SATU bulan rutinitas basket tiap sore berjalan. Tubuh anak-anak itu sudah mengubah mekanisme jadwal rutinitasnya. Jadi walaupun lemas sehabis belajar seharian badanku tetap semangat, berenergi.
Sore ini giliran Arien yang membuat melayang bola basket melewati ring. Lalu pagar besi dan.. sruk! Bola oranye itu nyemplung ke rawa rawa
Dwipa bertepuk tangan diikuti Hannah, Laras dan Jasmine yang tidak bisa menahan tawanya melihat wajah Arien yang merasa bersalah karna sudah membuat bola basket nyemplung rawa rawa
“Yok Han.. panggil Pak Don!!” Dwipa meneriaki Hannah. Yang diteriaki sigap berdiri tegak, menghentikan tawa dan tepuk tangannya. Berlarian keluar lapangan. Menuju gedung bagian depan gedung SMP tempat tangga ke lantai dua. Menuruti titah Dwipa, seakan akan Dwipa adalah atasannya yang kalau perintahnya tak dituruti akan dipotong gajinya.
“Pintar kali kau Rien. pintar.. pintar” Dwipa keluar dari lapangan. Melambaikan tangannya ketika melewati Arien yang mencoba meminta maaf tapi bibirnya kelu. Menuju teras. Hendak duduk
Arien menggaruk kepalanya yang tak gatal. Membiarkan rambut pendeknya yang sudah berantakan tambah berantakan. Laras mengikuti teladan Dwipa, juga Jasmine yang masih tertawa pelan dan menepuki punggung kawannya ketika melewatinya. Arien menggaruk lagi rambut hitamnya. Mengikuti mereka bertiga ikut duduk duduk di teras
“Mantap master pencak silat!” Jasmine menepuk nepuk punggung Arien lagi begitu gadis yang masih menampakkan perasaan bersalah di air mukanya itu duduk disebelahnya. Masih tertawa
Laras ikut tertawa “Maklum.. dia hampir mendekati tali merah. Tenaga dalamnya sudah aktif”
“Hahahah, Arien tanpa tenaga dalam pun sudah kuat tenaganya. Angkat kau pun dia kuat, Ras”
Laras melotot pada Jasmine. Arien akhirnya ikut tertawa
Hannah sudah kembali dari lantai atas
“Loh, Han. Pak Don nya mana?” Dwipa segera bertanya begitu melihat Hannah tiba tiba di depannya
Hannah menggeleng “Kata Pak Don ogah. Capek disuruh ngambilin bola basket nyemplung ke rawa rawa mulu” Memang benar. Sebulan melakukan aktifitas latihan basket tidak terhitung berapa kali bola jatuh ke sawah.
“Aargh!” Dwipa berteriak kesal. Memukul ujung keramik
“Terus gimana?” Jasmine bertanya
“Terus gimana terus gimana. Ya ambil lah lu pada!” Dwipa meneriaki mereka kesal. Arien, Hannah dan Jasmine buru buru beranjak dari duduk. Menuju pagar besi. Dwipa mengerikan kalau marah. Tidak salah kalau rata-rata teman-teman dikelas refleks mengangguk menyanggupi titahnya.
“Siapa yang mau manjat??” Tanya Hannah
“Intinya jangan kamu, Han. Nanti roboh duluan” Jasmine asal jawab. Hannah segera menjitak kepalanya membuat Jasmine meng-aduh pelan
“Yaudah. Aku aja” Arien menawarkan diri
“Jangan kamu juga, Rien. Nanti kalo jatoh repot”
Arien melotot pada Jasmine “Terus, kenapa nggak lo aja, Min?”
“Nanti roboh, Rien. Harusnya kamu memikirkan itu”
Arie menepuk jidat. Tidak mungkin kali diaberpikir seperti tu? Body shaming. Lagian ini pagar besi, yang ber-resiko hancur kalau dipanjati itu dari kayu atau rotan.
“Trus mau nyuruh siapa?”
