“Satu, dua, kanan, kiri, rendah, tangan rentang, kiri, kanan, kanan tunjuk, kaki ayun, kiri tahan, tumpu kaki, angkat bad—”
BAM!
“Fuck!”
Sontak seisi studio tergelak saat melihat Riley dan Tom terbanting, kedua kaki mereka tidak kuat mendorong tubuhnya untuk berdiri.
“Kuda-kudamu kurang kokoh, berat badan bertumpu di kedua telapak kaki plus harus cepat,” ujar Dow sambil mempraktekkan sementara yang lain menghitung gerakannya. “Antara tangan tangan kiri menahan, dan angkat badan hanya dalam satu hitungan,” Dow terlihat mudah melakukan gerakan yang membuat Riley kewalahan. “Kalian coba slow motion dengan kayang dulu, baru nanti digabung gerakan lain.”
“Kau sih mudah, kan ini gerakanmu,” sungut Tom.
“Kenapa sih bikin gerakan susah begini,” gerutu Riley.
“The more challenging, the better,” timpal Tom.
Dow nyengir lebar mendapat dukungan dari Tom. Rupanya, meskipun bersungut-sungut karena gerakan Dow susah, tapi tantangan di dalamnya membuat Tom mendukung Dow.
“Lagipula, bukannya ini bisa kau jadikan bekal, latihan di 3CG pasti lebih susah lagi,” Dow mengingatkan.
“Bagaimana ini? Kita sudahi atau lanjut?” tanya Dow. Sekarang jam 4:15, kurang 15 menit sebelum jam biasa mereka pulang.
“Kita pulang sajalah. Lumayan 15 menit untuk tidur,” Reed nyengir.
Ada alasan kenapa latihan mereka berakhir jam setengah lima sore, karena jam Reed harus bekerja. Bukan hanya Reed yang bekerja, hampir semua anggota klub tari punya pekerjaan paruh waktu. Mungkin hanya Dow yang pekerjaan paruh waktunya tidak menghasilkan uang. Yeps, Dow bekerja di Second Chances.
“Yang lain?” tanya Dow. Ketika semua mengangguk setuju, Dow pun menutup latihan. “Oke, besok jam yg sama. Kalau bisa besok kita minta Mr. York untuk mengevaluasi, semakin cepat dapat approval semakin bagus.”
“Tapi Dow, kau masih harus presentasi di rapat akhir, minggu depan, kan?” tanya Will. “Apa tidak sebaiknya menunggu hasil rapat?”
“Nah, kita curi start dengan minta approval Mr. York dulu. Beliau yang bertanggung-jawab dengan semua artistik koreo? Kalau Mr. York sudah oke, besar kemungkinan semua juga oke, kecuali yang sengaja mencari masalah,” jelas Dow.
“Evil genius,” Chloe mengangguk setuju.
Dow mengedipkan satu matanya.
“So, see you all tomorrow?”
“Yeah.”
Dow menghampiri Tom yang sedang memberesi barang-barang miliknya, dan memasukkannya ke dalam tas.
“Hei, hari ini kau sibuk?” tanya Dow.
“Nope, kenapa?” Tom bertanya balik.
Dow menoleh ke belakang melewati bahunya, melihat jika ada yang memperhatikannya bicara dengan Tom. Ternyata tidak ada, semua sibuk dengan dirinya sendiri.
Phew!
“Ada yang ingin kubicarakan. Kau ada waktu?”
Tom meletakkan kembali handuk yang sedianya akan dimasukkan ke dalam tas lalu menatap Dow dalam-dalam.
“Am not dating you,” ceplos Tom.
Dow mendelik sewot.
“Kita duluan, ya!” pamit Chloe, mengekor di belakang gadis itu adalah si pacar, Will.
“Tom?” tanya Riley yang sudah siap menyusul Will dan Chloe.
“Aku masih ada yang ingin kubicarakan dengan Dow, kau duluan saja,” jawab Tom.
“Oke,” Riley mengangkat tangan, lalu meninggalkan studio.
Satu per satu anggota klub tari meninggalkan studio hingga hanya Dow dan Tom yang tersisa.
“Kau ingin bicara di sini atau di tempat lain?” tanya Tom.
“Koopa?”
“Sure.”
Sepuluh menit kemudian, Dow dan Tom duduk berhadapan di Koopa, kafe favorit siswa Hills High. Dow dengan satu gelas smoothie pisang dan kiwi sedangkan Tom memilih double burgers.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Tom begitu keduanya duduk di meja yang kosong.
“Boleh kita bicarakan kedua orang tuamu yang melarangmu menari?” tanya Dow hati-hati. Ia tahu topik Tom, dan orang tuanya merupakan topik yang sangat sensitif, bahkan hampir semua tahu topik tersebut lebih baik dihindari.
Burger di tangan Tom berhenti di depan mulutnya, lalu ia mengembalikannya ke piring. Sekarang Dow benar-benar mendapat perhatiannya.
