, dan saya menghargai itu. Tapi ... saya juga nggak mau murid saya kerepotan karena kepentingan saya sendiri.”
Bukan itu yang ingin Soya dengar.
Selama sesaat, tak terdengar suara apa pun selain detak jarum jam dan samar-samar tawa keempat murid di teras, dan dentum kekecewaan di telinga Soya.
“Kok, Bapak bilang begitu?” bibir Soya mengerucut, kali ini air mata benar-benar tak terbendung. “Biasanya Bapak bakal nyemangatin saya untuk berusaha lagi, untuk melihat dari sisi lain ... kok, tiba-tiba Bapak nyuruh saya mundur?”
“Soya, bukan begitu.” Sastra ingin menggigit lidah. “Kalau berkaitan dengan orang tua—“
Pria itu memutus ucapannya sendiri. Matanya nanar saat pandangannya bertaut pada satu pigura besar yang terpampang di dapur—satu-satunya potret yang ada di ruang itu, ketika dinding-dinding di ruangan lain telah penuh oleh potret dan lukisan yang lebih penting.
Soya mengikuti arah pandang Sastra. Itu potret kedua orang tua sang guru yang masih muda, berikut sosoknya saat masih berusia lima tahun.
“Benar, saya ingin kamu belajar bicara, Soya.” Ucapan Sastra menarik cewek itu untuk menatapnya lagi, walau pandangan Sastra masih tertambat di potret tersebut.
“Saya ingin kamu belajar menyuarakan isi hatimu,” bisiknya. “Mula-mula belajar dari teater. Di mana kamu harus bergerak, berbicara, dan bertingkah sesuai karaktermu. Di mana ... kamu harus menyuarakan isi hatinya dengan lantang. Dan ... dan mungkin isi hatimu juga, jika selaras, tetapi bagusnya ... kamu tidak perlu jadi dirimu sendiri di teater. Dan orang-orang mendengarkan kamu.”
Soya mengernyit. Ia menyeka air mata dengan bingung. Kenapa gurunya mulai menceracau ke mana-mana? “Pak, jadi intinya ....”
Pertanyaan Soya seolah mengembalikan Sastra berpijak lagi. Pria itu menarik napas dalam-dalam dan menatapnya. “Maaf, saya nggak maksud nyuruh kamu mundur,” katanya. Ada ketegasan di sana yang sempat menghilang sebelumnya. “Kalau itu cara terbaik yang kamu pikirkan untuk saat ini, silakan. Nanti kita pikirkan cara lain bersama-sama. Karena kamu tetap butuh berlatih di panggung auditorium.”
“Dan, sebenarnya ...,” tambahnya. “Udah bagus banget buat Kaspian menawarkan tebengan kepadamu dan Nova. Mereka butuh diakurkan, Soya. Saya udah nyoba segala cara masih nggak bisa, loh. Tapi caramu itu lumayan bagus. Mungkin, Kaspian dan Nova nggak merasakannya, begitu pula yang lain, tapi dengan menawarkan bantuan kepada teman yang membutuhkan ... itu bisa memperbaiki pertemanan mereka.”
Soya mengangguk pelan. Ia merasa lebih baik karena Sastra akhirnya mengucapkan kata-kata yang semestinya. Walau, ada keraguan yang masih bertengger di sana.
“Ini bukan kepentingan Bapak aja, kok,” bisiknya.
Sastra mengangguk. “Bukan,” katanya, memantapkan diri. “Layar Surya ... bukan tentang saya sendiri. Kita semua juga bertumbuh di sini.”
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas