"Kamu belum pulang?"
Aku memandang ke arah sumber suara. Ternyata, Bang Randi yang sedang berdiri di pintu ruang kasir.
"Sebentar lagi, Bang," jawabku tetap fokus menatap layar komputer.
Aku sedang menghitung pemasukan hari ini. Alhamdulillah sejak kami mengunjungi panti seminggu lalu, pemasukan kafe selalu meningkat. Bahkan, Bang Rizal juga cerita kalau dari bakery juga sudah lumayan ramai. Apalagi jika ada yang mau merayakan ulang tahun dan memakai paket yang ditawarkan The Hans. Bang Rizal juga sering datang ke kafe. Bukan untuk nongkrong seperti dulu, tapi lebih mengarah diskusi. Apalagi dia punya ide baru tentang kue apa yang akan dibuat.
"Biar aku yang lanjutkan," ucapnya menawarkan diri.
Padahal, setahuku Bang Randi sendiri sedang sibuk dengan tugasnya sebagai dosen. Apalagi, aku pernah mendengar kalau dia sedang penelitian untuk menyusun buku.
"Tidak apa-apa, Bang. Sedikit lagi, kok," jawabku menolak tawarannya.
Mungkin karena aku terlalu keras kepala, akhirnya Bang Randi membiarkanku menghitung sendirian. Kemudian, dia berlalu entah kemana.
Tidak berapa lama dia kembali.
"Siapa tahu butuh camilan," ujarnya sambil meletakkan teh, kue kering, dan beberapa jenis kue lainnya. Dia benar-benar tahu apa yang dibutuhkan seseorang saat sedang begadang.
"Terima kasih, Bang" ucapku sambil melihat ke arahnya dengan senyuman tulus. Kemudian, kembali menatap layar untuk melanjutkan pekerjaan.
Hampir dua jam berkutat dengan komputer, kali ini aku meregangkan otot-otot karena begitu pegal. Aku melipat kedua tangan dan membenamkan wajah saat ngantuk melanda. Keinginanku hanya tidur sekarang. Sengaja aku menghidupkan kipas seiring udara yang begitu panas dan gerah. Apalagi, kalau mengenakan jilbab lebar dan gamisku juga menambah hawa panas. Tanpa sadar, ternyata aku tertidur pulas.
Aku terbangun saat mendengar suara azan. Sedikit bingung karena ada sebuah selimut yang menutupiku dan kipas sudah dimatikan, bahkan sekarang aku ternyata berbaring di atas karpet. Aku heran dan bertanya dalam hati, apakah aku terjatuh dari sofa?
Astaga memalukan sekali jika aku benar-benar jatuh dari sofa dan semakin yakin saat merasakan tanganku pegal-pegal. Aku tersadar karena telah ketiduran begitu lama. Lalu bergegas bangkit dengan mengendap-endap untuk memantau keadaan sekitar. Setelah kutengok ke sana ke mari, ternyata tidak ada orang, aku memberanikan diri untuk keluar.
"Dhira!"
Panggilan itu sungguh mengagetkan sampai aku terlonjak. Begitu menoleh, di belakangku ternyata ada Bang Randi yang tampak sudah bersiap menuju mesjid. Melihat penampilannya yang rapi dan bersih membuatku insecure dengan penampilanku yang acak-acakan khas orang bangun tidur.
"Eh, Bang Randi. Mau ke mesjid?" tanyaku kikuk akibat menahan malu.
"Iya. Loh, kamu mau kemana?" tanya Bang Randi.
"Mau pulang, Bang. Maaf semalam saya ketiduran di sini," ujarku cengengesan. Bahkan entah berapa kali tidak bisa kutahan rasa menguap.
"Ini terlalu dini jika pulang. Apalagi jalan kaki. Sholat di sini saja," ujarnya dengan ramah.
Aku heran dengan Bang Randi sekarang. Dia kini bukan yang kukenal dulu dan makin tampak ramah akhir-akhir ini.
"Sepertinya Dhira pulang saja, Bang. Kan naik motor," paksaku lagi.
"Jangan dulu pulang, salat di kamarku saja," ujar Bang Randi tetap memaksa. Setelah mengatakan itu, dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawabanku.
