MALAM turun perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti seluruh bumi perkemahan. Langit di atas begitu jernih—bintang-bintang berkedip dalam diam, dan udara malam menyejukkan kulit yang seharian terpapar matahari dan debu jelajah alam. Di sekitar lapangan, tujuh kelompok telah selesai mendirikan api unggun masing-masing di depan tenda mereka.
Kelompok Strigiformes, setelah drama gagal nyalain api tiga kali karena Arsel ngotot pakai "ritual nenek moyang," akhirnya berhasil menyalakan api unggun mereka sendiri. Nyala oranye kecil mulai menari-nari, menghangatkan udara sekitar, dan menciptakan cahaya redup yang memantulkan wajah-wajah lelah tapi puas.
Mereka sudah ganti baju santai. Tak ada lagi seragam pramuka berdebu. Hannah memakai sweater kebesaran dengan celana panjang dan sandal karet. Arsel duduk di tikar dengan celana training dan rambut acak-acakan. Jasmine menyelimuti kakinya dengan sleeping bag separuh terbuka. Gilang, masih seperti ketua kelas, mencoba menjaga aura waras—meski wajahnya jelas sudah pasrah.
Ivan duduk sedikit menjauh dari lingkaran, bersandar ke salah satu tiang tenda. Hoodie-nya tertutup rapat, tangan di saku, kaki diluruskan ke depan. Tatapannya kosong, lurus ke arah api, tapi seperti biasa—siapa pun tahu pikirannya sedang jauh.
Arien duduk agak samping, dekat tapi tidak berdampingan dengan siapa pun. Hoodie gelap, tangan mainan ranting, dan mata sayu mengamati bara. Sesekali ia melirik sekeliling, tapi cepat kembali ke nyala api. Diam—tapi bukan karena tidak peduli. Ia hanya memilih diam
“Kalau dunia kiamat, dan kita satu-satunya manusia yang tersisa, siapa yang paling pertama kita makan?” Jasmine membuka diskusi dengan serius yang tidak perlu.
“Arsel,” jawab Hannah cepat, tanpa pikir panjang.
“Gila! Kenapa gue?” protes Arsel sambil membetulkan posisi duduk.
“Karena kamu paling banyak lemaknya,” tambah Dilan sambil nyengir.
Arsel langsung berdiri dan pamer otot. “Otot gue paling gede woy! Liat nih!”
Gilang hanya menatap sebentar, lalu berkata datar, “...Kalau dibanding Ivan sih, otot kamu kayak karet gelang.”
Semua langsung menoleh ke Ivan yang duduk diam seperti biasa.
“Dia diem-diem berbahaya, bro. Gaya tenang, tenaga senyap,” lanjut Gilang.
Ivan tidak menanggapi. Hanya menatap api, tapi sudut bibirnya seperti bergerak sangat sedikit. Nyaris senyuman, tapi terlalu halus untuk disebut begitu. Senyum smirk mungkin
Arien ikut melirik Ivan, lalu gumam pelan, nyaris tak terdengar
“...Tipe orang yang bisa patahin leher pake tali hoodie sendiri.”
Jasmine mendadak menggigil, “Oke, oke. Gua pindah ke sisi lain api.”
Mereka tertawa. Gelak tawa kecil yang anehnya tidak mengganggu keheningan malam, malah memperindahnya.
Setelah beberapa saat, Elen mulai bersenandung lagu random yang nadanya ngaco, dan Dilan mengiringi dengan ketukan botol plastik kosong. Laras mengeluarkan ponsel mode offline-nya dan memotret momen itu dalam diam.
“Gue seneng kita api unggun sendiri. Kayak... nggak butuh validasi. Cukup kita,” gumam Laras.
“Validasi itu buat tugas akhir. Ini hidup,” sahut Arien, masih menatap bara.
Seketika hening. Celetukannya kalem, tapi nyentil. Dan seperti biasa, pas.
“Lo tau nggak,” kata Dilan tiba-tiba, “Kenapa otot gue kalah gede? Soalnya hati gue yang gede. Itu juga berat, tahu nggak?”
“Berat tapi kosong,” kata Hannah.
“Berat kayak tugas kelompok, isinya cuma satu yang kerja,” tambah Elen.
“Jadi lo ngerasa lo doang yang kerja di kelompok?” tanya Gilang, serius.
“Gak, gue cuma... bercanda...,” Elen mundur pelan, sementara yang lain mulai riuh ngejelek-jelekin siapa paling sering hilang saat kerja kelompok.
Di tengah itu semua, Arien dan Ivan tetap tidak banyak bicara.
