Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Orang pertama yang Soya cari saat pulang sekolah adalah Sastra. Sebenarnya, keempat anggota yang lain juga. Mereka berpencar, sebab nomor pria itu tak aktif seharian. Tak bisa dihubungi.

Soya menemukan sang guru duduk di tepi panggung auditorium, menghadap para anggota Paskibraka yang duduk di ujung lain aula, membicarakan rencana upacara Hari Pendidikan Nasional dan sebagainya ketika hujan deras mengguyur lapangan. 

Cewek itu baru akan mengabarkan kawan-kawannya lewat grup obrolan, tetapi ia mengurungkan niat saat melihat Sastra bengong. Pria itu sekilas tampak seperti gelandangan yang baru saja dicukur bersih dan dikenakan seragam guru. Sejujurnya, kemeja kelabu muda dan celana hitam yang dikencangkan oleh sabuk tampak tak cocok bagi Sastra. Atau, begitulah yang dipikirkan Soya, walau ia juga belum menemukan alasannya mengapa.

“Pak ...?” 

Panggilan Soya menyentaknya dari lamunan entah apa. “Oh, Soya.” Ia menyunggingkan senyum lebar. “Ada apa? Mau pinjam kunci rumah saya? Gabus dan triplek tambahan sudah datang kemarin. Saya lupa belum ngabarin kamu.”

Mendengar Sastra begitu riang, Soya merasa liurnya kecut. Apa pria itu tahu kejadian saat jam istirahat tadi siang?

“Pak, sebenarnya ....”

“Gimana perkembanganmu?” tanya Sastra lagi. “Kamu bilang beberapa hari lalu kalau diam-diam latihan akting di kamar, ya? Saya seneng banget dengernya, Soya. Saya dulu juga gitu, biar nggak ketahuan orang tua.”

Ketika Sastra terkekeh pelan, Soya terperangah.

“Bapak dulu juga gitu?”

“Iya. Ibu saya dulu nggak suka begituan. Tapi mendiang bapak saya suka. Malah dulu bapak saya seorang aktor teater. Pernah pentas bersama dengan orang tuanya Nova juga, loh, waktu mereka masih muda. Bapak saya, sih, sudah senior.”

Baru kali ini Soya mendengarnya. Ia mengangguk-angguk kecil.

Menyadari bahwa tampaknya cewek itu siap menampung cerita, Sastra menepuk posisi di sampingnya. Soya menurut. 

“Saya dengar Bapak juga bergabung ekskul teater Layar Surya dua puluhan tahun lalu?”

“Iya. 25 tahun, tepatnya.” Sastra tersenyum. “Tahun ini ke-25. Pas, ya? Seperempat abad saya mengabdi di Layar Surya, sebagai murid, sebagai tamu, hingga sebagai pembina sekarang.”

Soya sekarang paham kenapa Sastra sampai menawarkan nilai sempurna kepada Soya, demi menggenapi kuota minimal peserta ekstrakurikuler. 

“Nggak bosan, Pak ...?”

“Bosan? Sama sekali nggak pernah.” Sastra menyeringai. “Remaja zaman sekarang nggak pernah bosan main hape, kan? Seperti itu rasanya. Tapi, Layar Surya lebih dari itu. Saya mending nggak makan seharian daripada nggak ngurusin teater ini. Karena ... ya ... Layar Surya yang bikin saya bertahan hidup.”

“Maksudnya, Bapak dapat penghasilan dari situ?”

Lagi-lagi Sastra terkekeh. Namun, belum sempat ia menjawab, Juni muncul. “Nah! Ketemu!”

Segera, ketiga anggota teater yang lain menyusul mereka, dengan sedikit omelan mengapa Soya tak mengabari lewat ponsel. 

Sastra mengacungkan jari ke bibir, menyuruh semua diam agar suara mereka tak berbaur dengan diskusi riuh para anggota Paskibraka dan guyuran hujan. 

“Anak-anak, mulai sekarang, kita pusatkan latihan di rumah saya.” Ucapan Sastra menegaskan bahwa rupanya dia sudah tahu apa yang terjadi, padahal belum ada satu pun di antara kelima murid itu yang bercerita. Ekspresi muda-mudi di hadapannya pun suram. 

“Tapi, teater kita, kan, belum dibatalkan semester ini?” 

“Saya tahu,” kata Sastra dengan nada misterius. “Tapi, ini lebih baik. Lagi pula kita mesti fokus menyiapkan properti, dan semua bahan udah tersedia di rumah saya. Perkara audisi peran dan sejenisnya ... bisa dipikirkan lokasinya.”

