“Soya, naskahnya udah kubantu rapiin. Kamu print pakai printer-nya Pak Sastra, gih.”
Baru saja beres mendiskusikan soal pemilihan jenis properti, Soya sudah mendapat tugas baru. Ia tak bisa mengeluh. Memang ini pilihannya: menjadi koordinator tata artistik dan sekretaris. Sehingga, saat ia disodori Juni fail dokumen, cewek itu mengangguk walau ekspresinya sudah kelelahan.
“Pak, saya pinjam printer, dong.”
“Sini.” Sastra mengisyaratkan untuk mengikutinya, meninggalkan keempat murid lain yang sedang mengukur gabus dan triplek. Tersisa dua puluhan menit sebelum waktunya bubar, mengikuti jam usainya bimbel.
Tatkala Soya melewati daun pintu ganda bercat hijau pucat, ia merasa telah menginjak ruang masa lampau. Kursi-kursi jati, taplak rajut beraroma debu, dan pigura-pigura bermotif rumit menyambut. Radio tua kotak tergolek di ruang tamu, tepat di bawah jendela yang menghadap ke arah teras. Kasetnya memutar kembali lagu urutan pertama Vina Panduwinata.
“Soya, saya ada saran. Kalau kamu nggak tahu mau latihan akting apa, bisa mulai dari memperagakan lagu, loh.” Sastra menyeringai kepadanya. “Dulu saya juga praktek begitu!”
Soya mengernyit. “Kayak gimana, Pak?”
“Gini.”
Bertepatan dengan lirik tentang bocah centil, Sastra menaruh kedua tangan di pinggang. Pinggulnya bergoyang mengikuti lirik, kedua kakinya melangkah maju bergantian dalam garis lurus.
Soya memelotot, lantas tawanya pecah.
“Loh, ketawa!” Sastra tersenyum lebar. “Ayo!” Ketika lirik berganti menceritakan bocah-bocah yang siap menari jaipongan, pria itu melakukan gerak gitek dengan lincah. Tawa Soya semakin tak terbendung sampai-sampai harus berjongkok. Ia tak pernah tertawa sekeras ini.
“Ayo, Soya! Timplak timplung ... timplak timplung! Bletak!”
Perut Soya sampai mulas. Bahkan kipas tua yang menggantung pada dinding ikut menggeleng dalam bunyi patah-patah. “Pak! Apa nggak malu?”
“Pertanyaan macam apa itu?” Sastra mengembuskan napas berlebihan. “Kalau saya malu, saya nggak bakal membina Layar Surya, dong.”
Tidak salah, sih.
Melihat Soya menyeka air mata karena tertawa terlalu keras, senyum Sastra melunak. Ia menyuruh cewek itu untuk memasuki ruang tempat meja kerja dan lemari-lemari bukunya berada. Sebenarnya, lemari buku Sastra banyak. Tersebar di berbagai sudut yang memungkinkan. Bahkan ada buku berceceran di segala permukaan datar meja dan atas dispenser. Namun, tak ada ruang yang lebih sesak dan bertabur kilau emas piagam selain ruang kerja Sastra.
“Ingat, Soya. Untuk bisa percaya diri, berarti harus bisa mengalahkan rasa malu. Atau, mengabaikannya. Bodoh amat! Toh, bersenang-senang nggak bikin kamu dipenjara. Paling cuma ... apa, sih? Diketawain orang, dan bukankah bikin orang ketawa itu baik? Ngasih pahala?”
Soya tersenyum masam dengan ucapan Sastra. Ada-ada saja.
“Maaf, ya, saya memang nggak mau beresin,” kata Sastra saat Soya melompati buku-buku yang bertumpuk di lantai. “Saya malah bingung kalau rapi, jadinya nggak bisa nemu judul yang saya cari.”
Cewek itu akhirnya melesak di kursi bercorak merah bata. “Nggak apa-apa, Pak.”
“Bisa nyalain komputernya, kan? Nggak jadul-jadul amat itu! Printer-nya di sana, ya. Kabelnya di bawah. Colokannya di belakang kursimu ... nah, iya, itu! Kertas-kertasnya di lemari arsip belakangmu. Cari aja.”
Soya agak kelabakan, tapi ini bukan masalah besar. “Oke, Pak!”
“Saya ke depan dulu, ya, untuk ngawasi teman-temanmu. Kalau butuh apa-apa bilang.”
Usai Sastra pergi, Soya menunggu proses booting komputer yang cukup lama. Ini pasti salah satu komputer hasil hibah dari lab komputer di sekolah. Tipenya mirip dengan yang pernah Soya pakai saat kelas sepuluh dulu, sebelum diganti seluruhnya.
Agak resah, ia memutuskan untuk mencari kertas-kertas HVS dulu. Saat ia berputar menghadap jajaran lemari arsip, senyumnya berubah kecut. Ia membuka satu per satu laci dengan cepat, mencari setumpuk kertas HVS putih di antara tumpukan surat, amplop, dan map folio—mulai dari yang lecek, menguning, hingga masih baru. Sebagian polos tak berjudul, sebagian memuat kop dari Yayasan Surya Cendekia, dari Dinas Pendidikan, dari sebuah rumah sakit jiwa, dan dari—
Soya berhenti. Jarinya menarik amplop dengan kop dari rumah sakit jiwa. Matanya membeliak. Itu bukan sekadar surat biasa. Sepetak kotak berlapis plastik di badan amplop menunjukkan bahwa itu adalah surat hasil pemeriksaan untuk seorang Sastra Aryaseta.
Apa yang ....
“Soya! Ayo, pulang!”
Cewek itu terperanjat. Untunglah yang menyapa adalah suara Nova, bukan pemilik surat ini. Cepat-cepat ia memasukkan amplop itu kembali ke laci, lantas menarik laci lain.
