“APA ITU? Playboy edisi terbaru, kah?” tanya Dow sambil melongokkan kepala ketika melihat kerumunan di tengah-tengah lantai studio tari.
Sebuah pemandangan yang bisa dibilang tidak biasa untuk seorang Dow. Karena, pertama, biasanya Dow menjadi yang pertama tiba di studio, bukan yang terakhir seperti sekarang. Sebenarnya bukan tanpa alasan, hari ini ada pengecualian karena ia harus mengikuti rapat dengan tim drama dalam kapasitasnya sebagai presiden klub tari. Kedua, hampir selalu tidak ada anggota tim yang duduk ngobrol sebelum berlatih.
Dow mengangkat tangan, mengecek jam, yup, latihan seharusnya sudah dimulai setengah jam yang lalu.
Tapi pemandangan di depannya berkata lain. Anggota klubnya duduk melingkar di lantai, tas berserakan di mana-mana, sound system belum terpasang.
Dengan kata lain, tidak ada tanda-tanda mereka sudah berlatih sebelum duduk bergosip.
Hanya saja, alih-alih seseorang memberitahunya gosip apa yang tengah mereka bicarakan, seseorang justru memukul belakang kepalanya. Will, wakil sekaligus tandemnya menari.
“Cuci otakmu, berhentilah berpikir jorok,” ujar Will.
“Hei! Memang apa yang membuat kalian begitu antusias kalau bukan melihat model-model telanjang?” tanya Dow dengan raut muka tidak bersalah yang dibuat-buat.
Ia menjatuhkan tas kanvas di sisi kakinya. Masih berdiri—dan berkacak pinggang—di belakang teman-temannya. Mereka hanya mendongak, menatap Dow datar, tidak satu pun dari mereka bereaksi terhadap suara tas yang jatuh ke lantai meski cukup kencang. Sepertinya wibawa Dow sebagai presiden klub perlu dipertanyakan.
“Kenapa kalian menatapku begitu?” tanya Dow sambil menatap temannya satu per satu bergantian. Pura-pura tersinggung.
Anggota yang lain, Reed bangkit hanya untuk memukulkan selembar pamflet ke wajah Dow seraya berkata. “Sebaiknya kurangilah frekuensimu membaca majalah porno.”
Dow menangkap pamflet tersebut, satu alisnya terangkat ketika membaca isinya.
3 CG Ent, sebuah agensi bakat yang cukup ternama mengadakan audisi untuk penari, profesional.
Nah, tidak, tidak tertarik.
Dow mencebik, ia menyeruak diantara Will—yang entah kapan sudah kembali duduk—dan Tom dengan lutut untuk memberinya ruang duduk, lalu meletakkan kembali pamflet di depannya.
“Apalagi?” tanya Dow ketika teman-temannya kembali menatapnya. Kali ini bukan tatapan datar seperti sebelumnya, melainkan tatapan rasa ingin tahu, dan … harapan?
Harapan?
Harapan apa yang mungkin mereka inginkan dari dirinya?
Jangan-jangan—
“Kalian nggak berpikir aku juga akan ikut audisi, kan?” tanya Dow dengan kedua mata membulat horor.
Meski dirinya adalah presiden klub tari sekolah, bukan berarti ia harus ikut audisi. Lagipula … audisi akan membuat hidupnya lebih rumit. Terutama jika, katakanlah, dirinya diterima audisi. Bukankah itu berarti dia akan menjadi penari profesional?
Oh tidak, tidak, TIDAK akan pernah terjadi!
“Bukan kau, tapi kita. Kita semua, seluruh anggota inti klub,” jawab Tom seraya menunjuk semua anggota klub yang hadir di studio.
Untuk pertama kalinya Dow sadar jika yang berada di sekelilingnya sekarang hanyalah 9 orang anggota tim inti, dirinya sendiri, Will, Tom, Matt, Reed, Riley, Lee, Ryan, dan Josh … plus Chloe, pacarnya Will sekaligus sekretaris klub. Ke mana yang lain?
“Yang lain nggak latihan? Aku nggak ingat kalau hari ini libur,” kening Dow berkerut setelah dalam hati menghitung anggota klubnya.
“Uh, itu, aku bilang kau ada rapat darurat dengan panitia festival,” jawab Will.
Dow membuka, dan menutup mulutnya seperti ikan kekurangan air, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Cowok itu terbelah antara ingin menjitak Will, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ingin menjitak karena Will dengan sesuka hati mengumumkan jika dirinya tidak ada waktu untuk berlatih. Dan pasrah karena secara teknis, Will tidak bohong. Dirinya terlambat datang karena rapatnya molor. Plus, Will juga tidak mengatakan jika latihan ditiadakan.
Sialan!
“Jadi?” tanya Tom dengan satu alis terangkat.
“Jadi?” ulang Dow pura-pura bodoh.
Tom tidak menjawab, hanya melambaikan pamflet di tangannya.
