Loading...
Logo TinLit
Read Story - UNTAIAN ANGAN-ANGAN
MENU
About Us  

"Alvi... kamu deket sama Yara?" 

Fana, yang biasanya bertanya dengan sangat gampang dan polosnya itu tiba-iba bertanya penuh ragu. 

 

"Hmm.. gak begitu sih..." Alvi menjawab dengan jujur. 

 

Alvi juga tidak mengerti kenapa Yara suka sekali menempel dengannya. Padahal pertama kali mereka bertemu...

 

---

 

Alvi sedang berjalan menuju kelasnya. Seperti biasa, dia menghembuskan nafas panjang untuk mempersiapkan diri. 

 

"Eh, tuh, liat tuh! Orangnya dateng!" 

"Ih bener! Kok bisa segede itu badannya ya? Makan apa sih ya?"

"Pasti kalo deket-deket bau keringet," 

"Hahahah!"

 

Alvi mendengar semua bisikan itu. Tapi tetap melangkah, menundukkan kepalanya, seperti biasa. 

 

Hanya satu yang tidak biasa. 

 

BUGH! 

 

Tiba-tiba, seseorang menabrak tubuhnya. Walaupun tubuh siswa itu tidak sebesar Alvi, tubuh itu kokoh dan kuat. Alvi tetap terjatuh, membuat lantai disekitarnya sedikit berguncang. 

 

"Wah! Gila gila gila! Gue kira gempa HAHAHAH" 

"Gila pura-pura banget gak sih, masa nabrak orang setengah ukuran badannya bisa bikin jatoh? Hahah!" 

"Sumpah mirip gajah! Wkwkwkwk!"

 

Alvi dengan wajah meronanya mendongak. Penasaran dengan wajah siswa yang barusan menabraknya sampai ia terjatuh. 

 

Ia melihat siswa yang tampan. Rambut wolfcut pendek yang sedikit berantakan, wajah putih bersih, mata tajam penuh ambisi, dan tubuh yang sangat ideal. Sangat kuat. 

 

Siswa... tunggu... 

 

"Rok??" pikir Alvi. 

 

..siswi. Siswi itu menatap tajam ke arah Alvi yang terduduk di lantai. Wajahnya tidak menyiratkan rasa bersalah sama sekali. 

Alvi mengenali tatapan itu. 

Ia sering melihatnya waktu SMP dulu. Tatapan tanpa bersalah yang dingin dan membuatnya gemetaran memikirkan apa yang akan terjadi padanya jika ia berani menantang si pemilik mata. 

"...ma-" permintaan maaf Alvi terpotong. 

"Apa sih, lemah banget," gumam siswi itu. 

 

"Apa sih orang lo yang salah juga!" pikir Alvi dalam hati. 

 

"Lu bisa bangun sendiri kan? Gua lagi buru-buru," katanya tanpa maaf sama sekali. 

 

Alvi hanya mengangguk. Mengepalkan tangannya lebih keras. Ia diam-diam mendengarkan bisik-bisik di belakangnya. 

 

"Itu siapa sih? Kok judes banget?" 

"Seriusan lo gak tau dia? Itu loh, Claudyara dari IPS-5. Yang sering dipanggil pas upacara," 

 

--- 

 

"Vi?" tegur Fana pelan. 

Alvi menoleh ke arah Fana yang sedang melihatnya bingung. 

"Ah, ohh.. kenapa, Fan? Sorry?" 

"Gak apa-apa. Aku cuma bingung kenapa Yara suka ke kelas kamu," 

"Ohh... itu... gue juga gak tau sih..." 

Fana terdiam sebentar. 

 

"Aku inget dia pernah satu SMP sama aku," Fana mulai bercerita. 

"Pernah? Dia pindah?" 

"Iya, di tengah-tengah semester," 

"Kenapa?" 

"Waktu itu ada rumor kalo dia kasar dan emosian, sampai ada siswi yang masuk rumah sakit karena berantem sama dia," jelas Fana dengan serius. 

 

Alvi hanya diam mendengarkan. 

 

"Vi... kamu kayaknya jangan terlalu deket sama dia, deh," Fana memperingatkan. 

 

Alvi mengangguk pelan. 

 

---

 

Setelah pulang dari membeli parfum dengan Fana. Alvi masih belum ingin pulang ke rumah. Jadi ia kembali ke sekolah, berharap masih bisa mencuri pandang anak-anak basket. Terutama Yuza. Biar begitu, ia berharap Yuza dan Nadya tidak menyadari kehadirannya. 

 

Alvi masih merasa malu.

 

Kemarin-kemarin, ia rajin mengunjungi kelas Nadya untuk melihat Yuza sambil mengobrol dengan Nadya. Tapi Sarah, teman sebangku Nadya tidak nyaman karena Alvi... bau. 

