“Semangatku ada padamu, tetapi runtuhku juga bersamamu.”
***
Setelah acara pernikahan itu selesai, malamnya diadakan acara resepsi. Orang yang baru datang tadi pagi maupun malam ini mendapatkan kesempatan untuk menikmati katering. Erilya, Xiandra, dan Velove hanya menatap orang berlalu-lalang silih berganti saling berbincang-bincang.
“Malam ini waktu yang tepat untuk mencari relasi. Siapa tahu ada pekerjaan yang bagus.” Xiandra mengatakannya dengan pandangan kosong. Tenaganya sudah habis mengurusi segala urusan di pagi hari.
“Seharusnya.” Velove juga berbicara dengan lemas. Padahal biasanya dia masih sibuk mengurusi pekerjaannya dengan menggunakan iPad.
“Lo nggak ngajar kali ini?” Erilya bertanya sambil memandang cake di depannya tanpa selera. Dia berusaha menjejalkan cake itu ke dalam mulutnya secara perlahan dan sedikit demi sedikit.
“Ya lo pikir?” Velove berkata dengan tajam, setajam matanya yang saat ini seperti menghunuskan pedang kepada Erilya. Sementara perempuan itu lebih memilih mengalihkan matanya ke sembarang arah. Dia tidak akan terintimidasi dengan Velove.
“Mending lo temuin si Geo sana. Kapan lagi dia datang kan.” Xiandra menendang kaki Erilya. Dia mengusir perempuan itu secara blak-blakan.
“Kan udah gue bilang. Lo paham nggak sih?” jawab Erilya dengan nyolot. Tangannya hampir menggebrak meja tetapi dia menahannya. Tidak lucu jika dia marah-marah di tengah-tengah acara.
“Kalian diam atau pergi dari sini?” Velove menengahi keduanya dengan ketus. Kapalanya benar-benar pusing dengan keadaan sekitar dan banyaknya kegiatan yang dia lakukan hari ini. “Dah gue mau masuk aja. Mau tidur.”
Velove meninggalkan ruang pesta. “Gue juga. Capek.” Xiandra meregangkan tubuhnya dan berjalan mengekori Velove.
Erilya menyandarkan punggungnya di kursi dan kepalanya mendongak ke atas. Matanya terpejam. Sedetik kemudian hampir saja dia terlelap tetapi kedua bahunya terasa dipegang oleh seseorang. Matanya langsung siaga. Begitu dia melihat siapa yang sedang menatapnya itu dia buru-buru membenarkan posisi duduknya. Sayangnya kepalanya tanpa sengaja membentur kepala pria itu.
“Aaarrgghhh. Bisa nggak lo muncul dengan lebih manusiawi?” tanya Erilya dengan kesal. Tangannya masih mengusap bekas benturan itu.
“Bagian mana kemunculan gue yang enggak manusiawi?” Pria itu menurunkan tangannya setelah dirasa benturan di kepalanya sudah tidak terasa nyeri.
“Ya lo kan bisa nggak muncul di atas gue. Gilak.”
“Lo nggak akan mau ngelihat gue pasti. Mau kabur kan lo?” Pria itu menaikkan alisnya. Erilya menoleh ke samping sambil menyumpah serapahi pria di depannya. Dia benar-benar apes mala mini atau, “Jangan bilang lo sekongkol sama mereka berdua.”
“Hemmm … bisa dibilang ya, bisa dibilang tidak.” Pria itu tersenyum misterius yang membuat Erilya sedikit frustrasi.
Tubuhnya sudah lelah hari ini tetapi kedua sahabatnya malah memberinya beban mental yang besar. “Bisa nggak lo muncul pas gue udah jadi apaaaa gitu.”
“Emang lo mau jadi apa?”
Erilya mendongakkan kepalanya. Dia mencari kesabaran di sana. “Geooo, lo bisa nggak usah pura-pura bego?” Erilya mengatakannya dengan dramatis seperti tertolak dari tujuh kehidupan di dunia.
