KONVOI tiga truk itu telah tiba di tempat tujuan. Sebuah villa yang memiliki area yang luas di Gunung Sodong
Tiga truk Doreng segera parkir rapih dihalaman luas itu. Sementara penumpangnya satu persatu turun.
Arien belum turun dari truk, dia mengambil barang terlebih dahulu. Sementara para pemilik barang menunggui barangnya dibawah. Menerima setiap barang yang Arien turunkan
Pak Hendra, pembina ekskul pramuka ikut serta dalam perkemahan pelatihan manajemen dan kepemimpinan ini. Menginstruksikan murid-muridnya untuk mendirikan tenda. Ada Tujuh kelompok barisan sesuai dengan jumlah kelompok regu yang ada. Berbaris rapih
"Setelah kalian mendirikan tenda, kalian akan melakukan pengenalan terhadap lingkungan perkemahan. Setelah itu baru istirahat dan makan siang. Oke tidak perlu ditanya mengerti apa tidak, silakan kalian ambil tenda di teras villa. Ketua kelompok harap bersiap didepan"
"Maju Arien" Hannah menarik tangan Arien. Menyuruh nya berdiri didepan Dwipa
Arien mulai bersiap lari. Tujuh Ketua kelompok yang lain juga telah bersiap
"Siap?? " Pak Hendra bertanya kencang-kencang sekali lagi pada manusia-manusia yang telah mengambil pose siap berlari
"SIAP!! " Tujuh orang didepan balas berseru
"Oke! Siap!! "
Nafas mereka terdengar menderu
"Sediaa!! "
Punggung mereka bertujuh terangkat
"MULAAIII!!! "
Belum habis seruan Pak Hendra , tujuh Ketua kelompok itu telah melesat cepat. Berlari secepat mungkin dengan kecepatan lari maksimal mereka
"Ayo ayo Dindaaa!!! Ambil yang paling bagus!!
"Fajar! Fajar! "
"Arieen!! Ambil yang paling besaaar!!"
"Andi!! Cepat Andii! "
Seru-seruan dari penonton sekaligus anggota kelompok mereka terdengar ricuh. Menjadi pemacu semangat Ketua Ketua kelompok mereka
Tap!..
Arien menjadi orang pertama yang sampai ditempat tenda-tenda ditumpuk. Mata tajamnya cepat mencari tenda yang nampak paling besar diantara tujuh tenda yang lainnya
Tangan kanannya lalu cepat cepat meraih tas tenda yang ukuran nya paling besar di antara yang lain. Sempat bertabrakan dengan ketua kelompok yang lain dan sempat adu tatapan sinis dengan orang-orang yang juga mengincar tas itu
"Horeeeee dapet yang besar!!! " Laras berseru senang. Suaranya yang melengking membuat pekak siapapun yang mendengarnya
"LARAS!! SAKIT TELINGA GUAAA!! " Dwipa balas berteriak di telinga Laras. Yang diteriaki mengusap-ngusap kupingnya "Tapi ya nggak gini juga bales nya Dwipangga Maheswariiii!!"
Plakkk! Suara kulit yang beradu terdengar kencang. Mengakhiri adu suara Laras dan Dwipa
"SAKIT, JASMINE MUTIARA NINGSIHH!! " Kali ini mereka berdua paduan suara. Meneriaki Jasmine yang tadi menampar pipi mereka
"Ya lagian udah tau suara sama-sama melengking, masih adu suara juga?! "
"Sudah sudah. Sekarang bukan waktunya gaduh" Arsel melerai mereka bertiga
Hannah mengangguk, mendukung Arsel "iya nih, dimana mana ribut mulu!"
"Halah! Siap deh si paling tertib!! Tapi bukannya salah satu bentuk ketertiban itu mematuhi aturan sekolah? " Dwipa menyikut lengan Jasmine
Jasmine mengangguk-nganggukan kepalanya "iya dong, pasti. Contohnya gimana Laras?"
