MATAHARI sudah mulai turun waktu rombongan kelas delapan sampai kembali ke area perkemahan. Langit berwarna jingga muda, dan bayangan pohon-pohon tinggi memanjang di tanah yang mulai dingin. Anak-anak terlihat lelah, tapi bahagia. Beberapa masih tertawa-tawa soal monyet di curug dan beberapa hasil potretan ponsel masing-masing, yang lain udah mulai mengeluarkan sandal dan kaos ganti.
“Langsung ke tenda masing-masing, ya!” suara panitia berkumandang dari dekat dapur umum. “Ganti pakaian, lalu ambil catering dan kumpul lagi untuk sesi api unggun!”
“YES!” seru beberapa anak, sebagian karena semangat, sebagian lagi karena artinya mereka bisa leyeh-leyeh dulu.
Arien langsung balik ke tendanya tanpa banyak suara, cuma ngangguk tipis ke Elen dan Ivan yang sempat nengok. Ivan ingin nyamperin, tapi akhirnya hanya ikut jalan ke tenda Strigiformes. Di belakang mereka, Gilang udah mulai ngingetin soal logistik lagi, dan Dilan sibuk ngebahas rencana buat perform di sesi api unggun malam nanti.
“Gue bilang juga, kita harus latihan beatbox dulu!” ujar Dilan, semangat meski suaranya serak abis dari jalan kaki.
Arsel nyeletuk, “Lo beatbox kek, batuk kek, sama aja bunyinya.”
Elen ngakak. “Ya udah, nanti kita bikin battle antara beatbox-nya Dilan dan logistik-nya Gilang. Siapa yang lebih bikin panik.”
Sementara itu, di tenda ABAS, suasananya lebih... rumit. Setelah kejadian makan siang yang sedikit ganjil—di mana aura kelompok itu seperti terbagi dua, dengan Dwipa dan tiga lainnya duduk agak terpisah—tak banyak obrolan terjadi.
Dwipa masuk tenda duluan, narik jaket sambil bilang datar, “Gue mau ganti baju.”
Jasmine dan Hannah saling lirik, tapi gak ngomong apa-apa. Laras masih di luar, duduk sendiri sambil ngeringin rambutnya pakai handuk kecil. Mereka semua kelihatan capek, tapi lebih dari itu... ada semacam udara tebal yang nggak kelihatan tapi kerasa. Sejak Tyas muncul, lalu celetukan-celetukan licin yang menyentil Arien—yang semuanya pura-pura tidak dengar—hubungan di antara mereka jadi tidak seharmonis biasanya.
Dan Arien?
Dia duduk di dalam tendanya, kaki dilipat, buku sketsa terbuka di pangkuan. Pensilnya bergerak pelan, garis-garis tipis membentuk ulang bayangan curug yang tadi dia lihat. Meskipun ponselnya sempat memotret curug sebelum kehabisan baterai, ia tetap menggambarkan air terjun yang ia lihat tadi siang. Tanpa suara, tanpa keluhan. Hanya pelan-pelan mengisi halaman dengan aliran yang tak bisa dia ucapkan.
Sore itu, sebelum api unggun menyala, langit menggelap perlahan, dan perkemahan jadi sunyi seperti tahan napas. Ada yang sedang berpikir. Ada yang sedang menjaga jarak. Ada juga yang mulai merasa kalau kebersamaan mereka yang kemarin terasa utuh, hari ini mulai retak halus. Tapi belum ada yang benar-benar berani menyebut namanya.
Dan seperti biasa, Arien tetap diam.
Tapi Ivan—yang sempat berhenti di luar tenda Arien sebelum masuk ke tendanya sendiri—sempat lihat bayangan Arien dari celah kain tenda yang bergoyang.
Tangannya menggambar.
Matanya tenang.
Tapi... Ivan bisa lihat. Ada sesuatu yang disimpan. Dan dia nggak yakin orang lain sadar.
***
Sore sudah berganti malam sepenuhnya ketika anak-anak mulai berkumpul di lapangan utama. Api unggun besar sudah siap dinyalakan di tengah lingkaran duduk, dan panitia menyuruh tiap kelompok membawa matras atau tikar masing-masing. Lampu-lampu gantung dari panitia memberi cahaya kuning hangat, menciptakan suasana yang nyaman, meski dingin malam mulai merayap lewat semilir angin.
Strigiformes, seperti waktu makan siang, kembali duduk terpecah. Arsel dan Elen di dekat lingkaran, ngobrol pelan sambil nyemil permen. Gilang bareng Dilan, berdebat receh soal siapa yang paling jago narik perhatian penonton kalau mereka tampil besok. Ivan—lagi-lagi duduk agak jauh, di dekat sisi luar barisan, matanya mengamati satu demi satu anggota kelompoknya. Sesekali, dia melirik ke arah Arien yang baru datang dan duduk tak jauh dari Hannah dan Laras.
Namun, suasana yang tenang itu buyar seketika ketika terdengar teriakan panik dari arah tenda belakang.
“SIAPA PUN YANG BISA BUAT TANDU—SEGERA KE TENDA FELIS CATUS! TOLONGIN KIRANA!!”
Suara dua anak perempuan yang panik langsung bikin semua kepala menoleh. Beberapa anak berdiri. Tenda Felis catus, kelompok yang ceweknya terkenal cerewet nomer dua di Angkatan, memang letaknya agak di ujung dekat semak.
“Kirana... sakit dari tadi siang katanya... tapi katanya cuma pegal biasa…” seseorang bergumam.
“Dia dari tadi langsung tidur habis ganti baju,” celetuk satu anak dari kelompok lain. “Eh, kok bisa sampe kejang-kejang?”
