Meski sudah berlalu berjam-jam tapi Oi masih seperti berjalan di atas awan. Ucapan Dow benar-benar punya efek yang luar biasa. Desainer fashion? Dirinya sendiri saja tidak pernah berpikir ke sana. Memang benar dirinya suka mendesain, atau membuat baju-baju untuk koleksi bonekanya, tapi untuk ke jenjang profesional?
Hm … entahlah.
Sejarah Oi membuat baju bermula ketika melihat Gram membuat selimut rajut untuk Quinn, putri Auntie Blair. Oi yang saat itu baru berusia 6 tahun benar-benar terkesima dengan kecepatan tangan, atau cantiknya selimut hasil rajutan Gram. Oi kecil tidak meninggalkan sisi Gram hingga selimut tersebut selesai. Kemudian, Gram dengan telaten mengajari Oi kecil merajut, bahkan, almarhum Pop membuatkan jarum rajut khusus dari kayu untuk memudahkan Oi merajut karena jarum rajut milik Gram terlalu kecil dan licin.
Selesai dengan pelajaran merajut, Gram melanjutkan pelajaran dengan membuat quilt. Lagi-lagi, Gram membuat quilt untuk Quinn yang sudah terlalu besar untuk selimut rajut. Kali ini, Mom bahkan menghadiahi mesin jahit khusus untuk anak-anak sebagai kado Natal, meskipun Gram bersikeras jika pelajaran pertama dalam menjahit adalah menggunakan kedua tangan mereka.
Singkat cerita, menjahit merupakan hobi baru Oi selain membaca.
Bermula dari membuat quilt sederhana, Oi mulai bereksperimen dengan perca-perca yang ia miliki. Tidak butuh waktu lama bagi Oi untuk membuat beragam kreasi quilt. Yang paling diuntungkan dengan semakin menumpuknya koleksi selimut perca Oi tentu saja Teri—dan Sans. Bosan membuat quilt, Oi mengalihkan perhatiannya pada Teri. Baju-baju anjing mulai menarik minatnya. Dari membuat baju-baju untuk Teri itulah ide dan kemampuan menjahit Oi semakin berkembang hingga ia bisa membuat baju-baju yang lumayan rumit untuk koleksi Barbie-nya.
Oi menunduk, menatap buku sketsa di depannya yang penuh dengan coretan-coretan ide konsep untuk kostum drama. Meski sejak SD sudah membantu bagian kostum di setiap tim drama sekolah, SMA merupakan tahun debut Oi menjadi desainer kostum. Ia menjadi anggota desainer termuda di Hill High baik secara usia maupun kelas. Oi menjadi satu-satunya siswa baru yang menjadi anggota tim desain. Cukup membanggakan tentu saja, tapi sekali lagi, dirinya sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadikan desain kostum ataupun baju atau fashion secara umum sebagai karir.
Apakah seperti ini yang Dow rasakan?
Melakukan sesuatu yang sudah akrab dan bisa dibilang cukup baik, tapi tidak pernah berpikir mengenai kelanjutannya? Namun ada satu perbedaan paling mendasar yang membedakan situasi Dow dan Oi. Ini kalau situasi Oi bisa disamakan dengan situasi Dow. Selain pujian dari pihak sekolah, atau orang-orang terdekatnya, Oi belum pernah mendapatkan apresiasi dalam bentuk lain.
Memenangkan lomba misalnya.
Sekali lagi, dua situasi yang berbeda. Ketika Dow giat ikut kompetisi menari dan memenangkan kebanyakan diantaranya, lomba yang diikuti Oi untuk mengoleksi banyak dimenangkan adalah lomba membuat esai sejarah. Bahkan, guru konselingnya menyarankan Oi untuk membuat esai dengan topik yang sama sebagai rekomendasi masuk universitas.
Jadi, komentar Dow mengenai Oi menjadi desainer lebih mendekati absurd.
Tapi … benarkah absurd?
Oi mengetuk-ngetuk dahinya dengan pensil. Dirinya tidak pernah belajar mendesain secara formal, pelajaran yang ia dapat selama ini hanyalah dari Gram, atau belajar sendiri dari internet. Haruskah ia mulai berpikir untuk menambah portofolio dengan mengambil kursus desain? Atau mungkin mendaftar summer camp? Karena sejujurnya? Mendesain dan membuat baju itu memang menyenangkan.
Bukankah akan lebih menyenangkan dan menguntungkan jika punya portofolio yang bervariasi?
Ada satu hal yang perlu ia kerjakan selain membuat sketsa. Oi meraih ponselnya di kasur, membuka mesin pencari, mencari aplikasi sosial media. Oi bukan tipe yang suka bermain dengan sosial media kecuali, ia tahu sosial media, dan anak muda nyaris merupakan satu kesatuan, tapi tidak dengan dirinya. Selain memang tidak—atau belum—tahu apa menariknya dari sosial media, Oi bukan tipe yang suka jepret sana, jepret sini. Oh, satu lagi yang Oi tahu, YouTube, karena banyak video Dow bertebaran di sana.