“Kita tetap butuh panggung.” Nova mengeyel. “Apa arti teater tanpa panggung?”

Keempat anggota lain menggumamkan persetujuan. 

“Bukannya Bapak punya pinjaman kunci?”

“Sudah saya kembalikan.”

“Nggak ada cadangan?”

Sastra terperangah. “Kenapa perlu—“

“Ayolah, Pak.” Nova mendesak. Ada kilatan semangat di matanya. “Pinjam lagi, duplikat kunci auditorium! Kita audisi diam-diam di sini waktu lagi sepi. Kan, Bapak punya privilej!”

Sastra memelotot kepada Nova saat mengatakan kalimat terakhir. “Nggak ada privilej. Semua guru sama aja.”

“Tapi buktinya—“

“Sssh.” Sastra mengangkat tangan. “Oke, oke, saya usahakan dulu. Tapi, saya nggak janji! Dan, untuk pertemuan besok, kita adakan di rumah saya. Mengerti?”

**

Keesokan harinya, pada Selasa sore yang mendung seperti biasa, kelima anak Layar Surya menyelinap ke kediaman Sastra. Kebetulan rumah beliau tak jauh. Terletak di belakang sekolah, rumah Sastra tampaknya masih termasuk dari komplek bangunan di zaman penjajahan Belanda dulu. Modelnya serupa, aroma tuanya senada. Kata Kaspian, rumah Sastra memang pernah jadi rumah dinas pejabat sekolah sebelum dijual, dan dibeli olehnya. 

Sayangnya, rumput-rumput liar bertumbuh setinggi betis anak-anak, dan potongan-potongan triplek serta gabus berserakan di pojok jalan setapak. Halamannya yang luas teduh oleh bentangan kain PVC yang memuat promosi pentas teater Layar Surya dari beberapa tahun yang lalu, menaungi rongsokan yang mungkin saja masih bisa dipakai, termasuk sepeda tua, kursi yang satu kakinya patah, dan bantal-bantal berjamur. Terasnya, yang juga terdiri dari tegel kelabu dingin, disesaki oleh tumpukan balok-balok gabus baru dan papan-papan triplek besar. 

Pada kekacauan itu, sesemakan bunga mawar dan kembang sepatu rupanya masih mencoba untuk tumbuh, walau rupanya terlanjur kerdil. Atau begitu, yang Daru katakan. 

Cowok itu menyentuh kelopak mawar yang tumbuh dengan enggan. “Aduh, ini kurang nutrisi,” keluhnya. Saat Sastra membuka pintu dan muncul, ia berseru, “Pak! Mawarnya saya rawat, plis! Sayang banget ini musim hujan malah kayak gini!”

Itu bahkan bukan penawaran. Sastra meringis mendengar Daru mulai mengomel tentang pentingnya memilih pupuk yang tepat. Ia mengaku bahwa itu urusan tukang kebun yang disewanya, lantas teringat bahwa tukang kebun yang dimaksud sudah berbulan-bulan tak muncul lagi. Daru mendengus sebal.

Sementara itu, Soya, Kaspian, dan Nova melipir ke balok-balok gabus yang baru. Mereka menyeretnya ke sisi teras yang lebih lapang dan kosong. Juni merapikan naskah drama Cindelaras yang telah mereka susun selama pekan terakhir liburan di laptopnya. Gerimis meluncur malas dari langit.

Saat Sastra memasukkan kaset koleksi lagu Vina Panduwinata di radionya, memainkan lagu “Kumpul Bocah”, kelima remaja itu spontan tertawa.

“Yang bener aja, Pak!”

Sastra meringis. “Loh, kenapa? Saya dan teman-teman saya dulu senam pakai lagu ini sebelum mulai latihan.”

Kaspian menggeleng dengan senyum di bibir. “Biarin aja om-om ini nostalgia,” katanya. Ia menyeret lembaran triplek ke arah Soya dan Nova yang sedang membicarakan detail properti. “Gimana, guys?” 

“Kemarin tuh rencananya butuh tiga pohon, tujuh batu berbagai ukuran, latar bergambar dinding gubuk di hutan, dan dinding ala kerajaan, trus ....” 

Nova melipat tangan, otomatis menghentikan penjelasan Soya. “Bentar, deh. Kayaknya tujuh batu tuh kebanyakan, dan tiga pohon? Dua aja kayaknya cukup.”

“Ya, gimana mau gambarin suasana hutan kalau cuma dua pohon?” Kaspian memutar bola mata. 

“Tripleknya banyak! Tambah aja latar lukis. Gambar hutan.”

