Loading...
Logo TinLit
Read Story - Je te Vois
MENU
About Us  

10 tahun yang lalu…

“KALAU KAU MAU IKUT KOMPETISI, kau boleh mengadopsi anjing.”

Kedua mata Dow membulat selebar-lebarnya ketika mendengar pengumuman Dad. Hampir satu tahun ini Dow merengek agar diizinkan mengadopsi anjing, tapi baik Dad maupun Mom belum mengabulkan permintaan tersebut. Dow bahkan sudah memasukkan anjing ke dalam daftar kado Natal, dan ulang tahun tapi masih nihil. Kini akhirnya izin tersebut datang tanpa harus melibatkan Santa. 

Yes! Yes! Yes! 

Boleh mengadopsi anjing dengan syarat hanya ikut kompetisi tari? Bukan hal yang sulit.

“Serius Dad? Aku boleh mengadopsi anjing?” tanya Dow memastikan. Jangan sampai dirinya salah dengar.

“Asal kau mau ikut kompetisi,” Dad mengangguk.

“Moooom, antar aku ke kompetisi, ya!” teriak Dow sekencang-kencangnya. 

Selain suaranya yang sontak kehilangan volume kontrol, tubuh mungil Dow mulai bergerak-gerak—nyaris otomatis—menari, dan melompat secara bersamaan. Tidak peduli irama, atau langkahnya.

Mom muncul dari dapur, masih mengenakan celemek yang penuh noda tepung, dan mentega. 

“Mom!”

“Kompetisinya masih minggu depan, Pumpkin,” kata Mom sambil menggelengkan kepala melihat Dow yang belum berhenti melompat kegirangan.

“Terserah, yang penting aku bisa mengadopsi anjing!” seru Dow sambil mengacungkan tinjunya ke udara. “Oh, aku harus memberi tahu Oi!”

“Hei Dow, tapi kau hanya boleh mengadopsi satu anjing!” teriak Dad tidak kalah kencangnya.

“Oke, tidak masalah, Dad!” 

Entah ucapan Dad tersebut benar-benar didengar, atau tidak. Karena anak itu sudah melesat menuju rumah Oi yang bersebelahan. Alih-alih lewat pintu depan, anak itu menyeberangi dapur, dan menerobos pagar samping.

“Oio, Io, Iooooo,” Dow membuat panggilan bernada sambil bergedebukan menaiki tangga menuju kamar Oi. 

Pintu kamar Oi menjeblak terbuka diikuti teriakan Dow.  “Tebak, berita bagus apa yang kudapat!”

Oi duduk bersila bersandar kepala ranjang, sebuah buku besar terbuka di pangkuannya. Gadis kecil itu hanya menatap Dow sekilas, nyaris tanpa ekspresi lalu kembali mengalihkan perhatian pada buku yang tengah dibacanya.

Sedangkan Dow, anak itu bukan hanya memamerkan suara cemprengnya. Ia menambahkan efek antusias dengan melompat ke kasur, berjingkrak-jingkrak di sana, lalu melakukan backflip ke lantai. Beruntung kedua kakinya menjejak dengan benar, kalau tidak, bisa dipastikan anak itu keseleo. Masih belum selesai, Dow melanjutkan tarian dengan menggabungkan segala macam gerakan yang ia tahu. Tarian acak Dow diakhiri dengan pirouette yang gagal, membuatnya terjengkang di depan rak buku.

“Kau belum menebak tebakanku,” ujar Dow sambil mengusap bokongnya. Agaknya baru sadar jika Oi belum merespon apa-apa.

Oi menghembuskan napas lelah. Gadis itu menutup buku yang tengah dibaca lalu berkata dengan nada bosan.

“Kau menggangguku membaca.”

“Tapi aku punya berita bagus, dan kau harus menebaknya!” protes Dow.

Oi masih tidak bergerak dari duduknya. “Tidak ada tebakan yang lebih bagus daripada cacing kepanasan.”

“Eh, itu tarian yang kupelajari susah payah. Kau tidak bisa meremehkannya!”

Oi mencebik dengan bahu terangkat.

“Kau harus menebaknya!” desak Dow.

“Aku lebih suka menebak di mana makam Cleopatra,” Oi berdiri, dan berkacak pinggang dengan dagu terangkat tinggi, menantang Dow yang terus mendesaknya menebak tebakan yang tidak menarik.

