"Dhira!"
Aku terkejut ketika melihat Bang Adnan kini berdiri di depanku. Tadinya aku hendak keluar untuk belanja karena beberapa persediaan di dapur menipis.
"Ada apa, Bang?"
Aku bisa melihat tatapannya sayu, tidak ada ekspresi dan seperti hilang semangat hidup. Tubuhnya juga lebih kurus dari pada yang kulihat setahun lalu. Benar, hampir setahun aku tidak lagi melihatnya dan kenapa sekarang dia muncul secara tiba-tiba?
"Boleh bicara sebentar?" tanyanya dengan pandangan memohon.
Sebenarnya aku ingin menghindarinya, begitu melihat tatapan matanya, aku mengiyakan dan kami duduk di meja nomor 1.
"Bagaimana kabarnya?" tanyanya membuka pembicaraan.
Menurutku itu hanya sekedar basa-basi
"To The point saja, Bang, aku sedang sibuk."
Bang Adnan menarik napas pelan, lalu dengan berat membuangnya.
"Aku ingin bercerai dengan Mawar." Ucapannya itu membuat mataku terbelalak, terkejut bukan main. Kenapa ingin bercerai? Padahal mereka terlihat saling mencintai.
Lupakan soal itu, maksudnya ada masalah apa sehingga mereka memilih berpisah? Mawar memang adikku, tapi aku tidak tahu apa permasalahan mereka karena hampir setahun tidak ada komunikasi.
"Kenapa?"
Hanya itu yang keluar dari mulutku, mungkin mewakili seluruh pertanyaan yang terpendam.
"Karena kami memang tidak saling cinta. Kamu tahu Dhi, aku menikahinya karena paksaannya. Aku cintanya sama kamu, Dhira. Bukan sama Mawar. Tapi karena Mawar datang, aku gak bisa menolaknya. Namun, akhir-akhir ini aku sadar bahwa aku tidak benar-benar mencintainya," ujarnya dengan nada putus asa.
Aku tertawa miris mendengar ucapannya. Dulu pernah kagum pada cara berpikirnya yang tampak dewasa, sekarang kenapa setiap ucapannya hanya majas. Aku berjanji tidak akan tertipu lagi.
"Sudahlah, Bang. Selesaikan saja urusanmu bersama istrimu, bukan sama aku yang sudah jelas bukan siapa-siapa," ujarku ketus karena jengkel. Kenapa pula aku dilibatkan dalam urusan rumah tangga mereka?
"Aku tidak bisa mencintai Mawar, bagaimanapun aku berusaha tetap tidak bisa," ujarnya putus asa.
"Dhira, kenapa belum berangkat juga?" tanya Bang Randi yang datang tiba-tiba.
Aku bersyukur karena kedatangan Bang Randi, aku bisa menghindari pembicaraan tidak berguna dengan Bang Adnan. Dia melihat selintas kepada Bang Adnan, menatap datar. Kemudian berlalu begitu saja tanpa mengucap salam atau mengatakan apapun kepada Bang Adnan.
"Maaf Bang, aku sibuk. Temui istrimu, bukan aku," ujarku sambil berdiri seolah memberi kode kepada Bang Adnan agar segera pergi.
***
Sepulang dari pasar, aku kembali terkejut karena kedatangan Mawar ke kafe. Aku heran, entah mau ngapain suami dan istri itu menemuiku. Aku ingin menghindar, dia keburu menyadari keberadaanku. Kini Mawar berdiri tepat di depanku.
"Ada apa?" tanyaku ketus saat kami telah duduk di salah satu kursi.
Wajahnya pucat, matanya sembab dan bibirnya tampak kelu untuk berbicara. Akting apalagi yang ingin dia tampilkan. Dia tampak kembali menyeka air matanya yang membuatku berdecak.
"Kak Dhira," ujarnya lirih.
Sekarang dia memanggilku dengan embel-embel "kak" setelah sekian lama tidak pernah mengucapkannya.
Otakku langsung negative thinking. Pasti dia butuh sesuatu seperti dulu saat dia memeras uangku dengan berbagai cara dan merampas semua apa yang kumiliki.
Kami masih posisi berdiri hingga Anita salah satu pegawai kafe menyuruh agar kami duduk. Dari jarak yang dekat aku masih bisa mendengarkan percakapan pegawai yang menatap tidak suka kepada Mawar. Mereka terlanjur tahu apa yang terjadi diantara kami.
"Cepat katakan! Aku sedang sibuk," ujarku dengan nada ketus.
Bukannya ngomong, dia malah menangis membuatku muak melihatnya.
