OMONGAN Pak Wusdi sepertinya betul betul nyangkut di kepala Arien
sepagi ini dia sudah berdiri dilapangan serbaguna dibelakang. Bersiap pemanasan
Hari ini Pak Wusdi tidak masuk. Membuat murid murid perempuan malas untuk turun olahraga. Cuma murid laki laki aja yang semangat olahraga seperti biasanya
Yang beda di kalangan murd perempuan adalah Dwipa. Begitu bel mendengking yang menandakan jam pelajaran pertama dimulai dia segera menarik baju olahraga dari tasnya.
“Siapa yang mau ikut main basket??” Dwipa berseru. Mengajak yang lain keluar main basket
“Gue boleh deh.” Hannah bangun dari duduk nya. Mengambil baju olahraga dari tasnya.
“Gue ikut!” Jasmine juga bangkit dari duduknya. Ikut mengambil baju olahraga dari tas.
“Seginian aja yang mau?” Dwipa menunujuk orang orang yang bangun dari duduk
“Yok ikut, Ras” Hannah menarik lengan Laras disampingnya yang sedang asik menggambar.
“Ajak tuh si Arien” Dwipa tiba tiba menunjuk Arien. Menyuruh Hannah menarik Arien seperti dia menarik Laras
“Yok, Rien” Hannah sudah menarik tanganku. Tidak peduli tadi yang ditunjuk tadi menggeleng
“Ogah, Han” Arien menggeleng lagi
“Ayo!”
Arien menggeleng “Ogah”
“Ayo nggak?” Hannah melotot
Akhirnya Arien pasrah ditarik Hannah keluar kelas. Agak mengerikan menatap pelototan Hannah. Arien menarik baju olahragana dari dalam ransel hitamnya. Mengikuti arah kemanapun Hannah menarik tangannya.
“Sebentar” Dwipa menghentikan aksi three point-nya.
“Kok Cuma berlimaa tadi ngajaknya” dia menggaruk kepalanya
“Lagian. Kok ngajak aku” Laras berseru pada Dwipa. Dwipa Cuma nyengir
“Gua nontonin aja ah” dia balik badan menuju teras.
“Eh gausah Ras. 3-2 aja. aku yang berdua, sisanya bertiga”
“Ogah” Laras menggeleng genit
“Ayolah” Dwipa menahan langkah Laras. Menarik lengannya
“Gamau ih”
“Ih Laras mah”
“Dibilangin gamau ya nggak mau Dip!” Laras melotot. Menatap Dwipa
“Udah, paling bener aku yang nggak ikut main.” Arien akhirnya menawarkan diri untuk undur diri.
“Apalagi kamu Rien” Dwipa melengos menatap gadis rambut pendek didepannya “Jangan ada yang keluar napa”
“Ngajak yang lain aja Dip” Hannah memberi usul
Jasmine yang menggeleng. “Jangan. Kita kita aja. Kalo ngajak yang lain paling yang itu itu lagi”
Dwipa mengangguk setuju “Iya. Paling paling si Karin”
“Gitu amat sih lu. Kenapa nggak mikir selain Karin yang bakal ikut” Hannah ikut komen. Menyeka ujung rambutnya yang menutupi ujung matanya.
“Mikir kok, selain Karin. Paling Seciella. Ogah juga guah.” Dwipa mengangkat bahu malas.
“Yaudah. 3-2 apa ribetnya sih?” Hannah menyergah. Memegang lutut, bertumpu padanya. Pegal.
“Si Laras gamau tuh” Dwipa menunujuk Laras yang lengan kanan nya masih dia cengkram erat erat
“Laras” Hannah sudah mengeluarkan tatapan pamungkasnya. Melotot. Membuat Laras garuk garuk kepala salah tingkah. Lalu akhirnya mengangguk
“Nah gitu dong!!” Jasmine menyeringai lebar. Menepuk nepuk punggung Laras.
“Tapi gua bot mainnya” Laras menggaruk kepalanya yang tak gatal
“Makanya. Jangan main game online terus!!. Gendut loh entar” Dwipa menoleh kebelakang. Menunda sebentar aksi tembakan tiga point-nya
“Itu sih Hannah” Laras melirik Hannah yang kini menatapnya sinis. Tersinggung soal sering rebahan bisa membuat badan gendut
“Kan gua mah nggak jago” Hannah membela diri
“ML jago, tapi megang senapan asli merinding” Arien ikut nimbrung. Membuat mata Laras yang berbulu mata lentik melotot. Sementara yang lain tertawa lepas mendengar Arien menyindir telak Laras.