Taktik Oi benar-benar jitu, karena Dow bergidik ngeri begitu Oi menyebutkan makam, dan nama seseorang yang telah meninggal dunia ribuan tahun yang lalu. Dow tidak pernah bisa memahami hobi Oi menelisik dongeng-dongeng seram orang yang telah meninggal.

“Aku hanya ingin kau tahu kalau Dad mengizinkanku mengadopsi anjing. Aku ingin kita pergi ke Second Chances bersama,” Dow membanting pintu kamar Oi, dan berlari pulang. 

Kesal.

***

“HEY, BUDDY.” 

Dow berjongkok di depan pintu kandang penampungan hewan, Second Chances. Di hadapannya seekor Golden Retriever tanpa dua telinga sedang merangkul seekor Papillon yang kaki depannya dibalut gips berwarna biru. Anjing itu terlihat was-was, ia mengawasi setiap gerak-gerik Dow sambil melindungi si Papillon.

“Mereka berdua masih takut bersentuhan dengan orang. Pengalaman mereka yang membuatnya seperti itu,” jelas Jane, si pengurus Second Chances kepada Mom dan Dad. “Yang Golden namanya Sans, yang Papillon, Teri.”

“Hai, Sans, kemarilah, aku tidak akan menyakitimu,” bujuk Dow sambil mengulurkan telapak tangannya melalui celah kerangka kandang. “Ayo, Sans.”

Perlahan namun pasti, usaha Dow membuahkan hasil, Sans mulai beringsut mendekati Dow.

“Ayo, kemari,” bujuk Dow, ketika Sans mengendus tangannya.

“Sans sangat melindungi Teri. Mereka berdua tidak terpisahkan, jadi kami menyarankan agar keduanya diadopsi bersama-sama,” tambah Jane.

Mendengar ucapan Jane, kedua bahu Dow langsung melorot. Dia jatuh cinta dengan Sans, tapi juga tidak lupa kalau Dad hanya mengizinkan untuk mengadopsi satu anjing. Jadi…. Haruskah dia mencari anjing lain? Dow menatap Sans yang mulai menjilati ujung jemarinya dengan sedih.

“Kita tidak bisa mengadopsi keduanya,” ujar Mom seakan bisa membaca pikiran Dow. “Mungkin kau tertarik dengan anjing yang lain?”

Dow menggeleng, kedua matanya masih terfokus dengan Sans. 

“Apa tidak masalah jika kami hanya mengadopsi Sans?” tanya Mom kepada Jane.

“Tidak bisakah Sans dan Teri?” tanya Jane penuh harap.

“Kami tidak yakin Dow mampu merawat dua anjing sekaligus, terutama Teri yang butuh lebih banyak perhatian. Maafkan kami,” jelas Mom.

Jane mengangguk. “Saya mengerti.”

“Boleh aku tahu apa yang akan dengan Teri jika kami diperbolehkan mengadopsi Sans? Dia tidak akan ditidurkan, bukan?” tanya Mom.

“Tidak, tentu tidak,” Jane menggeleng. “Dia akan pulang bersamaku. Sebenarnya aku akan menjadi ibu asuh untuk Sans, dan Teri sampai keduanya mendapat rumah baru.” 

“Ah, syukurlah. Jadi bagaimana? Apa kami bisa mengadopsi Sans?” tanya Mom.

Jane mengangguk. “Silakan lewat sini.”

***

“SEPERTINYA SANS TIDAK SENANG,” ujar Dow pada dirinya sendiri.

Anak itu duduk bersandar kepala ranjang dengan kedua lutut dipeluk. Kedua matanya tidak beralih dari Sans yang meringkuk di kasur anjingnya di pojok kamar Dow.

“Mungkin dia masih butuh waktu untuk beradaptasi,” hibur Oi.

Dow menggeleng pelan. “Kurasa dia merindukan temannya.”

“Teman?”

Dow menceritakan kisah sedih Sans dan Teri. Bagaimana Sans dibuang ketika terluka parah, dan akhirnya harus merelakan kedua telinganya untuk diamputasi. Sans malang digunakan sebagai anjing umpan oleh pemilik sebelumnya. Sans diikat sedemikian rupa hingga tidak bisa menghindar ketika si anjing petarung menyerangnya di bagian-bagian vital. Beruntung ada seseorang yang menemukan Sans lalu membawanya ke Second Chances. Tidak jauh berbeda dengan Sans, Teri harus kehilangan satu kaki depannya akibat tabrak lari. Tidak setragis Sans memang, tapi kehilangan satu kaki depan bukan sesuatu yang ringan, apalagi ketika dibiarkan tanpa pertolongan selama berhari-hari.