"Salah satu peraturan sekolah adalahtidak membuat hubungan yang tidak jelas dengan lawan jenis. Contohnya nggak pacaran!! " Laras semangat menjawab, seolah setelah menjawab pertanyaan itu dia akan mendapatkan hadiah satu juta
"Hmm iya ya, nggak pacaran.. "
Hannah dan Arsel melotot. Yang dipelototi malah tertawa melihat tingkah dua manusia dihadapannya. Lihatlah, kompak sekali mereka
"Sudah. Ambil posisi, kita segera bangun tenda" Akhirnya Arien yang melerai teman-temannya. Suara dinginnya membuat yang lain mengangguk. Segera menuju tempat pendirian tenda yang telah ditetapkan oleh Pak Wusdi
***
Tujuh puluh murid nampak tengah berkutat dengan tenda kelompok nya masing-masing. Ada yang hampir jadi, sudah mau jadi tapi malah ada yang rusak atau malah baru setengah jalan
Halaman villa tempat kemping mereka dipenuhi oleh seru-seruan semangat, marah dan hampir putus asa
Suara kelompok tiga atau kelompok Strigiformes menjadi penyumbang suara suara terbanyak di lapangan itu
Ada Arien, si tomboy pendiam yang lebih sering nyeletuk daripada bicara. Dingin, tajam, dan nyaris tak tertebak. Serasa menjadi orang kesasar yang kesasarnya level dewa. Bayangin coba, anak introvert dimasukin kesini
Ivan, si Rusia yang sedingin embun Siberia. Bicaranya sedikit, tapi sekali ngomong rasanya kayak salju jatuh ke tenggorokan.
Jasmine, cewek tomboy dengan tawa menggelegar dan humor tak pernah padam.
Dilan, spesialis kelakar dadakan yang bisa bikin panitia perkemahan pusing—tapi kalau marah, bisa serem kayak badai.
Dwipa, atlet tangguh dengan suara paling waras di tengah kebisingan.
Hannah, si tukang makan yang kalau ngomong sering ngelantur, pacar dari Arsel, cowok jamet yang dramanya datang sebelum masalahnya.
Elen, penyeimbang tim, suara rasional di tengah keabsurdan.
Laras, visual kelompok dengan aura kalem, tapi sesekali ikut tertawa sampai lupa jaga image
Dan Gilang, ketua kelas yang tak pernah tahu bagaimana dia bisa memimpin kelompok dengan energi seperti ini.
Bersama-sama, mereka bukan hanya tim. Mereka adalah anomali.
Kalau kelompok lain dibentuk karena kesamaan, Strigiformes terbentuk dari perbedaan yang tidak bisa dipisahkan.
Mereka bisa gagal bikin tenda tapi berhasil bikin semua orang tertawa. Bisa salah rute tapi pulang dengan cerita paling panjang.
Satu hal yang pasti: kalau salah satu hilang, yang lain akan mencari. Dengan strategi? Kadang. Dengan logika? Jarang. Tapi dengan sepenuh absurd? Selalu
Diantara tenda tenda yang hampir berdiri, tenda mereka justru rubuh kembali
Tenda mereka masih miring kayak niat bangun pagi. Semua frustrasi.
Elen akhirnya duduk menjeplak di rerumputan. Membiarkan kerikil menusuk bantalan duduknya itu “Aku nyerah. Ini bukan camping. Ini ujian hidup.” meluruskan kaki
“Kalau ini lomba, kita juara kategori ‘Berani Tapi Tidak Kompeten’.” Dilan nyeletuk. Menyeka pelipisnya yang dibanjiri keringat. Matahari mulai meninggi
Arsel mengikuti teladan Elen. Menggaruk kepalanya yang tak gatal “Tiang ini bengkok atau jiwaku yang udah nggak kuat?”
Hannah menguap lebar “Jiwamu sih.” menjawab celetukan Arsel
Arien duduk, baru selesai membuat simpul. Tatapannya kosong ke langit yang menerik. Nyeletuk sekali-sekali.
“Kalau tiangnya roboh lagi, aku mau tidur di parkiran truk.”
