Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ikhlas Berbuah Cinta
MENU
About Us  

Hari ini adalah hari wisudanya Mawar. Sejak Subuh hingga sekarang seisi rumah sangat gempar dan terlihat super sibuk. Bahkan, setelah subuh tadi seorang MUA sudah berada di rumah untuk mempercantik Mawar. Bukan cuma soal make-up, bahkan mereka juga meributkan soal baju mana yang akan Mawar pakai karena mereka membeli tiga kebaya sekaligus. 

Aku yang sibuk memasak, tentu merasa terganggu dengan kebisingan itu. Apalagi sekarang hanya aku yang berkutat memasak rendang ayam, sementara Emak dan Kak Nisa juga sudah terlihat berdandan cantik.

"Dhira, nanti ikannya juga dimasak, ya!" teriak Emak dari ruang tamu. Aku kembali menghela napas panjang, tidak menanggapi apapun.

Sekarang sudah hampir pukul setengah tujuh. Seperti kata Mawar, dia akan berangkat bersama Ayah pukul tujuh pagi, sementara kami akan menyusul kira-kira jam sebelas siang. Kemudian aku berpikir, mereka naik apa ke kampus? Apalagi sejak kemarin Mawar belum membahas itu.

"Kalian naik apa ke kampus?" tanya Emak seolah mewakili pertanyaanku.

Entah kenapa tiba-tiba Mawar berhenti makan. Mungkin takut lipstiknya terhapus atau apa. Dia juga terlihat memikirkan sesuatu, lalu menatap ke arahku.

"Kak, Bang Adnan punya mobil, kan? Boleh minta tolong sama dia gak buat anterin kita?" 

Aku terperanjat, berani sekali Mawar berkata seperti itu. 

"Adnan siapa?" tanya ayah. Aku memang belum menceritakan apa-apa tentang Bang Adnan. biarlah saat dia datang nanti baru kuceritakan.

"Temannya Kak Dhira, Yah!" jawab Mawar cepat. 

Aku melotot kepada Mawar. Bisa-bisanya dia bilang teman, padahal sudah tahu kalau Bang Adnan pernah mengatakan ingin melamarku. Tetapi, aku hanya diam saja, enggan memperpanjang masalah.

Tidak lama kemudian sebuah mobil terparkir di depan rumah. Mawar yang sejak tadi duduk di teras seolah tidak membiarkanku berbicara dengan Bang Adnan. Padahal, Bang Adnan tampaknya ingin mengatakan sesuatu hingga akhirnya mereka pun berlalu. Avanza yang mereka tumpangi perlahan meninggalkan rumah.

Aku kembali disibukkan dengan membereskan rumah. Sementara mereka, Emak, Kak Nisa dan Bang Munar tampak bersiap-siap. Kak Nisa paling heboh saat berdandan. Untung saja aku tidak mengatakan pernah belajar tata rias, bisa-bisa mereka makin menyuruhku ini itu.

Tepat pukul setengah sebelas siang, kami akan berangkat ke kampusnya Mawar. Walaupun terlalu cepat, tetapi tidak mengapa, takutnya akan macet di jalan nanti. Bang Munar membawa sepeda motor bersama Kak Nisa sementara aku dan Emak naik becak. Karena terburu-buru, aku tidak sempat berdandan. Penampilanku sama seperti biasanya, kali ini aku memakai gamis yang pernah diberikan Zahra supaya penampilan tidak terlihat seperti gembel.

Suasana kampus memang sangat ramai dan padat. Banyak orang yang lalu lalang. Tujuannya pasti sama dengan kami. Seketika aku tersenyum karena akhirnya Mawar akan menjadi seorang sarjana. Apalagi kemarin dia bilang, menjadi alumni terbaik kedua.

Betapa bangganya Ayah dan Emak mengetahui Mawar begitu berprestasi. Aku tersenyum menatap gerbang auditorium. Walaupun berdesak-desakan, tetapi aku harus tetap di sini memegang tangan Emak. Kami akan melihat Mawar keluar dari aula. Begitulah yang dia katakan di grup WA keluarga. 

"Emak tunggu di bawah pohon itu saja, ya. Emak gak kuat kalau berdesakkan gini. Panas juga," bisik Emak. 

Kemudian, Emak pergi menerobos kerumunan. Sebenarnya aku ingin mencegahnya, saat aku melihat Mawar keluar dari auditorium, karena posisiku berada tepat di depan tangga, pasti dia akan melihatku.