“Hayuk atuh, gambreng!” Dwipa menjulurkan tangan kanannya. Dia baru saja menembak bola tiga poin. Arien ikut menjulurkan tangan kanan. Disusul Jasmine, Hannah dan Laras—yang masih bersungut sungut.
“Hompimpa alaihong gambreng!”
Dwipa menyeringai “Yang hitam keluar” dia menarik mundur lengannya. Diikuti Hannah yang juga menjulurkan punggung tangan.
“Oi! Tak adil!” Jasmine berseru protes.
Arien juga mengangguk. Setuju dengan Jasmine. Ini tidak adil. Dwipa dan Hannah jago main basket. Sementara di tim yang lain hanya Jasmine yang jago main basket.
“Udah paling bener nggak ikut main” Laras mengangkat kedua tangannya
“Laras!” Hannah melotot sekali lagi pada Laras
Dwipa nyengir. “Yaudah. Hannah, Jasmine, Arien, Laras gambreng lagi” dia santai mengibaskan tangan. Lalu berdiri di posisi pithrow.
Hannah Nampak bersungut sungut. Namaun akhirnya mengikuti instruksi Dwipa.
“Hompimpa alaihong gambreng!”
“Yang hitam masuk ke tim aku” seru Dwipa
“Yes!” Jasmine menyeringai. Dia mundur dari lingkaran kecil.
“Heh, sama aja atuh nggak adil!” Hannah protes
“Terus weh ulang lagi” Laras melengos
Arien menghela nafas pelan “Udah paling bener aku nggak ikut main”
Kali ini Dwipa yang melotot pada Arien “Arien?”
“Lah iya kan?” aku santai mengangkat bahu
“Udah gua mah terima kok. Lagian Jasmine kan kurang jago emang” Hannah akhirnya membuat keputusan.
“Nah gitu dong!” Dwipa tersenyum “Ayo, lanjut pithrow Hannah. Aku udah tadi”
Hannah mengangguk. Menangkap bola oranye yang dilempar Dwipa lalu berdiri di posisi Dwipa melakukan pithrow.
hup!
Hannah melempar bola basket ke ring
duk! Bola meleset dari ring. Memantul mantul disekitar tiang ring
Dwipa berlari kecil kearah bola. “Jasmine! Tangkap!”
Jasmine cekatan menangkap bola. Menerima bola basket itu dan berdiri di posisi berdiri Hannah tadi.
hup! Dia melempar bola. Agak berdiri dengan jari-jari kaki untuk memasukkan nya ke ring.
duk! Sama seperti Hannah tadi, bola meleset—jauh dari ring
“yah!”
Hannah tertawa “Kan, masih mending aku!”
Dwipa kembali berlari lari kecil. Mengambil bola di sudut lapangan. “Siapa dulu nih?”
Hannah menunjuk Laras. “Laras aja dulu”
Dwipa melempar bola ke arah Laras
“eh-eh” Laras patah patah menangkap bola
“Nangkep mah nangkep aja Laras. Nggak usah didekap-dekap begituuu, bolanya nggak bakal tiba tiba ke isekai kok” Hannah menepuk keningnya. Menahan tawa melihat cara Laras menangkap bola.
“Kan, nangkep bola aja merinding. Apalagi megang AK asli” Jasmine tertawa melihat ekspresi Laras ketika menangkap bola yang melayang didepannya. Meniru kata-kata Arien.
Arien ikut tertawa. Laras melotot.
Gadis itu akhirnya berdiri di posisi pithrow. Membidik ring
“Lama sekali kau membidik, Ras. Nanti juga tak masuk” Arien menggoda Laras
Dia melotot. Namun akhirnya melempar bola ditangannya.
“kan!”
Betulan, bolanya tidak masuk ke ring. Jangankan memantul di sekitar ring. Mendekati ring pun tidak
“Kan betul. Jangan pintar membidik aja! lemparan nya perlu di tingkatkan lagi tuh kualitasnya!” Arien tertawa. Diikuti Hannah, Jasmine dan Dwipa. Sementara Laras melotot pada Arien.
“Lanjut, Rien!” Dwipa mengakhiri tawanya
Arien mengangguk. Memungut bola yang tidak jauh dari kakinya.
“Awas kau tak masuk, Rien. Sama saja kau dengan Laras” Hannah tertawa
Arien Cuma nyengir. Laras masih bersungut sungut.
hup!