Satu alisnya terangkat ketika menemukan beragam tipe sosial media. Ini harus pilih yang mana? Satu-satunya seseorang yang langsung muncul di otaknya adalah Dow, jadi ia pun mengirim pesan ke cowok itu.
Oi:
Kau punya sosmed?
Jawaban Dow masuk hampir secepat ia mengirim pesan.
Dow:
Nope
‘sup?
ada grup anak-anak tari
Oi memberengut. Menimbang-nimbang apa yang akan ia lakukan untuk menjalankan misinya.
Oi:
Gonna make one
Menurutmu aku harus buat yang mana?
Ada saran?
Oi memutar-mutar ponsel di tangannya sembari menunggu jawaban dari Dow. Tapi alih-alih getar ponselnya, Dow malah muncul di depan ruang belajarnya.
“Akun apa yang akan kau buat?”
Oi melambaikan ponsel di tangannya. “Kalau kau baca pesanku, kau akan tahu.”
“Nah, justru aku membaca makanya aku ke sini,” ujar Dow seraya menjatuhkan dirinya di samping Oi duduk. “What’s up?”
Oi meniup poninya lalu menjelaskan masalah yang tengah dihadapinya.
“Sepertinya sosmed salah satu loncatan yang paling populer.”
Jadi … kau ingin memamerkan hasil desainmu?” tanya Dow.
Oi mengangguk.
“Why? Kenapa mendadak ingin membuat akun segala?” telisik Dow.
“Kan, sudah kubilang, sepertinya social media bisa menjadi loncatan yang paling populer.”
“Maksudku, kenapa baru sekarang? Kau bergelut dengan desain baju sudah sejak lama, kan?”
“Ya karena sebelumnya aku belum tahu keuntungan bermain sosmed,” aku Oi.
“Kalau sekarang?”
Secepat Oi membuka mulutnya, secepat itu pula ia menutupnya, bahkan sebelum ada satu kata pun yang keluar. Ia tahu jawaban pertanyaan Dow, tapi ia ragu untuk berbagi dengan cowok itu. Takut ditertawakan.
“Well?” desak Dow.
“Well … because I wanted a recognition? Kau tahu seperti ilustrator yang membagikan karya mereka di internet?”
Dow menatap Oi lurus-lurus, membuat gadis itu menggeliut gugup.
“Kau yang menanamkan ide jika aku bisa menjadi designer,” tunjuk Oi.
“Ooh…” Dow terbahak, lalu berhenti tertawa ketika menyadari Oi serius.
“Aku tahu kau hanya bercanda. Tidak seharusnya aku percaya omonganmu,” gerutu Oi.
Gadis itu beranjak dari sofa, berniat melanjutkan membuat sketsa, ketika lengan kirinya ditarik keras oleh Dow, dan membuatnya kembali jatuh ke sofa.
“Hey now, aku nggak bercanda. Seharusnya aku mendorongmu melakukan semua ini sejak dulu,” kata Dow.
Oi masih melotot, tapi Dow tidak peduli dan menambahkan. “Sekolah punya beragam sosmed, klub tari juga punya. Sepertinya klub drama juga punya Instagram, Twitter, dan YouTube. Kau ingin membuat semacam itu?”
Perlahan-lahan raut muka Oi berubah, ia bersedia kembali berdiskusi, walaupun keterangan Dow membuatnya jadi semakin bingung.
“Menurutmu aku lebih cocok yang mana?”
Dow mengangkat bahu. “Tergantung tujuanmu. Masing-masing dari mereka punya basis yang berbeda-beda. Kau tentu tahu YouTube berbasis video.”
“X, Instagram, Threads, Facebook?”
“Yo, Oi, sebagai orang yang terlalu suka membaca, kenapa kau nggak baca perbedaannya di internet?”
Sontak Oi kembali melotot mendengar ucapan Dow. Tapi memang benar, sih? Kenapa tidak mencarinya sendiri daripada direcoki si biang kerok? Membuang muka, Oi fokus pada layar ponselnya. Ia mencari informasi mengenai aplikasi mana yang paling cocok untuk dirinya.
“Kupikir kalau kau berniat berbagi foto-foto, Instagram lebih cocok. Minusnya, kau selalu perlu media untuk diunggah. Sedangkan X atau Threads, meski kau hanya menulis satu kata kau masih bisa mengunggahnya. Kau juga bisa membuat esai tanpa harus membuat mata yang membaca kelelahan karena laman yang terlalu panjang,”
Layar ponsel Oi ditinggalkan kedua mata gadis tersebut, karena sekarang ia sedang menatap Dow dengan takjub—plus mulut yang ternganga—saking tidak percayanya.
“You’re an expert,” puji Oi.
“Nah, aku sering melihat Chloe memperbarui situs klub.”
Ah….
“Kau nggak ingin membuat akun juga?” tanya Oi.
Dow menggeleng. “Nah, the internet is one scary thing. Thank you very much."