Hanya sebentar Mawar melihatku dan berjalan ke arahku. Aku tersenyum lebar melihatnya yang telah sah menjadi sarjana. Apalagi dia memakai selempang alumni terbaik kedua membuatku merasa sangat bahagia dan bersyukur. Suasana lapangan auditorium makin heboh, saling berdesakkan, dan sangat berisik sampai aku tidak mendengar apa yang Mawar ucapkan.

"Emak di mana?" tanyanya kepadaku diantara gemuruh keramaian.

Karena ada yang mendorong, aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Belum lagi gamisku ada yang menginjak sehingga tidak bisa fokus untuk menjawab.

"Dengar gak sih? Budek amat. Aku tanya sampai tiga kali masa gak dengar, dasar budek!" umpat Mawar. 

Dia mengucapkan kalimat itu dengan penuh amarah. Terlihat jelas dari wajahnya yang memerah menahan panas dan emosi. Aku terdiam mencerna ucapan Mawar, bahkan orang-orang di sekitarku ikut terdiam. Mungkin mereka terkejut mendengar suara Mawar yang begitu tinggi. 

Aku masih belum berbicara apa-apa hingga Mawar berjalan melewatiku dan menabrak bahuku. Tentu saja membuatku terjatuh di kerumunan banyak orang yang menatapku dengan tatapan tidak peduli, iba, kasihan, dan mungkin mengatakan, bodo amat. 

Aku masih berusaha keras mencerna apa yang Mawar ucapkan tadi. Hatiku sakit mendengarnya, tanpa sadar air mataku menetes begitu saja. Kerumunan yang tadinya diam kini kembali berisik. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing dan aku masih terduduk di dekat tangga. Kakiku terlalu lemas untuk berdiri, tidak sanggup lagi untuk menahan pijakan jika terus berdiri. 

Mengapa tega sekali Mawar mengatakan kalimat itu? Apalagi sampai mempermalukan aku di tempat umum. Andaikan boleh mengungkit kebaikan, bukankah aku yang membawanya berlayar di samudra, malah berbalik menenggelamkanku di tengah palung Mariana. Aku yang membiayai kuliahnya selama ini atas permintaan Emak dengan suaranya yang selalu lembut tiap meminta aku membantu Mawar. Aku sampai tidak punya tabungan karena gajiku total dipakai untuk membiayai kebutuhan kuliahnya. Bukankah aku yang menarik tangannya agar sampai di puncak gunung? mirisnya, setelah sampai di sana dia mendorongku sampai tergelincir. Ditambah kini dia menginjak harga diriku. Dia menganggap aku sampah sehingga tidak dibutuhkan lagi saat dia telah mengenakan pakaian toga itu. 

Sakit akibat dia dorong memang tidak seberapa, bahkan aku tidak peduli jika harus berdarah-darah di tengah kerumunan ini. Aku tidak malu sedikitpun saat tersungkur di lapangan dan ribuan pasang mata menatapku. Namun, rasa sakit di hatiku bagaimana akan mengobatinya? Seperti apa cara menyembuhkannya? walaupun nantinya Mawar meminta maaf beribu kali, aku tidak jamin untuk bisa memaafkannya. 

Sejahat itukah setelah apa yang Mawar perlukan terpenuhi?

Mawar telah berlalu. Dia berkumpul bersama keluarga. Aku menguatkan langkah untuk berdiri hingga seorang mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

"Kakak nggak apa-apa?" tanya seorang gadis penuh perhatian. 

Seorang wisudawati dengan selempang di pundaknya, terlihat kepalanya juga memakai toga, tersenyum sangat manis.

"Terima kasih," ucapku lirih. Aku masih betah menatap gadis itu yang terus mengembangkan senyum ramahnya. 

Aku juga melihat seorang pria bertubuh jangkung berdiri di sebelahnya, lebih tepatnya di sebelah gadis yang tidak kutahu namanya. Sebelum mereka bersuara, aku lebih dulu pamit, tidak ingin memperpanjang masalah.

"Terima kasih, Kak. Aku pamit duluan," ucapku. 

Aku melihat gadis itu ingin mencegah, tetapi aku lebih dulu menerobos kerumunan. Tidak tahu hendak pergi kemana. Rasa sakit hati mendengar ucapan Mawar masih terasa. Ucapan penghinaan masih terngiang di telinga. Bahkan, kini mataku juga sangat bengkak akibat air mata yang terus membasahi pipi. Kasihan sekali nasibku?

Tujuanku adalah lokasi parkir. Mungkin mereka masih di sana karena sebentar lagi pulang. Jujur, kali ini aku tidak ingin melihat wajah Mawar. Penghinaannya masih terus membekas hingga saat ini. Akan tetapi, aku tidak boleh kekanak-kanakan. Harus tetap tegar dan jangan mudah baper. 

