Dow meletakkan beberapa lembar uang kertas di lantai studio.
“Ini, aku kalah.”
Keesokan harinya, usai berdebat dengan Oi di halaman perpustakaan, lalu entah bagaimana ceritanya justru berakhir dirinya mentraktir Oi es krim karena telah menuduh sembarangan. Dow pun mau tidak mau menerima fakta jika dirinya lolos audisi yang artinya, ia kalah taruhan dengan Ryan, dan anggota tim tarinya lainnya. Tapi ternyata, alih-alih latihan, teman-temannya hanya duduk mempelajari kontrak yang diberikan Mr. York.
Tom mendongak sambil berkata. “Tapi secara teknis kau nggak ikut audisi, kau nggak perlu membayar taruhan.”
“Whatever, intinya aku lolos audisi seperti kalian,” Dow menggeleng.
“Kau masih nggak tahu siapa kira-kira yang mengirimkan profilmu?” tanya Will hati-hati.
Dow kembali menggeleng lalu merebahkan diri di lantai.
“Satu-satunya orang selain kalian yang tahu soal audisi ini adalah Oi. Tapi dia sama terkejutnya denganku ketika mendengar berita aku lolos audisi. Dia bahkan marah-marah dan membuatku mentraktirnya es krim karena menuduh sembarangan,” jelas Dow.
Sontak Will terbahak mendengarnya. “Itulah Oi.”
“Aku bertanya-tanya kenapa kalian nggak pacaran saja,” ceplos Chloe.
Sontak Dow tersedak ludahnya sendiri begitu mendengar ucapan Chloe. Ia terbatuk hingga terbungkuk-bungkuk, berusaha bangun untuk melonggarkan napasnya.
Damn.
“Darimana kau bisa mendapatkan pikiran absurd semacam itu?” tanya Dow.
Chloe hanya mengangkat bahu, sedangkan Will menatapnya dengan tatapan, duh.
“Maksudnya apa?” tuntut Dow pada Will.
“Semua orang di sini justru heran kenapa kalian nggak pacaran,” komentar Ryan. “Jadi bukan Will, dan Chloe saja.”
“Dasar absurd,” Dow menggeleng. “Aku nggak akan membicarakan ini.”
“Jadi, bagaimana?” tanya Tom mengalihkan topik pembicaraan.
“Apanya yang bagaimana?” Dow bertanya balik.
Tom melambaikan map di tangannya.
“Entahlah, aku belum lihat rancangan kontraknya,” aku Dow. Ia kembali merebahkan diri di lantai studio.
“Kupikir ada baiknya kalau kita mencari pendapat dari yang ahli dalam urusan kontrak,” kata Riley.
“Mr. York sudah bilang kalau ada yang tidak dimengerti, bisa ditanyakan ke beliau,” Tom mengingatkan.
“Chloe~~” Will memanggil sang pacar dengan panggilan yang bernada. “Mungkinkah Daddy-mu membuka konsultasi pro bono?”
Sontak semua yang berada di studio menatap Chloe tertarik—kecuali Dow. Mr. Adam, daddy-nya Chloe merupakan seorang pengacara rekanan di West Town.
“Kau bukan warga miskin atau organisasi non profit,” jawab Chloe datar.
Will terkekeh.
“Tapi, boleh juga sih,” kata Tom. “Meski aku hampir pasti bergabung dengan 3 CG, ada baiknya kalau mendapat insight dari yang lebih berpengalaman dan ahli.”
“Kau sudah memutuskan?” tanya Chloe pada Tom.
“Bagiku ini merupakan kesempatan emas,” jawab Tom.
Chloe mengangguk mengerti.
Anggota tim pun tahu jika kontrak dengan 3 CG Ent merupakan langkah Tom untuk keluar dari belenggu orang tuanya. Kepada teman-temannya, Tom juga tidak pernah menyembunyikan fakta jika hubungan orang tua-anak tersebut terhitung buruk.
“Kurasa, kalau Mr. York berani merekomendasikan 3 CG, kepada kita, dan sebaliknya. Seharusnya perusahaan ini legit,” kata Dow urun komentar.
“Kalau kau berpendapat begitu, kenapa masih menolak?” tanya Will.
Dow menghembuskan napas dalam. “Berapa kali kubilang, kalau aku sudah punya rencana sendiri?”
“Iya, iya, maaf! Jesus,” gerutu Will.
“Kalian nggak ada yang berminat untuk latihan?” tanya Dow.
Hanya dengan pertanyaan seperti itu, semua yang bergegas bangkit lalu mengerjakan tugasnya masing-masing. Ada yang menyiapkan playlist dan sound-system, ada yang menyingkirkan barang-barang dari tengah lantai, ada yang mengelap lantai dengan kain kering.
“Omong-omong soal tari,” Dow berkata pada Will. “Mungkin Oi akan mencarimu untuk minta traktir es krim.”
“Eh?” Will menoleh ke arah Dow. “Kenapa aku juga kena? Kan kau sendirian yang menuduh Oi.”
“Oh, dia punya teori sendiri, dan percayalah, kau nggak akan bisa lolos,” Dow mengangguk.
Will tidak menjawab apa-apa, hanya menggelengkan kepala, sebelum bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Dow hanya berdiri di tengah, melihat semuanya sibuk, merasakan ruangan itu berubah perlahan dari ruang obrolan menjadi ruang kerja. Begitu lagu mengalun dan semua orang mengambil posisi masing-masing, ia ikut menari, tanpa instruktur, tidak ada pengarah, hanya mereka dan dentum musik yang mengalun keras.