Tapi di satu momen, ketika semua tertawa pada lelucon absurd Jasmine soal lintah yang bisa jadi influencer kalau punya Instagram, Arien sempat menoleh sedikit.
Ivan menangkap tatapannya, dan tidak mengalihkan pandang.
Arien menaikkan alis tipis, lalu gumam lirih, “Lintah pun lebih produktif dari sebagian dari kita.”
Ivan, tanpa ekspresi, hanya menjawab pendek
“Setidaknya dia nggak bawa gitar.”
Seketika, semua tertawa—bahkan tanpa tahu konteksnya. Mungkin karena capek. Mungkin karena hangatnya malam. Atau mungkin... karena entah bagaimana, nyala api membuat mereka semua terasa pulang ke tempat yang belum pernah mereka datangi sebelumnya.
Strigiformes bukan kelompok sempurna. Mereka absurd. Chaos. Penuh suara, penuh ide gila.
Tapi malam itu, dalam lingkaran cahaya kecil itu, mereka terasa sangat utuh.
***
Nyala api mulai mengecil, menyisakan bara yang merah padam. Suara-suara tawa dari seluruh lapangan sudah mulai meredup, hanya terdengar sayup-sayup lagu yang disenandungkan asal oleh kelompok sebelah. Beberapa kelompok bahkan sudah mulai masuk ke tenda masing-masing, tapi tentu saja—Strigiformes belum.
Mereka masih duduk, walau sebagian mulai bersandar. Hannah sudah setengah rebahan di paha Arsel, sementara Jasmine duduk selonjor sambil menggambar sesuatu di tanah pakai ranting. Elen membungkus dirinya dengan jaket dan sleeping bag seperti burrito, dan Gilang... masih mencatat di notes-nya dengan ekspresi lelah abadi.
Arien duduk bersila dengan hoodie menutup sebagian wajah. Ia tampak tenang, tapi matanya masih awas. Ivan? Masih dengan posisi yang nyaris tidak berubah. Punggung di tiang tenda, hoodie menutupi kepala, dan mata tajam menatap bara yang memudar.
Tiba-tiba suara peluit panjang terdengar dari ujung lapangan.
“Anak-anak!” seru suara berat khas Pak Wusdi, guru pembina kemping kali ini selain guru pembina kepanduan mereka. “Api unggun dibubarkan. Masuk ke tenda masing-masing. Jangan ada yang keluyuran malam-malam. Besok jadwal padat. Cepat, sebelum saya minta kalian nyanyi Indonesia Raya acapella.”
Beberapa siswa langsung panik. Suara berhamburan terdengar. Kelompok-kelompok mulai bersih-bersih, mematikan api, membereskan log kayu yang dipakai duduk.
Strigiformes? Butuh dua menit hanya untuk menentukan siapa yang harus ngeluarin ember buat nyiram api.
“Arsel dong, kan elu yang nyalain. Simbolisme,” kata Jasmine santai.
“Gue yang nyalain, bukan yang matiin. Itu tanggung jawab Gilang. Ketua kelas,” balas Arsel sambil gendong Hannah ke arah tenda.
“Sumpah kalian... kayak anak TK rebutan perosotan,” keluh Gilang, lalu bangkit dan menyiram bara unggun pakai air dari ember. Asap naik sebentar, lalu redup total.
Dan dimulailah... drama dalam tenda.
Tenda mereka cukup besar, bisa menampung sepuluh orang. Tapi... tidak ada cukup spot strategis. Beberapa bagian lembab. Beberapa bagian miring. Beberapa dekat pintu, alias rawan diganggu angin malam. Semua orang tahu mana spot paling enak, dan semua orang mengincarnya.
“Gue di pojok, ya. Gue cepet kedinginan,” kata Hannah sambil langsung merebahkan diri di tempat paling nyaman.
“Itu juga pojok yang paling datar!” protes Dilan.
“Cepet-cepetan, Bro. Survival of the fastest,” ujar Arsel sambil lempar sleeping bag di samping Hannah.
Jasmine sudah gelinding ke tengah sambil berkata, “Gue di tengah biar semua kena bau kaos kaki gue. Nggak ada yang aman.”
“Gue nggak mau sebelahan sama dia!” teriak Laras.
“Gue juga nggak!” kata Elen.
“Terus siapa yang mau?” tanya Jasmine dengan polos.
Ivan masuk terakhir. Ia hanya melempar sleeping bag di sudut yang tersisa—tepat di sebelah Arien. Tidak ada yang berkomentar, meski beberapa orang jelas melirik. Arien hanya angkat alis tipis, lalu berkata kalem:
“Wah, dapet slot horor.”