“Astaga... ini bukan dingin lagi. Ini sarkas level dewa.” Jasmine bergumam menatap Arien
Dan tiba-tiba... langkah berat terdengar.
Ivan muncul dari belakang tenda. Tenang. Dingin. Tidak ada aba-aba. Tapi semua refleks diam.
Dia ambil palu. Diam. Menatap ke tiang yang miring.
“Semua mundur.” Ivan bicara dingin. Mengalahkan terik panas yang ditambah dinginnya pegunungan
Semua anak langsung minggir. Bahkan jangkrik pun berhenti bunyi.
“Kalian terlalu banyak suara. Tenda ini butuh keseimbangan, bukan debat."
“...aku baru aja merasa dihina dengan penuh estetika.” Gilang bergumam sendiri
Ivan menatap tali tenda “Salah posisi. Sudutnya melenceng lima derajat. Dan simpul ini... bukan simpul. Ini keputusasaan yang dijelmakan.”
Arien gelagapan menyadari simpul yang tadi ia buat salah
"Astaga.. Bahkan sejenius Arien pun ada salahnya. Walau itu kecil sekali.. " Elen berbisik pada Dilan
“Bro, dia mungkin lebih jahat dari presiden kedua itu.. tapi entah kenapa gua jadi pengin nurut.” Dilan balas berbisik. Menatap gerakan Ivan yang membuat simpul baru tanpa berkedip
Ivan bekerja tanpa kata. Gerakannya cepat, presisi. Palu diketuk sekali—langsung pas. Tali ditarik—langsung kencang.
Arien menelan ludah. “Dia kerja kayak AI yang dikasih tugas dunia nyata.”
“Setidaknya aku efisien.” Ivan menanggapi tanpa menoleh
Arien mengangkat bahunya “Touché.”
***
Akhirnya... tenda berdiri. Rapi. Simetris. Bahkan bergelombang anggun kalau ditiup angin.
Semua orang melongo.
Gilang sampai terduduk. Sesenggukan melihat ke-perfect-an tenda berwarna hijau army yang Arien pilih tadi “Ini... indah. Aku--aku mencintai struktur ini.”
“Gila... kita berhasil. Tanpa korban jiwa. Cuma korban harga diri.” Elen mengusap wajahnya yang banjir keringat
“Gua kehilangan tiga tali dan separuh harga diriku, tapi worth it.” Jasmine terkekeh pelan
“Aku ingin menamai tenda ini ‘Harapan Baru’.” Dilan berkata lirih dengan gaya dramatis nya seperti biasa. Jangan-jangan gara-gara ke dramatisan Dilan, namanya bisa segera berubah jadi Dilan Jatmiko Dramatis
"Sudah selesai Anak-anak? " Pak Wusdi menghampiri kelompok terakhir yang menyelesaikan tenda mereka
"Belum pak" Arien jawab asal
"Hah? " Pak Wusdi menatap Arien
"Kalau belum Selesai ya belum digelarin karpet sama dimasukin barang dong, Pak.. Gimana sih? "
Pak Wusdi mengubah mimik mukanya jadi masam. Anak satu ini seperti minta di timpuk dengan tongkat pramuka
"Sudah selesai pak! " Laras keluar dari tenda. Mengacungkan jari jempolnya. Dia baru selesai menata barang milik sepuluh orang dibantu Dwipa dan Dilan. Dua anak yang tengah mencoba saling menghindar itu ternyata bisa juga diajak kompromi
"Oke. Setelah ini kalian makan siang lalu segera berkumpul di depan villa. Kita akan melaksanakan jelajah alam"
"Siap pak"
***
Jelajah alam dimulai.