Ah, rupanya kembali pada topik audisi.
“Keputusannya gimana?” Reed menjelaskan pertanyaan Tom.
“Nah, aku nggak tertarik. Kalian saja yang berangkat. Kalau kalian butuh surat rekomendasi dari klub, aku akan minta Chloe membuatkan,” Dow mengangguk ke arah Chloe mantap.
Sontak, delapan pasang mata melotot.
Chloe terkikik. Ia hanya mengangkat bahu dengan ekspresi kubilang-juga-apa ketika Will memergoki dirinya terkikik.
“Sekarang kenapa lagi? Kenapa memelototiku begitu?” tuntut Dow. Kali ini Dow benar-benar tersinggung.
“Kau ini bodoh atau apa, sih? Dari semua anggota, kau penari terbaik. Kenapa kau nggak mau ikut?” tuntut Tom.
Dow menarik napas panjang, lalu merebahkan diri di lantai studio. Ia tidak menyangkal ucapan Tom, berlatih tari sejak ia berusia delapan tahun membuatnya menjadi anggota terlama yang bergelut di dunia tari. Hanya saja … tari bukanlah profesi yang ingin ia jalani seumur hidup atau, untuk hidup.
Jadi, boleh saja dirinya berlatih tari sampai mati, tapi bukan berarti akhirnya ia akan tetap berada di dunia ini sampai kelak dewasa. Dow hanya akan menari hingga waktu mengizinkannya.
Baginya tari adalah hobi.
Studio tari memang menjadi salah satu tempat tersakral untuk cowok berusia 18 tahun tersebut. Tempat di mana ia menghabiskan sebagian besar waktunya jika tidak sedang sibuk dengan pelajaran sekolah. Bahkan bisa dibilang hidup Dow adalah sekolah dan studio.
Terdengar sangat kontradiktif.
Tapi memang itulah terjadi. Dow tidak merasa bersalah sama sekali dengan keputusannya.
“Baiklah, katakanlah aku datang di audisi ini. Apakah akan selesai hanya sampai di situ? Maksudku, ayolah, masa hanya menari, dan … selesai?” tanya Dow.
“Maksudnya?” tanya Will dengan kening berkerut. “Tentu saja seperti itu, memang mau bagaimana lagi?”
“Dow takut diterima,” cebik Tom sinis.
Will menatap Tom, dan Dow bergantian, kebingungan di wajahnya makin kentara.
“Bukankah itu bagus? Kau nggak mungkin ikut audisi lalu berharap sebaliknya, kan?” tanya Will heran.
Dow mengerang lalu berguling ke sisi Will, tidak menghiraukan kesinisan di suara Tom. “Kau nggak mengerti. Kalau diterima berarti aku menjadi pro.”
“Dan itu buruk karena?” kejar Will.
“Heh! Kau ini audisi saja belum sudah berpikir kalau diterima? Bukankah sedikit terlalu percaya diri?” komentar Reed.
Pernyataan Reed berbarengan dengan komentar Will.
Dow merengut mendengar sangkalan Will. Tapi benar juga kata Reed, iya kalau diterima? Kalau tidak? Kan, tidak ada masalah.
“Anggaplah menari seperti biasa,” timpal Ryan.
Raut muka Dow masih tidak berubah, masih merengut, dan tidak terlalu yakin dengan ucapan Ryan.
“Lalu kalau kau nggak ingin diterima audisi, kau menari untuk apa?” tanya Matt.
“Karena senang,” jawab Dow cepat, secepat ia mendorong tubuhnya untuk bangun, kembali bersila di hadapan anggota timnya.
“Idealis,” cibir Tom lagi.
Dow melirik ke arah Tom. Kadang ia tidak mengerti dengan cowok satu ini, rasanya setiap kali Tom buka mulut yang keluar selalu kata-kata sinis atau cibiran. Apa dia ini tidak pernah berpikir positif? Untung saja kemampuan tarinya mumpuni, paling tidak ada yang bisa diandalkan, coba kalau tidak.
“Apa salahnya idealis? Seniman sudah seharusnya idealis—“
“Seniman!” seru Will memotong ucapan Dow.
Satu alis Dow terangkat dan keningnya berkerut. “Ya?”
“Kau menyebut dirimu seniman. Apa kau punya keahlian seni yang lain selain tari?” Will menunjuk Dow. Kali ini ia bertanya dengan nada penuh kemenangan.
Dow membuka mulutnya untuk menjawab tapi kemudian ditutup kembali tanpa sepatah katapun keluar. Nyaris seperti ikan yang kekurangan oksigen. Mungkin aku memang akan sekarat karena argumen tidak masuk akal ini. Sialan kau Will.