Bola mencapai ring. Berputar putar di ringnya. Aku menelan ludah. Dwipa menatapnya tak berkedip. Laras siap mengacungkan tinjunya, siap bersorak bila bola tak masuk
set! Bola akhirnya masuk ke ring
“Wuih nyaris!” seru Jasmine. Hannah tertawa, bertepuk tangan. Dwipa juga bertepuk tangan.
Arien menghela nafas lega. Tertawa menatap Laras kembali bersungut sungut
“Nih Han!. Bola dari kamu aja. back ball dulu”
Hannah mengangguk. Berlari menuju tengah lapangan
“Eh, ini tadi siapa aja tim aku?” dia bertanya. Menghentikan gerakan tangannya yang hendak melempar bola.
“Aku!” Laras mengacungkan tangan. Yag disebelahnya juga mengacungkan tangan.
“Oke.” Gadis tinggi besar itu melempar bola pada Dwipa yang berdiri dihadapannya. Bersiap menangkap bola.
Setelah melakukan back ball dua kali, Hannah segera membidik arah tim nya
“Rien! Tangkep!” dia melempar bola ke arah Arien. Dwipa cekatan melompat, menghalangi gerakan melempar Hannah.
Setingi tingginya Dwipa melompat tetap saja masih tinggian Hannah dari pada Dwipa. Dia langsung berseru pada Jasmine “Jasmine!”
Arien sigap menangkap bola yang masih melayang. Menangakapnya lebih dulu sebelum Jasmine menangkap bola mengikuti instruksi Dwipa.
“Laras!!!” Arien berseru pada Laras. menyruruhnya bersiap menangkap bola. Jasmine mulai bermain fisik merebut bola dariku
“eh-eh” Laras patah patah menangkap bola. Terlambat. Dwipa lebih cepat menangkap bola terlebih dahulu sebelum Laras menangkap bola
“Aaargh!” Arien berteriak, menggeram. Menyebalkan. Laras kurang cepat. Arien mengejar Dwipa yang sudah melesat siap menembakkan bola ke ring.
Arien menghalang halangi gerakan Dwipa yang siap melempar bola ditangannya ke ring.
Dwipa lebih pintar mencari celah untuk melempar bola dari tangannya. hup! Dia melemparkan bola basket ke ring.
Meleset. Dwipa mendengus. itu tadi memang bukan tembakan yang prima. Hannah yang sudah berdiri di samping ring cekatan menangkap bola yang memantul dihadapannya. Menepis Jasmine yang berniat mengambil bola.
“Woi! Main fisik!!” Jasmine protes di senggol Hannah.
“Kau juga main fisik Min!!” Arien yang balas berseru. Yang di teriaki nyengir. Iyakah?. Begitu maksud cengirannya.
Hannah siap menembakkan bola ke ring. hup!
“Aaargh!” Hannah berteriak. Tadi nyaris!. Kenapa malah tak jadi?.
Dwipa segera merebut bola. Terlambat. Untung Laras ada disebelahnya. Dia lebih dulu menagkap bola daripada Dwipa.
“Kasih ke Hannah!” Arien berseru. Laras mengangguk. Mengurungkan lemparannya pada Arien, beralih pada Hannah.
Hannah menangkapnya. Dia segera kembali menembakkan bola ke ring.
set! Akhirnya bola masuk ke ring
KRRIIIIING! KRRIIIIIING!
“Yaaaah!” semua yang dilapangan mengeluh berbarengan. Sangsakala sekolah sudah berbunyi. Jasmine mengacungkan tinju. Siapapun yang memencet bel awas saja! Gerutu ekspresi air mukanya.
Arien menyeka keringat dengan lengan baju olahraga. Meraih goodie bag berwarna hitam yang berisi baju biru putihnya. Menentengnya di tangan kanan
“Kalian ganti baju di kamar mandi sini atau di atas?” Jasmine bertanya. Meraih lipatan baju biru putihnya.
“Sini aja. kalau diatas keburu mulai sama entar si Hannah belok dulu ke kelas” sahut Dwipa sebelum dia meneguk air botolnya
“Heh?” Hannah menoleh. Kenapa dia yang di sebut sebut?
Dwipa mengangkat bahu. Iyakan?