Jasmine menggaruk kepalanya yang tak gatal. Iya juga ya?. Laras paling slay diantara mereka berlima mana mau dia disuruh memanjat pagar besi dengan ujung ujung yang tajam. Dwipa? Dia lagi badmood mana mau disuruh suruh.
“Yaudah. Kamu aja, Rien. Lebih cepat lebih baik” Hannah yang akhirnya membuat keputusan
kan. Tapi Arien tetap mengangguk. Setidaknya melepas rinduku memanjat pohon mangga dirumah yang kini sudah ditebang pangkal-pangkal tempat aku duduk diatasnya.
hup! Arien mulai memanjat pagar besi hitam itu. Tidak sulit ternyata. Lebih sulit memanjat pagar tembok rumahnya—yang juga pernah dipanjatinya.
Sepuluh menit—menurut perhitungan kasar Arien, dia sudah sampai diatas pagar. Wah! Kejutan. Diatas pagar setinggi tiga meter ini Arien bisa melihat terminal bus yang berada tak jauh dari sekolah. Gadis itu bisa melihat puluhan bus terparkir rapih di terminal bagian belakangnya. Perumahan disekitar sekolah—karna sekolah ini dibangun di ujung komplek. Dan, oi!. Arien menyipitkan mata—cahaya matahari sore menyiram kacamata photocromic-nya. bahkan lapangan sekolah seberang yang tidak dipagari belakangnya Nampak.
“Rien, ada apa?” Jasmine berteriak. Heran melihat anak itu diam sejenak diatas pagar yang berujung tajam. Apa tidak sakit?
“E-eh, gapapa. Rokku nyangkut” yang ditanyai menjawab asal. Bergegas turun disisi pagar yang lain. padahal Arien masih mau melihat pemandangan di atas sini. mungkin kalau lebih sabar lagi menunggu, sunset di barat sana bisa Nampak.
hup. Arien tiba dibawah. Meniti bata yang menyembul dipagar. Aduh, bolanya ternyata jauh dari sini.
Arien melepas sepatu dan kaus kaki. Mengangkat rok yang hanya se betis—karna lumpurnya setinggi betis juga. Lalu berjalan mengambil bola.
Dapat! Arien menyeringai puas. Tapi seringai itu hilang setelah otak pintarnya berpikir lagi. Cara naiknya gimana??. Arien mendengus. Kalau tau bakal begini aku lepas saja sepatu dan kaus kaki sebelum naik pager. Batin pikirannya. Pantesan Pak Don kalau naik sini selalu melepas sendalnya dulu.
Oke, gadis umur tiga belas ini tidak kehabisan ide. Arien mengikat tali sepatu ke lengan kiri. Memasukkan kaus kaki ke kantong rok. Memegang bola ditangan kiri. Oke. hup!. Kembali memanjati pagar besi. naik lagi.
Aduh, perjuangan sekali naik kembali keatas sini. Hannah dan Jasmine sudah kembali duduk duduk di teras. Arien mendengus. Harusnya mereka nungguin dong di bawah sini
Arien melepas simpul tali sepatu di lengan kirinya. Membiarkan sepasang sepatu itu tertarik oleh gaya gravitasi. Meluncur deras kebawah.
“WOI! HANNAH! JASMINE! AMBIL NIH BOLANYA!!!!” Arien berteriak. Pegal tauk. Berbeda ketika naik sini, kali ini tangan nya membawa barang bawaan.
“Lempar saja, Rien!” Jasmine menjawab. Berseru
Arien mendengus. Oke kalau itu yang kau inginkan. Tangan kirinya melempar bola basket kuat kuat. Bola meluncur deras dari atas.
