Loading...
Logo TinLit
Read Story - Je te Vois
MENU
About Us  

Dow melakukan satu putaran terakhir sebelum dia kolaps di lantai studio. Napasnya hampir putus, kaos tanpa lengannya lengket dengan keringat, tapi ada kepuasan tersendiri ketika menghabiskan seluruh energinya seperti ini. Setidaknya, ketika tubuhnya kelelahan, otaknya tidak akan berpikir yang macam-macam yang lebih penting lagi adalah, menyalurkan kemarahannya menjadi energi positif, begitulah nasehat Ven. Thubten Chodron di bukunya Working with Anger. 

Sebenarnya Dow bukan tipe pemarah, dia lebih ke tipe pendendam. Ketika seseorang membuatnya marah, butuh waktu lama bagi Dow untuk memaafkan orang tersebut. Sifat buruknya itu juga membuatnya repot dalam bergaul, terutama ketika kanak-kanak. Di saat dirinya masih belum bisa memaafkan teman-teman yang mengganggunya, mereka seolah sudah lupa telah membuat Dow sakit hati, lalu dengan enteng kembali mengajak Dow bermain. Suatu kali, guru konselingnya saat SD mengatakan jika menyimpan dendam itu tidak baik, selain menjadi penyakit hati—saat itu Dow bahkan tidak paham apa maksudnya—menyimpan dendam juga bisa menghalanginya dalam berteman.

Butuh waktu lama dan konseling yang cukup intense untuk bisa mengurangi kebiasaan buruknya menyimpan dendam. Kini, hal pertama yang dilakukan Dow ketika dirinya marah adalah membuat tubuhnya lelah. Entah dengan berolah raga atau menari, walaupun menari hampir selalu menjadi pilihan pertamanya.

Menguras tenaga memang tidak menyelesaikan masalah, tapi setidaknya, dengan membuat tubuhnya lelah, ia bisa tidur dengan mudah, atau seperti itulah harapannya, lalu ia akan bangun dengan pikiran dan tubuh yang segar. Selamat tinggal marah, halo otak yang jernih, dengan begitu ia bisa bicara dengan kepala dingin, dan tentu saja, selamat tinggal dendam.

Hal yang sama menjadi alasan Dow menguras seluruh tenaganya di studio tari saat ini. Setelah kabur dari makan malam lalu dipaksa makan es krim oleh Oi, sore ini Dow memutuskan jika lebih baik pingsan di studio daripada pulang ke rumah. Sebegitu burukkah? Bisa dibilang begitu. Dow masih enggan bertemu Dad, dan lebih enggan lagi membicarakan hasil audisi, sementara itu, koreografi untuk drama butuh disegerakan. Win win situation. Mencari alasan tanpa harus berbohong. 

“Cukup mengherankan kau masih hidup.”

Sebuah handuk jatuh tepat di wajahnya. Dow membuka kedua matanya yang menutup tanpa ia sadari. Dirinya tidak benar-benar pingsan, kan? Tanpa merespon ucapan Oi, Dow meraih handuk lalu  mengusap keringat di wajahnya, baru mendorong tubuhnya untuk duduk dan mengusap keringat di bahu dan punggungnya. 

“Kau masih marah?” tanya Oi sambil mengulurkan botol air putih.

Lagi-lagi Dow tidak buka suara, hanya menerima botol tersebut, membuka tutupnya lalu meneguk isinya. Sejak pengakuan Dad di meja makan semalam, Dow memang enggan bicara, bukannya tidak berterima kasih dengan segala kerepotan yang Dad lakukan, tapi menyabotase keputusan yang telah ia ambil bukanlah sesuatu yang bisa Dow apresiasi dengan tangan terbuka. 

He wasn’t an ungrateful brat, was he?

Mungkin di luar sana banyak anak-anak yang ingin punya Daddy seperti Dad, yang mau melakukan sesuatu demi putranya, atau mendukung anak-anaknya terjun dibidang seni, tapi bukan berarti dirinya harus menerima, dan melakukan apa yang Dad lakukan untuk menunjukkan rasa syukurnya, kan?

