“Berjuang sendiri akan lebih baik untuk menempa diri. Tidak terikat akan membuat bergerak bebas.”
***
“Loh nggak kangen-kangenan yang lama, Er?” Suara Xiandra langsung terdengar begitu pintu kamar hotel terbuka. Perempuan itu sedang mengeringkan rambutnya.
“Katanya lo tidur?” Erilya memandang dengan raut muka kesalnya.
“Mandi dulu sih biar seger.”
Erilya beralih menatap manusia yang tertidur di atas ranjang. Velove sepertinya tidak ikut andil dalam masalah tadi. Mungkin perempuan itu hanya mengikuti rencana Xiandra.
“Lo kenapa nyuruh dia buat nemuin gue?” Erilya melepaskan high heels-nya dan meletakannya di rak bawah.
“Biar lo semangat. Siapa tahu kalian bisa berbincang dengan baik dan memperbaiki hubungan.”
“Cukup kali ini, Shi. Jangan pertemukan gue dengan Geo. Biarin dia hidup bebas. Gue juga bebas.”
Xiandra menghentikan hair dryer-nya. Matanya beralih kepada perempuan yang sedang mengambil piyama tidur di almari samping pintu.
“Kenapa lo lebih memilih menyendiri? Kenapa nggak biarin orang lain masuk ke hidup lo?” Sebenarnya Xiandra sendiri bertanya-tanya dengan hal itu. Erilya sama sekali tidak berniat menjalin hubungan dengan orang lain, padahal wanita itu memiliki banyak hal yang bisa menarik perhatian pria tapi tidak pernah dia gunakan.
Erilya perempuan yang manis, kulitnya kuning langsat, matanya memiliki kelopak ganda, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan memiliki otak genius. Ya hanya saja kekurangannya selalu ragu-ragu dalam melangkah.
“Gue punya prinsip untuk nggak jatuh cinta sampai gue bisa menyelesaikan semua tujuan gue.”
Xiandra kali ini mengembuskan napasnya dengan berat. Matanya menatap Erilya dengan serius. Perbincangan ini pasti akan semakin berat untuk dibahas.
“Tanpa cinta bikin lo nggak bisa ngerasain hidup, Er.” Erilya menarik kursi di sampingnya. Sepertinya wanita itu harus menjelaskan dengan baik agar Xiandra memahami posisinya.
“Benar apa yang lo bilang. Cinta emang bikin gue nggak bisa ngerasain hidup. Tapi gue juga nggak mau ngerasain beban berat buat hidup gue yang belum jelas ini. Dia jelas bukan tandingan gue. Gue mau, ketika gue bertemu dia, gue udah setara sama dia.” Erilya berbicara dengan serius.
“Mau sampai kapan, Er? Dengan ketidakjelasan ini. Lo mau mengurung diri lo sampai kapan?” Xiandra terdengar marah dengan pernyataan Erilya. Dia tahu memang kehidupan Erilya milik sahabatnya itu sendiri, tetapi prinsip Erilya terlalu memberatkan dirinya. “Bagaimana kalau lo selamanya nggak mencapai tujuan lo?”
Erilya menutup matanya. Dia dengan jelas memahami bahwa Xiandra akan menanyakan hal tersebut. “Gue udah siap dengan segala konsekuensi yang ada. Gue siap jika dia harus bersama orang lain. Gue juga siap untuk sendiri selama sisa hidup gue jika gue nggak akan pernah mencapai mimpi gue.”
Xiandra mengepalkan tangannya dengan erat. Perempuan di depannya memang memiliki tekad yang kuat. Hanya saja, dia takut sahabatnya itu hanya berakhir sia-sia. Dia takut Erilya membuang masa mudanya lebih lama. Dulu Erilya tidak memiliki waktu untuk berpacaran dan mengenal laki-laki karena sibuk belajar, sekarang perempuan itu kembali menghindari laki-laki untuk mencapai karir yang dia inginkan. Padahal usia-usia mereka ini lagi senang-senangnya merasakan kasih sayang dari seseorang.
“Gue tahu niat lo baik, Shi. Tapi tolong, kali ini percaya sama gue. Entah gue gagal atau tidak, gue nggak akan pernah menyesali itu.”
“Yaudah kalau gitu. Terserah. Pada akhirnya lo emang nggak butuh siapa-siapa.” Xiandra memilih untuk menghentikan perdebatan yang tidak ada ujungnya itu. “Semoga lo berubah pikiran.”
Perempuan itu mencabut kabel hair dryer-nya dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti bathrobe-nya dengan piyama tidur.
Erilya menutup matanya dia merenungkan sebanyak apa peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya setelah lulus sarjana. Dia seperti bertemu medan magnet yang tidak bisa membuatnya bergerak. Dia rasanya tertarik di satu tempat dan tidak tahu harus melakukan apa untuk keluar dari tempat tersebut. Erilya akhirnya memilih untuk keluar dari kamar hotel. Dia mengganti gaunnya dengan kaos oblong dan celana pendek.