Sekarang aku terduduk di kursi yang sudah ditata rapi. Aku ingin pulang karena sedang menstruasi. Selain itu, aku juga ingin mandi gerah ditubuhku terasa sangat lengket. Dengan sangat terpaksa, aku harus mandi di kamarnya Bang Randi. Lagi pula dia masih salat pasti akan lama pulang.
Kamar pribadi itu berada di dekat mushalla yang dipisahkan dengan gudang tempat penyimpanan stok barang. Tempatnya memang sedikit tersembunyi dan hanya terlihat jika melewati dapur. Bahkan, hanya pegawai yang tahu kalau di sana ada kamar pribadi.
Aku melewati dapur yang tampak kinclong. Seperti biasa, semua harus dibersihkan terlebih dulu baru pegawai boleh pulang. Tepat di depan kamar Bang Randi, aku sedikit ragu untuk masuk karena merasa sangat lancang. Terlanjur kebelet, aku tidak punya pilihan.
Maka kuberanikan diri untuk masuk ke kamar Bang Randi. Saat membuka pintunya, ternyata tidak dikunci dan aku langsung masuk, lalu menutup kembali pintunya.
Saat ini aku juga bingung, apa alasan Bang Randi memintaku untuk menggunakan kamar mandi di kamar pribadinya. Aku sempat mengamati, kamar ini tidak terlalu luas. Apalagi dengan banyaknya buku sehingga mempersempit ruangan. Namun, kamar ini tampak sangat rapi.
Tatapanku tertuju pada sebuah foto yang dipajang, terlihat seperti foto wisuda. Ternyata itu wisuda Kak Renata. Kulihat tanggalnya sama dengan tanggal wisuda Mawar. Ada juga satu foto Bang Randi yang sedang di pantai. Tatapanku fokus pada objek di belakang Bang Randi. Aku menatapnya dengan lekat, lah bukankah itu, aku? Walaupun wajahku tidak begitu jelas. Kalau tidak salah saat libur sekolah dulu, aku dan Zahra liburan ke pantai. Aku yakin itu hanyalah Poto random.
Di foto itu tanpa sadar aku sedang menatap Bang Randi. Kenapa malah foto seperti itu yang dia pajang, pasti banyak foto lain bersama mahasiswa atau rekan kerjanya. Hanya itu foto yang dipajang, yaitu foto wisuda Kak Rena dan fotonya sewaktu di pantai.
Di kamar itu, aku juga melihat sebuah buku tampak seperti buku diary di tumpukan buku kuliahnya. Sungguh aku penasaran dengan isinya, tetapi harus terhenti saat mendengar suara ponselku yang berdering. Ternyata, hanya alarm. Aku memutuskan harus segera keluar sebelum Bang Randi pulang meski penasaran dengan semua yang ada di kamarnya.
Aku cepat-cepat masuk ke kamar mandi, kemudian sadar kalau sedang tidak salat. Mana deras pula karena menstruasi di hari pertama.
Astaga, mana tidak ada pembalut, apalagi mens di hari pertama deras begini. Aku sedikit menyesal kenapa tidak langsung pulang saja tadi, dari pada bertindak seperti ini sungguh merepotkan. Sebelum mandi, aku terlebih dahulu mengirimkan chat kepada Zahra, siapa tahu dia mau bantu mengantarkan pembalut. Aku malah makin tidak enak merepotkan begini.
Chat-ku terkirim dan tampak notifikasi centang dua. Pasti sebentar lagi dia akan membalas. Kemudian, aku menepuk jidat, baru ingat kalau Zahra akan bangun saat matahari baru muncul. Aku sudah paham dengan kebiasaannya yang sangat sulit bangun. Salat subuh sering kali dia lewatkan. Aku mengendap-endap menatap dari pintu berharap agar Bang Randi belum pulang. Aman. Akhirnya aku bisa keluar hingga sekarang sudah berada di parkiran.
"Kamu mau pulang sekarang?"
Astaghfirullah. Aku kembali terkejut dengan kehadiran Bang Randi yang tiba-tiba. Mungkin karena terlalu berjaga-jaga, pas ketahuan malah lebih terkejut.
"I-iya, Bang!"
"Perlu diantar?" tanyanya lagi.
"Gak perlu, Bang," jawabku cepat. Aku sedikit berlari menuju parkiran. Jujur aku tidak sanggup melihatnya. Apalagi tampilan Bang Randi dengan baju Koko. Masya Allah, hatiku berdebar tak karuan.