HARI pengumuman Olimpiade IPA datang lebih cepat dari yang Arien bayangkan. Dia berdiri di atas panggung kecil aula sekolah, menerima medali emas dan piagam kehormatan. Semua guru bertepuk tangan. Kepala sekolah bahkan sempat menyebut namanya dua kali dalam pidato.
Dan ketika acara selesai, banyak orang datang padanya. Teman-teman dari kelas lain, guru-guru yang biasanya tidak pernah menyapa, bahkan Bu Ambar tampak nyaris menitikkan air mata.
“Kamu hebat, Arien. Ibu bangga.”
Tapi saat Arien menoleh ke sudut aula, tempat yang biasa dipenuhi Laras, Hannah, Jasmine, dan Dwipa—tidak ada siapa-siapa. Kursi itu kosong. Bahkan pesan di grup hanya berisi satu chat dari Laras, dikirim pagi tadi:
Laras : Good luck, ya.
Datar. Biasa saja. Tanpa stiker, tanpa candaan, tanpa tawa yang dulu begitu hangat.
***
Sore itu, Arien pulang ke rumah dengan medali di tangan, tapi hatinya berat. Ibunya menyiapkan nasi tumpeng kecil, ayahnya pulang lebih awal, dan bahkan pamannya datang membawa kado. Mereka tertawa, mengangkat gelas teh, memuji-muji Arien seperti pahlawan keluarga.
“Lihat, kamu bisa kan! Kita bangga banget!”
Tapi Arien hanya bisa tersenyum. Karena di dalam dirinya, ada ruang kosong yang tak bisa diisi pujian.
Ia ingat betul—dulu kalau dia menang main ular tangga aja, Laras bakal heboh minta rematch. Kalau ulangan dapat nilai bagus, Hannah bakal ngegodain, “Waduh, si jenius! Traktir, dong!”
Sekarang?
Semua diam. Semua menjauh, pelan-pelan, seperti bayangan yang hilang saat cahaya dipadamkan.
***
Malamnya, Arien duduk di ranjang, menatap grup chat mereka yang masih bernama: “ABAS. Anak-anak Kursi Pojok.” Dulu, tempat paling rame. Sekarang, hanya sunyi.
Ia akhirnya nekat mengetik:
Arien : Aku menang. Olimpiade-nya.
Ia tunggu. Lima menit. Sepuluh. Dua puluh.
Lalu muncul satu balasan. Dari Jasmine.
Jasmine : Congrats.
Hanya itu.
Dan di detik itu juga, air mata Arien jatuh tanpa suara.
Ia berpikir, “Apa gunanya jadi juara, kalau teman-teman yang paling aku pengen peluk malah hilang?”
***
Esoknya di sekolah, Arien lewat di depan mereka di kantin. Mereka sedang tertawa, mungkin tentang hal konyol seperti biasa. Tapi saat matanya bertemu Laras, hanya satu anggukan kecil yang terjadi. Lalu Laras kembali menunduk ke makanannya.
Tidak ada lambaian. Tidak ada sapaan.
Hanya jarak—yang dulu tak pernah ada.
Dan untuk pertama kalinya, Arien sadar: kemenangan tidak selalu membawa bahagia.
Kadang, yang kita butuhkan bukan piala.
Tapi satu genggam tangan yang tak pernah pergi, bahkan saat kita sibuk menjadi kuat.