Aku khawatir kepada Zahra, seharian dia tidak membalas chat, juga tidak mengangkat panggilan teleponku. Baru kali ini dia bertindak demikian. Biasanya, walau dalam keadaan bagaimanapun, dia selalu menyempatkan diri untuk membalas chat. Aku bertekad untuk ke rumahnya dengan perasaan takut terjadi apa-apa dengannya.
Aku terlebih dahulu minta izin kepada Bang Randi karena ada urusan dan seperti biasanya tidak menjawab. Sejak baru kenal, dia biasa begitu. Hanya menatap, tidak pernah menggeleng, tetapi hanya mengangguk. Sifat cueknya kumat lagi, kah?
Tiba di depan rumah Zahra, aku berpapasan dengan Lukman, adiknya. Sepertinya hendak pergi.
"Zahra ada, Dek?" tanyaku.
"Ada, kak. Tapi dia bad mood. Gak ada yang tahu kenapa. Malah tadi dia marah-marah gak jelas gitu," papar Lukman dengan ekspresinya yang lucu.
"Adiknya kakak yang ganteng ini mau keluar rupanya? Udah pandai bergaya juga. Dulu kalau mau futsal gak pernah sisir rambut. Loh sekarang kok serapi ini. Ayo, ada yang ditaksir, ya?" bisikku walaupun masih terdengar jelas, aku memang harus mendongak menatapnya dan dia pun menjauh. Wajahnya kulihat berubah jadi merah karena malu.
"Apa sih, Kak? Masuk sana. Lukman mau berangkat," ucapnya sambil sedikit malu-malu.
Dia salah tingkah. Aku tertawa sejenak sambil memasuki rumah besar bak istana ini. Kemudian di ruang tamu aku melihat Tante Mia yang terlihat gelisah dan tidak tenang sehingga beliau tidak merespon salam pertamaku.
"Assalamualaikum, Tante," ujarku kembali dan berdiri di sampingnya. Tante Mia terlonjak kaget, lalu menyuruhku duduk.
"Waalaikumsalam, Nak. Duh, maaf Tante gak dengar salammu tadi."
Aku memilih duduk dan yakin ada info yang akan disampaikan oleh Beliau.
"Zahra, Nak," ucapnya dengan wajah panik.
Mendengar nama Zahra disebut, aku semakin khawatir.
"Zahra kenapa, Tante?" tanyaku sambil deg-degan.
"Tante juga gak tau. Sudah dua hari ini, dia terus mengurung diri di kamar. Makan tidak teratur, dia juga jadi sering menangis." Demikian Tante menjelaskan tentang kondisi Zahra.
Aku kenal betul Zahra. Dia jarang seperti itu, bahkan dia selalu memperlihatkan wajah ceria dan periang. Setiap perkataannya juga yang sangat luar biasa memotivasiku. Zahra bukan tipe orang yang suka galau, tetapi jika sudah seperti ini, pasti ada hal yang membuat hatinya sakit.
"Ini kedua kalinya Zahra seperti itu. Pertama pada saat kecelakaan. Dokter bilang kalau kakinya harus diamputasi. Dan yang keduanya sekarang ini. Tante juga ingat orang-orang sering mengejeknya cacat, tetapi dia tidak pernah sakit hati atau depresi memikirkan perkataan orang lain.
Kamu kan tahu juga, Nak, pada saat dia gagal menikah dengan Akmal, pun tidak segalau ini," ujar Tante lagi.
Sangat benar penjelasan Tante. Saat itu lima bulan lalu ada yang melamarnya, padahal tidak kenal dan hanya karena kebetulan papasan di jalan. Akmal bilang kalau dia menerima Zahra apa adanya dengan semua kekurangan yang dimiliki.
Akhirnya Zahra dan Tante, juga Om setuju. Aku tidak kenal orangnya, tetapi Zahra pernah menunjukkan fotonya. Baru sebulan dari kesepakatan tanggal pernikahan, Zahra akhirnya mengetahui wataknya aslinya. Ternyata, calon suaminya itu seorang yang suka mempermainkan wanita. Dia juga menikahi Zahra hanya ingin mengambil hartanya saja.