Arien diberi selembar peta arah tujuan yang harus mereka lewati
Simbol-simbol aneh.. Gambar yang tak kalah unik.. Dan terakhir beberapa tanda silang dijalan-jalan yang mereka lewati
"Ini maksudnya apa dah" Dilan menggaruk kepala nya yang tak gatal. Matanya terasa sedikit berkunang-kunang melihat peta yang dipegang Arien
"Lo kayak yang nggak pernah pramuka aja, Lan. Anak TK pun tahu apa maksud peta ini" Jasmine nyeletuk. Heran melihat Dilan yang pura-pura tidak paham itu
"Sebentar" Suara dingin Ivan tiba-tiba terdengar, membuat teman-temannya menoleh
"Peta bukannya tentara Indonesia yang dibentuk Jepang? "
Sembilan manusia disekitarnya hanya mengunci mulutnya, bingung harus bereaksi apa mendengar manusia titisan Siberia ini nyeletuk random. Laras yang selalu jaga image-pun sampai melongo, mulutnya sedikit menganga
"Tutup mulut lo, Ras. Lalat bisa masuk itu" Gilang mendorong dagu Laras ketempatnya agar kembali mengatupkan mulutnya
"Eh, maaf"
"Ayo kita segera berangkat. Kelompok lain sudah mulai jalan" Arien mulai melangkahkan kakinya. Memimpin didepan
"Emang lo udah bisa baca peta sekarang? " Hannah nyeletuk. Membuat gerakan kaki Arien berhenti. Gadis berambut pendek itu nampak berpikir sejenak
"Oh iya ya.. " Arien membalik badannya. Tangan kanannya yang tak membawa apa-apa menggaruk rambut yang mulai acak-acak "ayo siapa yang bisa baca peta dengan tulisan dan gambar se-antimainstream gini? " Arien mengangkat gulungan peta yang ia bawa ditangan kiri yang juga membawa tongkat pramuka
"Bukan gue" Hannah mengangkat tangannya
"Juga bukan gue juga" Yang dibelakang nya ikut mengangkat kedua tangannya
"Apalagi gue" Jasmine dibelakang Dwipa mengikuti teladan dia temannya sebelum nya
Laras menggeleng. Mengangkat kedua tangannya setinggi bahu "gue nggak profesional memimpin"
Arien menatap tim laki-laki
"Nggak dulu deh, Rien. Makasih" Tiga anak segera mengikuti pedoman anak-anak perempuan yang didepan
Arien menatap Gilang. Tumben ni ketua kelas nggak turun tangan
Gilang ternyata mengikuti apa yang kawan-kawannya lakukan "jujur gue lebih milih mimpin lo pada ketika kalian lagi pada nggak waras daripada disuruh mimpin didepan menyusuri hutan dengan bekal peta bersandi rumit. Lo kan tahu, gue nggak jago-jago amat soal sandi-sandian begitu"
Terakhir. Arien menatap Ivan. Tatapan mata hitam Arien dengan mata biru dingin Ivan akhirnya bertemu setelah sekian lama saling buang pandangan kalau tidak sengaja saling tatap.
"Gimana? Sedari tadi kamu memandangku dengan pandangan meremehkan. Mari kita buktikan apa tatapan rendah mu padaku itu nyata? Atau ternyata pikiran mu tentangku salah? " Arien menyilangkan kedua lengannya didada. Bergaya seperti sedang menantang orang--memang lagi nantangin orang sih
"Baiklah, kalau saya salah kamu menang kalau ternyata kamu yang salah konsekuensinya kebalikan dari yang pertama" Ivan menjawab tantangan Arien tanpa ekspresi
"Jadi, siapa ni yang mimpin? " Hannah akhirnya berhasil mencairkan suasana dingin yang tiba-tiba mencekam. Anggota kelompok yang lain menghela nafas lega melihat Hannah berhasil memecah lenggang. Dilan malah mengacungkan jempol nya. Makasih, Han. Berkat lo kita nggak jadi mati kedinginan. Begitu maksud acungan jempolnya
"Jadi yang mimpin Ivan" Arien menjawab santai. Berdiri di tempat berdirinya Ivan tadi
"Hei, walaupun saya yang mimpin, tapi kamu tetap berada di posisi depan dong, ketua! " Ivan menarik lengan Arien menuju depan. Menempatkannya berdiri tepat dibelakangnya
"Okeh, yok kita mulai jalan! " Dilan, seperti biasa dengan gaya dramatis nya mengangkat tongkat pramuka miliknya tinggi-tinggi. Bermaksud sedang membangkitkan semangat
***
Matahari masih malu-malu muncul dari balik pepohonan ketika kelompok Strigiformes bersiap melakukan jelajah alam. Diperlengkapi dengan kompas, peta lusuh, dan semangat yang… tidak seragam, mereka berdiri di garis start dengan formasi acak. Sangat acak.
