BURUNG belum sempat berkicau, tapi Jasmine sudah membuat suara lebih keras dari burung manapun begitu Bu Wulan, salah satu pendamping perkemahan membangun kan tenda mereka dan tenda tenda yang lain.
“BANGUN, WAHAI MANUSIA LELEHAN!”
Suara itu disertai tabokan bantal ke arah Dilan, yang sontak bangkit setengah sadar seperti habis kena serangan di mimpi.
“Woi! Gue baru mimpi menang lotre! Kenapa harus lo yang bangunin!” protes Dilan.
Arsel berguling sambil mendekap sleeping bag-nya seperti guling warisan. “Baru juga mimpi makan es krim, bangun-bangun liat muka lo, Jas. Kutukan.”
“Kalau gue mimpi makan ayam goreng, bangunnya sambil lapar,” gumam Hannah dari balik bantal yang menutupi wajahnya.
“Bangunnya sambil liat Arsel, nggak bikin kenyang,” celetuk Laras setengah ngantuk.
Arien duduk perlahan. Matanya sembab tapi bukan karena nangis, hanya efek kurang tidur. Ia tidak bicara, hanya menatap Dilan yang masih menguap selebar jalan tol.
Ivan? Sudah bangun lebih dulu. Duduk di ujung tenda, rambut sedikit acak, hoodie masih melekat. Tangannya sibuk melipat sleeping bag dengan efisiensi militer.
“Wah, yang satu ini hidupnya kayak Excel sheet,” komentar Gilang dari belakang, baru bangun dengan suara serak dan wajah ngantuk permanen.
Dilan berdiri sambil mengangkat kedua lengannya.
“Otot paling gede di tenda ini! Jangan lupa, kawan-kawan!” katanya bangga, flexing bicep yang bahkan belum siap ditampilkan ke dunia.
Arien nyeletuk, datar, tanpa ekspresi. “Otot gede, tapi bangun kayak nugget beku di defrost dulu.”
Gilang ikut berdiri sambil merapikan kaosnya. “Sorry, Lan. Secara statistik, Ivan menang. Liat tuh... kayak patung perunggu pejuang Soviet.”
Ivan tidak bereaksi. Hanya menarik resleting ranselnya dan berdiri, siap lebih dulu.
Sementara itu, Jasmine sudah mulai bersenandung lagu marching band versi rock, bikin Laras memeluk bantal sambil mengeluh, “Ini pagi apa pentas seni sih...”
Mereka akhirnya keluar dari tenda satu per satu, masih dengan sisa-sisa kantuk, langkah malas, dan baju ganti yang seadanya. Udara pagi sejuk, embun masih menempel di rumput. Matahari baru saja muncul dari balik pepohonan.
Tapi meski mereka semua tampak berantakan dan setengah sadar...
Tenda Strigiformes adalah yang pertama rapi dan kosong.
Dan seperti biasa, Gilang hanya bisa menatap hasilnya sambil bergumam,
“Gue nggak tau ini keberhasilan... atau kekacauan yang terselubung.”
Setelah penghuni seluruh tenda keluar dan duduk rapi dengan peralatan masak masing-masing dihadapannya, seluruh kelompok diberi waktu untuk masak sarapan masing-masing. Sebuah api kecil dinyalakan kembali, bedanya kali ini dari kompor portabel milik kelompok masing-masing, kali ini untuk masak, bukan sesi puisi atau curhat dalam gelap.
Strigiformes berkumpul di sekitar kompor portabel yang dibawa Laras. Gilang membawa daftar menu yang disusun semalam tapi langsung disobek setelah Hannah bilang, “Gue nggak mau makan telur doang, kayak burung.”
“Tapi telur doang doyan kalau yang masak aku, ya kan?” Arsel nyeletuk
Hannah hanya menimpali sedikit “Iya, asal nggak gosong kayak hubungan mantan lo.”
Jasmine udah mulai nyusun bahan kayak chef profesional—padahal dia cuma nyusun mi instan, sosis, dan telur rebus dengan gaya plating acak.