Kebetulan, aku pernah melihat Akmal dan mendengar pembicaraannya dengan seseorang saat dia ke kafe. Aku merekam dan mengirimkan kepada Zahra. Waktu itu responnya biasa saja. Tidak galau sama sekali. Nah, sekarang dia sudah sampai seperti itu karena apa?
"Dhira boleh langsung ke kamarnya, gak, Tan?" tanyaku yang langsung diangguki oleh Tante Mia.
"Boleh banget, Nak. Kalau gitu, Tante nyiapin makan malam dulu. Makasih ya, Nak," ujar Tante Mia. Kemudian, Beliau menuju dapur, sementara aku langsung ke kamar Zahra.
Aku mengetuk pintunya. Sampai tiga kali belum juga ada respon apa-apa dari si empunya kamar.
"Zahra? Kamu di dalam, kan? Ini aku Dhira" ujarku.
Sekian menit, belum juga ada jawaban, pintu kamar juga belum dibuka. Saat akan mengetuk kembali pintu kamar, Zahra keluar membukanya.
Aku kaget melihat penampilannya yang amburadul. Rambutnya acak-acakan seperti tidak disisir berhari-hari. Pakaiannya juga terlihat kumal. Astaga, aku sungguh miris melihatnya. Tatapan matanya kosong, tidak seperti Zahra yang kukenal.
"Kamu kenapa, Ra?" tanyaku yang kepalang panik.
Zahra mempersilahkan aku masuk. Penampilannya tidak jauh beda dengan kamarnya yang sangat berantakan. Dia terduduk dengan tatapan kosong, lalu aku memegang pundaknya dan menatapnya lekat.
"Ra, kamu kenapa? Cerita sama aku, ya" bujukku agar dia mau berbicara.
"Aku gak apa-apa, Dhi," jawabnya tidak bersemangat. Namun, dari wajahnya tampak benar kalau dia sedang tidak baik-baik saja.
"Ra, aku bukan baru kenal kamu, kalau kondisimu seperti ini artinya sedang tidak baik-baik saja. Cerita samaku, aku sebagai sahabatmu siap mendengarkan," pintaku memohon agar dia menceritakan kesulitannya.
Dia menatapku, lalu air matanya jatuh begitu saja.
"Dhi, aku lagi patah hati," ujarnya terus terang.
Aku bingung Zahra patah hati karena apa. Dia sama sekali tidak pernah menceritakan kalau sedang menyukai seseorang. Apalagi cerita kalau saat ini sedang dekat dengan seseorang.
"Dia akan menikah Dhi, aku harus gimana?" Malah sekarang Zahra sudah menangis sehingga aku kesulitan mencerna apa yang diucapkannya.
"Dia siapa, Ra? Dia siapa yang ingin menikah?" Tanyaku lagi berusaha menggali info darinya.
"Aku gak sengaja mendengar dia akan menikah, tentu saja aku patah hati karena tidak bisa mengaguminya lagi, hiks hiks," ujar Zahra sambil menyeka ingusnya.
Matanya sudah bengkak, tetapi entah kapan nangisnya akan berhenti. Aku juga tidak tahu siapa yang dia ceritakan.
"Siapa orangnya yang buat Zahra-ku seperti ini? Biar kucekik dia," ujarku dengan amarah yang berkobar-kobar. Namun, dia menatapku, menggeleng.
"Dhi, kamu beneran mau mencekiknya?"
Aku hampir tertawa melihat ekspresi Zahra yang teramat polos.
"Kalau kamu beneran gak mau cerita dan masih galau ya udah aku ingin mencekiknya," ancamku lagi.
"Ya udah mending aku gak usah cerita aja," putusnya.
"Ya udah, aku cari tahu sendiri kalau gitu, tapi kalau tahu siapa orangnya, aku tidak akan merestui kalian," ancamku lebih keras lagi.
Ucapanku membuat Zahra menarik tanganku dan memohon.
"Aku akan ceritakan, tapi jangan terkejut, ya," pintanya.
Dalam hati aku sudah tertawa melihat raut muka Zahra. Aku kembali duduk berhadapan di kursi belajarnya.
