Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sendiri diantara kita
MENU
About Us  

 

KONVOI tiga truk itu telah tiba di tempat tujuan. Sebuah villa yang memiliki area yang luas di Gunung Sodong

Tiga truk Doreng segera parkir rapih dihalaman luas itu. Sementara penumpangnya satu persatu turun. 

Arien belum turun dari truk, dia mengambil barang terlebih dahulu. Sementara para pemilik barang menunggui barangnya dibawah. Menerima setiap barang yang Arien turunkan

Pak Hendra, pembina ekskul pramuka ikut serta dalam perkemahan pelatihan manajemen dan kepemimpinan ini. Menginstruksikan murid-muridnya untuk mendirikan tenda. Ada Tujuh kelompok barisan sesuai dengan jumlah kelompok regu yang ada. Berbaris rapih

"Setelah kalian mendirikan tenda, kalian akan melakukan pengenalan terhadap lingkungan perkemahan. Setelah itu baru istirahat dan makan siang. Oke tidak perlu ditanya mengerti apa tidak, silakan kalian ambil tenda di teras villa. Ketua kelompok harap bersiap didepan"

"Maju Arien" Hannah menarik tangan Arien. Menyuruh nya berdiri didepan Dwipa

Arien mulai bersiap lari. Tujuh Ketua kelompok yang lain juga telah bersiap

"Siap?? " Pak Hendra bertanya kencang-kencang sekali lagi pada manusia-manusia yang telah mengambil pose siap berlari

"SIAP!! " Tujuh orang didepan balas berseru

"Oke! Siap!! "

Nafas mereka terdengar menderu

"Sediaa!! "

Punggung mereka bertujuh terangkat

"MULAAIII!!! "

Belum habis seruan Pak Hendra , tujuh Ketua kelompok itu telah melesat cepat. Berlari secepat mungkin dengan kecepatan lari maksimal mereka

"Ayo ayo Dindaaa!!! Ambil yang paling bagus!! 

"Fajar! Fajar! "

"Arieen!! Ambil yang paling besaaar!!"

"Andi!! Cepat Andii! "

Seru-seruan dari penonton sekaligus anggota kelompok mereka terdengar ricuh. Menjadi pemacu semangat Ketua Ketua kelompok mereka

Tap!.. 

Arien menjadi orang pertama yang sampai ditempat tenda-tenda ditumpuk. Mata tajamnya cepat mencari tenda yang nampak paling besar diantara tujuh tenda yang lainnya

Tangan kanannya lalu cepat cepat meraih tas tenda yang ukuran nya paling besar di antara yang lain. Sempat bertabrakan dengan ketua kelompok yang lain dan sempat adu tatapan sinis dengan orang-orang yang juga mengincar tas itu

"Horeeeee dapet yang besar!!! " Laras berseru senang. Suaranya yang melengking membuat pekak siapapun yang mendengarnya

"LARAS!! SAKIT TELINGA GUAAA!! " Dwipa balas berteriak di telinga Laras. Yang diteriaki mengusap-ngusap kupingnya "Tapi ya nggak gini juga bales nya Dwipangga Maheswariiii!!"

Plakkk! Suara kulit yang beradu terdengar kencang. Mengakhiri adu suara Laras dan Dwipa

"SAKIT, JASMINE MUTIARA NINGSIHH!! " Kali ini mereka berdua paduan suara. Meneriaki Jasmine yang tadi menampar pipi mereka

"Ya lagian udah tau suara sama-sama melengking, masih adu suara juga?! "

"Sudah sudah. Sekarang bukan waktunya gaduh" Arsel melerai mereka bertiga

Hannah mengangguk, mendukung Arsel "iya nih, dimana mana ribut mulu!"

"Halah! Siap deh si paling tertib!! Tapi bukannya salah satu bentuk ketertiban itu mematuhi aturan sekolah? " Dwipa menyikut lengan Jasmine

Jasmine mengangguk-nganggukan kepalanya "iya dong, pasti. Contohnya gimana Laras?"