“Masalahnya nunggu lo sukses kapan? Kelamaan. Gimana nggak langsung aja? Toh gue juga nyariin elo.” Geo menyedekapkan tangannya di dada. Pria itu terlihat serius.
“Huffttt.” Erilya meniup rambutnya yang menjuntai di pipi kirinya. “Gue akan menemui lo setelah gue bisa berdiri sendiri. Belum saatnya kita bertemu. Ohh, gue lupa bilang, selamat buat karir lo. Gue ikut seneng lihatnya.” Erilya mengambil ponsel dan memasukkannya ke dalam tas. Dia berniat untuk pergi.
“Lo seriusan mau ninggalin gue lagi?” Geo berkata dengan dingin. Wajah pria itu datar dan menatap meja dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Terlihat banyak pergolakan batin yang telah terjadi dengan Geo.
“Bukannya daridulu lo nggak pernah tinggal?” Erilya bertanya dengan perasaan hampa. Pertemuan ini bukanlah hal yang ingin dia lakukan. Dia tidak memiliki banyak hal untuk dibanggakan di depan Geo sehingga cocok untuk mendekati pria itu. Perjalanannya masih panjang.
“Oh ya? Bukannya gue udah bilang kalau lo jangan terlalu sibuk berpikir sendiri?” Dada Erilya terasa sesak mendengar penuturan pria yang duduk di sampingnya.
“Geee, dunia kita beda. Gue harus memantaskan diri kalau mau bersanding sama lo.” Erilya melirik dengan ekor matanya. Geo menjadi keras kepala. Pria itu tidak pernah mengambil inisiatif sebelumnya sehingga Erilya tidak pernah berusaha membuka diri juga. Semua dialog ini bagaikan mimpi untuk dirinya.
“Lo nggak perlu masuk ke dunia gue. Cukup ada di samping gue, nggak bisa?”
“Ge!” Erilya menoleh ke arah Geo. Dadanya naik turun dengan cepat, jantungnya terasa berat, tapi dia harus mengatakan kenyataan pahitnya. “Bukankah lo terlalu percaya diri kalau gue masih suka sama lo?”
Geovana hanya bisa terdiam mendengar perkataan Erilya. Kepercayaan dirinya runtuh seketika. Tetapi dia masih memiliki satu trik lagi untuk membuat Erilya menjelaskan perasaannya.
“Karena lo masih nungguin gue.”
Erilya menarik napasnya. Tenggorokannya tercekat mendengar kalimat yang bahkan tidak dipahami oleh hati dan dirinya sendiri. Selama ini hidupnya sudah baik-baik saja tanpa kehadiran Geo. Selama ini dia selalu melakukan yang terbaik untuk masa depannya. Selama ini … memang benar, setiap langkahnya selalu menjadikan Geo sebagai batu sandungan untuk menguatkan diri.
“Kenapa? Benar kan?” Geo tersenyum dengan smirk di wajahnya. Tebakannya benar. Jadi buat apa Erilya tetap berbohong kepadanya.
“Gue—“ Perkataan Erilya berhenti sejenak sambil menatap karpet lantai dengan pikiran mendalam. “Gue akan menentukan segalanya nanti. Terserah lo mau nunggu atau enggak. Gue lebih suka lihat lo bahagia.”
Erilya lalu berjalan dengan cepat dan berlari secepat kilat. Para tamu undangan hanya menatapnya dengan bingung lalu kembali melanjutkan pembicaraan.
Erilya berjongkok di depan lift sambil menunggu lift itu sampai di lantai tempatnya. Dia masih memikirkan kejadian tadi. Dia tidak mengerti kenapa pria itu berani muncul di depannya setelah sekian lama. Padahal mereka tidak pernah melakukan kontak apa pun. Erilya juga tidak melakukan apa pun untuk mendekati Geo. Keduanya benar-benar fokus untuk diri sendiri. Tidak ada interaksi di antara mereka. Perkataan dari Geo tadi benar-benar seperti mimpi baginya.
“Nanti kita tentukan kisah ini setelah semuanya berakhir, Geo.”