Aku melihat Emak yang duduk di dekat mobil Bang Adnan, tetapi tidak melihat Mawar atau yang lain. Hanya Ayah dan Emak duduk di sana.

"Mawar di mana, Mak?" tanyaku. 

"Itu!" kata Emak sambil menunjuk sekumpulan orang yang sibuk berswafoto. Ternyata teman-teman Mawar banyak yang datang dan sekarang mereka asyik berfoto ria. Aku tidak mempermasalahkan jika temannya banyak yang datang untuk berfoto, tetapi kenapa Bang Adnan harus di sana?

Hatiku semakin teriris melihat itu. Entah berapa kali lagi Mawar akan menyakiti hatiku. Kulihat Bang Adnan tersenyum tampak bahagia seperti halnya dengan Mawar. 

Tidak berselang waktu lama mereka menghampiri kami. Mungkin akan langsung ke studio untuk foto keluarga, katanya. Bang Adnan melihatku, tetapi tidak menyapa sama sekali. Aku melihat dia malah membuang muka dan langsung masuk ke mobil. Apa yang terjadi? Aku bertanya-tanya dalam hati. 

"Aku ikut naik mobil, ya. Panas kalau naik motor, " ujar Kak Nisa.

"Gimana kalau kamu naik ojol aja. Lihat gak muat lagi, kan," celetuk Kak Nisa menambahkan.

Aku bisa melihat Bang Adnan bersama Mawar tampak asyik bercengkrama di kursi depan. Tidak ada pilihan selain aku mengangguk dan tanpa berkata-kata. Saat mobil melaju, aku langsung terjatuh dan duduk lemas. Tidak dapat kutahan air mata mengalir lagi. Saat ini aku ingin menangis sejadi-jadinya. Aku mengambil ponsel dari tas dan menghubungi Zahra. Dialah satu-satunya teman yang terlintas dalam pikiranku.

"Halo. Assalamualaikum, Dhi." 

Terdengar Zahra memulai percakapan. Bukannya menjawab, malah aku menangis makin kencang dan hal itu membuatnya panik.

"Halo, Dhi, kamu kenapa?" tanya Zahra mendesak. 

"Ra, aku bisa minta tolong, gak? Kamu bisa jemput aku?" tanyaku sambil menahan tangis.

Tidak bisa kutahan, air mataku terus-menerus membanjiri wajah.

"Ok, Dhi. Aku ke sana bentar lagi, ya. Tapi kamu di mana?" tanya Zahra. 

"Di parkiran Kampus Mawar," jawabku sambil berusaha menahan tangis. 

"Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu di situ. Aku segera datang. Pasti." Tegas Zahra membuatku sedikit lebih tenang.

Panggilan belum terputus, tetapi aku tahu Zahra sedang menyetir. Saat seperti ini aku merasa sangat bersyukur memiliki seorang sahabat seperti Zahra. Aku tidak bisa berpikir andai dia tidak ada. 

Keadaan parkiran memang sepi sehingga aku leluasa menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit di hatiku semakin tidak terkendali. Terutama ketika mendengar dan mengingat semua ucapan Mawar tadi. Seolah aku ini tidak ada harganya. Kenapa dia bisa sekejam itu?

"Ya Allah, Dhi. Kamu kenapa?" 

Zahra sudah di depanku. Tampak kesusahan karena harus berjalan memakai tongkat. Meski begitu, dia juga ikut duduk dan akhirnya memelukku. Aku menyambut pelukannya sambil terus menangis. Iya. Aku masih menangis dalam tubuh Zahra.

"Kita pulang ya, Dhi. Parkiran akan semakin rame. Gak enak nanti dilihat orang," bujuknya menenangkanku.

Aku berusaha untuk berdiri dengan dibantu Zahra. Kemudian, dia memakaikan kacamata hitam untuk menutupi mataku yang bengkak.

"Maaf, Ra telah merepotkan," ujarku sambil memegang tangannya. 

Zahra menyetir mobil dan melaju meninggalkan kampus. Aku berjanji, sampai kapan pun tidak ingin menginjakkan kaki di sini lagi.

"Tidak merepotkan sama sekali, Dhi. Kalau boleh tahu apa yang telah terjadi? bukannya hari ini wisuda Mawar? Omong-omong mereka di mana sekarang?" tanya Zahra kebingungan melihatku yang tidak bersama keluarga.

"Mereka pergi ke studio tanpa aku dan aku juga tidak ingin bergabung bersama mereka," jawabku masih diselingi isakan. 