“Kasihan, ya,” ujar Oi.

Dow mengangguk mengiyakan.

“Jadi, Teri masih di Second Chances?” tanya Oi.

“Dibawa pulang oleh salah satu pengurusnya, tapi mana aku tahu?” jawab Dow seraya merebahkan tubuhnya di kasur. “Kau tahu, Mom mulai bilang akan mengembalikan Sans sebelum dia bertambah depresi. Aku bahkan tidak tahu apa itu depresi.”

“Kosakata orang dewasa,” Oi mengangguk mantap.

Dow terkekeh, “Sudah kuduga! Terdengar mengerikan, bukan? Menjadi dewasa itu mengerikan.”

“Persis!”

***

“SANS! Lihat siapa yang kubawa?” seru Oi. 

Gadis kecil itu menggendong sesuatu yang berbulu di satu tangan, dan mencoba membuka pintu pagar dengan tangan lainnya. Ketika usahanya tidak berhasil, Oi pun memanggil sang Mom. “Mom, tolong buka pagarnya!” 

Oi kembali memanggil Sans ketika anjing tersebut masih tidak terlihat di mana pun juga. 

“Kenapa, sih, teriak-te—“ kedua mata Dow membulat selebar-lebarnya ketika melihat siapa yang berada di pelukan Oi. 

“Sans!” teriak Dow penuh semangat. “Uh, Sans masih di kamar, dia tidak mau keluar.”

Beberapa menit kemudian, Oi menangis ketika melihat reuni Sans, dan Teri. Untuk pertama kalinya sejak berada di rumah Dow, Sans akhirnya mengeluarkan suara. Kali ini bahkan lebih menyenangkan karena Dow tahu Sans menyalak riang, tidak lagi menarik diri dari dunia seperti satu minggu yang lalu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Confession
563      411     1     
Short Story
Semua orang pasti pernah menyukai seseorang, entah sejak kapan perasaan itu muncul dan mengembang begitu saja. Sama halnya yang dialami oleh Evira Chandra, suatu kejadian membuat ia mengenal Rendy William, striker andalan tim futsal sekolahnya. Hingga dari waktu ke waktu, perasaannya bermetamorfosa menjadi yang lain.
Reach Our Time
10723      2494     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
The Black Hummingbird [PUBLISHING IN PROCESS]
21833      2435     10     
Mystery
Rhea tidal tahu siapa orang yang menerornya. Tapi semakin lama orang itu semakin berani. Satu persatu teman Rhea berjatuhan. Siapa dia sebenarnya? Apa yang mereka inginkan darinya?
The Flower And The Bees
3738      1600     9     
Romance
Cerita ini hanya berkisah soal seorang gadis muda keturunan Wagner yang bersekolah di sekolah milik keluarganya. Lilian Wagner, seorang gadis yang beruntung dapat lahir dan tumbuh besar dilingkungan keluarga yang menduduki puncak hierarki perekonomian negara ini. Lika-liku kehidupannya mulai dari berteman, dipasangkan dengan putra tunggal keluarga Xavian hingga berujung jatuh cinta pada Chiv,...
CORAT-CORET MASA SMA
482      349     3     
Short Story
Masa SMA, masa paling bahagia! Tapi sayangnya tidak untuk selamanya. Masa depan sudah di depan mata, dan Adinda pun harus berpikir ulang mengenai cita-citanya.
When Flowers Learn to Smile Again
838      623     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Cinta Datang Tanpa Menyapa
779      512     2     
Short Story
Setelah Reina menolong Azura, dia mendapat kesempatan untuk kuliah di Jepang. Kehidupanya selama di Jepang sangat menyenangkan sampai hari dimana hubungan Reina dengan keluarga Azura merenggang, termasuk dengan Izana.salah satu putra Azura. Apa yang sebenarnya terjadi? dan mengapa sikap Izana berubah?
Hanya Untukku Seorang
1054      570     1     
Fan Fiction
Dong Hae - Han Ji bin “Coba saja kalo kau berani pergi dariku… you are mine…. Cintaku… hanya untukku seorang…,” Hyun soo - Siwon “I always love you… you are mine… hanya untukku seorang...”
The DARK SWEET
675      491     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...