Sepeninggal Will, studio benar-benar kosong, hanya suara langkah Dow yang bergema di lantai kayu. Sesekali terdengar decit sol sepatu ketika ia melakukan gerakan berputar. Suara musik sudah mati sejak lama, cowok itu tidak sedang ingin mendengar apapun. Dengan terengah, Dow berhenti di depan tembok cermin, mengamati bayangan dirinya sendiri, lalu menarik napas panjang.
Entah sudah berapa lama Dow tinggal di studio. Ia merasa tubuhnya berat, gerakan yang biasanya mengalir seperti air, kini tersendat. Gerakan demi gerakan terasa seperti hasil hafalan, bukan perasaan. Seperti meniru seseorang yang pernah jadi dirinya, mungkin seperti kata pepatah, serupa tapi tak sama, meskipun Dow tidak yakin konteksnya sama.
Pada satu titik, Dow teringat ucapan Oi yang pernah mengatakan kalau saat menari, ekspresi wajahnya berbeda. Lebih hidup. Lebih jujur.
Tapi malam ini, Dow tidak melihat kejujuran itu di cermin.
Dow mencoba mengulang bagian tengah dari koreografi yang dibuat bersama Will sore tadi. Lompatan, putaran, dorongan tangan ke arah ruang kosong, semuanya ada, sesuai rencana. Tapi begitu ia menapak kembali ke lantai, dan membeku di pose akhir, cowok itu tahu, sesuatu hilang.
Ia mendesah, meraih botol minum, lalu duduk di lantai. Punggungnya menyentuh dinding studio yang dingin, dan dari tempatnya duduk, Dow bisa melihat pantulan bayangan kecil di kaca. Ia kelihatan lelah. Tapi ia tahu, kelelahan ini bukan karena tubuhnya, tapi karena isi kepalanya yang tidak berhenti berisik.
Kau.
Thomas.
Kau dan Oi sedang berdua duduk di Bite & Brew itu lagi hari ini, kan?
Oi berkata tidak bisa ke studio karena akan mengerjakan karya ilmiah lagi. Dow tahu mereka sedang belajar, bukan bersenang-senang di kafe seperti berkencan. Tapi tetap saja, perasaan itu tidak bisa diusir begitu saja dari dadanya. Saat ini, Dow bisa mengakui bagaimana dia tidak suka dengan cara Oi tersenyum pada Thomas. Ia juga tidak suka cara Oi menyebut nama Thomas. Ia juga tidak suka dengan fakta bahwa Oi mengaku tidak punya inspirasi untuk membuat kostum tarinya.
Satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum huru-hara karya ilmiah, dan mengenal Thomas, Oi nyaris setiap saat berada di studio bersama Dow. Gadis itu mengerjakan PR, sketsa desain atau apapun itu di studio tari.
Bersamanya.
Satu lagi yang ia rindukan, kecerewetan Oi.
‘Untuk gerakan ini, sebaiknya bahan kostumnya jatuh atau kaku?’ atau ‘Kalau aku pakai warna merah tua, kira-kira terlalu mendominasi nggak?’
Ada saat di mana Dow merasa jengkel dengan segala pertanyaan Oi yang sering tidak tahu waktu, tapi dengan kesunyian seperti ini? Dia akan melakukan apapun untuk bisa mendengarkan kecerewetan Oi. Sudah dua kali gadis itu mengeluh belum ada inspirasi untuk kostum tari. Dow pura-pura mengangguk, pura-pura mengerti, pura-pura tidak kecewa. Padahal ia sangat ingin bertanya, kenapa? Apa karena kostum ini terlalu sulit? Atau karena gadis itu sudah tidak ingin memikirkan dirinya sejauh itu?
Apakah Thomas sudah berhasil memonopoli otaknya?
Dow mengira dirinya berpikir kalau bisa pura-pura kuat. Tapi malam ini? Semua topeng itu runtuh di lantai studio.
Menghela napas berat, Dow bangkit, berjalan pelan ke laptop, dan memutar ulang rekaman latihan yang Will ambil sebelum pulang. Di layar, ia melihat tubuhnya bergerak mengikuti koreografi—rapi, presisi, terkontrol. Lagi-lagi, Dow hanya bisa mendengus jijik melihat ekspresinya yang datar.
Hampa.
Dow nyaris tidak mengenali dirinya sendiri.