“A-aku masih nyari kertas HVS-nya!”
“Ada di lemari sebelah kananmu, laci nomor dua.” Nova menghampiri dengan nada penasaran. “Kamu gampang banget kaget, santai aja, dong.”
Soya mengembuskan napas, berusaha meredam degup jantung yang tak karuan. “Panik. Waktunya mepet.”
Cewek berwajah pemarah di seberangnya mengangkat alis. “Nggak ada yang ngejar-ngejar kamu, loh.”
Benar juga. Soya merenungi itu sambil menata sebendel kertas di printer. “Nggak ada, sih ... tapi papaku strict banget soal jam pulang. Papa biasanya memperkirakan berapa lama waktu yang aku perlukan untuk jalan kaki dari sekolah—atau tempat les—ke rumah. Lebih dari tiga puluh menit, bakal ditelepon.”
Nova menatapnya dengan pandangan “Kamu serius?” lengkap dibumbui matanya yang memelotot.
Soya mengangkat bahu. “Papa se-strict itu. Semua hal harus berjalan sesuai kemauan Papa. Kalau ada yang keliru, berarti itu kesalahan orang lain, bukan Papa, karena Papa udah ngatur dengan baik di awal.”
“Pantesan kamu gitu.”
Soya hanya terkekeh canggung. Segera, suara mesin printer bergulir memenuhi ruangan.
“Trus ... gimana, dong?” tanya Nova lagi. “Setelah ini kita bakal lebih sering pulang lebih telat daripada jam bubar bimbel kamu. Waktu lomba kurang dari dua bulan, properti yang digarap masih banyak banget.”
Soya menghela napas. “Iya, tahu,” katanya. “Aku udah mikir caranya, tapi ....”
“Tapi?”
“Aku ... butuh bantuan kamu dan Daru.”
“Oke.”
Soya terbengong-bengong. “Langsung ‘oke’? Aku belum bilang bakal minta bantuan apa, Nov.”
“Apa pun itu, kalau bisa bikin kamu sedikit lebih bebas dan bisa ngurus teater bareng kita, aku mau aja!” Nova menyeringai. “Bilang aja. Aku harus apa? Bentar—DARU! DARU KE SINI, DARU!”
**
Tiga puluhan menit kemudian, Soya sudah tiba di rumah dengan Nova dan Daru di sisinya. Entah apes atau beruntung, hanya ada Soni di rumah.
“Kerja kelompok?” sang ayah mengulang ucapan putrinya yang baru saja terlontar.
“Iya, Pa.” Soya baru saja akan menunduk, tetapi sebuah cubitan ringan mampir di punggungnya. Ia tersentak. Dari gerakan samar Nova, tampaknya cewek itu yang mencubitnya, seolah ingin bilang:
“Angkat dagu!”
“Gimana, Om, boleh?” Nova meringis lebar. “Jadi begini, Om ... karena semester genap jadi ada banyak tugas praktek dan berkelompok.”
“Oh.” Pandangan Soni bergulir kepada Daru yang duduk diam dengan kedua tangan memegang lutut. “Lalu kamu?”
“Saya teman sebangku Soya, Om,” kata Daru datar. “Nama saya Daru. Darusena.”
“Darusena ....” Soni mengulang nama Daru seolah mengecap rasa es krim yang tidak asing, tetapi belum tahu bahan dasarnya. “Kamu yang peringkat dua kemarin itu, ya?”
Soya mengangguk cepat. “Iya, Pa! Ini Daru, peringkat dua. Nova peringkat tiga.”
Alis Soni berkedut mendengar kata peringkat tiga. Peringkat yang semestinya diduduki Soya, bukannya cewek berambut bergelombang dengan ekspresi pemarah. Meski begitu, Soni tampaknya menilai Nova pantas menduduki peringkat itu hanya dengan melihat garang raut mukanya.
Pria paruh baya itu mengangguk-angguk. Ia mendorong kacamatanya yang melorot sambil berkata, “Boleh, kalau begitu. Kerja kelompoknya di mana? Di sini aja, ya? Kan, nggak jauh dari rumah.”
Ini dia. Soya yakin sekali pertanyaan itu bakal terlontar, maka ia pun menyenggol lutut Daru dengan teramat samar, berharap ayahnya tak melihat.
“Ah, kerja kelompoknya tetap di sekolah, Om.” Daru berdeham. “Soalnya rumah saya jauh bangeeeet di kabupaten sana.” Ia mengangkat tangan, mengarahkan telunjuk ke sisi nun jauh di sana di sebelah kanan. “Jadi, biar saya masih bisa ngejar angkot malam, boleh ya, Om, kalau kerja kelompoknya tetap di sekolah?”
Nova buru-buru menambahkan. “Kami nggak sendirian, kok. Biasanya masih ada satu atau dua kelompok juga.”
Soni sempat mengernyit, menambah kerutan yang terlalu banyak di usia awal lima puluh tahun. “Itu berarti, Soya juga harus jalan kaki malam-malam. Nggak ada yang bisa jemput dia pulang.”
“Tenang, Om, ada saya.” Nova menepuk dada. “Rumah saya ada di perumahan sebelah. Saya juga biasa jalan kaki. Anak preman aja takut sama saya!”
Namun Soni menggeleng. “Nggak baik anak cewek pulang jalan kaki, berdua atau bertiga sekalipun!” pria itu lantas beranjak, menggagalkan begitu saja rencana yang sudah Soya rancang bersama kedua kawannya.
Tatapannya terarah kepada Soya. “Kerja kelompok di rumah aja. Sampai rumah maksimal pukul enam tiga puluh seperti biasa! Paham?”
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas