DARI kejauhan, suara gelak-gelak lelah terdengar samar—itu anak-anak cowok Strigiformes yang sedang dihukum menyusun ulang tiang jemuran milik kelompok lain. Jemuran itu sebelumnya terjungkal misterius, tapi semua tahu biang keroknya siapa. Arsel nyengir sambil minta maaf, Gilang pasrah, Dilan protes sok tidak bersalah, Ivan hanya diam, dan Elen sibuk mencoba melobi guru pembina. Tidak puas apa lihat mereka nontonin mereka berlima push up terus disuruh diriini ulang jemuran orang?
Sementara itu, di depan tenda kelompok mereka, sirkel ABAS—Dwipa, Jasmine, Hannah, Laras, dan Arien— yang duduk dalam lingkaran. Lalu datanglah Tyas, menyusup ke tengah seperti tak ada yang aneh. Ia duduk pelan, pura-pura ikut angin, lalu ikut nimbrung dalam obrolan seadanya.
“Lucu ya,” ucap Tyas pelan, sambil memperhatikan jemuran yang dipasang ulang dari kejauhan.
“Kayak waktu itu, sabun hilang, semua juga diem. Ada satu orang yang malah disalahin, tapi ya... diem aja.”
Tak ada nama disebut. Tapi semua yang hadir tahu ke mana arah kata itu.
“Kadang aneh sih,” lanjut Tyas dengan nada manis-manis menusuk, “kalau kita bela orang yang nggak pernah mau bela dirinya sendiri. Kita yang capek, dia sih tinggal diam.”
Arien masih duduk di pinggir lingkaran, diam. Matanya tetap pada buku sketsa di pangkuannya. Tapi tangan menggenggam pensil sedikit lebih kencang.
Dwipa mengernyit, melirik Jasmine. Laras membuka mulut, tapi tidak jadi bicara. Hannah menggigiti ujung rambutnya sendiri, gelisah.
Tyas mengangkat bahu.
“Ya... cuma mikir aja. Maaf, kalau kepikiran.”
Lalu ia diam, membiarkan kata-katanya membusuk di antara mereka.
Siang itu jadi mendadak canggung. Tidak ada lagi candaan khas Jasmine. Dwipa menunduk lama. Hannah tidak menjahili siapa pun, dan Laras, yang biasanya paling cepat mengalihkan suasana, hanya memainkan jemarinya.
Dan akhirnya, tanpa kata sepakat, keempatnya berdiri.
Dwipa menyikut siku Jasmine “Gue butuh udara.” beranjak dari duduknya
Jasmine mengangguk “Yuk, kebelakang.”
Hannah ikut berdiri “Ngopi sachet, yuk, walau nggak ada kopinya.”
Laras pasrah ditarik Hannah "ikut aja deh.”
Dan mereka pergi. Berempat. Meninggalkan Arien.
Tak satu pun menengok ke arah gadis yang kini hanya terdengar goresan pensilnya. Tidak ada ajakan, tidak ada lambaian. Tapi tidak masalah.
Arien tak mengangkat kepala. Ia tahu. Tapi itu bukan sesuatu yang baru.
“Cuma gitu doang,” pikirnya.
Ia kembali menekuni gambarnya. Seekor burung hantu, berdiri tenang di dahan, dikelilingi bayangan pohon dan langit yang berat. Seperti dirinya.
Angin penggunungan lewat pelan, dan meski tenda itu ramai sebelumnya, sekarang tinggal satu orang—tapi ia tak merasa sendiri.
Gilang, yang baru balik dari hukuman jemuran tengah berjalan menuju tenda ketika tiba-tiba bertanya, “Eh, tenda kita masih utuh kan? Atau udah kebakar juga kayak suasana di sini?”
Ivan melihat dari kejauhan. Matanya sempat menatap Arien sebentar.
Dilan menepuk kedua tangannya “Wah, wah, wah... ini aura nggak beres banget. Apa kita harus... eh... lari?”
“Gue baru lima menit ninggalin cewek-cewek itu, kenapa udah kayak anime episode konflik masa lalu?!” Arsel sepertinya mulai ikutan dramatis seperti Dilan
***
Terik siang menekan perkemahan dari atas. Setelah kegiatan dan drama kecil tersimpan di antara tenda-tenda, waktunya makan siang datang. Para siswa berjalan berbaris ke tenda makan, mengambil jatah makan siang dari katering sekolah
Biasanya, kelompok Strigiformes duduk bareng—kadang bersila di tikar, kadang melingkar di halaman villa. Tapi kali ini, formasi mereka bergeser, seperti semesta ikut mengatur jarak-jarak yang tak diucap.