Lalu sebuah dorongan aneh muncul. Dow meraih ponsel, membuka Spotify, mencari playlist milik Oi. Dalam mimpinya yang paling liar pun, Dow sama sekali tidak pernah mengira dirinya akan mendengarkan musik yang didengarkan Oi. Bukan apa-apa, tapi selera musik gadis itu sama ajaibnya dengan selera bacaannya. Maksudnya, siapa remaja seumuran mereka yang mendengarkan musik dari musisi yang usianya bahkan lebih tua dari kedua orang tuanya?
Bukan berarti musisi yang berumur itu musiknya jelek, tidak sama sekali. Hanya tidak biasa.
Dow juga tidak mengerti darimana Oi mendapat referensi musik seperti yang biasa ia dengarkan. Setahunya kedua orang tua Oi tidak begitu mendalami seni, mereka merupakan tipe orang tua ‘pada umumnya’. Silas Myers adalah pemilik kantor jasa akuntan ternama, sedangkan Ruth Myers merupakan seorang dokter kecantikan sekaligus pemilik klinik kecantikan. Jauh berbeda dengan kedua orang tuanya yang sama-sama bekerja di bidang seni. Dad adalah pemilik satu-satunya galeri seni di West Town, sedangkan Mom merupakan pemilik agensi perencana pernikahan.
Kembali ke selera musik Oi, Dow harus menahan diri untuk tidak bereaksi ketika into musik Slide milik Goo Goo Dolls bergema di seantero studio. Bahkan usia anggota band tersebut lebih tua daripada Dad yang notabene paling tua diantara kedua orang tua mereka.
Jadi, darimana Oi mendapat referensi untuk selera musiknya?
Entahlah.
Dow menyalakan kamera ponsel untuk merekam tariannya, kebiasaan yang dimulai oleh Will. sahabatnya itu berpendapat kalau setiap sesi wajib direkam, selain untuk dokumentasi, rekaman-rekaman itu berguna ketika mereka sedang menciptakan koreografi seperti sekarang.
Keanehan terjadi ketika Dow membiarkan dirinya tenggelam dalam musik yang berbeda dari musik yang biasa ia gunakan sebagai latar belakang. Ia menari tanpa skrip gerak, tanpa tempo, tanpa ingatan apapun. Hanya membiarkan tubuhnya menyatu dengan perasaan dan alunan musik.
Kaki Dow bergerak pelan, membentuk langkah yang tidak biasa. Gerakan spontan, bukan dari hafalan. Ia juga tidak menolak ketika wajah Oi berkelebat di benaknya, atau ketika suara tawa Oi mengalahkan nada tinggi John Rzeznik saat menyanyikan Autumn Leaves. Dow baru berhenti ketika lagu tersebut berakhir, bertepatan dengan tangannya yang terulur ke udara seperti ingin meraih sesuatu.
Dow mengerjap.
Wow.
Ini pertama kalinya sejak beberapa hari terakhir Dow merasakan kembali adrenalin, dan semangat dalam menari. Napasnya memburu, tubuhnya basah oleh keringat, tapi ia merasa ringan, bahkan gembira! Dow meraih ponsel, dan mematikan kamera, lalu mengulang rekaman tersebut. Ia tidak bisa menahan senyum ketika melihat tariannya. Gerakan itu jujur. Lebih jujur dari apapun yang pernah ia tunjukkan, bahkan ke Will.
Dow merebahkan tubuh ke lantai, tidak peduli membuat lantai studio basah karena keringatnya. Untuk sesaat ia hanya, menatap langit-langit. Jadi, inilah yang sebenarnya terjadi, dirinya membutuhkan Oi sebagai sumber inspirasi.
“Oh, wow! Aku nggak tahu kalau kau mendengarkan Goo Goo Dolls juga!”
Dow memejamkan mata ketika mendengar seruan Oi. Benar, ia belum mematikan Spotify-nya, dan tentu saja, Oi menangkap basah dirinya tengah mendengarkan salah satu band favorit gadis itu.
“Jadi kenapa mendengarkan Goo Goo Dolls?” Oi duduk di lantai di samping Dow, lalu mengeluarkan sebuah kantong kertas In-N-Out dari tas punggungnya.
Dow menggelengkan kepala sembari beringsut bangun, tentu saja In-N-Out, ini Oi, mana paham dia tentang makanan sehat?
“Double Double protein style,” Oi mengulurkan sebuah burger pada Dow. “Kau nggak berpikir kalau aku tahu perkara dietmu, kan?”
Dow tersenyum kecil. Oi benar, dirinya tidak mengira kalau gadis itu memperhatikannya sampai sedetail itu. Terlebih karena perkara pesanan ini menjadi salah satu topik pertengkaran mereka. Menurut Oi, burger harus memakai roti, bukan selada sebagai pengganti roti, sedangkan bagi Dow, protein style merupakan caranya untuk berkompromi dengan Oi yang pilihan makanannya selalu tidak bersahabat untuknya.
