“Lakukan yang terbaik untuk cita-cita yang ingin kamu lakukan, sisanya serahkan kepada Tuhan.”
***
Dahulu Erilya hanya tahu teori dan mengkritik sebuah karya sastra. Dia hanya tahu melakukan riset untuk membedah cerita agar menemukan masalah yang dia cari. Biasanya dia akan menggunakan teori interdisipliner untuk menjawab rumusan masalah yang akan dia bahas. Dia juga melakukan riset untuk kode, simbol, atau poin-poin lainnya yang menjadi cerita agar bisa dimaknai artinya. Dia juga memiliki standar sendiri untuk menentukan bagaimana sebuah karya sastra tersebut.
Akan tetapi, kali ini berbeda. Jika biasanya dia yang memecah isi novel menjadi bagian-bagian terkecil, sekarang dirinya yang mencari bagian-bagian terkecil untuk membuat sebuah karya sastra. Untuk itu, ada yang mengatakan bahwa jika anak sastra menulis sebuah buku, maka akan terjadi kebingungan. Antara batas kritik dan membangun cerita tau mungkin standar mereka ingin membuat karya sastra terbaik yang pernah ada atau ada hal lainnya. Banyak hal yang menjadi alasan.
Selama sebulan ini Erilya mencoba menulis berdasarkan referensi yang dia cari. Hanya saja sepertinya masih ada yang kurang dalam pembuatan ceritanya. Rasanya ceritanya masih terlalu mentah, dia belum menemukan alur yang pas untuk menyambungkan satu dengan yang lainnya.
“Ma, kayaknya aku nggak bisa deh kalau harus nyelesain tulisanku dalam satu bulan.” Erilya meneguk air putihnya. Matanya mengawasi mamanya yang sedang memasak.
“Ya udah. Terus mama bisa apa, Er? Mama nggak paham dunia kamu ini.” Mama memasukkan bumbu dapur. Wangi bumbu mulai tercium yang seketika membuat Erilya merasakan lapar.
“Ma, Er mau naik gunung deh.” Mama langsung menoleh ke arah Erilya dengan spatula yang mengacung di sampingnya.
“Bilang apa kamu?” Mama mengatakannya dengan mata yang berapi-api.
“Ini … buat riset, Ma. Erilya butuh yang namanya kehidupan di dunia belantara.” Erilya menjawab dengan gugup. Dia tersenyum sambil menampilkan giginya yang rapi. Matanya menatap mama dengan ngeri.
“Emmm … harus banget?” Erilya langsung mengangguk mantab. Untungnya mamanya percaya dengan apa yang akan Erilya lakukan. “Anak didikmu gimana?”
“Libur dulu, Ma. Hehe.” Erilya masih berusaha tersenyum dengan menampilkan giginya. Dia harus membuat suasana seceria mungkin.
“Sama siapa kamu ke sana?”
“Sendiri lah, Ma. Nih ya, Keira udah punya suami.” Erilya membuka jari kelingkingnya ketika jari telunjuk berada di atasnya.
“Velove sibuk dengan anak-anak lesnya.” Erilya membuka jari manisnya.
“Terus Xiandra sibuk nge-game.” Erilya membuka jari tengahnya. “Gitu, Ma. Mereka semua sibuk. Jadi … ya Eri sendirian nanti naik gunungnya.”
“Sendirian?” Mama langsung membayangkan anak gadisnya itu masuk ke dalam gunung dengan pepohonan yang lebat dan jalanan yang terjal. Apalagi jalananan di gunung juga tidak bagus.
“Iya, Ma. Tapi tenang aja. Nanti aku bisa gabung kok sama rombongan orang lain di-basecamp,” jelas Erilya.
“Heemmm, tapi kan kamu cewek. Kamu nggak pernah olahraga lo, Er. Yakin kuat?” tanya Mama lagi. Dahi wanita itu berkerut dengan dalam.