Di satu sisi tikar, Dwipa, Jasmine, Hannah, dan Laras duduk rapat. Mereka masih tertawa kecil, mencoba menghidupkan suasana seperti biasa, tapi ada bekas bayang-bayang sore tadi di mata mereka. Tyas tidak duduk bersama mereka, tapi cukup dekat untuk mendengar—cukup jauh untuk pura-pura sibuk.
Di sisi lain tikar, Arsel duduk duluan sambil merobek plastik sambal sachet dengan gigi.
Dilan datang sambil ngeluh lapar, duduk sembarangan dan langsung mengaduk nasi sama ayam gorengnya pakai tangan.
Gilang duduk rapi, ngelus dada melihat cara makan Dilan.
Ivan, tentu saja, muncul terakhir dan duduk diam, makan pelan tapi rapi.
Arien? Dia awalnya berdiri, bingung sejenak melihat arah duduk ABAS. Tapi tak ada yang menengok. Tak ada yang melambai. Jasmine bahkan sedang sibuk cerita ke Hannah, Dwipa lagi-lagi tertawa walau matanya agak lesu.
Jadi Arien duduk saja—di sisi cowok-cowok. Tak terlalu dekat, tapi cukup. Ivan menoleh sedikit ke arahnya, mengangguk tanpa suara. Arien balas mengangguk singkat. Tidak perlu basa-basi.
“Gue nggak ngerti, tadi tuh gue udah tahan tiangnya, masa iya kena angin langsung tumbang?” gerutu Dilan sambil mengaduk nasi, mulutnya penuh.
“Karena kamu tahan tiang kayak tahan perasaan. Goyang dikit langsung ambruk,” timpal Gilang pelan.
“Lucu kamu, lucu banget,” Dilan mendelik sambil melempar biji cabe ke arah Gilang.
Arsel ngelap tangan ke celana, lalu nyeletuk
“By the way, kita kayak... dipisah ya?”
Ivan hanya menoleh sekali ke arah grup ABAS, lalu kembali ke nasinya.
“Bukan dipisah. Mereka milih duduk di sana.” bergumam pelan
Arien makan pelan. Tidak ikut nyahut, tapi dari matanya terlihat kalau dia mendengar semuanya.
Gilang menghela napas. “Tapi kok kayaknya ada yang nggak beres ya. Gue ngerasa kayak grup kita dipecah dari tengah.”
“Grup kita tuh dari awal memang aneh,” jawab Arsel, “buktinya, yang paling kalem duduk sama kita-kita yang absurd.”Mereka tertawa, tapi agak canggung. Ada kesadaran baru yang belum mereka pahami benar.
Dilan menoleh ke Arien, senyum kecil
“Ya, mungkin karena kamu paling waras, makanya ikut makan sama yang paling nggak waras.”
Arien hanya angkat bahu. Tapi untuk pertama kalinya hari itu, sudut bibirnya naik sedikit. Sekilas. Hampir tak terlihat.
Ivan melihatnya—dan tidak berkata apa-apa.
Sementara itu, dari jauh, keempat anggota ABAS sesekali melirik. Hannah menggigit bibirnya, Jasmine mendengus, Dwipa menunduk. Laras memegang sendoknya lebih lama sebelum makan.
Ada sesuatu yang belum selesai. Tapi mereka belum tahu cara menyelesaikannya.
Dan di tengah perkemahan yang riuh oleh sendok dan canda anak-anak kelas 8, ada dua sisi dari satu kelompok yang mulai punya dua pusat gravitasi berbeda.
***
Setelah makan siang yang ganjil—dengan meja makan yang tak lagi melingkar dan tawa yang terbelah dua—suasana sedikit canggung menyelimuti tenda Strigiformes. Tak ada yang membahasnya terang-terangan, tapi keempat anggota ABAS tampak lebih banyak bercanda sendiri, sementara Arien tetap kalem bersama para cowok.
Namun, waktu tak menunggu konflik sembuh dulu. Panitia sudah berteriak-teriak memanggil seluruh siswa.
“Siap-siap trekking ke air terjun, bawa tas kecil dan minum masing-masing!”
“Jangan lupa sunblock!”
“Yang sepatunya belum kering jangan ngeluh nanti ya!”
Suara guru dan panitia memecah siang, dan satu angkatan kelas 8 mulai berbaris perlahan. Wajah-wajah masih lelah—ada yang ngantuk, ada yang nyemil roti sambil jalan, dan ada juga yang pura-pura semangat padahal baru saja menelan ketegangan sosial.
Tapi semua beringsut juga. Entah karena tertarik keindahan curug yang katanya jernih banget, atau karena ingin mengalihkan pikiran dari drama-drama kecil yang belum sempat diselesaikan.
Langkah demi langkah mereka mulai meninggalkan area tenda.
Lima puluh anak berjalan beriringan menuju curug
Arsel jalan di belakang bareng Hannah yang sibuk ngomentarin bentuk batu-batu aneh di sepanjang jalur. Elen dan Laras udah di depan rame sendiri, saling tantang-tantangan siapa yang bisa jalan mundur paling lama.
Di tengah-tengah barisan itu, Ivan jalan pelan di samping Arien. Mereka gak banyak ngobrol, cuma sesekali tukeran pandang yang buru-buru dialihin.
Ivan, entah kenapa, malah terus-terusan nyolong lihat Arien. Kadang ngerhatiin cara Arien ngikat jaket di pinggang. Kadang cara dia narik napas waktu tanjakan mulai curam.
Sampai...
Krakk!
Ivan tidak lihat batu licin di depannya.
Kakinya terpeleset dan badannya langsung jatuh ke samping, nabrak semak. “Aduh—!”
“Eh, Ivan!” Jasmine di belakang kaget.
Tapi sebelum yang lain nyamperin, Arien sudah sigap menarik lengan Ivan. Kuda-kudanya mantap, seakan kedua jaki itu mencengkram tanah yang ia pijaki.
“Lo kenapa?” tanyanya pelan, nada tetap tenang.
Ivan kelihatan malu banget. “Enggak, cuman kepleset dikit.”
“Dikit apanya,” gumam Arien, sambil pegang pergelangan tangan Ivan buat bantu dia bangun. “Sakit?”
Ivan ngangguk tipis. “Kayaknya enggak. Cuma kaget.”
Arien masih pegangin tangan Ivan beberapa detik lebih lama dari perlu.
Lalu dia baru sadar, buru-buru lepas. “Jangan ngeliat bawah terus. Nanti nabrak perasaan.”
Ivan nge-freeze. “Apa?”
Arien cuma nyengir dikit. “Batu maksudnya.”
Ivan cuma bisa nyengir kaku sambil nahan malu. Gilang di belakang udah mulai nyuruh jalan lagi, dan mereka semua lanjut trekking.
Tapi langkah Ivan setelah itu entah kenapa terasa lebih ringan.
Dan Arien? Dia jalan lagi tanpa komentar. Tapi telinganya agak merah.
Air terjun itu terdengar duluan sebelum terlihat—gemuruh air jatuh dari ketinggian, dihantam batu, dan pecah jadi buih-buih putih di kolam kecil di bawahnya. Suara itu makin keras seiring langkah mereka mendekat.
Begitu pohon terakhir tersibak, anak-anak satu kelas serempak bersorak.
“Waaaah!”
“Airnya bening banget!”
“Cepet-cepetan celup kaki!”
Anak-anak kelas delapan langsung nyebar. Ada yang buru-buru buka sepatu dan nyemplung, ada yang cari batu datar buat duduk, ada juga yang heboh buka bekal dan cemilan.
Dwipa langsung lari nyusul Laras yang udah duluan celup-celupin kaki ke kolam.
“Ini... ini definisi healing banget sih,” kata Laras sambil nyipratin air ke Dwipa.
“Lo kira gue diem doang?” balas Dwipa sambil nyiprat balik, lebih brutal.
Jasmine dan Hannah udah duduk manis di batu besar, membuka kotak bekal dan mulai bagi-bagi cemilan.
“Eh, Elen mana?”
“Lagi adu lempar batu sama Dilan, tuh,” jawab Jasmine sambil nunjuk arah seberang kolam.
Gilang? Masih megang buku logistik dan ngitung sisa air mineral. Tapi akhirnya menyerah dan duduk selonjoran.
“Ya udah lah. Sekali-sekali.”
Sementara itu, Arsel nyebur sampai setengah lutut, lalu ngibasin air ke arah Hannah.
“Diem aja nggak seru!”
“Arsel! Baju gue basah!” jerit Hannah setengah ketawa.
Arien duduk di pinggir batu besar, nyelupin kaki ke air. Ivan diam-diam duduk agak jauh, tapi tetap dalam jarak pandang. Sesekali mereka saling lirik—terus pura-pura lihat yang lain.
“Nyemplung gak?” tanya Ivan akhirnya, suaranya agak kencang biar ke-denger.
“Udah cukup kaki aja,” jawab Arien.
Ivan senyum dikit, terus nyelupin tangannya ke air, pura-pura nyipratin batu di dekat Arien.
“Eh,” kata Arien pelan. “Kalau itu nyiprat ke muka gue, lo nyesel.”
“Jadi nyiprat atau nyesel?”
“Kau pilih.”