Sarah sampai meneriakinya di depan anak-anak kelas Nadya. Yuza, yang melihat ke arahnya saat kata-kata Sarah dilontarkan, pasti mendengarnya. Alvi tidak berani menghadapi Yuza.

 

Bagaimana kalau Yuza tau bahwa dia bau badan? Alvi sudah kalah start karena fisiknya yang biasa saja. Ia tidak mau Yuza sampai membencinya atau menjauhinya karena ia bau. Walaupun mereka belum sedekat itu. 

 

Alvi merasa dipermalukan. Namun ia juga tidak bisa membantahnya. Makanya, ia hanya bisa menyemprotkan seperempat botol parfum setiap pagi, berharap ia harum sepanjang hari. 

 

Sebenarnya ada satu lagi harapan Alvi saat menggunakan parfum. 

"Semoga Yuza bisa ingat parfum yang selalu gue pake. Semoga dia cepet-cepet nyadar kalo gue suka sama dia," begitu pikirnya. 

 

Ah, Alvi lagi-lagi larut dalam pikirannya. 

 

"VI! MINGGIR!" 

Bugh. 

 

"Hampir aja..." gumam Alvi. 

 

Entah kenapa bola basket selalu melambung ke arahnya, mengikutinya dimanapun ia berdiam diri. Untungnya kali ini ia sempat mengelak. 

 

"Lo gapapa, Ndut?" 

 

Alvi mendongak dan menemui wajah yang seringkali ia curi-curi pandang. Perasaannya campur aduk. Ia senang, tapi ia juga malu dan ia juga khawatir bahwa parfum yang ia gunakan sudah berubah menjadi bau keringatnya. 

 

"...gak papa... sorry gue ngelamun," jawab Alvi, menggumam. 

 

"Emang udah kebiasaan lo itu mah," jawab Yuza malas. 

"Btw lo gak absen basket hari ini? Coach udah pulang malah lo baru dateng," omel Yuza. 

 

"...gue abis... ada acara," jawab Alvi lirih. 

 

"Hah? Lo kalo ngomong yang gede kenapa sih, gue gak denger!" Yuza mengomel sekali lagi. 

 

"...g-gue abis pergi bareng temen!" jawab Alvi, lebih kencang. 

 

"Jadi lo tau lo ada ekskul tapi lo malah pergi bareng temen lo? Hahahah. Lo mending keluar basket aja kalo gak serius gitu, Ndut," 

 

Alvi diam. 

 

"...gue bercanda. Gue juga pernah bolos kok," Yuza menggaruk kepalanya, melihat gadis berukuran jumbo di depannya tidak merespon.

 

"Yaudah, gue duluan. Kalo lo nyari Nadya, dia gak masuk hari ini. Katanya gak enak badan," Yuza menjelaskan sebelum berbalik badan. 

 

"WOY YUZA! LO ABIS NGEBULI ORANG?" 

"GILA, ENGGAK LAH!"

 

Kepala Alvi masih menunduk, tapi ada senyuman kecil di bibirnya. 

 

"Yuza... Yuza ngobrol ke gue hari ini... dia gak bilang gue bau. Dia... ngobrol sama gue," pikiran Alvi berantakan saking bahagianya. 

 

---

 

"Vi, kamu biasanya kalo makan siang dimana? Aku jarang liat kamu," Fana memulai obrolan rutin pagi mereka. 

 

"Gue biasanya makan di kelas, Fan. Bawa bekel gue. Kalo lo biasanya ke kantin ya?" Alvi menanggapi dengan ramah. 

 

"Iya. Mama aku jarang masak soalnya aku jarang makan. Kadang kalo istirahat makan siang aku juga suka gak laper, paling minum susu. Kalo kamu biasanya makan siang apa, Vi?" 

 

Alvi merasakan anak laki-laki di kelasnya sudah senyam senyum gemas mendengar suara Fana dan kata-katanya yang imut. 

 

Alvi tersenyum kaku. "Biasanya nasi pake lauk sih, apa aja yang mama aku masak," jawabnya. 

 

"Ohh. Berarti kamu gak gitu picky, ya? Enak yaa. Kalo aku dari dulu susah makan, apa-apa gak suka. Makanya mama aku juga males masak," jelas Fana. 

 

Alvi tersenyum ke arah Fana. Entah kenapa, perasaannya tidak enak. Padahal perkataan Fana biasa saja, tidak ada kata-kata yang menjelekannya, malah memujinya. Ditambah Fana masih tersenyum manis ke arahnya. Hanya saja Alvi merasa aneh. 

 

"Vi, gue minjem PR MTK wajib, dong," salah seorang teman sekelasnya tiba-tiba menghampiri. 