“Ma, aku baru pertama kali naik gunung. Ya aku nyari yang gampang didaki dong. Kan pendakian gunung juga dibagi-bagi.” Mama mengangguk mengerti. Dia kira semua gunung memiliki kriteria yang sama.
“Ohhhh. Yaudah gih sana pergi. Biar nggak ngabisin beras.”
“Masya Allah, Mama!” Teriak Erilya dengan bercanda. Mamanya jelas-jelas sedang menjahilinya. Ya setidaknya dia sudah mendapatkan restu untuk melakukan perjalanan jauh. Dia akan menggunakan kesempatan itu untuk memahami kehidupan di alam liar.
Erilya lalu masuk ke kamar dan membongkar satu kardus besar di almarinya. Isinya tentu saja peralatan camping yang dia beli setelah lulus menggunakan uang hadiah dari kedua orang tuanya. Akhirnya dia bisa menggunakan barang pusaka itu. Sayang jika Erilya hanya membelinya saja tanpa digunakan.
Sejak lama dia ingin mencoba menaiki gunung tapi selalu saja orang tuanya mencegahnya karena dia perempuan. Rasa-rasanya Erilya membenci fakta bahwa negaranya menganut patriarki yang kental. Kalau boleh dia ingin mengganti pembagian domestik ketika zaman berburu dan meramu. Seharusnya dia membuat generasi perempuan sebagai seorang pemburu.
Setelah menyelesaikan semua perbekalannya, Erilya bersiap untuk tidur. Sore nanti dia akan melakukan perjalanan ke kota sebrang untuk menuju gunung pendakian Andong. Dia akan menginap di perkotaan terlebih dahulu sebelum fajar nanti ke daerah Pendem. Dia memilih jalur pendakian melalui Pendem. Jalur itu katanya lebih cepat daripada jalur lainnya.
Erilya terbangun tepat pukul dua pagi. Dia bersiap untuk pergi ke daerah pendem. Dia sampai di-basecamp pukul 03.00 dini hari. Perkiraannya tepat. Dia beruntung bertemu segerombolan grup pendaki yang akan memulai perjalanan. Erilya tersenyum kepada seorang wanita yang melihat ke arahnya.
“Halo, Bu. Boleh saya ikut pendakian kalian?” tanya Erilya dengan sopan.
“Boleh-boleh.” Wanita itu terdengar antusias.
“Ma, nanti ngerepotin.” Seorang anak laki-laki yang Erilya perkirakan berumur dua puluh tahun itu menyenggol wanita yang berbicara dengan Erilya.
“Eh nggak boleh gitu, Reno. Itu kakaknya sendirian, biar ikut kita aja. Lagian treck-nya juga nggak susah kok.” Wanita itu lalu melihat Erilya kembali dengan senyuman tulus. “Maafin anak saya ya, Mba. Ayo kita naik bareng.”
Erilya lalu menatap anak laki-laki itu dan memeletkan sedikit lidahnya. Erilya puas sekali membalas tatapan anak laki-laki yang menyebalkan itu. Erilya bahkan berjalan di belakang wanita itu. Selama perjalanan Erilya diperlakukan dengan baik.
Erilya sebenarnya tidak kuat jika harus berjalan jauh, apalagi harus naik dan turun dengan jalanan yang penuh bebatuan. Memang tidak semua jalan berbatu, ada juga jalan yang dibuat rapi dengan bantuan kayu bambu. Pengelola alam pendakian memang selalu low budget. Erilya hanya bisa berdoa dia mendaki dengan baik dan selamat sampai tujuan.
Langit fajar berangsur-asur berubah warna menjadi jingga. Pertanda matahari sudah hampir terbit. Erilya berhenti ketika wanita di depannya juga berhenti. Mereka menatap pemandangan itu dengan terpesona.
“Mba, lihat di sana. Itu ada Gunung Merbabu, di sana Gunung Prau, dan di sana Gunung Telomoyo.” Wanita itu menunjuk dengan antusias. Erilya mengikuti instruksi wanita itu. Dia senang bisa melihat gunung-gunung cantik di pagi hari.