Ivan pura-pura mikir, lalu malah nyipratin air pelan ke arah kakinya sendiri.
Air dingin menyentuh jemari kaki Arien. Sementara tatapan tenang bertenaganya jauh ke aliran air yang terus bergerak. Sampingnya kosong, sampai Ivan duduk pelan-pelan dengan jarak aman, tapi cukup dekat buat ngobrol.
“Nggak main air?” tanya Ivan, pura-pura nyibak rumput di sampingnya.
“Lagi ngeliatin,” jawab Arien singkat.
Ivan nyengir kecil. “kamu sering gitu ya? Duduk sendiri, diam. Tapi seperti memikirkan banyak hal.”
Arien gak langsung jawab. Tapi kemudian dia bilang, “Kadang rame itu capek. Diem itu... enak.”
Ivan mengangguk pelan. “Saya mengerti. Saya juga sering gitu. Apalagi waktu baru pindah ke sini. Bahasa masih terbelit-belit, semua orang ramai. Saya malah nyaman di pojokan.” mata biru dinginnya menerawang jauh.
Ivan sebenernya baru pindah ke Indonesia ketika awal kelas delapan. Sebelumnya dia tinggal di luar negeri, ikut orang tuanya--lebih tepatnya Ayahnya, yang kerja di bidang teknik lingkungan dan sempat ditempatkan beberapa tahun di Eropa Timur. Hidupnya berpindah-pindah, dari satu negara ke negara lain, kadang cuma sempat kenal nama teman sekelas sebelum akhirnya harus pamit lagi.
Tapi kepindahan ke Indonesia kali ini agak beda.
Karena musibah itu. Ayahnya meninggal ketika kecelakaan sebuah proyek besar. Ini sebuah musibah besar, ibunya hanya seorang lulusan universitas, seorang mahasiswa yang tidak punya pekerjaan di negeri bekas negara adidaya itu. Keluarga Ayahnya Ivan hampir sudah tidak ada semua, tinggal kakek dan kakak laki-lakinya yang judes dan antimainstream dengan ibunya Ivan. Daripada terkatung-katung begini. Ibunya akhirnya pulang ke tanah kelahirannya
Bogor.
Dulu dia bahkan tidak tahu dimana letaknya di peta. Tapi sekarang... tempat ini jadi titik baru yang entah akan membawa dia ke mana lagi.
Dia masih ingat hari pertama tiba di Indonesia. Hujan turun terus. Udara hangat dan lembap, beda jauh dari Vladivostok yang sering berkabut dan dingin.
“Cuma setahun dua tahun,” kata ibunya waktu itu. Tapi di usia segini, satu tahun itu cukup untuk mengubah arah hidup.
Bahasa Indonesia masih suka nyangkut di lidah. Kadang dia gak ngerti kalau temennya ngomong cepet-cepet. Tapi dia belajar. Pelan-pelan.
“Kirain kamu tipe yang gampang akrab.” suara logat Jawa Arien yang medok menyadarkannya dari lamunan
Ivan nyengir, bahunya diangkat. “Hanya kelihatannya saja.”
Ada jeda. Angin semilir lewat, bawa suara anak-anak yang ketawa dan cipratan air.
Ivan akhirnya nanya, pelan, “Tapi kamu tidak merasa kesepian?”
Arien jawab tanpa lihat, “Kesepian itu biasa. Nggak harus selalu diisi. Kadang cukup diterima.”
Ivan ngangguk, tapi sebelum sempat balas, suara Elen terdengar di belakang mereka.
“Woi... kalian berdua lagi ngobrolin apaan, sih? Serius amat.”
Mereka reflek nengok. Arien cepat-cepat berdiri, dan Ivan langsung ngangkat batu kecil buat lempar ke arah air. “Ngobrolin... air terjun. Filsafat air,” Ivan menjawab asal
Elen sempat buka mulut, tapi belum sempat komen, tiba-tiba ada suara gaduh dari semak-semak.
Dari balik pepohonan, segerombolan monyet kecil keluar, beberapa lompat ke bebatuan dekat air.
Anak-anak lain langsung heboh.
“Monyet! Woi ada monyet!”
“Jangan bawa makanan keluarin dari tas!”
“YANG BAWA PISANG, NGAKU!”
Ivan dan Arien tertawa bareng, akhirnya lari kecil ke arah rombongan buat ngasih tahu Gilang.
Elen cuma geleng-geleng sambil ketawa sendiri. “Udah kayak sinetron, tapi versinya anak petualang.”
Dan di balik semua kekacauan kecil itu, gak ada yang tahu... dua anak yang paling pendiam di kelompok itu baru aja saling ngerti sedikit lebih dalam.