Ketika pergi keluar, Erilya tanpa sengaja bertemu dengan Geo. Ternyata pria itu masih berada di sana dan menginap juga di hotel.
“Lo ngapain masih di sini?” tanya Erilya dengan terkejut. Dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran pria itu.
“Capek nyetir. Jadi di sini aja dulu.” Pria itu menjawab dengan tenang. Erilya baru merasakan bahwa aura Geo terasa berbeda, tidak seperti dulu. Sekarang pria itu lebih berkarisma. “Lo mau ke mana?”
“Nggak tahu. Nyari udara aja.”
“Biar gue temenin.”
Erilya tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berjalan mengikuti perasaannya. Geovana juga tidak melakukan banyak hal. Dia mengikuti perempuan itu di belakang. Kemudian Erilya tiba-tiba berhenti melangkah. Perempuan itu berjongkok dan menangis dengan keras. Geo ikut berjongkok dan menepuk pundak Erilya.
Erilya menelungkupkan kepalanya. Dia sesenggukan dan menangis di pinggir jalan. Pikirannya buntu, dia seperti telah melakukan banyak kesalahan selama ini sehingga hidupnya menjadi lebih susah daripada sebelumnya. Teman-temannya telah memiliki kehidupan yang baik sementara dirinya tidak memilikinya.
“Er! Beli minum yuk.” Geo melepaskan jaketnya dan mengajak Erilya pergi ke minimarket terdekat. Geo mengambil susu, air putih, dan roti isi. “Minum ya biar lega.”
Erilya menerima kotak susu yang sudah diberi sedotan oleh Geo. Pria itu juga membukakan roti kepada Erilya. Perempuan itu tersenyum tipis melihat perlakuan Geo. Selama ini terlalu lama hidup dalam pikirannya tanpa tahu bagaimana tingkah laku pria itu sebenarnya. Erilya pun tidak memiliki banyak memori tentang Geo. Dia … hanya menyukai pria itu dari pandangan pertama.
“Makasih.” Erilya berkata dengan lirih dan meminum susunya.
“Gue harap lo bisa berdiri tegar seperti biasanya, Er. Gue tahu lo selama ini emang selalu berusaha kuat, tapi gue berharap lo akan selamanya kayak gitu. Bukankah Erilya yang gue kenal kayak gitu?” Erilya mendongak dan menatap Geo dengan terkejut. Dia tidak menyangka pria itu memperhatikan dirinya juga. Dia melirik susu kotak rasa vanilla di tangannya. Geo sepertinya memang mengamati dirinya.
“Dari kapan lo tertarik sama gue?” tanya Erilya penasaran.
“Emmm …” Pria itu memegang tengkuknya. Dia bingung harus menjelaskan dari mana. “Kayaknya tanpa sadar gue merhatiin lo sih. Nggak tahu sejak kapan. Tapi gue inget aja apa yang lo suka dan nggak lo suka.”
“Ohh.” Erilya kehilangan kata-kata. Jawaban Geo memang tidak membuatnya lega. Lagipula perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Dia juga bingung untuk memfilternya. “Gue harap lo nggak nungguin gue. Gue harap lo menemukan seseorang yang terbaik. Meskipun gue suka sama lo, tapi gue nggak pernah berharap lo juga suka sama gue. Jujur gue terkejut kalau lo suka sama gue.” Erilya menjelaskan dengan pelan. Dia tidak memiliki banyak tenaga.
“Hemm. Entah nanti masa depan kayak gimana, gue juga punya pilihan gue sendiri.” Geo mengatakannya dengan mantab. Dia tidak ingin menambah pikiran Erilya. Kalimat penenang adalah kalimat terbaik saat ini.
“Selamat tinggal, Geo. Terima kasih untuk minuman dan makanannya.”
Erilya berdiri dan mengambil roti isi yang masih belum dia sentuh. Dia juga meminum susunya kembali. Jaket yang Geo pinjamkan juga dia letakkan di kursi. Dia kembali berjalan menuju hotal. Perjalannya masih panjang. Tidak seharusnya dia memikirkan tentang percintaan. Kehadiran Geo malam ini berhasil memberikannya semangat untuk berjalan maju. Dia memang harus meninggalkan semua keinginannya di belakang untuk mendapatkan masa depan yang dia inginkan.
Hidup seperti mayat hidup dan tanpa cinta adalah pilihannya saat ini. Dia akan menghadapi perihnya kehidupan seorang diri. Dia akan menjadi kuat sendiri. Dia akan berdiri di kakinya sendiri nanti. Semua kesakitan yang saat ini dia rasakan harus dia bayar dengan kesuksesan. Berhenti berpikir tentang cinta akan membantunya memusatkan semua pikirannya untuk tujuan yang ingin dia capai. Dia sudah siap dengan konsekuensi yang sudah dia pikirakan dari dulu. Terkadang menjadi kuat dengan menekan kebahagiaan diri sendiri adalah yang terbaik. Erilya hanya tidak mau fokusnya terpecah belah jika memikirkan seorang lelaki di dalam hidupnya.
“Tuhan punya rencana yang terbaik kan?”