“WOI!” Laras berseru protes. Bola menghantam wajahnya. Sakit tau!. Melotot pada Arien
Arien tertawa. Selalu seru membuat Laras melotot. Lalu bergegas turun ke lapangan
“Lanjut main nggak nih?” Jasmine bertanya. Berdiri mengambil bola bsket begitu Arien tiba dihadapan mereka. Menatap Dwipa
Dwipa mendengus. menggeleng “Aku capek. tiba tiba betis kiri sakit” dia meringis. dari tadi mengusap ngusap betisnya
“Oke. Kita akhiri saja permainan hari ini.” Jasmine mengangguk. Walau ditilik dari air mukanya dia masih mau bermain basket. Tapi Jasmine anak yang sportif dan menghargai pendapat orang.
“Kebetulan, aku juga mau segera balik, mau cuci rambut. Ini jadwal aku keramas” Arien mengambil ransel ku dari tangan Hannah. Dia memintanya mengambilkan tasnya tadi.
“Okeh” Laras bangkit dari duduk. Sudah memasang ransel dipundaknya “Han, aku ke rumahmu dulu ya. Mamaku baru jemput setengah lima nanti”
“Eleuh eleuh.. Raden Roro baru dijemput nanti..” Jasmine menggoda Laras. Usil membuat Laras melotot. menepuk nepuk kepala Laras. Pura pura perhatian
Betulkan. Laras melotot pada Jasmine. Berbeda kalau Hannah yang melotot, Jasmine teretawa melihat gadis berambut panjang didepannya melotot
Hannah tertawa. Lalu mengangguk. Mengacungkan jempol
“Emang jam berapa sekarang, Ras?” Arien bertanya
“Jam empat lima belas”
Oke. Arien mengangguk
Lima sekawan itu keluar dari lapangn serbaguna. Menunggui Jasmine yang mengembalikan bola basket ke ruang olahraga di teras depan sebentar
“Dadah Rien” Hannah, Jasmine, Dwipa dan Laras melambaikan tangan pada Arien di persimpangan komplek seprti biasanya.
Arien mengangguk. Tersenyum. Balas melambaikan tangan.
Arien sampai dirumah. Mendorong pintu mengucapkan salam
Terdengar ada yang menjawab salamku
“Tumben udah pulang, Kak” Azura, dia yang menjawab salam dari ruang tengah
“Kamu juga tumben kaliik udah dirumah jam segini” Arien membalas celetukkan adiknya. Mendekati adiknya yang tengah asyik mengutak-atik mobil dynamo Tamiya. Mengacak rambut lurusnya.
“Eeeeh, enak aja. Azura kan emang selalu datang tepat waktuu!”
Arien terkekeh “Iya-iya si paling tepat waaktuu!!”
“Mas Ali mana, Azura?” Arien mengalihkan pembicaraan
Azura mengangkat bahunya “Nggak tau, belum pulang” sementara mata dan tangannya masih fokus ke mobil Tamiya berwarna merah miliknya
Arien mengangguk anggukan kepalanya. Beranjak dari ruang tengah, meninggalkan Azura yang asyik dengan mainan Tamiya-nya yang kesepuluh. Azura sepertinya berbakat menjadi montir, dia selalu sukses merangkai mobil-mobil Tamiya koleksinya hanya dengan sekali uji coba
Arien masuk ke kamarnya
***
Pukul 20.00. Arien keluar dari rumah besarnya dengan seragam pencak silat tanpa sabuk. Sabuk level itu diikatkan di lengan. Arien agak merasa malu—bukan malu sih, kalau memakai sabuk yang berwarna biru itu
Menuju sebuah rumah yang memiliki halaman kecil yang dipagari dengan pagar besi disampingnya. Mendorong gerbang itu, masuk kedalamnya yang ternyata luas begitu mengucap salam
Ini adalah tempatnya les pencak silat. Keluarga Arien adalah anggota aliansi pendekar. Ayah Ibunya sabuk hitam, mengikuti orangtua mereka berdua, tapi pasangan itu lebih memilih keturunannya tidak mewarisi kepiawan beladiri itu. Ketiga anaknya tidak dipaksa mengikuti pencak silat. Hanya ditawari. Ali dan Reno menolak, hanya Arien yang menurut. Pun tidak dilatih oleh orangtuanya. Tapi dilatih oleh seorang anggota keluarga besar yang tinggal di Bogor.