"Oh, boleh! Sebentar, gue cari dulu," Alvi merogoh tasnya. 

 

"Nih!" ia menyerahkan buku itu dengan senyuman. 

"Thanks, Vi," teman sekelasnya berterima kasih dengan gontai. 

"Sama-sama!" Alvi masih tersenyum. 

 

Fana hanya melihat kejadian itu dengan senyuman manisnya, seperti biasa. 

 

---

Seperti beberapa hari terakhir, Alvi berniat pulang sendirian. Ia tidak berbicara ataupun bertemu dengan Nadya akhir-akhir ini. Jadi ia sendirian, menunggu angkot yang sepi dan lega, berharap angkot itu cepat datang. 

 

Banyak orang tidak mengetahui alasan Nadya dan Alvi menunggu angkot yang sepi. 

 

Sebenarnya jawabannya simpel. 

 

"Eh, Neng. Nanti abis ini ada lagi kok angkot yang jurusan ini juga, sama yang itu aja ya!" 

 

Sopir angkot tidak mau mengangkutnya. Ia siswi sekolah, badannya besar dan berat. Sopir angkot pasti berpikir tidak ada untungnya mengangkut Alvi. Habisnya, ia mengambil dua jatah tempat penumpang biasa dan membayar satu tempat dengan tarif anak sekolahan. Kebanyakan sopir angkot akan berpikir lebih baik tempat itu dibiarkan kosong untuk penumpang lain yang akan naik dijalan. 

 

Maka itu, Alvi selalu menunggu angkot yang sepi. Tidak heran ia selalu pulang terlambat. Kadang, ia harus menunggu sampai maghrib. 

 

"Haa... capek. Pengen cepet pulang," pikir Alvi, menyenderkan kepalanya di pilar halte angkot. Ia menghembuskan nafas panjang. 

 

"Vi?" 

 

Alvi membuka matanya dan refleks duduk dengan tegap. 

 

"Yara?" 

 

"Lu belum balik?" 

 

Alvi menggeleng. 

 

"Mau bareng?" 

 

Alvi melihat Yara lekat-lekat. Ia menggunakan helm full-face berwarna hitam. Membawa motor ninja berwarna hitam doff yang serasi dengan hoodie hitamnya. Dilihat dari celana silat yang dikenakannya, Yara baru selesai latihan hari ini. 

 

Anak SMA disini memang sebenarnya tidak diperbolehkan membawa motor. Jangankan SIM, mereka bahkan belum punya KTP. Biar begitu, ada saja murid bandel yang membawa motor. Seperti Yara. Juga Yuza. Dan beberapa murid lainnya yang tidak Alvi kenal. 

 

"Uhh... gak apa-apa Yar. Gue nunggu angkot aja," tolak Alvi dengan halus.

"Gak apa-apa bareng aja, Vi. Naek!" 

 

Alvi tahu jika ia tidak segera naik ke motor yang joknya tinggi dan kurang nyaman untuk orang berbadan jumbo seperti Alvi itu, Yara akan merasa kesal kepadanya. 

 

"Yaudah. Makasih, Yar," 

 

"Santaii! Kayak sama siapa aja lu, Vii!" 

 

---

 

"Yar? Kok lo bengong di depan kelas gue?" Alvi menegur Yara yang sedang berdiri di depan kelasnya. 

 

"Ah! ALVIIII! Gua kangennn! Kok lu tumben baru dateng?" 

 

"Oh, gue... gak dapet angkot..." 

 

"Hah kenapa kok bisa?" tanya Yara. 

 

"Uh.. ah... itu.. angkotnya jarang dateng, terus sekalinya dateng penuh," jawab Alvi lirih. 

 

"Ohh. Kalo gitu lu mau gua jemput aja? Berangkat bareng gua? Mau gak?" Yara menawarkan. 

 

Jujur saja, sebenarnya tawaran itu menarik. Alvi memang tidak begitu nyaman menunggu angkot yang sepi. Dan ternyata, motor Yara cukup nyaman walaupun joknya sempit. Mungkin karena Yara lihai mengendarai motor itu. 

 

Tapi...

 

"Emangnya lo gak repot, Yar?" 

 

 "Kenapa repot? Kan lu temen gua, Vi!" jawab Yara dengan senyum sumringah. 

 

Entah kenapa, Alvi merasa bersalah. 

 

bersambung

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kelana
650      471     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
Anikala
909      434     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
VampArtis United
971      638     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
FINDING THE SUN
473      206     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
Konfigurasi Hati
461      327     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Imajinasi si Anak Tengah
1978      1142     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Can You Hear My Heart?
461      270     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Spektrum Amalia
740      498     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
418      282     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Matahari untuk Kita
697      404     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...