Zahra seolah paham dengan suasana hatiku. sehingga dia tidak lagi bertanya. Ternyata Zahra membawaku ke sebuah kafe. 

"Kita makan dulu ya. Kamu pasti lapar," kata Zahra.

Aku mengangguk dan menurutinya, Zahra paling tahu kalau sahabatnya sedang butuh asupan.

Kami memasuki kafe yang lumayan sepi, lalu memilih kursi di pojok. Setelah memesan menu, aku menceritakan semuanya kepada Zahra. Malahan dia terlihat lebih emosi sampai mengepalkan tangannya.

"Kok bisa ada orang sejahat Mawar, ya? Aku geram banget dan pengen nonjok dia," ujar Zahra dengan suara giginya yang bergemeretak menahan kesal dan marah. Begitulah responnya setiap kali membahas tentang Mawar.

"Perbuatannya sudah melebihi batas normal sebagai seorang adik. Aku malah geram sendiri, nih. Oh, ya kamu juga jangan terlalu baik, Dhi. Dia akan memanfaatkanmu kalau kamu begini terus. Walaupun kamu pernah bilang setiap kita melakukan kebaikan pasti balasannya kebaikan juga, tapi untuk kasus Mawar, ceritanya udah beda deh," kata Zahra mengungkapkan kekesalannya. 

"Yang ada nih, dia malah makin ngelunjak kalau kamu mengalah terus," lanjutnya disertai emosi tinggi. 

Zahra lebih berapi-api menanggapi pengaduan tentang sikap Mawar dan keluarga, sementara aku masih terus menangis. Kemudian, dia berpindah tempat duduk di sampingku. Memelukku mencoba memberi kekuatan.

"Maafkan aku, Dhi. Aku terlalu geram sama Mawar makanya nyerocos tadi. Jangan sedih lagi, ya. Kamu itu wanita kuat yang pernah kutemui. Aku selalu salut dengan semua kebaikanmu. Mungkin Mawar saja yang tidak tahu berterima kasih," ucap Zahra mencoba menghiburku. 

Aku sedikit tenang sambil perlahan menghapus air mata denga tisu. Aku bertekad mulai sekarang tidak akan membantu Mawar lagi. Biarlah dia sendiri yang harus mengatasi urusannya. Toh, sekarang dia sudah lulus kuliah.

Selama ini aku terkadang bingung. Kenapa keluarga sendiri memberlakukan aku tidak seperti anak mereka. Bahkan, kontras sekali. Mereka lebih menyayangi Mawar, sementara aku selalu dinomorduakan. Sekarang mereka tidak menanyakan keberadaanku. Hingga datang chat dari Bang Adnan yang membuatku sedikit merasa tenangn, ternyata dia masih perhatian denganku. Dalam pikiranku, mungkin saja tadi dia bersikap cuek karena sibuk meladeni Mawar.

[Dek, kamu di mana?] 

Aku menunjukkan chat itu kepada Zahra yang disambut dengan senyum terkembang sambil memandangku. semakin lama aku jadi makin cinta ke seorang Adnan. 

***

Walaupun perasaanku sedikit kacau, tetapi aku tidak boleh kabur begitu saja. Aku harus tetap pulang ke rumah meski tidak ada keluarga yang menanyakan keberadaanku. Apalagi tadi Bang Adnan juga mengatakan sesuatu yang membuatku merasakan hatiku dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Membaca chat dari Bang Adnan, ternyata mampu melupakan rasa sakit hatiku.

[Dek, nanti malam habis Isya aku akan datang ke rumah dan menyampaikan niatku kepada orang tuamu]

Itulah chat Bang Adnan yang membuatku terbang sangat tinggi. 

Walaupun suasana rumah sangat sibuk karena memasak jamuan untuk Mawar yang telah jadi sarjana, aku menikmatinya. Bahkan, senyumku tidak pernah pudar sejak sore tadi.

Setelah melaksanakan Shalat Isya, jantungku semakin berdegup kencang. Aku tidak tahu cara menenangkannya terutama setelah mobil Bang Adnan terdengar sedang parkir di depan rumah. 

 Ahh aku semakin takut kalau jantungku akan meledak sekarang. Saat hendak keluar dari kamar, aku juga melihat Mawar yang keluar dari kamarnya pula. 

Malam ini dia tampak berdandan sangat cantik. Walaupun biasanya selalu pakai riasan, tetapi kali ini wangi parfumnya sangat menyengat. Seketika aku melirik penampilanku yang hanya memakai gamis polos berwarna coklat yang dipadukan dengan jilbab lebar serta kaos kaki. 