"Kali ini kamu akting drama apa lagi?" ucapku dengan kata-kata sindiran yang tajam.
Dia malah makin menangis dan belum bicara apapun.
"Kalau menemuiku cuma buat nangis, mohon maaf, ada baiknya pergi saja," ujarku tetap dengan nada ketus.
Saat aku hendak bangkit, dia menarik tanganku sehingga aku kembali duduk dengan terpaksa.
"Mawar ingin minta maaf, Kak," ujarnya terbata-bata sambil tetap memegang tanganku.
"Sudah sejak lama kumaafkan. Sekarang pulanglah," ucapku sambil menunjukkan kebosanan
"Kak, Bang Adnan bilang mau cerai-in aku. Aku gak mau cerai, Kak. Aku masih cinta dia, Kak. Bantuin aku ya, Kak. bujuk Bang Adnan," pintanya dengan suara menghiba.
Karena Bang Adnan sudah mengatakan tadi, maka aku tidak terkejut lagi. Namun, aku tidak menyangka kalau soal cerai itu memang benar.
"Kalau ada masalah, silakan kamu selesaikan dengan suamimu, bukan denganku. Masalahku denganmu itu udah selesai," ujarku tegas.
Walaupun jawabanku terdengar skak mat, tetapi sebenarnya aku hanya sedang mencoba mengubur masa lalu pahit yang menguap secara tiba-tiba.
"Bang Adnan gak pernah mencintaiku, Kak. Hampir setahun dia hanya mencintaimu. Ini salahku yang merebut dia darimu, Kak. Maafin aku, Kak," ucapnya menghiba lagi.
Dia kembali menyeka air mata. Entahlah air mata asli atau air mata buaya yang penuh kepalsuan. Saat ini tidak ada keinginanku sedikitpun untuk mencari tahu.
"Sudahlah, Mawar. Lebih baik kamu pulang kalau cuma mau bahas itu," pintaku.
"Ibu juga lagi sakit, Kak karena sering cek-cok dengan Kak Nisa. Bahkan, dia pernah membuat ibu terjatuh."
Aku terdiam, apakah memang Kak Nisa sejahat itu?
"Ibu sakit apa?" tanyaku yang akhirnya hatiku terketuk juga begitu mendengar Ibu sedang sakit.
Aku sekarang menyesal, walau bagaimana pun perkataan Ibu pernah menyakitiku dan sudah memanfaatkan aku untuk kepentingan Mawar. Seharusnya aku lebih memperhatikan ibu. Walau bagaimanapun beliau adalah ibu yang telah melahirkan dan merawatku hingga usia dewasa.
"Stroke, Kak. Makanya aku ingin nyari kerja, buat biaya pengobatan ibu. Apakah di sini ada lowongan pekerjaan untukku, Kak?"
Aku yang masih sumpek karena mendengar Emak sakit bertambah lagi.
Apa lagi ini? Dia mau merebut pekerjaanku?
"Tidak ada lowongan. Kamu ini kan sarjana cari saja pekerjaan yang lebih layak," jawabku cepat.
"Aku sudah coba sana sini, tapi belum ada panggilan kak"
"Jangan curhat padaku, aku gak ada waktu. Pulanglah, aku sedang sibuk. Bawa ibu berobat ke dokter, jangan pikirkan masalah biaya." Setelah mengucapkan kalimat itu, aku berlalu meninggalkannya.
Mencoba untuk tidak dendam, tapi kenapa sakit hati itu sukar diredam? Luka itu masih membekas. Namun, aku akan berusaha untuk ikhlas.
***
Akhirnya aku dan Bang Leo sepakat untuk menjenguk Ibu. Menurut Bang Leo, sekalian berkunjung, dia juga hendak meminta izin dan restu orang tua untuk menikah sebelum mengutarakannya kepada Zahra. Awalnya emak hanya dirawat di rumah, aku meminta agar mereka membawa emak ke rumah sakit.
Setelah Bang Leo memarkirkan motor, kami memasuki rumah sakit Metta Karunia. Kami menyusuri lorong-lorong rumah sakit hingga akhirnya sampai di ruangan Nomor 30 lantai 1, aku tahu ruangannya karena Mawar yang memberitahu. Dari kejauhan, aku bisa melihat ayah yang sedang duduk di depan ruangan.
"Assalamualaikum, Yah."
Beliau tampak terkejut menatap kami. Raut wajahnya sudah ada guratan keriput menandakan kalau beliau sudah memasuki usia senja. Sejak dulu ayah orangnya pendiam. Beliau hanya akan bicara saat penting saja. Aku tahu Beliau tidak setuju dengan perlakuan emak kepadaku. Namun, apa daya karena terlalu dikuasai gengsi, maka Ayah tidak bisa membelaku yang diperlakukan ucapan emak, Mawar, atau bang Munar begitu menyakitkan.