“Sebenarnya kau memang berhak marah, sih,” ujar Oi. Gadis itu duduk di samping Dow, berhati-hati untuk tidak duduk di lantai yang terkena keringat. “Aku pun pasti akan marah kalau mengalami sepertimu begitu. At least, a little head up would be appreciated.

“Dari pembicaraan semalam, sebenarnya ada niat Dad untuk memberitahuku soal itu, tapi beliau lupa,” Dow menghembuskan napas keras-keras. “Selain arkeolog, kau ingin menjadi apa?”

“Eh?” Oi berkedip-kedip bingung ketika mendengar pertanyaan Dow yang di luar konteks pembicaraan.

Dow hanya mengangkat satu alisnya seraya menghabiskan air di tangannya lalu berdiri ke ruang penyimpanan alat untuk mengambil kain pel untuk mengepel sisa-sisa keringat yang di lantai.

“Kenapa bertanya begitu? Kita, kan, sedang membicarakan dirimu?” tanya Oi.

“Nah, nggak ada aturan yang menyatakan aku nggak boleh menanyakan sesuatu padamu, kan?”

“Ya … Memang nggak ada aturannya, tapi—”

“Tapi apa?” potong Dow. 

“Kurasa kami nggak pernah membahas hal semacam ini. Kau tahu aku tertarik dengan sejarah sejak aku bisa membaca. Menjadi profesor di bidang sejarah peradaban manusia rasanya sangat bergengsi,” Oi mengedikkan bahu.

Betul juga. Ia tidak ingat kapan Oi mulai suka membaca bacaan horor. Itu juga yang membuatnya nyaris tidak pernah meminjam buku Oi kecuali yang berhubungan dengan pelajaran sekolah. Masalahnya adalah, arkeolog jelas sebuah pekerjaan yang mentereng, baik dari segi pekerjaannya sendiri maupun jenjang pendidikan. 

Tipe pekerjaan idaman orangtua.

Tentu saja kedua orang tua Oi dengan senang hati mengizinkan putri tunggalnya menjadi arkeolog. Siapa yang tidak bangga ketika nama putrinya dimuat di situs jurnal ilmiah atau National Geographic karena menjadi pemimpin penggalian suatu situs purbakala.

And where did this leave him?

No idea.

Rasanya membicarakan pilihan karir dengan Oi tidak akan banyak membantu, diakui atau tidak, gadis itu tidak akan paham situasi yang dialaminya. Mungkin dia harus bicara dengan Tom. Sependek pengetahuannya, orang tua Tom tidak pernah setuju dirinya mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan seni menggerakkan tubuh yang diiringi oleh musik. Dow pernah tanpa sengaja menyaksikan pertengkaran mereka.

And … Let's say that wasn't pretty to hear.

Flick

Dow mengerjap ketika Oi menjentikkan jari di depan wajahnya.

“Darimana saja kau?” tanya Oi.

“Huh?” Ah ya, arkeolog. “Indy atau Silas nggak pernah menyarankanmu untuk memilih suatu karir begitu?”

“Kurasa Mom dan Dad oke saja dengan cita-citaku walaupun sering mengolok karena Indiana Jones,” Oi mengangkat bahu. 

“Kalau itu aku setuju,” Dow terkekeh. 

Oi melotot. 

“Omong-omong, pernah nggak kau berpikir mengenai kebetulan nama Mommy-mu Indy, dan obsesimu terhadap Indiana Jones?”

Kedua mata Oi membulat sebulat-bulatnya begitu mendengar ucapan Dow. 

Holy friggin molly! Kenapa aku nggak pernah berpikir begitu sebelumnya?!” Oi seraya bangkit dari duduknya, lalu melompat-lompat penuh semangat, sebelum menjatuhkan dirinya kembali ke lantai, bersila di hadapan Dow, mencengkeram kedua lengan cowok itu. Kali ini Oi tidak peduli lantainya basah keringat atau tidak.

“Dow, apa mungkin ini pertanda?” Oi masih tidak bisa menyembunyikan kegirangannya.

“Oh, iya, pasti!” Belum sampai kilatan kegembiraan di kedua mata Oi berlanjut menjadi kenyataan, Dow pun menambahkan. “Pertanda kalau kau benar-benar terobsesi dengan si manusia sinting.”