Akhirnya kelompok mereka tidak dipimipin siapa-siapa. Ivan malah belok ke tempat yang salah. Gilang emosi "kenapa penunjuk arahnya ikut nge-lag sih? "
"Sepertinya baru saja terjadi kelicikan oleh kelompok sebelumnya" Arien menatap penanda jalan yang berupa batu setinggi lutut dengan pita merah
“Jadi harus nya kita ke utara dulu, kan?” tanya Gilang, mencoba terdengar ketua-ish sambil memegangi peta terbalik.
“Utara itu yang mana? Yang ada semut lebih banyak atau yang ada pohon miring?” tanya Dilan, dengan wajah polos, seolah serius.
“Gue ikut pohon miring. Lebih drama,” komentar Arsel sambil nyemil keripik yang entah darimana munculnya.
Arien berdiri sedikit menjauh, menatap ke arah hutan dengan tatapan datar. “Arah itu relatif. Kalau kita tersesat, berarti kita nemu jalan baru.”
Ivan, yang sejak awal tidak bicara, hanya menatap ke peta, lalu menunjuk lurus ke arah yang benar. “Jalan ini. Logikanya... tidak rumit.”
Tidak ada yang tahu apakah Ivan benar-benar tahu atau cuma bosan mendengar debat arah.
Kelompok mereka akhirnya di pimpin oleh insting masing-masing anggota kelompok
Akhirnya mereka berjalan. Barisan terurai seperti ular mabuk—ada yang terlalu cepat, ada yang sibuk foto, ada yang meneliti bentuk batu karena “kayaknya mirip bekas tapak dinosaurus mini” celetukan Hannah, tentu saja
“Eh ini buah apa?” tanya Jasmine, mendekat ke semak dengan semangat ilmiah dadakan.
“Kalau rasanya aneh dan bikin halu, mungkin itu snack-nya peri hutan,” celetuk Hannah.
“Jangan dimakan, Min. Nanti kamu jadi NPC,” tambah Dilan.
Dwipa, yang paling nampak kelelahan, sibuk memastikan mereka tetap di jalur. Tapi sesekali ikut ketawa ketika Elen tanpa sengaja masuk ke jebakan semut merah. “Aku cuma mau foto lumutnya! Kenapa malah dijebak semut?”
Setelah sejam perjalanan, mereka berhenti di tepi sungai kecil.
“Waktunya ngaca,” kata Laras sambil senyum melihat bayangannya di air. “Harus tetap cantik walau nyasar.”
“Refleksi eksistensial,” gumam Arien sambil duduk di batu.
Ivan berdiri diam di dekatnya, menatap arus sungai seperti sedang membaca kode rahasia dari alam. Tanpa sadar, dia berkata pelan, “Kalau sungai ini ada muaranya… kita juga ada tujuannya.”
“Dalam. Tapi random,” bisik Jasmine pada Dilan, yang langsung mengangguk. Balas berbisik "Ivan kadang nyair juga, hati-hati."
Mereka melanjutkan perjalanan, sesekali nyasar, sesekali menemukan sesuatu yang entah kenapa penting—seperti tongkat yang mereka nobatkan sebagai “Tongkat Penentu Keberuntungan.”
Saat akhirnya sampai di titik akhir, wajah mereka lelah, kotor, tapi puas. Mereka bukan kelompok paling cepat, paling rapi, atau paling logis. Tapi mereka kelompok yang pulang dengan cerita terbanyak dan tawa terbanyak.
Dan di catatan panitia, hanya satu kata yang tertulis di samping nama mereka:
"Aman. Tapi penuh tanda tanya."