Hanya sedikit yang belajar padanya. Hanya delapan laki laki dan dua perempuan.
Arien berdiri disampng seorang anak perempuan yang lain yang mengikuti les ini. Anak itu mengangguk pelan menyapa Arien. Arien juga balas mengangguk
Pak Dirman, guru pencak silat mereka datang begitu murid muridnya sudah lengkap berkumpul di halaman luasnya yang dari luar Nampak kecil.
Murid-muridnya membungkuk ringan. Memberi salam pencak silat.
Pak Dirman balas mengangguk ringan. Membuka kelas hari ini. Setelah kelas dibuka delapan anak itu segera dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok kelas atas dan kelompok kelas bawah. Kelas atas tali hijau sampai merah. Sementara kelas bawah tali putih sampai hijau awal.
Kelas bawah pindah ke sisi halaman rumah Pak Dirman yang lain, mereka ditangani asisten Pak Dirman. Bilqis, anak itu mengangguk pada Arien, dadah. Katanya tanpa membuka mulut. Arien balas mengangguk. Menatap punggungnya yang makin menjauh
Menyisakan empat orang di taman rumput. Arien satu satunya anak perempuan disini.
Meskipun Arein baru masuk kelas pencak silat lagi, dia sudah mendapatkan tali biru. Bukan tali putih seperti kelas awal yang lain.
Hari pertama di kelas pencak silat adalah tes kemampuan dasar. Arien langsung menampilkan kemampuannya, sisa sisa dari latihan saat TK dulu dan tiap hari—walau sudah keluar sejak lama, selama itu pula Arien melatih teknik teknik itu secara mandiri.
Ini tempat favorit Pak Dirman, Halaman belakangnya yang bersebelahan dengan sebuah lahan kosong dengan semak belukar yang tinggi dan pohon pisang yang entah punya siapa. Meskipun agak menyeramkan tempat itu cocok untuk latihan yang membutuhkan ketenangan. Katanya pencak silat adalah salah satu metoda menenangkan diri. Pencak silat bukanlah teknik bertarung. Tapi merupakan teknik menjaga diri sendiri. Rerumputan adalah salah satu pendukung me-rileks-kan pikiran. Hirup dalam dalam udara lepas. Nikmati usapan lembut rerumputan di kaki. Hilangkan pikiran negative di pikiran. pikirkan hal hal yang positif. Hidup ini simple. Cuma tentang tobat dan istiqomah, jangan ambil pusing.
Begitu ceramah Pak Dirman setiap ada murid baru di kelasnya
Kini tangan kanan Arien sudah mencengkram erat erat tongkat bambu.
“Pegang yang erat. Genggam. Kau tidak diajarkan cara mengepalkan tangan dalam kepanduan, heh?” Pak Dirman memukul tangan kanan seorang kakak kelas. Dia tidak meringis. Apalagi mengaduh. Hanya patah patah saja memegang tongkat bambu.
“Kau juga Rien” Pak Dirman mendekati Arien. Mengecek kuat atau tidak posisi kuda kudanya dan tongkat di tangan kanannya. Menendang betis Arien dengan tumitnya.
Arien menelan ludah. Sebenarnya tidak sakit di tendang begini atau dipukul tongkat bambu. tapi entahlah kenapa selalu merinding kalau ditendang atau dipukul.
“Oke” Beliau kembali ke posisinya di depan.
“Hari ini tidak ada teknik baru dalam memainkan tongkat. Kita latih lagi teknik pada pertemuan kemarin. Kalian membuatku malu karna tidak cepat menyerap teknik yang kuajarkan. Padahal yang kemarin itu teknik yang gampang.” Pak Dirman mengomel
Mereka tidak menunduk kalau Pak Dirman ceramah, marah, mengomel. Tetap berdiri tegak dengan kuda kuda mantap. Justru kalau anak-anak itu menunduk Pak Dirman akan tambah marah.