“Heh! Indy tidak sinting! Indiana Jones, maksudku,” bela Oi.

Kini giliran Dow yang mengangkat bahu tidak peduli.

“Indy hanya sedikit terlalu ingin tahu dan ingin menemukan sesuatu yang menarik hatinya. Ia tidak bisa tidur dengan tenang kalau ada satu teka-teki yang belum terselesaikan. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?”

“Pernah dengar pepatah curiosity kills the cat?"

“Kau ini seperti Gram!” Oi menghembuskan napas kesal. 

Dow menatap Oi dengan pandangan bukan-salahku-jika-kami-punya-pola-pikir-yang-mirip.

“Gram menyuruhku menjadi penjahit daripada bekerja menjadi penggali kuburan orang lain. Gram nggak mau tahu jika kuburan yang digali tersebut sudah berusia ribuan tahun, atau penggalian tersebut bisa berguna bagi ilmu pengetahuan,” aku Oi.

“Nggak mengubah kenyataan jika kau adalah penggali kuburan. Lagipula, apa kau nggak merasa kasihan dengan mayat-mayat tersebut? Kenapa kau mengusik waktu istirahat mereka? Oh, dan satu lagi,” Dow mengangkat tangan kanannya yang masih menggenggam handuk untuk menolak interupsi dari Oi. “Aku setuju dengan Gram, bukan menjadi penjahit, tapi menjadi desainer fashion.”

Jika tadi rahang bawah Oi sudah dalam posisi mengkhawatirkan untuk jatuh ke lantai, ucapan terakhir Dow benar-benar membuat rahang bawahnya meluncur ke lantai kayu di bawahnya.

“Desainer fashion?”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream
618      453     5     
Short Story
1 mimpi dialami oleh 2 orang yang berbeda? Kalau mereka dipertemukan bagaimana ya?
Mendadak Halal
8042      2199     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Once Upon A Time
390      260     4     
Short Story
Jessa menemukan benda cantik sore itu, tetapi ia tak pernah berpikir panjang tentang apa yang dipungutnya.
The Boy
1877      732     3     
Romance
Fikri datang sebagai mahasiswa ke perguruan tinggi ternama. Mendapatkan beasiswa yang tiba-tiba saja dari pihak PTS tersebut. Merasa curiga tapi di lain sisi, PTS itu adalah tempat dimana ia bisa menemukan seseorang yang menghadirkan dirinya. Seorang ayah yang begitu jauh bagai bintang di langit.
The pythonissam
384      301     5     
Fantasy
Annie yang harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang penyihir dan juga harus dengan terpaksa meninggalkan kehidupanannya sebagai seorang manusia.
The Bet
17122      2675     0     
Romance
Di cerita ini kalian akan bertemu dengan Aldrian Aram Calton, laki-laki yang biasa dipanggil Aram. Seperti cerita klise pada umumnya, Aram adalah laki-laki yang diidamkan satu sekolah. Tampan? Tidak perlu ditanya. Lalu kalau biasanya laki-laki yang tampan tidak pintar, berbeda dengan Aram, dia pintar. Kaya? Klise, Aram terlahir di keluarga yang kaya, bahkan tempatnya bersekolah saat ini adalah mi...
Akhi Idaman
1223      762     1     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.
Kisah Kasih di Sekolah
774      501     1     
Romance
Rasanya percuma jika masa-masa SMA hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Nggak ada seru-serunya. Apalagi bagi cowok yang hidupnya serba asyik, Pangeran Elang Alfareza. Namun, beda lagi bagi Hanum Putri Arini yang jelas bertolak belakang dengan prinsip cowok bertubuh tinggi itu. Bagi Hanum sekolah bukan tempat untuk seru-seruan, baginya sekolah ya tetap sekolah. Nggak ada istilah mai...
Ketika Takdir (Tak) Memilih Kita
581      327     8     
Short Story
“Lebih baik menjalani sisa hidup kita dengan berada disamping orang yang kita cintai, daripada meninggalkannya dengan alasan tidak mau melihat orang yang kita cintai terluka. Sebenarnya cara itulah yang paling menyakitkan bagi orang yang kita cintai. Salah paham dengan orang yang mencintainya….”
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...