"Dari mana mulainya, ya? Aku bingung" tanyanya padaku dan aku mengedikkan bahu.
"Terserah," ujarku kepadanya.
Zahra menarik napas, lalu mulai bercerita.
"Seminggu lalu, aku mendengar dia bilang akan menikah. Tentu saja, aku yang diam-diam menyukainya patah hati."
Mendengar ceritanya yang tidak jelas itu, membuatku merasa sedikit Ambigu. Zahra hanya menyebutkan 'Dia' tanpa memberi tahu namanya.
"Dia siapa sih, Ra?" tanyaku mendesak karena tidak sabaran.
"Dengarkan dulu," pintanya memohon.
Aku mengedipkan mata setuju, lalu menatap Zahra sambil menahan tawa. Lucu sekali kalau Zahra ngambek tidak jelas seperti ini.
"Sejak pertama melihat dia, aku sudah kagum dan diam-diam menyukainya. Awalnya aku menganggap perasaan itu hal biasa, tapi semakin lama aku malah jatuh cinta kepadanya. Namun, aku sangat sedih ketika tidak sengaja mendengar dia akan segera menikah," lanjut Zahra mengakhiri ceritanya. Bukannya menemukan solusi, malah makin penasaran dengan Zahra yang terus-terusan menyebut Dia.
Kali ini aku sedikit ragu dengan tebakanku, sehingga aku memilih untuk bertanya agar menjadi jelas.
"Kalau boleh tahu orangnya siapa? Kali aja aku bisa bantu?" tanyaku hati-hati.
"Gak usah, ah. Aku malu bilangnya," ujar Zahra cepat.
Namun, aku tidak kehabisan akal agar Zahra mengatakan nama orang yang membuatnya segalau ini.
"Apa itu Bang Leo?" tebakku hati-hati.
Akhirnya, Zahra yang tadinya menunduk langsung menatapku dengan mata membelalak lebar hingga membuatku takut matanya akan keluar.
"Bang Leo kaaan?" tanyaku lagi. Kali ini bermaksud menggodanya.
"Bukannn," jawabnya dengan nada bergetar.
"Kalau itu Bang Leo mungkin aku bisa bantu, tapi kalau orang lain kayaknya--" Sengaja jawabanku menggantung sebagai pancingan
"Iya, orangnya Bang Leo!" jawab Zahra cepat dan langsung menutup mulutnya.
Aku sampai kaget mendengar suaranya yang tinggi. Kekagetanku itu bukan karena tidak tahu tentang Zahra yang diam-diam menyukai Bang Leo. Tapi karena suara Zahra yang begitu keras, mungkin seisi rumah mendengarnya.
"Sejak kapan kamu suka sama abangku?" tanyaku bermaksud mengintrogasi dengan nada menggodanya.
"Sejak awal melihatnya," jawab Zahra.
Kali ini dia menutup wajahnya dengan ke dua tangan. Aku suka kejujurannya. Zahra termasuk tipe orang yang ceplas-ceplos. Bahkan, dalam hal yang menyakitkan sekalipun, dia selalu jujur bicara apa adanya.
"Terus kenapa galau kalau emang menyukai Bang Leo?" tanyaku lebih serius.
"Soalnya. Gini, saat di panti asuhan aku gak sengaja dengar Bang Leo cerita akan menikah, makanya aku takut," ujar Zahra dengan raut wajahnya yang lucu.
Penjelasan Zahra kali ini membuatku tertawa sangat keras. Namun, Zahra malah memukul punggungku dengan bantal.
"Apanya yang lucu?" tanya Zahra sedikit marah.
"Kamu lucu sekali, Ra."
Aku masih berusaha meredakan rasa lucu, hingga akhirnya memilih diam ketika menyadari Zahra makin kesal.
"Maaf, Ra. Habisnya kamu lucu, sih," jawabku sambil mengusap air mata karena tertawa hebat.
"Terserah kamu saja!" ucap Zahra seolah putus asa.
Menyadari Zahra tampak merajuk, aku pun terdiam. Kemudian, mencoba mengingat sesuatu bahwa Bang Leo tidak pernah cerita kalau ingin menikah. Setelah itu, aku ganti topik pembicaraan.