"Salah satu peraturan sekolah adalahtidak membuat hubungan yang tidak jelas dengan lawan jenis. Contohnya nggak pacaran!! " Laras semangat menjawab, seolah setelah menjawab pertanyaan itu dia akan mendapatkan hadiah satu juta

"Hmm iya ya, nggak pacaran.. "

Hannah dan Arsel melotot. Yang dipelototi malah tertawa melihat tingkah dua manusia dihadapannya. Lihatlah, kompak sekali mereka

"Sudah. Ambil posisi, kita segera bangun tenda" Akhirnya Arien yang melerai teman-temannya. Suara dinginnya membuat yang lain mengangguk. Segera menuju tempat pendirian tenda yang telah ditetapkan oleh Pak Wusdi

***

Tujuh puluh murid nampak tengah berkutat dengan tenda kelompok nya masing-masing. Ada yang hampir jadi, sudah mau jadi tapi malah ada yang rusak atau malah baru setengah jalan

Halaman villa tempat kemping mereka dipenuhi oleh seru-seruan semangat, marah dan hampir putus asa

Suara kelompok tiga atau kelompok Strigiformes menjadi penyumbang suara suara terbanyak di lapangan itu

Ada Arien, si tomboy pendiam yang lebih sering nyeletuk daripada bicara. Dingin, tajam, dan nyaris tak tertebak. Serasa menjadi orang kesasar yang kesasarnya level dewa. Bayangin coba, anak introvert dimasukin kesini

Ivan, si Rusia yang sedingin embun Siberia. Bicaranya sedikit, tapi sekali ngomong rasanya kayak salju jatuh ke tenggorokan.

Jasmine, cewek tomboy dengan tawa menggelegar dan humor tak pernah padam.

Dilan, spesialis kelakar dadakan yang bisa bikin panitia perkemahan pusing—tapi kalau marah, bisa serem kayak badai.

Dwipa, atlet tangguh dengan suara paling waras di tengah kebisingan.

Hannah, si tukang makan yang kalau ngomong sering ngelantur, pacar dari Arsel, cowok jamet yang dramanya datang sebelum masalahnya.

Elen, penyeimbang tim, suara rasional di tengah keabsurdan.

Laras, visual kelompok dengan aura kalem, tapi sesekali ikut tertawa sampai lupa jaga image

Dan Gilang, ketua kelas yang tak pernah tahu bagaimana dia bisa memimpin kelompok dengan energi seperti ini.

Bersama-sama, mereka bukan hanya tim. Mereka adalah anomali.

Kalau kelompok lain dibentuk karena kesamaan, Strigiformes terbentuk dari perbedaan yang tidak bisa dipisahkan.

Mereka bisa gagal bikin tenda tapi berhasil bikin semua orang tertawa. Bisa salah rute tapi pulang dengan cerita paling panjang.

Satu hal yang pasti: kalau salah satu hilang, yang lain akan mencari. Dengan strategi? Kadang. Dengan logika? Jarang. Tapi dengan sepenuh absurd? Selalu

Diantara tenda tenda yang hampir berdiri, tenda mereka justru rubuh kembali

Tenda mereka masih miring kayak niat bangun pagi. Semua frustrasi.

 Elen akhirnya duduk menjeplak di rerumputan. Membiarkan kerikil menusuk bantalan duduknya itu “Aku nyerah. Ini bukan camping. Ini ujian hidup.” meluruskan kaki

“Kalau ini lomba, kita juara kategori ‘Berani Tapi Tidak Kompeten’.” Dilan nyeletuk. Menyeka pelipisnya yang dibanjiri keringat. Matahari mulai meninggi

Arsel mengikuti teladan Elen. Menggaruk kepalanya yang tak gatal “Tiang ini bengkok atau jiwaku yang udah nggak kuat?” 

Hannah menguap lebar “Jiwamu sih.” menjawab celetukan Arsel

Arien duduk, baru selesai membuat simpul. Tatapannya kosong ke langit yang menerik. Nyeletuk sekali-sekali.

“Kalau tiangnya roboh lagi, aku mau tidur di parkiran truk.”