“Gerah juga ternyata” Laras mengibas ngibaskan tangannya. Menjadikan kedua tangannya kipas
“Makanya, rambut panjang tuh dikuncir biar gak gerah” Dwipa menyahut. Meletakkan botolnya di sampingnya
“Yang rambutnya pendek nggak usah nimbrung” Laras ketus menjawab
Arien dan Jasmine ikut menoleh, menatap Laras.
“eh-eh, maaf. Bukan ke kalian”
Hannah tertawa sejenak “Tapi emang bener loh, Ras, rambut panjangmu itu harusnya dikuncir biar nggak gerah.” Hannah mendukung argument Dwipa.
“Ogah, nanti jadi bergelombang”
“Nggak ngaruh kok, Ras” Arien yang menanggapi
“Emang kau pernah dikuncir, Rien? Rambut kau panjang juga nggak pernah” dia menjawab ketus
“Eeeh itu mah Dwipa yang nggak pernah manjangin rambut. Aku pernah ya punya rambut panjang. Pas kelas satu sampe tiga SD” Arien membalas jawaban ketusnya dengan tak kalah ketus
“Kan aku nanya, emang lu pernah dikuncir, heh?”
Arien tertawa. Menggeleng. Memang tak pernah sih, nguncirnya aja nggak bisa. Kalaupun pernah dikuncir itu psti dikuncirin orang lain.
“Kan!”
“Udah udah, yok ganti baju. Keburu masuk” Dwipa beranjak dari duduknya. Meraih goodie bag dan botolnya.
Teman temannya mengangguk. Mengikuti Dwipa menuju toilet
***
Bel kepulangan berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar dari ruang kelasnya masing masing. Antrian di tangga terbentuk. Semua ingin segera bergegas kembali ke rumah masing masing.
Arien tengah mngantri turun setelah dua kakak kelas kelas Sembilan yang tengah bercakap cakap ketika suara Dwipa terdengar memanggil namanya.
Arien menoleh, mendapati Dwipa, Jasmine, Hannah dan Laras berjalan ke arahnya
“Apaan?” tanyanya begitu Dwipa sudah berjalan di samping Arien.
“Lu ada kegiatan gak dirumah?” Jasmine dibelakangnya yang bertanya
Arien menggeleng. Memang tidak pernah ada kegiatan sore sore dirumahnya. Orangtuanya sering pulang jam enam sore atau jam tujuh-an. Atau malah lebih dari itu.
“Lu mau ikut main basket nggak?” Dwipa menoleh. Bertanya
“Siapa aja yang ikut?” Arien balik bertanya
“Kayak tadi pagi aja”
Arien diam sejenak. Sebenarnya ini kesempatan bagus untuknya. Seenggaknya dia bisa menambah ketangkasannya dalam olahraga—selain bela diri tentunya. Dan jarang jarang ada yang mau mengajak gadis yang nggak asik ini bermain.
“Gimana mau nggak?”
“Sampe jam berapa?” Arien balik bertanya—lagi
“Sampe jam setengah lima aja. si Laras nggak bisa lama lama. Dasar emang Raden Roro” Hannah yang menjawab. Laras melotot padanya soal Hannah memanggilnya engan panggilan keraton--Laras memang punya turunan darah keraton.
Oke. Arien mengangguk. Tidak lama lama ini. Ali dan Reno paling juga pulang telat. Kalaupun sudah pulang tidak masalah. Paling Cuma menggerutu kenapa belum ada makanan. Setelah menggerutu bergegas keluar lalu membeli makan untuknya—dan untuk keluarganya. Orangtuanya pun suka pulang telat.
“Yok, gas ke lapangan belakang!” Dwipa segera mempercepat langkahnya menuruni anak tangga yang telah sepi, menuju lapangan serbaguna di belakang.
Lapangan ini luasnya seluas lapangan basket. Tapi bisa dipakai untuk banyak olahraga. Lantai lapangan digambar empat jenis lapangan. Bisa dipakai futsal, basket, voli, dan badminton. Buat upacara bendera juga bisa.
Kalau mau main futsal, Tarik saja gawangnya. Singkirkan ring basket dan tiang tiang net. Mau main basket, Tarik ring basket, singkirkan yang lain. Begitu juga kalau mau main voli dan badminton. Pun juga ketika
“Tim nya kayak tadi siang ya!” Dwipa berseru. Tangannya sudah asik men-dribble bola. Mengitari lapangan. Pemanasan.
Hannah manggut manggut masygul “Ya ya” sungutnya.
