“Hari ini aku nggak pengen jualan, Bu!” Zindy tidak ingin membawa keranjang hijau itu.
“Tidak masalah. Libur dulu aja. Kamu udah mau berangkat sekolah itu sudah hebat!” Ibu memeluk Zindy. “Adikmu masih sedih. Biarkan dia istirahat dulu. Hati-hati di jalan!” Ibu mencium dahi Zindy.
Zindy berusaha fokus mengendarai motor saat di jalan. Perasaannya masih bercampur aduk. Ada rasa lega juga sedih.
“Zindy!” Panggil Rara saat melihat Zindy masuk ke dalam kelas. Zindy menghampiri meja itu dengan langkah yang lemah.
“Rara!” Zindy memeluk Rara. “Bapakku ternyata sakit. Dia udah meninggal….” Zindy kembali meluapkan isi hatinya.
“Iya, aku tahu dari pesanmu kemarin. Kamu sempag tidak masuk sekolah karena di luar kota juga. Nggak apa-apa sudah aku beritahu ke wali kelas juga. Turut berduka cita….” Hibur Rara.
“Makasih….” Air mata Zindy kembali menetes.
“Aku bawa tisu. Siapa tahu kamu perlu….” Rara menyerahkan tisu kepada Zindy.
Pelajaran berlangsung seperti biasanya. Zindy masih murung. Dia belum fokus mendengarkan. Kepalanya bersandar di dinding kelas saat guru menjelaskan.
“Hari ini aku nggak jualan….” Zindy meletakkan kepalanya di atas meja. Suara bel tanda istirahat terdengar.
“Tidak masalah. Kamu butuh istirahat. Sudah,istirahat dulu. Nih, aku bawa bekal roti. Makan ya! Buat ganjal perut….” Rara menyerahkan roti itu kepada Zindy.
“Makasih, Ra. Kamu emang bestie-ku.” Zindy berusaha memakan roti itu. Jika bukan karena janji rajin sekolah, dia ingin di rumah saja istirahat.
“Zin….” Nampak Sella menghampiri meja Zindy. Mata Zindy menatap ke arah Sella.
“Aku turut berduka cita ya. Rara udah cerita semuanya. Ehm …. Ini ada sedikit bantuan dari patungan teman-teman sekelas. Semoga bermanfaat ya.” Tangan Sella menyerahkan sebuah amplop kecil.
“Makasih, Gaes. Makasih ….” Air mata Zindy berusaha ditahan tapi tak bisa. “Mohon doanya buat ayahku ya….” Dia berusaha menguatkan diri.
“Sabar ya. Kamu kuat!” Hibur Rara. Dia membelai bahu Zindy. Zindy menggangguk pelan. Dia berusaha agar tak menangis lagi.
“Aku jujur masih bingung. Ini kenyataan yang tak pernah ada di pikiranku. Ternyata ayah sakit. Bukan karena dia nggak peduli. Tapi karena dia nggak mau membebaniku.” Beban pikiran itu dikeluarkan lagi.
“Sudah pulang?” Sapa Kalib sore itu. Dia sedang sibuk bermain game dengan Zean. Zean nampak terlihat sedikit ceria.
“Sudah. Hari ini berasa panjang banget. Pikiranku nggak fokus buat belajar.” Zindy merebahkan tubuhnya di atas sofa lapuk itu.
“Kamu sudah berusaha berdamai dendan keadaan. Jangan dipaksa kuat. Sedikit demi sedikit dulu. Nanti seiring waktu kembali pulih. Aku dulu juga ada tahap denial. Tapi seiring berjalannya waktu jadi sudah bisa lebih menerima keadaan. Orang tua tak selamanya ada di samping kita.” Mata Kalib sedikit berkaca-kaca. Dia teringat sosok ayah yang belum pernah dia temui.
“Iya, Bang. Aku berusaha berdamai.” Zindy masuk ke dalam kamar. Dia segera mandi dan berganti pakaian.
“Iyak! Zean menang lagi, Bang!” Teriak Zean kegirangan.
“Wah, kamu hebat, Zean. Kamu memang kuat!” Kalib tersenyum. Dia memang sengaja mengalah saat bermain game.
“Iya, adikku emang hebat. Jagoan kesayangan.” Zindy ikut memberi dukungan agar Zean kembali ceria.
Adikku masih kecil, dia sudah menerima takdir seberat ini. Zean kamu kuat. Ayah, aku pasti akan menjaga Zean.
Zindy merebahkan tubuhnya di atas sofa. Dia membuka notifikasi di akun Toktok-nya. Ada banyak pesan yang belum dibaca. Apalagi kejadian kehilangan itu cukuo mengguncang bagi Zindy.
Ada satu nama akun yang mencuri perhatiannya. Akun itu bernama @penulis_zz. Jantung Zindy berdegup saat membaca nama itu. Itu adalah nama pena ayahnya. Zindy membuka setiap komentar dengan nama akun itu.
@penulis_zz: ayahmu pasti bangga sama Zindy
@penulis_zz : Zindy cantik, ayahmu selalu mendoakanmu dari jauh
@penuliz_zz : laris terus jualannya, ayahmu selalu ingat kamu pasti
@penulis_zz : ayahmu tidak pergi, suatu saat kau akan tahu
@penulis_zz : ayahmu selalu ingat kamu, dia juga berjuang buat kamu
“AYAH!” Teriak Zindy. Dia baru membaca komentar itu saat ini.
“Kenapa?” Kalib terkejut. Dia langsung beranjak menghampiri Zindy.
“Ternyata ayah notice aku! Dia melihat kontenku. Aku baru tahu sekarang, Bang. Ayah memberi komentar pake nama penanya waktu menulis novel. Namanya penulis_zz.” Zindy menunjukkan beberapa komentar dari akun itu. “Sayang aku tahunya terlambat. Komentar ayah tertimbun ratusan komentar lainnya.” Air mata Zindy kembali menetes.
“Ini, minum dulu.” Kalib mengambilkan air minum untuk Zindy. Dia menunggu hingga Zindy tenang kembali.
“Makasih, Bang.” Zindy berusaha menenangkan diri.
“Ayah berarti ingat kita ya Kak?” Zean berusaha memahami keadaan di hadapannya.
“Iya, Dek. Ayah nggak pernah lupa. Dia selalu ingat kita….” Zindy tersenyum. Dia membelai lembut dahi Zean.
Suatu konten terlintas di benak Zindy. Dia masuk ke dalam kamarnya. Laptop usang ayah kembali dinyalakan. Laptop itu kini sudah tak berisik. Loading aplikasi juga lebih lancar setelah diservis.
Mata Zindy sibuk membuka folder foto di laptop itu. Dia memilih beberapa foto masa kecilnua. Foto itu disalin ke memori smartphone-nya.
Zindy melakukan edit sederhana ke foto-foto itu. Foto-foto itu dijadikan satu video pendek. Hanya ada satu teks. Iringannya berupa musik pelan.
Teks itu berbunyi: Terima kasih sudah menjadi bagian dari diriku, Ayah ….