Ivan tidak menjawab. Hanya mengangkat bahu sedikit. Tidak terganggu. Tidak terhibur. Tapi tetap bertahan di tempat itu.
Gilang masuk paling terakhir, hanya untuk menemukan dirinya harus tidur... tepat di depan pintu tenda. Ia memandang tempat itu seperti seseorang yang baru tahu tempat duduk pesawatnya dekat toilet.
“Kenapa gue?” keluhnya sambil mulai rebahan.
“Karena kamu pemimpin sejati. Menghadapi dingin malam dan aroma sepatu kami,” jawab Elen dramatis.
“Tidurlah,” gumam Arien akhirnya. “Besok pagi kita rebutan ember buat cuci muka.”
Tenda itu akhirnya mulai sunyi. Hanya suara jangkrik dari luar, dan napas yang mulai tenang. Tapi sebelum semua benar-benar tertidur, Dilan tiba-tiba bersuara pelan:
“Kalau ada yang ngorok, kita iket pakai tali rafia, ya.”
“Tali rafia-nya buat elu, Lan,” kata Gilang sambil menutup mata.
“Yah,” desah Dilan. “Gue emang berbakat jadi korban.”
Dan akhirnya, sunyi benar-benar menyelimuti kelompok aneh itu.
Tenda sudah tenggelam dalam senyap. Hanya suara lembut jangkrik dari luar yang menyusup masuk bersama hembusan angin malam yang sejuk. Di dalam tenda, napas teratur mulai terdengar. Beberapa sudah terlelap, beberapa lain sesekali menggeliat atau mengigau pelan.
Tapi dua orang masih terjaga.
Arien memperbaiki posisi rebahnya, hoodie-nya ditarik menutupi sebagian wajah. Matanya terbuka, menatap langit-langit tenda yang nyaris tak terlihat. Ia tidak gelisah, hanya… belum tertidur.
Di sebelahnya, Ivan sama diamnya. Sikunya menempel dengan bahu Arien. Napasnya stabil, tapi matanya masih terbuka. Wajahnya tenang, tapi tidak kosong.
Sesaat, hanya keheningan yang mengalir di antara mereka.
Arien akhirnya nyeletuk. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri.
“Ngantuk, tapi otak malah buka browser.”
Ivan tidak langsung menjawab. Tapi dari sudut matanya, ia melirik Arien sekilas. Pelan, ia berkata:
“Biasanya begitu. Tubuh minta istirahat, pikiran malah gelar rapat.”
Arien menghela napas pelan. “Kalau pikiran bisa di-shut down kayak komputer, hidup bakal lebih gampang.”
Ivan tetap menatap ke depan. Lalu berkata singkat, tapi tajam:
“Kalau gampang, kita nggak bakal duduk di sini sekarang.”
Sesaat, Arien hanya diam dalam pikiran mereka masing-masing. Lalu ia berkata dengan nada datar:
“Puitis banget. Tumben.”
Ivan melirik lagi, kali ini agak lama. “Aku nggak puitis. Aku realistis yang dingin.”
“...Siberia realistis,” gumam Arien pelan.
Ivan mengangguk kecil. “Kurang dua derajat, beku.”
Arien menghela napas kecil. Mencoba menyamakan napas dengan udara dingin malam itu. Hening lagi mengalun, tapi bukan yang canggung. Justru seperti dua orang yang sama-sama tidak butuh suara untuk merasa saling hadir.
Beberapa menit lagi berlalu tanpa kata. Ivan tampak mulai menutup mata, tapi tetap menjaga ketenangan wajahnya. Arien masih terjaga, tapi matanya mulai melembut.
Sebelum akhirnya benar-benar terpejam, Arien bergumam hampir tak terdengar
“Besok kalau aku cranky, jangan tanya kenapa.”
Ivan menjawab tanpa membuka mata, suaranya tetap datar dan dingin seperti biasa
“Dicatat. Arien minus tidur, minus toleransi.”
Arien cuma nyengir, lalu menguap lebar. Matanya mulai tertutup sempurna
"Dan jangan panik kalau ku bangun sementara tanganku memelukmu. Saya lupa membawa guling" Ivan tiba-tiba bicara lagi. Membuat kedua mata Arien terbuka lagi lalu buru-buru merisleting sempurna sleeping bag-bag-nya.
Ivan terkekeh pelan melihat reaksi Arien. Arien tetap fokus menutup kantung tidur. Suara kekehan Ivan justru membuat bulu kuduk nya berdiri semua
Dan akhirnya, dunia mereka benar-benar sunyi.