Dilan yang ngotot jadi juru masak utama langsung ambil alih panci. Dengan gaya seperti juru masak anime ia berteriak
“SAATNYA MEMBANGKITKAN KEKUATAN KULINERKU!”
“Lo nyalain api unggun aja gagal tiga kali,” celetuk Laras tanpa menoleh, sibuk memotong bawang.
Dilan ngotot masak sosis dan telur. Tapi dia salah masukin minyak terlalu banyak. Minyaknya muncrat sampai mengenai Ivan, yang hanya berkedip pelan dan berkata
“Kalau panasnya nambah lima derajat lagi, ini berubah jadi eksperimen senjata.”
Arien, sambil duduk memeluk lutut dan minum teh hangat, nyeletuk pelan dengan logat Jawa nya yang kental “Tak kira yang bikin chaos hari ini alarm, ternyata kalian.”
Saat Dilan masak, Jasmine sibuk nyampurin teh sama susu bubuk, terus nyicipin dan bilang, “Rasanya kayak minuman nostalgia anak kos,” terus malah ketawa sendiri.
Dwipa, yang dari tadi sedang tumben paling serius, berhasil goreng tempe dengan sukses. Dia sodorin ke Laras dan Hannah.
“Nih, jangan cuma bisa nyindir. Makan.” Dwipa mendorong piring yang telah berisi tempe goreng marinasi
Hannah mengambil satu potong tempe dari piring putih miliknya itu “Kalau ini enak, gue anggap lo chef terbaik sedunia.”
Dia makan satu. Hening.
“...Enak,” katanya dengan ekspresi kayak nemu uang 100 ribu di jaket lama.
Sementara itu, Gilang cuma duduk nulis daftar bahan yang dipakai sembari ngomel, “Logistik tinggal setengah, nasi tinggal harapan.”
“Tenang, kita masih punya mie satu dus,” jawab Jasmine sambil ngunyah.
Tiba-tiba, Dilan bangga nunjukin wajan berisi telur orak-arik setengah matang yang... entah kenapa warnanya agak abu-abu.
“Ini masterpiece gua. Silakan dicicipi.”
Arien liat sebentar, terus jawab datar: “Itu telur atau eksperimen gagal lab IPA?”
Ivan mencicipinya satu sendok, memakannya, lalu bergumam “Rasanya seperti... kegagalan yang punya niat baik.”
Semua akhirnya ngakak. Bahkan Arien ikut tertawa kecil. Sambil makan bareng di atas alas seadanya, mereka tertawa lebih banyak daripada kunyahannya. Udara pagi jadi lebih hangat, bukan karena api, tapi karena suasana absurd dan tawa yang gak jelas.
Dan Gilang, seperti biasa, hanya bisa duduk sambil berkata lirih,
“Kenapa kelompok lain masaknya bisa normal... dan kita kayak shooting acara realita bertahan hidup?”
Setelah sarapan yang lebih mirip survival breakfast, para peserta kemping dikumpulkan lagi di lapang. Guru pembina berdiri dengan peluit, clipboard, dan ekspresi datar seperti sudah pasrah dengan nasib.
“Selamat pagi, semua!” seru Bu Wulan. “Hari ini kalian akan mengikuti games outbond. Siapkan fisik, mental, dan kerjasama tim. Dimulai dari lomba estafet air!”
Suara gerutuan langsung terdengar dari kelompok sebelah. Tapi di Strigiformes?
Matahari baru naik, tapi teriakan panitia udah panas duluan
"Kelompok siap di posisi masing-masing!”
Setiap kelompok berdiri sejajar dalam satu barisan panjang, masing-masing megang gelas plastik kecil. Aturannya: air harus dipindahin dari ember di depan ke botol kosong di belakang, lewat gelas—dan lewat kepala orang di depan. Artinya, air harus dituang di atas kepala teman, dan jangan sampai tumpah banyak.
“Siap?” teriak panitia.
“Siap!” sahut semua kelompok, meskipun beberapa tampak lebih sibuk nutup kuping dan ketawa-ketawa.
Dan... mulai!