“Hari ini simulasi bertarung dengan tongkat. Kalian bebas menggunakan teknik apapun pada pencak silat. Tapi jangan lupakan kalalu kalian menggenggam tongkat.”
Arien makin menegakkan posisi berdiriku. Pak Dirman suka memilih acak kalau sudah latihan simulasi begini. Kalu melihat ada yang tidak tegak berdirinya Pak Dirman akan memilihnya.
“Kamu! Fatur! Sini maju!” Pak Dirman sudah memilih muridnya untuk simulasi pertama
Kakak kelas Arien itu langsung sigap berdiri. Walaupun mukanya pias. Berjalan kedepan. Berdiri berhadap hadapan dengan Pak Dirman. Balas mengacungkan tongkat.
Latihan malam itu sudah dimulai.
***
Arien menjadi murid terakhir yang melakukan simulasi.
Tidak salah kalau kakak kakak kelasnya Nampak agak pucat kewalahan wajahnya ketika membalas serangan dari Pak Dirman.
Beliau memang tidak main main. Seolah ini pertarungan asli.
Tangan beliau bergerak cepat. Tangan kanan memberi serangan tangan kosong, tangan kiri memnggenggam tongkat bambu. Gesit menyabet nyabetkan nya mengincar tanganku.
Arien lebih mengandalkan kaki. Walaupun agak ragu melakukan teknik tendangan pada Pak Dirman. Tapi beliau akan meneriakinya jika melihat gerakan Arien ragu ragu. Kata beliau lakukan saja, jangan ragu ragu. Lalu beliau memperekstrim gerakan dan tekniknya. Mengincar ngincar titik lemah Arien.
Tangan kanan beliau mengincar dagu dan bahu Arien. Tangan kiri menyabet nyabetkan bambu, mengincar lengan Arien yang memegang tongkat. Kaki kanan meluncurkan tendangan sabit, mengincar lutut dan kaki kiri meluncurkan tendangan depan.
Arien mati matian menjaga keseimbangan tubuh dan kuda kuda—juga suara agar tidak berteriak, tidak lucu kalau Arien berteriak. Melakukan tangkisan, pukulan, lompatan, elakan, dan mencoba menyabetkan tongkat bambu
Tiga murid yang lain yang menontoni simulasi menatap depan tak berkedip. Seolah ini pertarungan di televisi. Ekor mata Arien melihat satu dua malah mengacungkan kepal tangan. Hendak membuka mulut berseru seru tak jadi. Ingat kalau didepan ada gurunya.
set! Akhirnya tongkat bambu Arien mendapatkan kesempatan bergerak. Mengincar tangan Pak Dirman yang memegang tongkat. Telak mengenai pergelangan
bruk! Tongkat itu jatuh dari tangan empunya. Berkelontangan. Bergelindingan ke barisan murid.
Pak Dirman menggeram melihat anak gadis dihadapannya berhasil menjatuhkan tongkatnya. Murid murid yang menonton tidak dapat menahan seru seruan menyemangati. Mengepalkan tangan “yes!”
Akhirnya suara timer di kantong Pak Dirman berbunyi. Menahan gerakan Pak Dirman yang hendak mengirim serangan balasan
“Kita akhiri kelas malam ini” Pak Dirman menutup kelasnya. Murid-muridnya membungkuk memberi salam pencak silat. Lalu bubar meninggalkan taman rumput setelah Pak Dirman membalasnya.
“Sebentar, Raden Arien Sastra Utomo”
Eh? Arien menoleh. Itu tadi Pak Dirman yang manggil? Sedikit sekali yang tau nama Arien ada Raden-nya. Karna itu tidak tertulis di kartu keluarga atau akta kelahiran. Hanya keluarga saja yang tau. mungkin Pak Dirman diberi tahu Ayah dan Ibunya Arien. Belum habis gumaman Arien, Pak Dirman melambaikan tangannya pada Arien “Iya siapa lagi yang namanya Arien?”
Arien menggaruk rambutnya yang tak gatal. Memperbaiki posisi kacamata berlari lari kecil kearah guru yang sudah berusia lima puluh-an itu.