“Ayo, naik lagi. Sebentar lagi sampai di puncak,” ucap sang anak yang sudah puas melihat gunung itu.
Mereka lalu berjalan kembali dan sampai di puncak. Ada yang duduk sambil mengeluarkan ponselnya, ada yang berdiri, ada yang mengamati keindahan alam di pagi hari itu, dan ada juga yang memilih membuat kopi dan mendudukkan dirinya dengan kursi lipat.
“Ini, dikasih mama.” Anak laki-laki itu mendatangi Erilya yang sibuk mengabadikan pemandangan itu.
“Terima kasih.” Erilya mengambil roti isi itu dan memakannya. “Emmm enak.”
“Kenapa berani banget kak naik sendirian?” tanya anak laki-laki itu. Dia terlihat tidak semenyebalkan tadi.
“Gimana lagi, kalau udah gede ya emang sendirian bisanya. Udah pada sibuk sama urusan masing-masing,” jawab Erilya dengan santai. Lagipula memang tidak ada yang perlu disembunyikan dari kehidupan orang dewasa.
Anak laki-laki itu manggut-manggut. “Kalau udah tua emang jadi bijak ya, Kak.”
Erilya menatap anak laki-laki itu dengan pandangan mengintimidasi. “Elo anak bau kencur tanya, dikasih tahu malah dikatain sok bijak. Jawab jujur ini tuh.” Darah Erilya mendidih mendengar perkataan anak remaja di itu.
“Hehe. Foto bisa kali kak. Buat kenang-kenangan.” Anak laki-laki itu mengalihkan pembicaraan. Erilya lalu mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan untuk selfi. Keduanya secara bergantian mengambil foto dengan menggunakan kamera masing-masing.
“Kesambet apa ngajak foto?” tanya Erilya setelahnya.
“Buat nakut-nakutin tikus.” Anak laki-laki itu menjawab sambil menatap hasil foto mereka berdua.
“Heh, yang bener ngomong sama orang tua.”
“Setua apa emangnya?” tantang anak remaja itu.
“Gue udah dua puluh tiga tahun ya, mau dua puluh empat. Umur lo berapa?” tanya Erilya dengan sewot.
“Pppfffttttt, tua banget. Gue baru delapan belas tahun sih kak.” Tebakan Erilya salah. Mulutnya terbuka dengan lebar. Dia merasa dikecewakan oleh pikirannya sendiri. “Haha, muka lo kak. Kayak orang bloon.” Anak laki-laki itu tertawa dengan puas.
“Jangan sampai gue ketemu sama lo lagi.” Erilya melirik dengan tajam.
“Tapi kakak namanya siapa? Harusnya kita ngomongin nama dulu sebelum umur.”
“Erilya.” Eri menjawab dengan malas.
“Gue Reno. Senang bertemu dengan tante.” Erilya hampir saja melayangkan tumbler yang dia ambil semenit sebelumnya ke arah anak laki-laki itu. Tapi anak laki-laki itu berlari ke arah ibunya.
Erilya melepaskan Reno dengan tidak ikhlas, tapi dia lebih baik menikmati waktu sunrise ini dengan baik. Setidaknya perjalanan ini berhasil membuat Erilya bisa merasakan bagaimana indahnya alam saat pagi buta. Perjalanan yang sejak lama dia ingin-inginkan. Perjalanan ini akan membantunya untuk membuat cerita petualangan dengan baik.
Riset terbaik ketika kita melakukan perjalanan sendiri di alam yang nyata. Erilya bersykur masih diberi kesempatan untuk menikmati situasi seperti ini. Jika dia sudah bekerja, dia pasti tidak memiliki waktu untuk berdiri di puncak gunung seperti ini. Setidaknya ada hal baik ketika menjadi seorang pengangguran.