"Oh, ya. Kamu belum makan, kan? Tadi Tante bilang sudah nyiapin makanan. Ayo, makan dulu," ajakku kepadanya yang sudah dua hari makan tidak teratur.
Aku menarik paksa tangan Zahra agar mau bangun karena tampaknya dia ingin tidur kembali.
"Aku gak lapar," jawabnya cepat. Aku tetap memaksa agar dia berdiri.
Akhirnya, Zahra bersedia keluar dari kamarnya setelah hampir dua hari mengurung diri.
***
Pulang dari rumah Zahra, aku berencana untuk menemui Bang Leo. Aku sengaja menyuruhnya datang ke Rainbow Kafe yang letaknya tidak jauh dari pesantren tempat tinggalnya. Bang Leo memang tinggal di asrama.
Setelah lima menit sampai, Bang Leo menampakkan wujudnya juga. Sungguh aku bersyukur, kini dia terlihat lebih segar dan bersinar. Apalagi sekarang lebih sering berwudhu.
"Assalamualaikum," sapa bang Leo. Dia yang malah duluan menyapaku.
"Waalaikumsalam, Bang."
Bang Leo pun duduk di depanku setelah memesan beberapa makanan dan minuman. Kini aku menatapnya penuh selidik.
"Ada apa, Dek?" tanyanya saat menyadari tatapanku.
"Ada satu hal yang pengen Dhira tanyakan." Aku to the point bicara. Langsung aja ke topiknya tanpa bernada-basi
Bang Leo mengangguk menandakan aku bebas menanyakan apa saja.
"Apa Bang Leo sudah ada rencana untuk menikah?"
Mungkin pertanyaanku sedikit ceplas-ceplos sehingga Bang Leo sangat terkejut. Saking kagetnya, hampir saja air yang sedang diminumnya terciprat ke wajahku.
"Kenapa menanyakan itu, Dek?"
"Jawab aja, Bang," ujarku mendesak.
"Sudah, tapi calonnya belum ada," jawab Bang Leo.
"Andai nih, ya, calonnya tuh sekarang udah ada, apa Abang sudah berniat nikah?" tanyaku benar-benar mendesaknya lagi.
"Astaga kenapa kau ini, Dek? Ada apa pakai ndesak-ndesak gitu. Abang sampai bingung sama kamu," ujarnya yang kelihatannya lama-lama kesal sendiri.
"Mau kubantu carikan calonnya enggak, Bang?" tawarku makin agresif.
"Bagus, Dek, kalau kamu carikan. Kamu pasti akan memilih yang terbaik untuk Abang," jawabnya tanpa beban.
"Kalau Zahra gimana?" tanyaku to the point langsung saja aku ajukan.
Bang Leo terkejut bukan main. Dia tampak gugup dan kaget juga.
"Ke-napa Zahra, Dek?" tanyanya lebih gugup
"Itu rekomendasi dari Dhira. Lagian Abang tadi bilang biar Dhira yang nyariin," kataku seolah merajuk.
"Masalahnya, apakah dia mau sama Abang. Kamu kan tahu sendiri kalau keluarganya itu orang kaya, sedangkan kita tidak ada apa-apanya," jelas Bang Leo putus asa.
"Apa karena Zahra cacat, Bang?" tanyaku menyelidiki untuk memastikan.
"Astaghfirullah, Dek. Abang gak pernah mempersoalkan fisiknya. Sungguh. Nyatanya, manusia tidak ada yang sempurna. Abang hanya minder jika membandingkannya dengan keluarga kita," jawabnya tampak tidak percaya diri dan putus asa.
"Abang percaya sama aku, kan?" pancingku ingin tahu lebih dalam tentang pemikirannya.
"Zahra tidak seperti itu, Bang. Dia dan keluarganya sangat baik." Aku sengaja memberi penekanan di akhir dua kata terakhir.
Bahkan, aku diperlakukan seperti anak sendiri. Aku udah lama kenal Zahra, Bang," ujarku berusaha meyakinkan.
Bang Leo terdiam. Mungkin dia sedang menyerap dan mempertimbangkan ucapanku. (*)