Koreografi sudah mulai terbentuk. Gerakan Tom kini lebih tegas. Ryan tak lagi canggung di bagian transisi. Chloe, seperti biasa, luwes dan akurat. Riley mulai menemukan cara sendiri mengisi ruang. Will, meskipun masih suka lupa hitungan, tapi instingnya selalu mampu mengejar. Mungkin itulah kenapa Will dan Dow cocok menjadi tandem, karena mampu saling melengkapi.
Sedangkan Dow, ia bergerak seperti orang yang mencoba menyatukan semuanya. Ia berpindah dari satu formasi ke formasi lain, mengingatkan ritme, menyamakan tempo, dan sesekali berhenti untuk memberi isyarat koreksi. Tapi di tengah semua itu, ia sendiri belum benar-benar ‘masuk’ ke dalam tariannya.
Kalau Mr. York di sini, beliau akan menyebutnya ‘tubuh bergerak, sedangkan hatinya tertinggal’. Sayangnya, Dow mengakui hal itu. Satu-satunya waktu ia menari sepenuh hati, adalah saat ia menari sendirian diiringi lagu-lagunya Goo Goo Dolls.
Saat mereka berhenti sejenak untuk istirahat, Will duduk bersandar di dinding sambil menyeruput air dari botol minum.
“Omong-omong soal tari,” kata Dow sambil meraih ponselnya. “Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”
Dow menyambungkan ponselnya ke proyektor, lalu di tembok studio muncul rekaman Dow yang tengah menari sendirian. Tapi bukan tarian solo Dow yang membuat teman-temannya ternganga, tapi musik yang mengirinya.
“Lagu siapa itu?” tanya Chloe ketika rekaman selesai ditayangkan.
“Goo Goo Dolls,” jawab Dow sambil mendorong rak proyektor ke pinggir.
“Aku nggak tahu siapa Goo Goo Dolls, tapi tarianmu keren, ada nyawanya,” Tom mengangguk.
Sementara itu Chloe terkesiap ketika menatap ponselnya.
“Kenapa?” tanya Will khawatir.
Chloe menunjukkan ponsel ke Will. “They’re an old band.”
“Oh, ya, lebih tua mereka daripada orang tuaku,” Dow mengonfirmasi.
Untuk kedua kalinya teman-teman Dow menatapnya seperti alien berkepala yang aneh.
“Oke, jadi pertanyaannya, sejak kapan kau mendengarkan musik semacam itu? Karena kami nggak pernah mendengar sebelumnya,” tanya Will.
“Akupun. Dan untuk menjawab pertanyaanmu, bukan aku yang mendengarkan musik-musik ini, tapi Oi.”
Reaksi teman-temannya beragam. Ada yang membuang muka, ada yang terbahak, ada juga yang mendengus keras.
“Seharusnya aku sudah bisa menduga,” Will menggelengkan kepala.
“Jadi bagaimana? Kita latihan lagi satu putaran?” tanya Tom.
“Sure,” Dow mengangguk.
“Kita coba pakai musiknya Dow?” tanya Tom lagi.
“Harus kuakui ini sedikit menantang, bagaimanapun rasanya agak aneh menari diiringi musik rock,” Riley tertawa kecil.
“Kita nggak perlu membatasi diri, kan?” komentar Chloe.
“Oh ya, benar, seperti yang kubilang, ini sesuatu yang baru,” Riley mengangguk.
Studio kembali sunyi. Lagu berikutnya diputar. Kali ini musiknya lebih pelan, balada. Dow memejamkan mata sebentar, membiarkan musik mengisi ruang dalam dirinya. Di detik itu, untuk pertama kalinya sejak sesi latihan dimulai, ia merasa ‘hadir’.
Ia melangkah ke tengah lantai dan mulai menari. Tidak dengan gerakan rumit, hanya langkah-langkah dasar yang ia gabungkan dari berbagai koreografi lama. Tapi gerakannya kali ini terasa berbeda. Ada narasi yang dibisikkan tubuhnya, ada emosi yang mengalir dari ujung jarinya hingga gerak matanya.
Will, dan teman-teman yang lain hanya memperhatikan, tidak menyela, tidak memberi komentar. Hanya menyaksikan, sebelum satu per satu masuk ke irama, membiarkan tubuh bergerak dengan sendirinya.
Saat musik berhenti, semua diam. Tak ada tepuk tangan. Tak ada komentar. Tapi atmosfer studio berubah. Seperti sesuatu telah berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain.
“Wow, that’s cool,” Riley yang pertama kali bicara.
Will mengangguk, terengah.
“Haruskah kita mengganti musiknya?” tanya Chloe.
“Aku nggak yakin soal itu,” kata Dow. “Untuk 3 CG mungkin bisa, kalau untuk festival sekolah, nggak mungkin.”
“Kau benar, sayang sekali, padahal ini tadi keren,” komentar Chloe.
Sore pun menjelang senja. Cahaya matahari merembes lewat jendela kaca, membuat bayangan panjang di lantai kayu. Studio masih hangat oleh sisa tubuh yang bergerak. Masih riuh oleh napas yang terengah. Tapi di dalam kepala Dow, segalanya menjadi lebih jernih.
Ia masih belum tahu siapa yang mengirim profilnya ke audisi. Tapi sore itu, ia tidak lagi peduli. Karena sore itu, di studio, di tengah tawa teman-temannya, dan nada-nada yang tak lagi asing, ia menemukan kembali alasan kenapa ia jatuh cinta pada tari.
Mungkin juga, kenapa ia mulai membuka ruang untuk jatuh cinta pada hal lain—atau seseorang.