Arien turun dari teras. mulai menggerakkan badan. Melenturkan otot otot dan sendi sendi. Pemanasan
Jasmine ikut pemanasan. Menyilangkan dua lengannya. Menarik otot tangan. Memutar pergelangan kaki, melenturkan sendi kaki. Diikuti Laras. Lalu bertiga serempak berlari lari kecil memutari lapangan tiga kali.
“Hei Han, tidak ikut pemanasan seperti yang lain?” Dwipa bertanya pada gadis tinggi besar yang baru bergabung berdiri di sebelahnya. Selesai pemanasan
Hannah menggeleng.
“Pemanasan Han, biar tidak kram” Dwipa mulai membidik ring. Mencoba three point
“Gak usah lah. Main basket nggak bikin mati rasa ini”
“Ya jangan dong. Walaupun iya sih main basket nggak bikin mati rasa karna ini bukan di air, tapi ada baiknya lo ngikut yang lain pemanasan.” dia melempar bola “yah!” lemparannya gagal
Hannah tetap menggeleng
“Oke. Yaudah”
“Yok, mulai” Jasmine mendekati tempat Dwipa berdiri. Dia sudah selesai pemanasan. Arien dan Laras mengikutinya.
“Oke. yok kita mulai” Dwipa berdiri di posisi pithrow. Segera melempar bola.
set! Bola masuk ke dalam ring
Dwipa mengambil bola yang berhenti memantul di sisi ring “Lanjut siapa?” Hannah mengangkat tangan. Dwipa mengangguk. Melempar bola oranye dari tangannya.
Hannah menerima bola itu. Bergegas berdiri di posisi pithrow Dwipa tadi
hup! Hannah melempar bola begtu merasa bidikan nya sudah tepat
set! Berbeda dari tadi pagi, kali ini dia berhasilmelakukan pithrow. “yes!” Hannah bergumam senang. Mengepalakan tinju.
Dwipa meraih bola yang masih melayang “Jasmine!” melemparkannya pada orang yang ia teriaki.
Jasmine yang sudah berdiri diposisi pithrow menangkap bola yang Dwipa lemparkan padanya. “Laras, lihat cara melakukan pithrow” Jasmine berseru pada Laras. Menyuruhnya memperhatikan gerakannya.
hup! Jasmine melempar bola. Tiba tiba angin berembus kencang. Membuat rambutnya yang dipotong pendek menutupi mata. Bahkan bola basket yang sedang melesat seperti dibelokkan arahnya oleh angin.
Alih alih masuk, bola malah melesat kesamping. Melewati ring, pagar, lalu.. byur! Jatuh di rawa rawa samping lapangan.
“WOOO!! Mantap Jasmine!!” Dwipa bersorak. Bertepuk tangan. Hannah tertawa, bertepuk tangan. Arien juga bertepuk tangan
“Ooo makasih tips melakukan pithrow ke sawahnya sensei Jasmine!” Laras bertepuk tangan. Pura pura membungkuk seperti sedang memberi hormat pada sensei-nya karate. Rambut panjang lurusnya berkibar tertimpa angin.
Muka Jasmine memerah “Bukan gitu maksudnya. Argh.. itu tadi karna angin” Jasmine menggaruk rambutnya yang tak gatal dengan kedua tangannya.
Arien masih tertawa “Makanya jangan sok narsis!!”
Jasmine manggut manggut masygul “Siap siap si anti narsis.. lagian si Laras salah tuh nyebut gelar aku. aku bukan anak karate. Aku anak tae kwon do”
Laras membungkuk lagi “Siap master tae kwon do…” pura pura merasa bersalah
Arien dibuat tertawa melihat kelakuan mereka. Ada ada saja salah tingkahnya.
“Panggil Pak Don, Han..” Dwipa menepi ke teras
Yang diintruksi Dwipa mengangguk. Segera masuk ke gedung SMP. Pak Don pasti sedang sibuk membersihkan aula atas
“Mantap cuy si Jasmine” aku tertawa. Menggoda Jasmine
Jasmine menatapku masygul. Tidak lucu!. Kata air mukanya
Laras tertawa kecil. Dwipa tertawa hingga menepuk nepuk keramik
“Aku mikir gimana Pak Don ngambil tu bola” celetuk Laras setelah lenggang sejenak
Dwipa menepuk paha Laras “Ada aja cara Pak Don mah. Gausah capek capek mikir kamu mah.”