Air mulai bergerak. Tumpah-tumpah. Jerit-jerit. Hannah langsung menjerit waktu Jasmine nyiram terlalu banyak. Dwipa nyumpahin Laras yang malah ketawa ngakak sambil nyiram ke leher. Tapi yang paling kacau tentu saja—Strigiformes.
Ivan sengaja nutup mata dan bilang, “Gue pakai insting.”
Arsel nyanyi sambil nyiram air. “Air mengalir, seperti cintamu yang gak pernah sampai...”
Elen, yang paling belakang, sudah setengah basah kuyup. “INI GUE ATAU BOTOLNYA YANG DIISI SIH?!”
Dan entah gimana, Arien tetap kering. Dia seperti punya radar menghindari tetesan. “Lo semua cacat koordinasi,” celetuknya datar, tapi bikin Ivan malah ketawa--tentu membuat suasana makin seru, makin kencang dan nyiram lebih ngawur.
Ajaibnya? Mereka tetap salah satu yang tercepat. Elen berhasil nutup botol dengan cukup air sebelum panitia nyetop.
“Strigiformes... juara dua!” teriak panitia.
“YANG JUARA SATU SIAPA?!”
“Belum ada, satu botol lagi pecah karena jatuh.”
Dan akhirnya... Strigiformes menang.
Belum habis euforianya, panitia teriak lagi, “Siap-siap lomba kedua! Bikin tandu dari tongkat pramuka dan tali!”
Kelompok langsung bergerak. Beberapa langsung mikir keras soal simpul dan kekuatan. Tapi Strigiformes? Lagi-lagi beda alam.
Arsel dan Dilan ribut soal desain. “Kita bikin kayak tempat tidur gantung aja, yang penting bisa angkat orang.”
“Ngapain kayak tempat tidur? Tandu mah ya tandu!”
Elen muncul dengan ide brilian: “Kalau kita bikin dua tingkat? Kayak tandu raja, tapi versi anak pramuka.”
“Yang duduk siapa?” tanya Gilang datar.
“Gue sih oke,” jawab Hannah sambil angkat tangan.
Arien, tanpa banyak ngomong, langsung ngerjain simpul dan nyambung tongkat jadi rangka. Dalam waktu singkat, mereka punya... sesuatu. Bukan tandu biasa, tapi semacam rangka aneh yang kalau diliat dari atas bentuknya kayak laba-laba.
“Siapa yang jadi korbannya?” tanya Arsel.
“Lo aja,” kata semua serempak.
Akhirnya Arsel naik, agak gemetar. “Kalo gue jatoh, gue gugat satu-satu ya.”
Mereka mulai lari kecil sambil gendong tandu absurd itu. Dilan di depan, Ivan di belakang, Arien dan Gilang di sisi kanan-kiri buat jaga stabilitas.
Panitia awalnya mau nge-lempar komentar... tapi malah ngakak liat kekompakan aneh Strigiformes. Arsel anteng di atas tandu yang goyang-goyang kayak odong-odong, tapi tetap jalan.
“Waktunya paling cepat!” seru panitia tak percaya.
“Juara lagi?” tanya Ivan dengan muka nggak berdosa.
“STRIGIFORMES JUARA PERTAMA!”
Sementara kelompok lain masih ribet ngencengin simpul, Strigiformes udah duduk selonjor di bawah pohon, nyemil chiki.
“Absurd adalah kekuatan,” kata Arsel bijak.
Dan anehnya, gak ada yang bisa bantah.
Akhir sesi games berhasil memuaskan untuk kelompok tiga itu. Strigiformes menang peringkat pertama. Yang heran bukan cuma kelompok lain, tapi juga mereka sendiri.
Gilang terkekeh “Gue gak ngerti. Kita ngelawak dari awal, tapi bisa podium.”
