Loading...
Logo TinLit
Read Story - Behind The Spotlight
MENU
About Us  

Sedikit-sedikit berkumpul. Sedikit-sedikit sesi pengarahan. Bayangkan betapa stres Alan sekarang. Dia tidak memiliki hari tenang setiap harinya. Selalu saja dipaksa untuk bertemu dengan orang banyak, mengobrol, dan berpura-pura bisa lebur bersama mereka semua. Padahal, itu jauh dari kebiasaanya.

Hari pertama mereka di tempat ini, langsung diberi arahan tentang aturan, evaluasi, penilaian, juga eliminasi. Di luar itu mereka juga diberi pengarahan mengenai ‘kebutuhan’ di depan kamera. Ternyata jalan menuju puncak tidak semulus dugaannya. Dia pikir kompetisi hanya tentang menyanyi, menyanyi, dan menyanyi, ternyata tersemat drama di sela usaha mereka untuk menjadi yang pertama.

Di saat yang lain memutuskan untuk berlatih setelah mengetahui tantangan untuk Sabtu ini, Alan justru melipir ke kamar. Semalam dia tidak bisa tidur karena Ren mendengkur. Demi Tuhan, jangankan suara orang mendengkur, kecoa terbang saja bisa membangunkan Alan dengan cepat. Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, berusaha memejamkan mata, tetapi tak sampai lima menit suara orang-orang berlarian berhasil mengejutkannya. Tak lama, sebuah bantal melayang tepat ke wajahnya, disusul Sakha yang jatuh menimpa tubuh kurusnya saat kejar-kejaran dengan Ren. Alan refleks mengerang dengan tubuh setengah terbungkuk karena siku anak itu mendarat dengan tidak elegan di ulu hatinya.

Keduanya minta maaf, tetapi tak berselang lama langsung kembali berlarian keluar kamar. 

Sepeninggal mereka, Alan langsung tantrum. Masih dalam posisi berbaring, dia menghentak-hentak kakinya, menimbulkan suara debum berulang. Dia menggigit bantal sembari menutup wajahnya, benar-benar frustrasi dengan situasi di tempat ini. Alan sama sekali tidak menikmati semua fasilitas mewah yang ada, tak juga tertarik menjadi juara, tetapi sialnya harus dihadapkan pada dua Marsupilami yang nakalnya luar biasa. Dibanding tempat karantina, tempat ini lebih mirip hutan belantara dengan berbagai karakter hewan di dalamnya. Dia ingin menyerah sekarang juga. Andai terlihat, baterai di tubuhnya pasti sudah menunjukkan tanda siaga.

Belum lenyap rasa jengkelnya, terdengar suara barang pecah dari arah dapur. Baiklah, kali ini apa lagi? Dia berusaha untuk tidak ambil pusing. Memangnya berharap apa dari remaja-remaja jompo di sini? Keahlian mereka hanya memasak mi instan dan menghancurkan barang. Itu saja. 

Gue nggak tahan! Gue nggak tahan! Gue nggak tahan! teriaknya tanpa suara. Iya, dia berteriak sekuat tenaga, tetapi tidak berani menyuarakannya. Mulutnya saja yang terbuka lebar.

Lelah berteriak dalam hati. Alan bangkit dari posisinya, kemudian berdiri tepat di depan sebuah cermin. Dalam diam dia bertanya, apakah benar ini kehidupan yang dia inginkan? Karena sampai detik ini, dia belum benar-benar merasa nyaman atas sesuatu yang sedang dia perjuangkan. Bahkan, tujuh belas tahun Alan hidup yang dia dapatkan bukan kebahagiaan, hanya tuntutan.

Sejak kecil Alan sudah ikut les vokal. Berbekal suara indah yang diturunkan, kedua orang tuanya berniat mengasah dan mempertajam kemampuannya. Namun, Alan kecil lebih suka melakukan hal yang berlainan. Dibanding menyanyi, dia suka sekali memukul-mukul tutup panci, menimbulkan suara yang memekakkan telinga, tetapi semakin lama justru kian jelas temponya.

Terdorong rasa penasaran akan potensi besar yang dimiliki putranya, sang ayah membelikan Alan drum mainan. Alan bahagia, merasa cita-citanya difasilitasi. Dia berlatih setiap hari, dan mulai sering mengikuti berbagai kompetisi. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, berkali-kali Alan berhasil menyabet gelar juara di usianya yang masih begitu belia. 

Karena prestasi Alan yang gemilang, ayahnya bekerja keras demi bisa membelikan drum untuknya, meskipun sang bunda menentang keras sebab menurutnya, pemain drum itu sulit mendapat sorotan dan sama sekali tidak menghasilkan. Sayang, sebelum itu terjadi sebuah kecelakaan kerja merenggut lelaki itu dari sisinya. 

Selepas kepergian sang ayah, banyak yang berubah. Bundanya sering tanpa sadar menggumamkan kata-kata seolah Alan-lah yang bersalah. Hidupnya jelas menjadi tidak mudah. Ada mimpi yang harus Alan korbankan demi menebus rasa bersalah. Tak sedikit yang harus dia perjuangkan meskipun dengan tubuh berdarah-darah.