“Astaga... ini bukan dingin lagi. Ini sarkas level dewa.” Jasmine bergumam menatap Arien

Dan tiba-tiba... langkah berat terdengar.
Ivan muncul dari belakang tenda. Tenang. Dingin. Tidak ada aba-aba. Tapi semua refleks diam.
Dia ambil palu. Diam. Menatap ke tiang yang miring.

“Semua mundur.” Ivan bicara dingin. Mengalahkan terik panas yang ditambah dinginnya pegunungan

Semua anak langsung minggir. Bahkan jangkrik pun berhenti bunyi.

“Kalian terlalu banyak suara. Tenda ini butuh keseimbangan, bukan debat."

“...aku baru aja merasa dihina dengan penuh estetika.” Gilang bergumam sendiri

Ivan menatap tali tenda “Salah posisi. Sudutnya melenceng lima derajat. Dan simpul ini... bukan simpul. Ini keputusasaan yang dijelmakan.”

Arien gelagapan menyadari simpul yang tadi ia buat salah

"Astaga.. Bahkan sejenius Arien pun ada salahnya. Walau itu kecil sekali.. " Elen berbisik pada Dilan

“Bro, dia mungkin lebih jahat dari presiden kedua itu.. tapi entah kenapa gua jadi pengin nurut.” Dilan balas berbisik. Menatap gerakan Ivan yang membuat simpul baru tanpa berkedip

Ivan bekerja tanpa kata. Gerakannya cepat, presisi. Palu diketuk sekali—langsung pas. Tali ditarik—langsung kencang.

Arien menelan ludah. “Dia kerja kayak AI yang dikasih tugas dunia nyata.”

“Setidaknya aku efisien.” Ivan menanggapi tanpa menoleh

Arien mengangkat bahunya “Touché.”

***

Akhirnya... tenda berdiri. Rapi. Simetris. Bahkan bergelombang anggun kalau ditiup angin.

Semua orang melongo.

Gilang sampai terduduk. Sesenggukan melihat ke-perfect-an tenda berwarna hijau army yang Arien pilih tadi “Ini... indah. Aku--aku mencintai struktur ini.”

“Gila... kita berhasil. Tanpa korban jiwa. Cuma korban harga diri.” Elen mengusap wajahnya yang banjir keringat

“Gua kehilangan tiga tali dan separuh harga diriku, tapi worth it.” Jasmine terkekeh pelan

“Aku ingin menamai tenda ini ‘Harapan Baru’.” Dilan berkata lirih dengan gaya dramatis nya seperti biasa. Jangan-jangan gara-gara ke dramatisan Dilan, namanya bisa segera berubah jadi Dilan Jatmiko Dramatis

"Sudah selesai Anak-anak? " Pak Wusdi menghampiri kelompok terakhir yang menyelesaikan tenda mereka

"Belum pak" Arien jawab asal

"Hah? " Pak Wusdi menatap Arien 

"Kalau belum Selesai ya belum digelarin karpet sama dimasukin barang dong, Pak.. Gimana sih? "

Pak Wusdi mengubah mimik mukanya jadi masam. Anak satu ini seperti minta di timpuk dengan tongkat pramuka

"Sudah selesai pak! " Laras keluar dari tenda. Mengacungkan jari jempolnya. Dia baru selesai menata barang milik sepuluh orang dibantu Dwipa dan Dilan. Dua anak yang tengah mencoba saling menghindar itu ternyata bisa juga diajak kompromi

"Oke. Setelah ini kalian makan siang lalu segera berkumpul di depan villa. Kita akan melaksanakan jelajah alam"

"Siap pak"

***

Jelajah alam dimulai. 

Arien diberi selembar peta arah tujuan yang harus mereka lewati

Simbol-simbol aneh.. Gambar yang tak kalah unik.. Dan terakhir beberapa tanda silang dijalan-jalan yang mereka lewati

"Ini maksudnya apa dah" Dilan menggaruk kepala nya yang tak gatal. Matanya terasa sedikit berkunang-kunang melihat peta yang dipegang Arien

"Lo kayak yang nggak pernah pramuka aja, Lan. Anak TK pun tahu apa maksud peta ini" Jasmine nyeletuk. Heran melihat Dilan yang pura-pura tidak paham itu