“Ada apa dengan mereka?”
Dow mengacak rambutnya frustasi, ia tidak tahu kata-kata yang tepat untuk menjelaskan pertanyaanya.
“Percayalah, aku bukan ingin mengkritisi, aku hanya ingin tahu dan berharap aku bisa lebih mengerti Dad.”
Kening Tom berkerut dalam. “Dad?”
Dow menceritakan bagaimana Dad menyabotase keputusannya dengan memberikan beberapa video tarinya kepada seseorang bernama Lucas.
“Wow. There's nothing I can say. You know what? Kau membuatku iri,” Tom bersiul pelan.
“Not my point,” Dow berdecak.
Tom membuat gestur dengan tangannya untuk menjelaskan sedangkan dirinya mengangkat burger, kembali menggigitnya dengan gigitan besar.
“I don't want to sound like an ungrateful brat, which I feel very much like ones, right now. Aku hanya ingin mereka menghargai keputusanku. Apa aku salah?”
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanya Tom dengan raut muka kebingungan.
“Bukankah kedua orang tuamu nggak pernah setuju kau menari? Kurasa kau bisa mengerti kenapa aku marah. Aku hanya ingin tahu kalau aku bukan,” Dow mencari kata yang cocok untuk menggambarkan perasaannya. “Again, an ungrateful brat,”
“Kau butuh validasi.”
Tom meletakkan burgernya kembali ke piring lalu bersandar ke sandaran kursi. Menatap Dow dengan raut muka serius.
“Masalahnya Dow, aku bahkan nggak yakin kalau situasi kita sama. Ed melakukan itu karena kau bersikeras menolak ikut audisi. Beliau nggak ingin kau melewatkan kesempatan ini. Sedangkan aku, kedua orang tuaku melarang aku menari bukan hanya karena menari itu sissy—yes, they’re sexist that way—more than that, I never good enough for them.”
“Oh man, I’m sorry. Aku tidak tahu kalau seburuk itu situasimu,” sekarang Dow merasa lebih buruk daripada sebelum bicara dengan Tom.
“Thanks, but it is what it is. Aku nggak suka, tapi aku mengerti kenapa mereka seperti itu. Mereka hidup untuk berkompetisi, apa yang mereka lakukan harus lebih baik dari yang saudara-saudara mereka lakukan. Melelahkan memang. Mom dibesarkan dengan cara seperti itu, harus menjadi lebih baik dari saudara-saudaranya yang lain, sedangkan Dad—“ Tom mengangkat bahu. “—Entahlah, kurasa cara hidup Mom nggak begitu menganggunya. Sama halnya aku bisa mengerti kenapa Ed melakukan itu padamu, bukan berarti aku setuju dengan tindakannya. And no. you’re not an ungrateful brat. Kau berhak membuat keputusan dan orang lain seharusnya menghargai itu.”
“Menurutmu begitu?”
Sekali lagi Tom hanya mengangkat bahu lalu kembali meraih burger-nya.
“Kau pernah bicara dengan kedua orang tuamu mengenai cara hidup mereka yang nggak sehat?” tanya Dow.
Tom menutup mulut dengan telapak tangan untuk menyembunyikan tawanya.
“Kau bercanda? Kurasa kau tahu seperti apa mereka. Aku hanya menunggu lulus SMA dan keluar rumah. Kurasa sekarang hidupku akan lebih mudah, you know, pekerjaan tetap dan tidak perlu mengandalkan beasiswa atau kerja paruh waktu. Aku sudah lama nggak memikirkan orang tuaku, apalagi ekspektasi mereka terhadapku. Kalau bagi mereka hidupku merupakan kegagalan dan memalukan, itu urusan mereka, aku nggak akan menyia-nyiakan hidupku dengan berusaha mencapai standar hidup yang aku bahkan nggak tahu akan berhenti setinggi apa. Kau sendiri? Kau sudah bicara dengan Ed mengenai audisi ini?”
“Aku … nggak bicara dengan Dad,” aku Dow.
Tom terkekeh mendengar pengakuan Dow. “For what it’s worth, kurasa sebaiknya kau bicara dengan Ed. Kenapa kau nggak suka dengan tindakannya. Sepertinya Ed tipe daddy yang bisa diajak diskusi.”
Dow hanya bisa mengangguk-angguk. Dirinya sudah kehabisan kata-kata. Ketika ia mengajak Tom untuk bicara, ia sama sekali tidak mengira akan menemukan fakta lain dari seorang Tom. Kini ia bisa mengerti kenapa Tom hampir selalu sinis terhadap apapun. Ternyata ada sesuatu yang membuatnya seperti itu, padahal kalau diajak bicara baik-baik, ada banyak hal yang bisa ia dapat lebih daripada kesinisan.
Benar kata Mom, tidak boleh semudah itu menghakimi seseorang. Yang paling penting lagi? Ia harus segera bicara dengan Dad. Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, setiap hari menghindari Dad juga cukup melelahkan.