“Kemenangan tanpa rencana. Estetika kekacauan.” Arien nyeletuk kalem. Membenahi posisi kacamata nya
“Atau grup lain yang lebih parah aja.” Elen bergumam
Jasmine ikut tertawa “Either way… WE SLAY.” menjentikkan jarinya, mengundang tawa kesembilan temannya
Dan mereka jalan balik ke tenda sambil bernyanyi nggak jelas, dipimpin oleh Jasmine dan Dilan, sementara Ivan cuma jalan di belakang, diam tapi matanya sedikit melirik Arien yang sesekali tersenyum pelan.
***
Pukul sepuluh, matahari sudah nyengat parah. Udara panas, apalagi setelah lomba estafet dan tandu, membuat semua peserta kemping nyebar ke tenda masing-masing buat istirahat. Beberapa kelompok naruh handuk dan baju basah hasil cuci pagi di tali jemuran yang dibentang antara pohon-pohon pinus.
Anak-anak cowok Strigiformes—Ivan, Tegar, Arsel, dan Gilang—nggak langsung masuk tenda. Mereka malah duduk-duduk di batang pohon tumbang deket tempat jemurannya Kelompok Psittacidae , kelompok cewek lain yang terkenal paling rapi dan teratur di angkatan itu.
“Aduh, pegel banget. Gue kayak udah angkat tiga galon berturut-turut,” keluh Dilan sambil tiduran setengah tengkurap di batang pohon.
“Kaki gue tremor,” tambah Elen
Arsel justru berdiri sambil iseng main ayun-ayun tali jemuran yang kebetulan kosong di satu sisi. “Eh, kuat juga ya ini tali. Kalo misalnya kita...”
“JANGAN!” teriak Gilang, tapi terlambat.
Arsel menarik tali terlalu keras—dan tali jemuran yang diikat ke pohon bergeser. Jemuran kelompok Psittacidae yang rapi itu... nggak rapi lagi. Seketika itu juga semua baju basah dan handuk-handuk bersih jatuh ke tanah. Beberapa malah kena genangan kecil.
Semua terdiam.
“Dya, Net" Ivan berbisik pelan
“Bro...” Dilan ngecek cepat. “Ini bukan jemuran kita kan?”
“Ini... jemurannya si Salsa dan teman-temannya,” gumam Gilang pasrah. “Yang suka bawa pewangi sendiri dan bikin aroma kemah kayak laundry hotel.”
Beberapa detik kemudian, suara teriakan nyaring terdengar.
“ITU BAJU KITA!!!”
Salsa dan dua temannya langsung lari mendekat, ekspresi mereka selerti yang baru saja dikhianatin dunia.
“Siapa yang NGEJATUHIN?!”
Arsel nunjuk dirinya sendiri. “Gue. Tapi demi kejujuran dan keadilan, mereka semua juga salah.”
Alis Ivan segera bertaut “Hah?!”
“Arsel plis.” Gilang menepuk pahanya pelan
Elen udah nyari-nyari daun buat ngelap lumpur dari salah satu kaos yang jatuh. “Gue bantuin bersihin, tapi jangan panggil guru dong...”
Tapi semuanya terlambat. Salsa udah jalan cepat ke arah tenda guru sambil ngomel sendiri.
Beberapa menit kemudian...
Di bawah pandangan seluruh peserta kemping, lima anak cowok Strigiformes berdiri di tengah lapangan sambil ngangkat tangan, disuruh push-up sama pembina.
“Dua puluh kali, buat ngingetin kalian biar jangan iseng sembarangan!”
Ivan ngelirik Arsel. “Makasih ya, Roy Kiyoshi.” berbisik dengan nada mengintimidasinya
“Aduh,” Arsel ngeluh, “Gue cuma nyentuh tali dikit.”
“Dikit lo sama kayak yang narik alarm kebakaran.” Elen udah megap-megap.
Sementara itu, kelompok Psittacidae duduk santai sambil makan camilan mereka dan nonton mereka seperti yang sedang nonton reality show.
Arien? Duduk agak jauh sambil menggambar di buku sketsanya. Dia cuma sesekali ngelirik ke arah empat cowok temannya yang lagi dihukum, lalu balik ke sketsa. Di pojok bibirnya kayak ada senyum kecil... atau mungkin cuma bayangan.