"Sebentar" Suara dingin Ivan tiba-tiba terdengar, membuat teman-temannya menoleh

"Peta bukannya tentara Indonesia yang dibentuk Jepang? "

Sembilan manusia disekitarnya hanya mengunci mulutnya, bingung harus bereaksi apa mendengar manusia titisan Siberia ini nyeletuk random. Laras yang selalu jaga image-pun sampai melongo, mulutnya sedikit menganga 

"Tutup mulut lo, Ras. Lalat bisa masuk itu"  Gilang mendorong dagu Laras ketempatnya agar kembali mengatupkan mulutnya

"Eh, maaf" 

"Ayo kita segera berangkat. Kelompok lain sudah mulai jalan" Arien mulai melangkahkan kakinya. Memimpin didepan

"Emang lo udah bisa baca peta sekarang? " Hannah nyeletuk. Membuat gerakan kaki Arien berhenti. Gadis berambut pendek itu nampak berpikir sejenak

"Oh iya ya.. " Arien membalik badannya. Tangan kanannya yang tak membawa apa-apa menggaruk rambut yang mulai acak-acak "ayo siapa yang bisa baca peta dengan tulisan dan gambar se-antimainstream gini? " Arien mengangkat gulungan peta yang ia bawa ditangan kiri yang juga membawa tongkat pramuka

"Bukan gue" Hannah mengangkat tangannya

"Juga bukan gue juga" Yang dibelakang nya ikut mengangkat kedua tangannya

"Apalagi gue" Jasmine dibelakang Dwipa mengikuti teladan dia temannya sebelum nya

Laras menggeleng. Mengangkat kedua tangannya setinggi bahu "gue nggak profesional memimpin"

Arien menatap tim laki-laki

"Nggak dulu deh, Rien. Makasih" Tiga anak segera mengikuti pedoman anak-anak perempuan yang didepan

Arien menatap Gilang. Tumben ni ketua kelas nggak turun tangan

Gilang ternyata mengikuti apa yang kawan-kawannya lakukan "jujur gue lebih milih mimpin lo pada ketika kalian lagi pada nggak waras daripada disuruh mimpin didepan menyusuri hutan dengan bekal peta bersandi rumit. Lo kan tahu, gue nggak jago-jago amat soal sandi-sandian begitu"

Terakhir. Arien menatap Ivan. Tatapan mata hitam Arien dengan mata biru dingin Ivan akhirnya bertemu setelah sekian lama saling buang pandangan kalau tidak sengaja saling tatap. 

"Gimana? Sedari tadi kamu memandangku dengan pandangan meremehkan. Mari kita buktikan apa tatapan rendah mu padaku itu nyata? Atau ternyata pikiran mu tentangku salah? " Arien menyilangkan kedua lengannya didada. Bergaya seperti sedang menantang orang--memang lagi nantangin orang sih

"Baiklah, kalau saya salah kamu menang kalau ternyata kamu yang salah konsekuensinya kebalikan dari yang pertama" Ivan menjawab tantangan Arien tanpa ekspresi

"Jadi, siapa ni yang mimpin? " Hannah akhirnya berhasil mencairkan suasana dingin yang tiba-tiba mencekam. Anggota kelompok yang lain menghela nafas lega melihat Hannah berhasil memecah lenggang. Dilan malah mengacungkan jempol nya. Makasih, Han. Berkat lo kita nggak jadi mati kedinginan. Begitu maksud acungan jempolnya

"Jadi yang mimpin Ivan" Arien menjawab santai. Berdiri di tempat berdirinya Ivan tadi

"Hei, walaupun saya yang mimpin, tapi kamu tetap berada di posisi depan dong, ketua! " Ivan menarik lengan Arien menuju depan. Menempatkannya berdiri tepat dibelakangnya

"Okeh, yok kita mulai jalan! " Dilan, seperti biasa dengan gaya dramatis nya mengangkat tongkat pramuka miliknya tinggi-tinggi. Bermaksud sedang membangkitkan semangat

***

Matahari masih malu-malu muncul dari balik pepohonan ketika kelompok Strigiformes bersiap melakukan jelajah alam. Diperlengkapi dengan kompas, peta lusuh, dan semangat yang… tidak seragam, mereka berdiri di garis start dengan formasi acak. Sangat acak.