Untuk wajah, aku tidak memakai riasan apapun. Cukup hanya bedak dan sedikit polesan lipstik. Walaupun sedikit minder aku tetap melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Bang Adnan sudah duduk di sana bersama orang tuaku beserta Kak Nisa dan Bang Munar. Mungkin Mawar juga sudah berada di sana. Namun sebelum itu, aku terlebih dulu ke dapur untuk menyiapkan minuman dan camilan. 

Jarak dapur ke ruang tamu tidak begitu jauh sehingga samar-samar aku bisa mendengarkan pembicaraan mereka.

"Kamu sudah makan, Nak?" tanya Emak.

"Sudah, Tante." Terdengar jawaban lirih dari Bang Adnan 

"Jangan panggil Tante dong. Panggil Emak juga. Kan kamu calon menantu kami," pinta Emak dengan suaranya yang jelas. 

Wajahku semakin panas mendengar kalimat Emak saking bahagianya. Kini aku tersenyum lebar. Ehh tunggu dulu, bagaimana mereka tahu kalau Bang Adnan itu calon menantu mereka, padahal aku belum pernah cerita apa-apa. 

Aku sebenarnya mau melangkah ke ruang tamu untuk mengantar minuman, tapi kuurungkan karena ingin mendengar ucapan Bang Adnan.

"Saya ke sini memang berniat mempererat tali silaturahmi dan sekaligus ingin menyampaikan niat saya untuk memperistri putri Om sama Tante. Saya berniat melamar Nadhira Assyifa," ujar Bang Adnan mantap tanpa jeda. 

Senyumku semakin lebar mendengar penuturan Bang Adnan dan tanpa sengaja aku melirik kepada Mawar yang tampak kesal. Loh, kenapa dia yang kesal. 

"Kok, Dhira? Bukannya mau melamar Mawar?" tanya Kak Nisa. 

Dia juga syok mendengar ucapan Bang Adnan. Sementara aku malah bertanya-tanya, kenapa sekarang jadi mereka yang sewot? 

Bang Adnan belum bersuara. Mungkin dia bingung dengan keluarga ini. Aku saja bingung.

"Ibu kira Nak Adnan mau melamar Mawar, kalian tampak cocok. Kalian berdua sama-sama sarjana tentu lebih serasi." 

Ucapan Emak membuat hatiku sakit seketika. Apa maksud Emak bilang seperti itu? Apakah karena aku hanya lulus SMA? Bukankah aku yang membiayai kuliah Mawar? Ahh sial! Aku kembali mengungkit kebaikan kepada Mawar.

"Ayah juga setuju itu, kamu tampak lebih cocok bersama Mawar." 

Ayah malah ikut menimpali. Tanpa sadar air mataku menetes seketika. Sakit rasanya saat keluarga sendiri tidak pernah mendukungku.

Bang Adnan belum bersuara. dia terlihat menunduk dan tanpa sengaja pandanganku bertemu dengannya. Tidak ingin berlama-lama menguping, aku segera mengantarkan minuman ke ruang tamu. Aku ingin melihat bagaimana reaksi Bang Adnan saat dihadapkan dengan aku yang dia lamar meski penampilanku sangat burik dan tidak bisa dandan sama sekali, lebih memilih Mawar yang tahunya cuma make-up dan keluarga mendukungnya? 

"Silahkan diminum, Bang," ujarku dengan tersenyum sambil menyodorkan minuman ke hadapannya.

Semua mata tertuju padaku. Tatapan dingin dan tidak suka, buatku adalah hal biasa. Namun, aku tidak mau ambil pusing sekarang. Menurutku selagi Bang Adnan berpihak kepadaku bagiku tak masalah dengan tatapan mereka. Akan tetapi, terselip kekhawatiran, aku takut hati Bang Adnan akan goyah jika menghadapi keluargaku yang seperti ini.

Karena merasa tidak nyaman, Bang Adnan pun pamit pulang. Katanya dia akan datang bersama orang tuanya seminggu lagi. Sementara aku berharap agar tidak ada yang berubah. Walaupun umurku masih dua puluh tiga tahun, untuk urusan berumah tangga aku rasanya sudah siap. Daripada semakin jatuh pada lembah dosa nantinya, aku setuju lebih baik menikah saja. (*) 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
No Longer the Same
341      259     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Da Capo al Fine
275      233     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Semesta Berbicara
1059      649     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...
Mimpi & Co.
913      611     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Melihat Tanpamu
141      115     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
RUANGKASA
42      38     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Is it Your Diary?
160      127     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Heavenly Project
506      350     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...
Di Bawah Langit Bumi
2373      916     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Kelana
645      469     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...