Aku menyalami tangannya dengan khidmat. Hatiku bergemuruh menahan haru. Demikian halnya dengan beliau yang tampak menahan air mata. Ayah lebih terkejut lagi melihat siapa yang berdiri di belakangku.
Bang Leo langsung menyalami Ayah, tapi ayah masih mengamatinya lekat-lekat. Setelah Bang Leo tersenyum, barulah Ayah sadar kalau yang di depannya adalah anak ketiganya.
"Assalamualaikum, Ayah," sapa Bang Leo sambil tersenyum dan menunduk khidmat. Mungkin pertama kalinya Abang mengucap kata Ayah sejak bertahun-tahun lalu.
"Waalaikumsalam, ini Leo? Anak ketiga ayah?" tanya Ayah hati-hati.
Bang Leo langsung memeluk, sampai Ayah terisak hebat. Aku yang tidak kuasa melihat pemandangan yang sungguh mengharukan itu memilih memalingkan wajah.
"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Ayah dengan suara terisak disela-sela pelukan mereka.
"Alhamdulillah Leo sekarang lebih baik, Ayah."
Ayah dan anak itu masih berpelukan, seolah sedang menghilangkan rasa rindu yang lama terpendam.
"Leo sekarang lebih baik setelah bertemu Dek Dhira, Ayah," tutur Bang Leo. Kemudian, Ayah menatap ke arahku dengan pandangan berlinang air mata.
"Ayah minta maaf, Nak," ujar beliau sambil terisak.
Aku tidak enak mendengar Ayah meminta maaf. Untuk mengalihkan kecanggungan di antara kami, aku menanyakan tentang Emak.
"Oh, ya. Emak di mana, Yah?" tanyaku penasaran.
"Kita masuk saja, ya. Emakmu mungkin masih tertidur," jawab Ayah sambil berdiri dan mengajak kami masuk ke ruang perawatan.
Aku dan Bang Leo mengekori Ayah memasuki ruang inap. Benar saja, Emak masih tertidur dan tampak sangat pulas. Kulihat di sampingnya, duduk Bang Munar yang sedang memegang tangan Emak erat. Menyadari ada yang membuka pintu, Bang Munar menatap ke arah kami, dia terkejut saat menatapku dan Bang Leo. Bang Munar belum bersuara apa-apa, dia menatap lekat lekat ke arahku dan bang Leo secara bergantian.
"Leo?" Tanyanya memastikan. Bang Leo langsung menghampiri Bang Munar, Bang Leo mengulurkan tangannya untuk menyalami bang Leo, bang Munar hanya diam saja.
"Bagaimana kabarmu, Bang?" Tanya bang Leo lirih.
Bang Munar masih terdiam dan tidak bereaksi apa-apa.
Karena tidak ada jawaban dari Bang Munar, Bang Leo melepaskan pelukan itu lalu mendekati ranjang Emak. Kemudian, dia memegang tangan Emak dan menciuminya berkali-kali.
Aku melihat lamat-lamat Bang Munar menoleh kepadaku. Dari tatapan matanya yang kosong, aku yakin dia sedang menghadapi masalah yang sangat rumit. Kini dalam sorot mata itu tidak ada lagi tatapan permusuhan seperti setahun lalu.
Ternyata semuanya berubah secepat itu.
***
"Ayah senang melihat Leo sekarang. Dulu Ayah sangat membenci perilakunya yang kelewat batas," ujar Ayah yang membuatku heran.
Kali ini kami sedang di taman rumah sakit. Duduk di bawah pohon rindang sembari menikmati suasana angin sore yang berembus.
"Kenapa, Yah?"
"Ayah tahu kalian tidak terlalu mengenal Leo karena dia menghilang saat umur 17 tahun. Kamu juga lebih banyak menghabiskan waktu di asrama, kan?" papar Ayah.
Aku mengangguk dan tetap menyimak tanpa bermaksud menjeda cerita Ayah.
"Dulu saat kalian belum lahir, ketiga abangmu tidak pernah akur. Mereka sering berantem, saling berebut mainan, atau apapun benda baru yang mereka miliki. Ayah dan Emak mengira itu hal wajar karena mereka masih SD. Tapi, ternyata berlanjut sampai SMP, bahkan SMA. Mereka sering berkelahi dan tidak pernah menunjukkan bahwa mereka itu bersaudara.