Alan bingung, bagaimana dia memulai semuanya? Untuk seorang introver sepertinya, menyendiri adalah cara paling ampuh untuk mengisi ulang energi. Jadi, tampil ramah, terbuka, dan ‘hidup’ seperti yang disebutkan sang bunda, apalagi di depan kamera, menjadi beban yang luar biasa berat untuknya.

Cowok itu mengangkat sebelah tangannya, menyentuh sudut bibir, kemudian melebarkannya, membentuk seulas senyum. Hal sederhana yang entah mengapa sulit sekali dia lakukan. Mungkin dia harus mencoba. Siapa tahu dengan berbaur bersama mereka, dia bisa lebih manusiawi.

Dia melangkah keluar dari kamar, dan tanpa sengaja sepasang netranya melihat Sakha dan Ren tengah berdiri di dapur dengan tatapan bingung. Sisa-sisa kekacauan tadi sepertinya sudah dirapikan, lantas apa yang membuat dua bocah itu termenung di sana?

"Kalian ngapain?" tanya Alan.

Sakha nyengir. "Lapar," sahutnya jujur.

Dari pagi dia belum makan sama sekali karena bingung harus makan apa. Di rumah biasanya sang mami menyiapkan roti. Sedangkan di sini terdapat banyak bahan makanan termasuk mi instan, tetapi tidak ada roti. Staff biasanya memberi nasi kotak tiga kali sehari, sayangnya Sakha tidak terlalu suka.

"Nasi kotaknya nggak lo makan tadi?" tanya Alan.

"Dia nggak bisa makan nasi. Sukanya roti, tapi di sini nggak ada roti." Ren yang menjawab.

"Lo juga belum makan?"

"Udah, tapi lapar lagi."

Alan menghela napas, kemudian ikut memandangi isi kabinet sembari berpikir, apa yang bisa dia buat untuk dua ekor Marsupilami di hadapannya. Karena tak menemukan apa pun selain makanan instan, dia beralih membuka kulkas, dan mendapati beberapa jenis sayuran di sana. Akhirnya, dia memutuskan untuk membuat sup. Kebetulan ada bakso juga. Dia bisa menggabungkannya agar dua anak ini mau makan.

"Kalau pemenangnya benar-benar cuma dari voting, drama-drama kayak gini malah berpengaruh nggak, sih, terhadap penilaian dan pilihan mereka? Muka gue yang sangar ini sangat nggak diuntungkan. Gue udah jelek duluan pasti bahkan sebelum ngasih penampilan terbaik," ujar Arthur.

Sibuk memasak, suara Arthur dari ruang tamu tiba-tiba terdengar. Alan melirik cowok itu sejenak. Arthur memang kedua termuda di antara mereka, dan benar ... jika tidak terlalu dekat, orang bisa menyimpulkan macam-macam hanya karena ketegasan di wajahnya. Padahal, dia tipe orang yang receh, jahil, dan tidak bisa diam. Mereka sudah saling mengenal sejak trainee dan Alan tahu betul karakter cowok itu, sama seperti Ren. 

"Mana gue disuruh nyerang elo lagi, Cil," lanjutnya sembari melempar pandang pada Sakha yang kini duduk anteng menunggu makannya. "Udahlah, minggu pertama juga pulang. Mana ada, sih, orang rela bocil lucu kayak elo dijahatin."

Arthur tampak benar-benar frustrasi.

Sakha si paling bontot langsung terlihat murung. Dia juga tidak ingin terlibat dalam drama ini, tetapi wajahnya yang lucu, menggemaskan, dan bully-able memang tidak menguntungkan bagi sebagian orang.

"Jalanin dulu aja. Kalau lo punya kualitas, orang-orang pasti pengin lo bertahan." Nuka menyahuti. 

Dia menyadari ketidaknyamanan mereka semua, tetapi jika tetap ingin di sini, tidak ada pilihan selain mematuhi, bukan? Toh acara seperti ini memang erat dengan gimmick. Apalagi, Nuka sempat mendengar bahwa empat personel lainnya bukan orang sembarangan. Mereka dari keluarga terpandang dengan bakat segudang. Visual masing-masing tidak diragukan lagi karena sejak dulu Miracle Entertainment memang terkenal dengan kecakapannya mendebutkan, aktris, aktor, dan penyanyi, berparas rupawan. Jadi, semakin banyak atensi dari masyarakat global, semakin mudah pula jalan mereka, ya, walaupun harus ‘memakan korban’.

"Gue harap kita bisa bersaing dengan sehat, ya. Cukuplah drama ini yang bikin pusing, jangan sampe usil curang dan bikin kompetisi ini jadi nggak menyenangkan." Sean yang sedari tadi diam akhirnya bersuara.

Sungguh Alan tidak peduli. Dia tidak berpikir untuk berbuat curang. Alan malah ingin pulang secepat mungkin dan menghilang dari dunia yang mengerikan ini.

"Nggak kepikiran buat curang, sih. Hina banget main curang setelah susah payah jalan sampai sejauh ini." Jean menyahuti.