“Heh, kamu kira ada yang pandai melukis di antara kita? Makan waktu banyak!”

“Kamu kira bikin pohon nggak ribet?!”

“Emang kamu maunya pohon bentuk gimana?!”

Soya menghela napas. Kini, ia sudah biasa terimpit di antara perdebatan sang ketua dan wakilnya, masing-masing memiliki pengalaman berbeda di dunia sandiwara. 

“Guys ....”

“Jangan sampai kamu mikir pohon yang daunnya cuma bulat-bulat dan ditempel itu, ya!” Nova mengabaikan Soya. “Nggak bakal menang kalau props-nya gitu doang!”

“Nov, bentar—“

“Siapa yang mikir gitu?! Kita bikin semua helai daunnya dari kertas! Kamu kira aku nggak ngerti tata panggung?”

“Emang! Kamu kan cuma aktor cetakan!”

Daru dan Sastra, yang sibuk membicarakan cara merawat mawar di bawah kanopi banner, dan Juni yang sibuk menggumamkan lagu, refleks menutup mulut dan berputar ke arah perdebatan.

Mata Kaspian membulat. Wajahnya memerah padam. Tangannya mengepal. Baru saja ia mengambil langkah maju—memantik seruan dari Sastra—ketika Soya tiba-tiba membanting buku yang dibawanya. 

“UDAH!” pekiknya. “Aku yang ngurus tata artistik! Jangan ... jangan debat sendiri!”

Ini bukan kali pertama Soya mengejutkan semua, tetapi baru ini Sastra menyaksikan murid yang satu itu membuat semuanya terdiam. Sastra tersenyum kecil. 

Soya ikutan beranjak. Ia menuding buku, gabus, dan triplek bergantian. “Jangan ribut sendiri!” serunya, meski kini nadanya kembali terbata-bata, tetapi ada amarah di sana. Matanya berair. “Dikit-dikit debat, dikit-dikit tengkar! Diomongin baik-baik apa salahnya, sih!”

Kaspian menelan ludah, sementara Nova mengembuskan napas panjang. Cowok itu yang pertama kali bereaksi. Tangannya yang mengepal kini melonggar, dan ia mengusap wajah. 

“Udah, udah. Duduk semuanya.” Juni melenggang dengan laptop di tangan. Ia memasuki lingkar ketegangan itu dengan senyum lebar. “Soya bener, loh. Yuk, kita obrolin lagi enaknya gimana. Kas, duduk sini!”

Kaspian mendesah. Ia tak menolak saat ditarik Juni untuk duduk di sampingnya. 

Soya pun kembali ke posisi duduk semula. Dadanya berdebar-debar keras. Rasanya seperti melihat kedua orang tuanya berdebat, bedanya Soya merasa bisa bersuara kali ini. 

Nova mengawasi Soya dalam diam, lantas merogoh botol berisi air mineral utuh dari tasnya sendiri. Ia menyodorkannya kepada cewek itu. “Sori,” katanya. “Kebiasaan.”

Soya hanya mengangguk saat menerima sodoran botol air. Tangannya gemetaran. 

Lupakan soal properti asal-asalan atau bukan. Bagaimana mereka bisa memenangkan lomba kalau perdebatan selalu meletus di antara anggota yang cuma berlima ini?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Anne\'s Daffodil
1122      440     3     
Romance
A glimpse of her heart.
Love Warning
1402      669     3     
Romance
Pacar1/pa·car/ n teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Meskipun tercantum dalam KBBI, nyatanya kata itu tidak pernah tertulis di Kamus Besar Bahasa Tasha. Dia tidak tahu kenapa hal itu seperti wajib dimiliki oleh para remaja. But, the more she looks at him, the more she's annoyed every time. Untungnya, dia bukan tipe cewek yang mudah baper alias...
Kesempatan
21487      3798     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
November Night
399      288     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
The Reason
11547      2303     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Moment
357      308     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
Secret Love
372      255     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
RAIN
701      471     2     
Short Story
Hati memilih caranya sendiri untuk memaknai hujan dan aku memilih untuk mencintai hujan. -Adriana Larasati-
Phi
2225      921     6     
Science Fiction
Wii kabur dari rumah dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di kota. Padahal dia memutus segala identitas dan kontak yang berhubungan dengan rumah. Wii ingin mencari panggung baru yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi di kota, dia bertemu dengan sekumpulan orang aneh. Bergaul dengan masalah orang lain, hingga membuatnya menemukan dirinya sendiri.
Bunga Hortensia
1998      344     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...