Laras meng-oh tanpa suara. Mulutnya saja yang membentuk huruf ‘O’. manggut manggut
Hannah sudah kembali berdiri di lapangan. Disebelahnya ada Pak Don. Berbicara satu dua kalimat. Pak Don mengangguk lalu menuju gudang di pinggir lapangan.
“Gimana Han?” Dwipa bertanya. Basa basi
Hannah mengacungkan ibu jarinya. Mengangguk
“Si Jasmine sih” Laras kembali menjaili Jasmine
“Stop, cukup Ras. Namanya juga nggak sengaja, Ras” Jasmine mengangkat tangannya. Menggelengkan kepalanya
Laras tertawa
Lenggang.
Mereka berempat menontoni Pak Don yang susah payah memanjat pagar besi. Berusaha mengambil bola di sebrang pagar.
Sesekali Hannah atau Jasmine berseru seru menyemangati Pak Don. yang di elu-elu kan hanya mengangguk, mengepalkan tangan.
Dua puluh menit. Pak Don berseru, masih diatas pagar besi.
“Woi, Hannah! Ini bolanya” Pak Don melembar bola basket dari tangan kanannya kearah Hannah
hup! Hannah cekatan menangkapnya “Makasih Pak Don!!”
Pak Don mengangguk takzim. Mengacungkan jempol. Lalu kembali berkutat menuruni pagar besi.
“Yok lanjut main!” Dwipa berdiri dari duduknya. Menepuk nepuk kemeja seragam belakangnya
“Jam berapa sekarang?” Laras bertanya
“Lu bukannya pake jam tangan, Ras?” Hannah yang jawab
“Ohiya ding” dia menyengir. Mengangkat tangan kirinya yang menggenakan jam tangan pink
“HUUU” yang lain menyorakinya
“Yaaa wajar kaliik. Gua manusia biasa, bukan nabi, boy!” dia balas berseru
Mereka tertawa
“Jam berapa, Ras?” Arien bertanya
“Jam.. empat dua puluh”
Dwipa mengangguk. Sepuluh menit lagi. “Rien, Pithrow” katanya menyuruh Arien. Menunjuk ring
Hannah melempar bola basket di tangannya kepada Arien yang berdiri tak jauh daarinya.. Arien menerimanya. melangkah menuju ring
hup!
duk! Bola masuk ke ring. Lalu memantul mantul di depan ring
Arien mengambilnya. Melakukan dribble
“Lempar sini, Rien!”
Arien mengangguk. Melemparnya kearah Dwipa
Dwipa menangkapnya. Bersiap diposisi pithrow. Membidik ring sejenak, lalu menembaknya.
duk! Bola masuk ke ring “Mulai dari tim aku ya!”
kami mengangguk. Bersiap di posisi masing masing
Dwipa sudah berpindah dari depan ring ke tengah lapangan. Posisi back ball. Hannah mendekatinya. Bersiap melakukan back ball.
Dwipa memulai serangan begitu sudah back ball dua kali. Melakukan dribbling melewati Hannah.
Arien sigap menghalangi gerakannya. Dwipa terlalu cepat. Begitu Arien tiba di hadapannya dia langsung melempar bolanya ke Jasmine. Meneriakinya.
Jasmine menerima bola. Melakukan dribbling mendekati ring
Laras yang berjaga di dekat ring segera menghalangi gerakan Jasmine. Merebut bola dari Jasmine. Jasmine tidak mencengkramnya kuat kuat.
Ternyata Dwipa sudah berada di sebelah Laras. Sepersekian detik bola ditangan Laras, Dwipa segera merebutnya. Jasmine tidak mencengkramnya itu sengaja. Kamikaze[1].
“Aargh!” Laras berteriak kesal. Ternyata tipuan.
Arien siap siaga menghalangi Dwipa. Menghalangi gerakannya yang hendak menembakkan bola ke ring di belakangku
Dua menit hanya berdiri disitu, akhirnya aku berhasil merebut bola dari tangannya. mencengkram bola erat erat “Han!” Arien meneriaki Hannah
Hannah cepat cepat mendekat ke tempat Arien berdiri. Jasmine tak mau kalah. Sigap menghalangi arah lemparan bolanya Arien.
Dwipa berkelit gesit. Tangan nya bergerak lincah. Menghalangi melempar bola juga berusaha merebut bola dari dekapanku. Kakinya berdiri kokoh. Seperti hendak mencengkeram tanah yang dipijaknya. Itu kuda kuda yang bagus.
Arien menggeram. Dia tidak punya kesempatan sama sekali.