Akhirnya kelompok mereka tidak dipimipin siapa-siapa. Ivan malah belok ke tempat yang salah. Gilang emosi "kenapa penunjuk arahnya ikut nge-lag sih? "

"Sepertinya baru saja terjadi kelicikan oleh kelompok sebelumnya" Arien menatap penanda jalan yang berupa batu setinggi lutut dengan pita merah

“Jadi harus nya kita ke utara dulu, kan?” tanya Gilang, mencoba terdengar ketua-ish sambil memegangi peta terbalik.

“Utara itu yang mana? Yang ada semut lebih banyak atau yang ada pohon miring?” tanya Dilan, dengan wajah polos, seolah serius.

“Gue ikut pohon miring. Lebih drama,” komentar Arsel sambil nyemil keripik yang entah darimana munculnya.

Arien berdiri sedikit menjauh, menatap ke arah hutan dengan tatapan datar. “Arah itu relatif. Kalau kita tersesat, berarti kita nemu jalan baru.”

Ivan, yang sejak awal tidak bicara, hanya menatap ke peta, lalu menunjuk lurus ke arah yang benar. “Jalan ini. Logikanya... tidak rumit.”
Tidak ada yang tahu apakah Ivan benar-benar tahu atau cuma bosan mendengar debat arah.

Kelompok mereka akhirnya di pimpin oleh insting masing-masing anggota kelompok

Akhirnya mereka berjalan. Barisan terurai seperti ular mabuk—ada yang terlalu cepat, ada yang sibuk foto, ada yang meneliti bentuk batu karena “kayaknya mirip bekas tapak dinosaurus mini” celetukan Hannah, tentu saja

“Eh ini buah apa?” tanya Jasmine, mendekat ke semak dengan semangat ilmiah dadakan.

“Kalau rasanya aneh dan bikin halu, mungkin itu snack-nya peri hutan,” celetuk Hannah.

“Jangan dimakan, Min. Nanti kamu jadi NPC,” tambah Dilan.

Dwipa, yang paling nampak kelelahan, sibuk memastikan mereka tetap di jalur. Tapi sesekali ikut ketawa ketika Elen tanpa sengaja masuk ke jebakan semut merah. “Aku cuma mau foto lumutnya! Kenapa malah dijebak semut?”

Setelah sejam perjalanan, mereka berhenti di tepi sungai kecil.

“Waktunya ngaca,” kata Laras sambil senyum melihat bayangannya di air. “Harus tetap cantik walau nyasar.”

“Refleksi eksistensial,” gumam Arien sambil duduk di batu.

Ivan berdiri diam di dekatnya, menatap arus sungai seperti sedang membaca kode rahasia dari alam. Tanpa sadar, dia berkata pelan, “Kalau sungai ini ada muaranya… kita juga ada tujuannya.”

“Dalam. Tapi random,” bisik Jasmine pada Dilan, yang langsung mengangguk. Balas berbisik "Ivan kadang nyair juga, hati-hati."

Mereka melanjutkan perjalanan, sesekali nyasar, sesekali menemukan sesuatu yang entah kenapa penting—seperti tongkat yang mereka nobatkan sebagai “Tongkat Penentu Keberuntungan.”

Saat akhirnya sampai di titik akhir, wajah mereka lelah, kotor, tapi puas. Mereka bukan kelompok paling cepat, paling rapi, atau paling logis. Tapi mereka kelompok yang pulang dengan cerita terbanyak dan tawa terbanyak.

Dan di catatan panitia, hanya satu kata yang tertulis di samping nama mereka:
"Aman. Tapi penuh tanda tanya."

 


 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bunga Hortensia
1604      62     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Hello, Me (30)
18990      809     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
62      54     1     
True Story
Switch Career, Switch Life
315      265     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2125      946     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Warisan Tak Ternilai
321      96     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Surat yang Tak Kunjung Usai
600      410     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Tok! Tok! Magazine!
87      75     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Kini Hidup Kembali
67      60     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
HABLUR
603      309     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...