“Kan, betul itu namamu” Pak Dirman tersenyum—mungkin lebih ke menyeringai, tapi terlalu seram kalau kusebut seringai
“Kamu pernah ikut pencak silat heh?” beliau bertanya. Menatap Arien
Arien mengangguk. Ada apa memangnya?
“Pantas saja sudah selihai itu” lalu beliau melangkah. Meninggalkan gadis yang ia panggil tadi.
Eh? Arien mengernyitkan dahi. Beliau mau bilang apa sih sebenarnya?
“Kau tidak mau pulang kerumah, heh?” beliau menoleh. Menatap Arien yang masih berdiri di tempat.
Puuh! Tidak serius ternyata. Ternyata manusia se-sangar beliau bisa bergurau juga. Walaupun gurauannya tidak lucu. Selera humornya buruk.
Arien mengikuti Pak Dirman keluar dari taman rumput. Menyejajarkan langkah.
Pak Dirman menoleh. menyadari Arien sudah di sebelahnya “Loh. Tadi katanya mau tidur di halaman belakang?”
Arien tidak menanggapi. Hanya nyengir tipis. Nggak lucu sih, tapi aneh saja dengar Pak Dirman ngomong tak serius begitu.
“Heh, diajak ngobrol tuh jawab. Diem wae”
Arien menghela nafas pelan. Yaudah kutanggapi. Sebelum guru pencak silat ini mengamuk “Nggak jadi, Pak. Nyamuknya lebih ganas daripada nyamuk pertemanan” Arien menoleh. Menjawab lugas sambil tersenyum.
Pak Dirman yang mengernyit kali ini “Kok lugas gitu sih jawabnya. Kayak nggak ikhlas aja”
Arien tidak tau harus jawab apa. Intinya beliau ini sedang mencoba mendekatkan diri dengan muridnya yang selama ini ia tendangi betisnya.
Pak Dirman Nampak melirik kesamping. Melihat Arien yang berjalan disebelah kanannya. Tersenyum tipis “Intinya kekuatan kamu udah diatas sabuk biru, Rien. Sudah selevel sabuk merah.”
Arien mengangguk tipis. Baguslah, berarti selama ini latihannya optimal
“Mau kunaikkan sabukmu?” Pak Dirman bertanya.
Arien buru buru menggeleng. Belum kuat kayaknya kalau harus latihan tambahan tiap siang bolongnya juga malam dipuncak gelapnya. Dan lagipula teknik teknik di level sabuk biru belum ia kuasai dengan sempurna.
“Yakin heh? Itu bisa jadi rekor selama aku di PSHT, Kalau ada seorang gadis muridku telah memegang sabuk merah diusia muda diawal latihannya denganku”
Arien menggeleng lagi. Lagian dia tidak terlalu tertarik soal cetak rekor begituan.
Pak Dirman tersenyum. Paham maksud gelengan dan raut muka Arien.
“Intinya bapak Cuma mau bilang pertahanin aja semua teknik yang sudah kamu kuasai itu. Sejatinya di level berikutnya kamu tidak mempelajari sesuatu yang baru, Cuma ngulang materi lama dengan gerakan yang tambah rumit doang. Itu aja kuncinya. Bapak mah yakin ingatanmu kuat. Bahkan sepuluh tahun tidak mengulangnya kamu masih ingat. Cuma melemah aja kekuatannya.”
Arien mengangguk kali ini. Mengangguk setuju soal materi tidak ada yang bertambah Cuma makin susah aja
“Satu lagi, selalu ingat. Jangan pernah gunakan kekuatanmu untuk sesuatu yang tidak penting.” Pak Dirman mengakhiri obrolannya. Menatap tajam Arien yang siap keluar dari gerbang rumahnya
Arien mengangguk mantap “Siap pak. Terimakasih untuk hari ini” bergegas keluar. Meninggalkan guru lesnya yang hanya menatap punggungnya yang menjauh sambil tersenyum