Aha! Ada celah ternyata
set! Kalian jangan lupa, Arien tidak bodoh. Dia melepaskan bola lewat bawah, bukan dilempar keatas kepala Dwipa. Tapi dilempar lewat bawah. Lewat celah diantara kaki kanan dan kaki kiri Dwipa.
“HEH!” Dwipa kaget melihat aksi itu
“LARAS!” Arien meneriaki Laras. Menyuruhnya fokus. Segera menangkap bola yang bergelinding
Laras menangkapnya. Dia cepat cepat memegangnya erat erat.
“Laras!” Hannah berseru. Menyuruh Laras melemparkan bola dipelukkannya pada Hannah.
Laras melemparnya. Hannah menangkapnya. “Rien!” berteriak pada Arien
Arien mengangguk. Bersiap menangkap bola yang dilempar Hannah
hup! Hannah melempar bola oranye ditangannya. Arien berusaha meraih bola yang melayang.
Kalah cepat. Dwipa lebih sigap meloncat meraih bola yang masih melayang
“MIN!” Dwipa berteriak. Berlari. Melempar bola pada Jasmine.
Jasmine nge-lag. Arien lebih sigap darinya menangkap bola “TERIMAKASIH DIP!” teriaknya pada Dwipa. Ini kesempatan bagus. Arien berada di sisi ring, disebelah Jasmine. Dia tinggal melemparkan bola ke ring.
Jasmine baru kembali fokusnya. Bergegas merebut bola dari cengkeraman tangan Arien. Arien sedia berkelit, meniru cara berkelit Dwipa. Setidaknya, salah satu manfaat dari mengikuti basket sore ini dia mendapat teknik teknik baru, dari Dwipa terutama. Dia hanya perlu melatih gerakan gerakan itu lebih lama lagi agar tubuhnya bisa bergerak lebih cepat lagi, setidaknya dibawah level kegesitan Dwipa.
Arien akhirnya bebas dari kepungan gerakan Jasmine yang badannya lebih besar dariku. Arien bergegas mendekati ring dan—
hup! Meloncat dan memasukannya ke ring.
duk! Bola masuk ke ring. memantul mantul disekitar tiang ring. “yes!” Arien mengepalkan tinju senang. Akhirnya manusia yang bot olahraga seperti dia bisa mencetak dua poin untuk tim ku
Arien mendarat dari loncatan nya. Dwipa bertepuk tangan. Diikuti Hannah, Laras dan Jasmine yang masih tidak terima ternyata aku bisa melewati kepungannya.
“OI!”
Arien, Hannah, Jasmine, dan Dwipa menoleh serempak pada Laras. Terkejut ada apa? Kenapa tiba tiba dia berteriak begitu, heh?
“MAMAH!!” Laras berseru riang kearah luar lapangan. Melambaikan kedua tangannya
Arien menepuk keningnya melihat tingkah Laras. Ealah. Ceritanya ia tengah menyambut girang mamanya yang menjemputya. Hannah mengusap rambut panjang bergelombangnya. Jasmine mengusap wajahnya, hendak tertawa. Dwipa, juga mengusap wajahnya tapi dia sudah tertawa—pelan.
“Eh, ada apa” dia menoleh pada kebelakang begitu merasa diperhatikan
Dwipa sekali lagi mengusap wajahnya. Menghentikan tawanya “Nggak, Ras. Nggak, gapapa” Dwipa menahan tawa.
“E-eh, aku duluan ya, udah dijemput. Terimakasih. Dadah!” Laras menyambar ranselnya di teras. Bergegas keluar lapangan. Lalu kembali berlari riang, membuat rambut panjangnya berkibar ditambah angin sore menerpanya. merentangkan kedua tangannya sekali lagi berseru riang “MAMAHH!!!”
Arien akhirnya turut tertawa melihat tingkah aneh Laras. Bahkan Mamanya yang ia sambut sampai terheran heran menatap gadis yang berlari kearahnya. Heran, ada apa dengan anak gadis terkecilnya?
“Heheh, ternyata Laras masih bertingkah seperti itu” Dwipa masih tertawa
Hannah mengangguk “Aku heran kenapa dia masih bisa bertingkah seperti itu”
“Gadis bungsu mah jangan ditanya, Han” Jasmine menanggapi
Dwipa menggeleng. Membuat Jasmine menoleh “Nggak juga sih. Gua bungsu tapi nggak deket deket amat sama emak gua”
Arien mengangguk. Setuju dengan argument Dwipa “Asal deket sih bisa masih bertingkah kayak gitu”
Hannah manggut manggut. ”Kalo sulung yang kayak gitu bisa nggak ya?”