“Persis!’ seru Will menjentikkan jari tengah, dan ibu jarinya dengan penuh semangat. “Bahkan pikiran bawah sadarmu pun mengakui jika dirimu adalah seniman. Jadi kenapa kau mengelak?” Will mengangkat tangan kanannya untuk menghentikan Dow yang akan membantah. “Sebagai seniman, selain kepuasan pribadi, bukankah juga mencari kepuasan ketika orang lain menikmati karya kita? Sebagai pro, bukankah itu berarti karya kita akan dinikmati lebih banyak orang? Belum lagi orang-orang yang terinspirasi dengan karya kita. Bukankah itu kepuasan utama seorang seniman?”
Akhirnya, alih-alih merespon Will, Dow malah merebahkan kembali tubuhnya ke lantai, menatap Will dari bawah dengan tatapan datar.
“Kenapa kau nggak mengambil sekolah psikologi saja?” sungut Dow.
“Oh, jangan khawatir,” ujar Will seraya melambaikan tangan. “Aku sudah memikirkan hal itu. Kau sadar kita masih SMA, kalau-kalau kau lupa, tapi aku sudah punya beberapa pilihan universitas, beasiswa juga tinggal pilih.”
Sombong.
Dow tidak suka melihat seringai bodoh di wajah Will yang seolah berkata, aku akan belajar psikologi di universitas, dan akan terus menari. Kenapa kau tidak bisa?
Tepat! Kenapa kau tidak bisa?
“Aku bukan mengelak, aku adalah seniman. Atau paling nggak seseorang yang menyukai seni, diberikan keberuntungan juga tahu dan senang melakukan salah satu disiplin seni. Aku bangga dengan kenyataan itu.”
“Tapi?” kejar Will.
Will tidak akan menyerah, kan?
Dow menghembuskan napas sebelum menjawab Will.
“Aku nggak berniat menggantungkan hidupku pada tari. Bagiku tari hanyalah hobi,” jelas Dow.
“Tapi kenapa? Kenapa kau nggak mau menari secara profesional? Bukankah menyenangkan jika bisa bekerja sekaligus menyalurkan hobi?” tanya Lee.
Satu poin untuk Lee, dan pertanyaan bagus. Kalau saja dirinya belum punya rencana, mungkin saja ucapan Lee bisa masuk logika Dow. Ha!
“Lagipula, mungkin audisi ini kesempatan bagus—kalau kau diterima—tentu saja. Kesempatan seperti ini nggak datang dua kali, kurasa. Kalau kau memang punya rencana lain, mungkin seperti Will yang akan belajar di universitas. Aku nggak melihat jika audisi ini adalah sebuah penghalang. Audisi ini minggu depan, sedangkan kau ujian masuk universitas paling cepat baru 3 atau 4 bulan lagi. Jadi kenapa nggak mengambil kesempatan yang hanya seminggu ke depan ini?” komentar Riley
Sekali lagi, sialan, argumen teman-temannya masuk akal semua.
Itulah Riley. Jarang berkata apapun tapi sekali berkata selalu tepat sasaran. Mungkin dia bisa bergabung dengan Will untuk belajar psikologi.
Masih sambil tiduran, Dow menatap anggota klubnya satu persatu dengan takjub, bagaimana bisa bocah-bocah jahil ini bisa bicara begitu dalam?
“Aku punya impian yang lain yang nggak melibatkan tari,” jawab Dow.
“Keras kepala,” cibir Josh.
Dow menjulurkan lidah ke arah Josh. Kekanakan, tapi masa bodoh. Oh, dia bisa bergabung dengan Tom, dan masuk tim Sinis yang Suka Mencibir.
“Impian apa yang lebih baik daripada menjadi seorang penari?” tanya Riley.
Dow menggeleng. Dengan gerakan cepat ia bangun, salah satu kakinya nyaris menendang Will.
“Bukan lebih baik, tapi lebih penting untukku,” jawab Dow.
Dow bertepuk tangan dengan cepat, memberi instruksi kepada semuanya.
“Ayolah kita mulai latihan, nanti kita rapat soal drama festival sekolah!” perintah Dow.
Tidak banyak protes, anggota klub yang lain mulai menyingkirkan tas ke pinggir, Will dan Tom mulai menyalakan musik.
Untuk sesaat pembicaran mengenai audisi dari 3 CG Ent berhenti—
“Taruhan kau akan ikut audisi?” Reed menengahkan telapak tangannya.
—Atau belum.
Selain punya wawasan yang dalam, kemampuan tari yang bagus, ternyata anggota klub ini punya talenta yang lain yang luput dari perhatiannya.
Kegigihan.
Reed mengulurkan tangan pada Dow, bertaruh dengannya jika pada akhirnya dirinya akan menyerah, dan ikut audisi.
Dow menjabat tangan Reed dan mengangguk mantap
“Siapa takut?”
Selain Will dan Tom yang masih sibuk dengan sound system, dan playlist, anggota klub yang lain menyaksikan taruhan antara Reed dan Dow, mereka pun bersuit-suit mengompori.
“Tapi aku masih penasaran dengan cita-cita yang kau bilang itu,” kata Ryan.
“Vet.”