Mereka juga sama-sama boros. Jika Munar meminta motor, maka Leo juga harus punya. Kalau Rasyid, dia yang paling kalem. Di antara mereka bertiga, Leo yang paling keras kepala. Dia tidak mau mengalah dan susah diatur. Pernah juga dia hampir meninju wajah Ayah saat melerai mereka waktu sedang berantem.
Pada saat dia kelas sebelas, Leo sering terlibat tawuran, balapan, bahkan dia sering merokok di lingkungan sekolah. Ayah dan Emak sudah jera dengan semua tingkahnya, makanya kami membiarkan dia bertindak sesukanya."
Ayah menjeda ceritanya. Aku menjadi sedikit tahu tentang Bang Leo yang lebih bandel di antara kami semua.
"Hingga suatu hari dia berhenti sekolah, kabur entah kemana. Bahkan, dia mencuri uang Munar. Makanya Munar selalu dendam jika melihat Leo. Tapi, saat pertama melihatnya tadi, Ayah sangat bersyukur ternyata dia masih mau berubah. Terima kasih, ya, Nak. Kamu telah membuat Abangmu berubah menjadi manusia baik," ujar Ayah sambil memegang tanganku.
"Tidak, Yah. Bang Leo berubah karena keinginannya sendiri. Kalau Dhira hanya perantara saja, Yah."
"Ayah sangat bangga padamu, Nak. Tolong maafkan Ayah yang tidak bisa menepati janji waktu kalian anak-anak dulu."
Aku mengerti maksud Ayah. Dan, tidak ingin membuat Ayah terus merasa bersalah, perlahan aku menggenggam tangan ayah.
"Tidak usah diingat masa lalu, Yah. Dhira baik-baik saja. Sekarang lebih baik kita fokus pada apa yang ada di depan mata," ucapku menghibur dan berusaha membuat Ayah tenang, tidak perlu disesali.
"Omong-omong, Mawar di mana, Yah?" tanyaku karena sejak tadi tidak melihatnya.
"Mungkin di rumahnya, atau mengurus urusannya bersama sang suami," jawab Ayah singkat.
Dari kalimat Ayah itu aku bisa menyimpulkan kalau mereka memang sedang ada masalah.
"Ayah tidak terlalu paham permasalahan mereka yang terus-terusan ingin bercerai," ujar Ayah tampak sangat putus asa.
"Adnan terlihat sangat menyayangi Mawar, tetapi ternyata dia hanya pura-pura. Entah apa tujuannya sehingga jadi seperti ini. Bahkan, Munar dan istrinya juga sedang ada masalah. Astagfirullah. Cobaan apa dalam keluarga kita?."
Mendengar penuturannya itu membuatku makin iba kepada Ayah. Diusianya yang kian senja ternyata harus dihadapkan dengan permasalahan rumah tangga anak-anaknya.
"Yah, Kak Nisa di mana? Kok dari tadi gak kelihatan?" tanyaku mengalihkan pembacaraan agar Ayah tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
"Dia juga sedang ada masalah dengan Munar. Nisa selingkuh dengan temannya Munar. Bagaimana tidak sakit hati abangmu itu," jawab Ayah lirih.
Aku baru tahu kalau selama ini Ayah dan Emak menghadapi situasi yang sangat sulit di rumah. Apalagi Bang Munar dan Kak Nisa juga masih tinggal di rumah, padahal sebelumnya mereka ngontrak. Melihat situasi ini, aku semakin kasihan kepada Emak. Bagaimana bisa Beliau di usia sepuhnya harus menghadapi situasi yang sangat rumit ini.
"Kita masuk aja, Yah. Mungkin Emak sudah bangun," ajakku kepada Ayah dengan tujuan agar teralih hatinya dari perasaan sedih yang mendalam.
Ternyata benar, kulihat Emak sudah bangun, bahkan sekarang Beliau sedang memegang erat tangan Bang Leo. Bisa disimpulkan kalau mereka habis menangis hebat karena kerinduan yang luar biasa.
"Dhira," ujar Emak lembut. Kini tidak ada lagi suara Beliau yang biasanya selalu meninggi saat melihatku. Bagaimana pun menyakitkannya ucapan Emak waktu itu, tetapi aku tidak akan pernah membencinya. Aku tidak mempunyai berhak membenci orang yang telah melahirkan dan merawatku sejak bayi.
Aku mendekati Emak yang memberi kode ingin memeluk. Kemudian, aku dan Emak hanyut dalam pertemuan haru. Situasi seperti ini membuatku merasa kehidupan di keluarga ini baru saja di mulai. Apalagi Emak berulang kali terus-menerus meminta maaf.
Alhamdulillah, aku bersyukur dengan semua ini.(*)