“Mungkin bisa” Jasmine menjawab asal
“Kok gua nggak bisa?”
Jasmine menoleh pada Hannah “Kan kata gua mungkin Han. Mungkin. Bisa enggak bisa iya”
“Tergantung deket apa enggak nya ga sih?” aku menambahkan
“Berarti gua nggak deket gituh sama emak gua?” Hannah mengangkat kepalanya. Menatapku
Arien mengangkat bahu “Kamu pikirin aja sendiri” mana ku tau. emak-emak lu, diri-diri elu.
Sejujurnya kalau Arien hrus menilai soal deket apa nggak nya Hannah dan ibunya. Menurutnya deket. Ibunya tau dia suka apa. Hobinya apa. Lelaki yang Hannah suka juga ibunya tau siapa. Hannah terbuka untuk menceritakan keluh kesahnya, beda dengan Arien yang gengsi ke Ibunya—dan kepada orang lain, segede Tembok Berlin. Pun bila Hannah minta sesuatu Ibunya langsung mengangguk, meyakinkan. Tak lama dibelikan. Kalo Hannah sakit, ibunya perhatian sekali bahkan kalu itu Cuma flu ibunya melarangnya sekolah. Hannah nya aja pengen tetep berangkat. Semangat sekali belajar.
Sementara Arien sendiri kalau ditanya dekat atau tidak dia dengan ibunya, harusnya Arien yang berhak bertanya duluan. Ibunya bahkan tidak tau apa kesukaannya, apa hobinya, apa cita-cita anaknya. Bahkan kondisi anaknya saat ini ibunya tidak tahu. Gadisnya pasti baik baik saja.
Aaargh! Arien berteriak, menggeram dalam hati. Menggeleng. Memperbaiki posisi kaca mata dan ransel yang disampirkan di pundak kanan. Dia kenapa tiba tiba mikir kayak gitu dah. Gerutu dirinya sendiri. Ibuku jelas jelas sibuk. Mengurus pekerjaan, anak anaknya juga melayani suaminya—apalagi kalau ayah sedang marah. Semuanya bergantung pada ibu. Ibu pasti juga menyayangiku, mengkhawatirkanku setiap waktu. Cuma aku saja yang gengsi bercerita dan menangis. Kalau ibu tidak sayangkan tidak mungkin aku tetap diberi uang jajan dan dibayarkan uang sekolah. Otak Arien lagi-lagi sukses menyanggah rasa minder di hati.
Arien terus berjalan menuju rumahnya. Lima menit setelah percakapan tadi mereka membubarkan diri. Berbarengan keluar lapangan basket setelah mengembalikan bola basket ke ruang olahraga. Lalu berpisah dengan Hannah, Jasmine dan Dwipa di perempatan komplek. Antara belok ke kanan menuju blok B dengan terus lurus terus tetap di blok A.
Mereka berempat memang tinggal di satu komplek. Beda blok saja.
Arien sampai didepan rumahnya yang memiliki halaman yang luas. Mendorong gerbang. Berjalan di halaman hingga ke teras rumah.
Gadis itu membuka pintu depan. Menekan daun pintunya. Mengucapkan salam. Tidak ada yang menjawab. Hanya terdengar suara air dari dua kamar mandi dibelakang. Pertanda sedang dipakai. Sepertinya itu saudara-saudaranya yang tengah mandi. Dan dua kemeja seragamyang berhamburan di lantai ruang tengah. Kalau ibu tau ini pasti bisa langsung kena semprot dua anak itu. Arien bisa membaca apa yang sedang atau tadi terjadi hanya dengan melihat sisanya. Mungkin yang lagi pada mandi ini memiliki prolog begitu sampai dirumah menggerutu kenapa belum ada makanan—walau akhirnya keluar rumah lagi beli makanan, terlihat dari sebuah bungkusan plastik berisi makanan di letakkan dimeja makan. Lalu buru-buru masuk kamar mandi bergegas membersihkan diri. Baiklah. Arien menuju kamarnya yang tak jauh dari dapur.
Membuka pintu. Melompat keatas kasur. Merebahkan badan, telentang disitu
Meanatap langit langit kamar. Bergumam, ternyata seseru ini punya teman bermain.
[1] Kamikaze = serangan bunuhdiri