Suasana mendadak kacau. Tapi kemudian, tanpa aba-aba resmi, hampir semua anak dari berbagai kelompok... langsung nunjuk ke arah satu titik.
“STRIGIFORMES!!”
“CEPET!!”
“BUAT TANDU!!”
Laras, Jasmine, Dwipa yang duduk paling pinggir di lingkaran besar itu paling duluan bergegas menuju tenda tempat asal teriakan, disusul Hannah yang sedikit tersandung batu
Dilan dan Elen yang masih duduk langsung berdiri, refleks. Gilang sudah mengambil langkah panjang ke arah belakang tenda.
"Dilan! Ambil tongkat pramuka gue!! " Hannah menitah Dilam
Ivan melirik Arien yang memenuhi panggilan, hanya sebentar sebelum ikut berlari sepert Elen dan Dilan.
Dilan mengangguk “Gue ambil tongkat pramuka yang tersisa!” kata Dilan bergegas menuju tenda kelompoknya
Gilang balik arah dan nyaut, “Laras! cek Kirana dulu, pastiin posisi badannya bener sebelum dipindah!”
Dan secepat saat lomba tadi, kelima cowok Strigiformes kembali beraksi. Kali ini bukan buat menang. Tapi karena semua orang—tanpa ragu—percaya mereka bisa.
Tenda Felis catus udah ramai dikelilingi panitia dan anak-anak lain. Kirana terbaring pucat, napasnya cepat dan tubuhnya gemetar. Dua temannya masih terduduk sambil pegang tangannya.
Strigiformes datang dengan tandu darurat dari tali yang dialasi terpal dan dua tongkat kayu. Mereka kerja dalam diam, cepat dan tanggap.
Arien cekatan membuat simpul, dibantu Ivan yang tak banyak komen seperti saat pendirian tenda kemarin
Hannah mengangkat tongkat ketika simpul siap diikat. Sementara di dalam tenda, Laras dan Dwipa mencoba pertolongan pertama
“Angkat pelan. Kepala agak lebih tinggi,” kata Arsel tenang begitu Kirana digotong dari dalam tenda oleh Hannah, dibantu Ivan yang nampak lebih profesional membantu memindahkan Kirana
Satu per satu anak-anak menyingkir, memberi jalan.
Dan ketika mereka lewat membawa Kirana ke villa guru, semua mata mengikuti.
Tak ada yang bercanda malam itu. Tapi ada sesuatu yang bergeser.
Strigiformes bukan cuma kelompok konyol yang bikin heboh lomba siang.
Mereka… jadi yang paling diandalkan saat darurat.
Ivan diam-diam melirik ke sisi lain lingkaran, tempat Arien duduk memeluk lutut sambil melihat api. Ada senyum tipis di wajah cewek berkacamata itu—tak mencolok, tapi cukup buat Ivan berpikir.
Ya. Kelompok ini aneh. Tapi mungkin justru itu kekuatan mereka.
Ketika tandu kosong itu diturunkan dan Kirana sudah ditangani oleh guru bagian kesehatan, suasana pelan-pelan kembali tenang. Anak-anak mulai kembali ke lingkaran api unggun. Panitia yang semula panik, sekarang sudah mulai membagi cemilan malam: roti bakar dan teh hangat dari termos besar.
Strigiformes berjalan santai kembali ke lapangan. Tapi kali ini, langkah mereka... menyatu. Nggak kepisah dua arah seperti tadi siang. Mereka sama-sama menuju tempat duduk yang—tanpa sadar—sudah mereka pilih bersama.
Sepuluh anak itu akhirnya duduk melingkar. Agak sempit memang, tapi tak satu pun dari mereka pindah.
Tatapan-tatapan saling bertemu. Hannah melihat Laras, lalu ke Jasmine. Dwipa melirik ke arah Arien. Dilan menoleh ke Ivan yang duduk paling ujung. Elen nyengir ke Gilang. Arsel duduk di tengah, menarik napas panjang.
Dan tiba-tiba... semuanya tertawa pelan.
Bukan tawa keras. Tapi tawa kecil yang muncul karena... mereka semua tahu sesuatu yang sama.
Bahwa barusan, tanpa perencanaan apa pun, mereka bekerja sama seperti satu tubuh. Seolah—entah sejak kapan—mereka tahu peran masing-masing, tahu siapa harus bergerak dulu, siapa mesti jaga belakang.
Elen melirik kiri-kanan, menyikut Dilan
"Ternyata tadi kita kerja bareng lagi ya, kayak waktu lomba.”
Dilan senyum lebar. “Gokil ya. Liat aja besok—bisa makin pecah kayaknya. ".
Dan justru karena nggak direncanakan... itu terasa lebih nyata.
ABAS—Arien, Dwipa, Hannah, Jasmine, dan Laras—tiba-tiba saling pandang. Lalu, satu per satu bergerak maju dan... saling memeluk. Bukan pelukan rame-rame seperti konser atau acara perpisahan. Tapi pelukan jujur. Dekapan yang lahir dari rasa sadar: bahwa mereka, betapa pun sempat menjauh, tidak bisa dipisahkan.
Yang cowok-cowok cuma nyengir ngeliat itu.
“Seindah itu kalau mereka berkumpul ya,” celetuk Dilan sambil menyeruput teh.
“Lucu sih,” kata Elen pelan.
“Ya udah, jangan gangguin,” jawab Gilang. “Momen langka ini.” Arsel mengangguk setuju
Ivan hanya menatap sebentar. Tapi kali ini, senyumnya bukan senyum dingin.
Lebih ke... hangat. Tipis. Jujur.
Dan dari jauh, api unggun terus menyala. Mewarnai malam itu dengan cahaya oranye keemasan.
Malam saat sepuluh anak yang aneh, absurd, dan berisik ini... akhirnya menyatu.