Alan tampak setuju dengan apa yang Jean katakan. Berada di sini saja sudah membuatnya merasa hina karena berani memperjuangkan sesuatu yang ‘bukan hidupnya’. Namun, apa boleh buat. Dia hidup dengan garis takdir di telapak tangan. Tidak ada pilihan selain melanjutkan.

Setelah makanannya siap, dia menuangkannya ke dalam mangkuk, lalu menyajikannya di depan dua bocah itu. "Makan yang banyak. Jangan rewel. Kalian nggak di rumah. Gue juga nggak bisa selalu masak buat kalian kayak gini."

Keduanya makan dengan lahap, sementara orang dewasa lainnya masih sibuk berbincang memikirkan nasib mereka. Meskipun setelahnya, suasana begitu senyap. Sekali lagi, Alan tidak mau ambil pusing. Dia cukup berlatih, menyanyi, tunggu hasil. Hidupnya selurus dan sesederhana itu.

"Gue lihat-lihat, lo, kok anteng banget, Lan? Fans lo banyak, ya?" Suara berhasil Evan memecah keheningan.

"Gue?"

Mereka yang kini sama-sama beralih menatapnya, kompak mengangguk. Sontak Alan tertawa. Fan apanya? Sejak duduk di bangku SMP pun dia sama sekali tak tersentuh media sosial. Malah sang bunda yang membuatkan dan mengunggah keseharian Alan.

"Fans dari mana coba? Gue bahkan nggak aktif main media sosial."

"Fans-nya Sakha banyak, tapi maminya nggak ngerestuin dia ada di sini." Ren yang baru selesai makan langsung bicara.

"Hah? Lo kabur, Cil?" tanya Yuka penasaran.

"Dianter Papi kok. Tapi, ya, gitu. Papi kalah sama Mami," sahut anak itu sembari memasukan bakso terakhir ke mulutnya. Sakha beralih menatap Alan, lalu mengucap terima kasih dengan tulus.

Alan mengangguk.

"Kita dikasih kesempatan buat promosi setiap hari Minggu pas pegang HP. Jadi, emang harus dimanfaatin sebaik mungkin. Challenge minggu ini cuma self-expression challenge, kita nggak tau ke depannya bakal kayak gimana. Gue harap, apa pun itu nggak akan bikin kita jadi saling menjauh," ujar Saga. "Okelah, di depan kamera karena ‘kebutuhan’ yang kemarin dibilang staff kita jauhan dan harus terlihat benar-benar berkompetisi, tapi kalau lagi kayak gini ... tetap temenen, ya."

Saga merasa paling pesimis sebenarnya jika kemenangan ditentukan dari vote. Di antara yang lain, dia tidak merasa lebih baik. Dia juga berasal dari keluarga sederhana di Surabaya. Bisa masuk ke sini saja sudah luar biasa. Namun, ada keinginan besar untuk mengangkat derajat keluarganya. Bolehkah dia berharap bisa bertahan lebih lama?

Sean merangkul anak itu, kemudian mengangguk. 

Setelah mengobrol panjang lebar, semua kembali berlatih, tak terkecuali Ren dan Sakha yang baru selesai mencuci piring. Sementara Alan kembali bengong di sudut ruang tamu hingga langit berubah gelap. Pada self-expression challenge para finalis diminta membawakan lagu yang mencerminkan kepribadian atau kisah hidup mereka, dan sampai detik ini Alan masih bingung harus membawakan lagu apa.

Diary depresiku? Lagu itu sempat terlintas di kepalanya, tapi ... itu sama seperti dia mengakui kelemahan yang bertahun-tahun disembunyikan bukan? Sebaiknya, Alan tidur lima sampai sepuluh menit, mungkin dengan demikian dia bisa kembali berpikir.

How do you feel about this chapter?

13 0 0 3 0 0
Submit A Comment
Comments (12)
  • alin

    Semangat yah buat teteh, tetap semangat nulis. Jangan nyerah walau badai terus menerjang.

    Comment on chapter Chapter 1 - Alan versi lebih hidup
  • alin

    Semangat Alan, kamu pasti bisa. Kamu pasti menang. Bismillah, semoga kakak menang, lolos trainee😊

    Comment on chapter Chapter 1 - Alan versi lebih hidup
Similar Tags
Monokrom
113      93     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Arsya (The lost Memory)
947      624     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
Bersyukurlah
434      303     1     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
Semesta Berbicara
1348      789     10     
Romance
Suci Riganna Latief, petugas fasilitas di PT RumahWaktu, hanyalah wajah biasa di antara deretan profesional kelas atas di dunia restorasi gedung tua. Tak ada yang tahu, di balik seragam kerjanya yang lusuh, ia menyimpan luka, kecerdasan tersembunyi, dan masa lalu yang rumit. Dikhianati calon tunangannya sendiri, Tougo—teman masa kecil yang kini berkhianat bersama Anya, wanita ambisius dari k...
Yu & Way
166      135     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Cinderella And The Bad Prince
1464      992     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
RUANGKASA
45      41     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
That's Why He My Man
1062      672     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...
Penantian Panjang Gadis Gila
325      245     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Andai Kita Bicara
673      519     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...