“Kau persiapan untuk festival, aku nggak sejahat, itu, kau tahu?” ujar Oi lagi.
“Bukan salahku kalau kau selalu membuatnya seperti penistaan di dunia burger,” Dow mengedikkan bahu, sembari membuka bungkus burgernya.
“Oh, protein style memang penistaan,” Oi mengangguk dalam. “Tapi aku mau mengambil resiko berdosa karena ini untuk kebaikan sekolah, juga.”
Sontak Dow mendengus keras mendengar ucapan Oi. Hal-hal seperti inilah yang hilang darinya selama beberapa hari terakhir ini.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,”
“Apa?” Dow bertanya balik, lalu menggigit burgernya dengan gigitan besar. Hanya setelah burger di tangannya, ia menyadari betapa lapar dirinya.
“Kenapa mendadak mendengarkan Goo Goo Dolls.”
“Ah, sepertinya ini bukan Goo Goo Dolls,” kata Dow.
Ia tidak tahu siapa yang sedang bernyanyi, tapi dari vokal penyanyinya, Dow cukup yakin kalau bukan Goo Goo Dolls.
“Semisonic, Secret Smile,” Oi memberi tahu lagu siapa yang tengah mereka dengarkan. “Kau tahu maksudku, playlist-ku bukan tipe musik yang kau dengarkan, apalagi saat menari.”
Dow mengedikkan bahu. “Aku butuh sesuatu yang baru.”
“Sedang mencari inspirasi?” telisik Oi.
Alih-alih menjawab, Dow meraih ponsel, dengan satu tangan ia membuka ponsel, lalu memperlihatkan rekaman terbaru.
Seperti biasa Oi sangat bersemangat melihat rekamannya menari, bahkan gadis itu meletakkan burgernya agar bisa fokus melihat tariannya. Untuk sesaat Oi tidak bergerak meski tariannya sudah selesai.
“Wow, Dow, itu tadi keren sekali!”
“Menurutmu begitu?”
Oi mengangguk-angguk penuh semangat. Oi kembali mengambil burger, dan mulai memakannya. Untuk beberapa saat mereka hanya fokus ke burger masing-masing.
“Aku masih nggak bisa berkata-kata,” kata Oi begitu burgernya habis, lalu meraih botol air minum Dow.
“Maksudnya?” tanya Dow. Sama seperti Oi, Dow meremas kertas pembungkus burger, sambil menanti Oi selesai minum dari botol air minumnya.
“Tarianmu, tadi, Dow,” Oi menyerahkan botol air minum kembali pada Dow. “That’s awesome.”
“Thanks.”
“Itu yang akan kau pakai untuk solo?” Oi memutar kembali rekamannya, masih terkagum-kagum.
Mungkin ini terdengar arogan, tapi melihat reaksi Oi, kepercayaan diri Dow seperti ditembakkan roket.
“Dunno, itu tadi hanya spontan, kau tanya apa yang membuatku mendengarkan Goo Goo Dolls, itu yang kudapat ketika mendengar musik mereka.”
“Sekarang kau mau mengakui kalau selera musikku bagus, kan?” Oi mengibaskan rambut bergelombangnya.
“Whatever,” Dow menggelengkan kepala.
Kalau sudah begini, Oi pasti akan memamerkan ke semua orang, bagaimana akhirnya Dow ‘mengakui’ seleranya terhadap seni, dalam kasus ini, seni musik.
“Aku sedikit kesulitan membuat koreo untuk solo,” aku Dow. “Kau bisa lihat beberapa rekaman sebelum itu.”
Menuruti ucapan Dow, Oi melihat beberapa rekaman yang dibuat Dow dan Will.
“Itu koreo untuk solo, tapi aku nggak yakin,” tambah Dow.
“Will nggak ngomong apa-apa?” tanya Oi setelah melihat rekaman yang dimaksud Dow.
Sebelum bisa ditahan, Dow mendengus keras mendengar pertanyaan Oi.
“Kau pikir Will akan diam saja?”
Oi terkekeh. “Kau tunjukkan saja tarian spontanmu ini.”
Dow mengangguk-angguk, berpikir.
“Ini kukirimkan ke ponselku,” kata Oi, sebelum membersihkan sisa makan mereka, lalu berkata lantang. “Kau punya banyak waktu untuk memikirkan koreomu selanjutnya, tapi sekarang, waktunya kita pulang!”