Sebuah gerbang yang menjulang tinggi menyambut kedatangan para peserta. Mereka berasal dari berbagai kota. Setelah melakukan audisi di kota masing-masing, lewat penilaian yang ketat, lima belas orang terpilih untuk masuk ke babak selanjutnya. Beberapa di antara mereka merupakan trainee dari Miracle Entertainment. Pemuda bernama Alano Nayaka Rasendriya salah satunya.
Jika diberi kesempatan untuk memilih, dia pasti memilih pulang untuk bersembunyi dibanding menetap di sini dan menjadi ‘terlihat’. Baru membayangkan saja rasanya mengerikan, menjalani sesuatu dengan citra yang dibentuk orang lain hanya demi tampak hebat. Sayangnya, untuk kembali pun bisa dikatakan sudah terlambat sebab sang bunda sudah mengeluarkan banyak uang untuk masa trainee-nya selama hampir dua tahun sejak Alan lulus dari bangku SMP.
Cowok itu menghela napas, berusaha meyakinkan diri, kemudian mengayunkan langkahnya melewati gerbang utama. Gedung tersebut berada di pusat kota yang terdiri dari tiga lantai. Namun, belum genap langkahnya, seseorang menarik lengannya dari belakang, membuat Alan sedikit tersentak.
"A! Kita bareng-bareng lagi. Mohon bimbingannya, ya, A," ujar anak itu sembari menundukkan kepala.
Alan hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus merespons bagaimana. Meskipun sang bunda berkali-kali memintanya menjadi Alan versi lebih hidup, tetap saja rasanya sulit. Karakternya terbentuk sejak kecil. Dia butuh ketenangan, suka sendirian, dan tidak bisa berada di tengah-tengah orang banyak terlalu lama karena dia membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk ‘memulihkan’ energinya.
"Aku bangga banget bisa ada di sini. Ibu udah nyembelih kambing buat syukuran," ujar anak itu lagi.
Namun, sekali lagi Alan hanya menjawab dengan seulas senyum.
"Makanya aku harus bisa lolos, biar usaha Bapak sama Ibu nggak sia-sia udah bikin aku sampai sini."
Bagi Alan, anak bernama Ren itu terlalu banyak bicara. Mereka benar-benar kontras, dan itu sangat melelahkan. Namun, sejak bertemu di audisi tahap terakhir sebelum menuju kompetisi sesungguhnya, anak itu terus menempel padanya. Sama sekali tidak memberi ruang untuk Alan sendirian. Mereka juga hanya terpaut beberapa bulan sebenarnya. Alan sudah meminta Ren untuk tidak memanggilnya aa atau kakak, tetapi dia tetap melakukannya dengan alasan Alan lebih tua beberapa bulan dan ... lebih tinggi. Konyol bukan?
"Kalau misalkan kita dikasih kebebasan buat pilih kamar dan teman sekamar, kita barengan lagi, ya, A? Kan, kita sama-sama dari Bandung."
Baiklah, seharusnya kemarin Alan memang tidak bicara mengenai asal-usulnya. Jadi, Ren tidak akan berpikir mereka teman sekota yang senasib sepenanggungan.
Kamera ada di beberapa sudut ketika mereka mulai memasuki area gedung tiga lantai itu. Mereka semua tampak terpana melihat betapa megah gedung tersebut. Di lantai dasar terdapat studio megah untuk mendukung performa mereka setiap minggunya. Di lantai dua terdapat studio rekaman, tempat latihan, zona evaluasi, dan lain-lain. Sementara di lantai paling atas terdapat kamar, ruang tamu, ruang meeting, ruang olahraga, serta dapur bersama.
The Spotlight yang diproduksi oleh N-Jeen x Miracle Entertainment pertama kali diselenggarakan di Indonesia untuk menemukan vokalis berbakat. Empat personel lain—yang masih disembunyikan identitasnya—hanya tinggal menunggu menemukan vokalis untuk debut. Band yang terbentuk dari sekelompok anak muda berbakat dengan kisaran usia antara tujuh belas sampai sembilan belas tahun diharapkan bisa memberi nuansa baru untuk kancah hiburan Indonesia. Muda, segar, dan berpengaruh.
Mereka memasuki area studio masih dengan tas di punggung. Kamera membutuhkan ekspresi alami mereka ketika memasuki studio dengan desain panggung yang futuristik.
Tiba-tiba suara pembawa acara terdengar.
"Selamat datang kepada seluruh finalis The Spotlight. Dari lima belas orang, hanya sepuluh orang yang bisa lolos ke babak selanjutnya dan akan tampil di panggung The Spotlight. Jadi, manfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin untuk menunjukkan penampilan terbaik kalian. Keputusan juri tidak bisa diganggu gugat."
Suasana yang semula hening berubah gaduh. Mereka tidak berpikir bahwa hanya sepuluh orang saja yang diberikan kesempatan untuk benar-benar tampil.
"Di sudut kanan terdapat lima belas amplop. Urutan pengambilan ditentukan dari mereka yang berhasil menebak judul lagu paling banyak melalui aplikasi dari gawai yang sudah kami sediakan."
Mereka tampak kebingungan mencari benda yang dimaksud. Saat yang lain sibuk, pandangan Alan tertuju pada sebuah meja di dekat pintu saat mereka masuk tadi. Dia bergerak mengambil benda tersebut diikuti oleh yang lain.
"Jika sudah, dalam waktu enam puluh detik kalian harus bisa menebak judul lagu sebanyak mungkin. Terdapat nama kalian pada masing-masing gawai, dan hasil perolehan akan langsung dimunculkan di layar utama. Dalam hitungan ketiga, kalian bisa memulai. Satu ... dua ... tiga."
Semua mulai sibuk dengan gawai masing-masing. Ekspresi mereka beragam. Ada yang tampak kesal karena tak banyak yang mereka ketahui. Banyak yang terlihat senang sebab berhasil menguasai. Hanya satu tak menunjukkan ekspresi apa pun, entah bisa atau sebaliknya seperti Alan.
Bertepatan dengan bunyi nyaring, tanda usainya waktu untuk mereka menebak, deretan nama serta angka muncul di layar. Siapa sangka Alan yang ekspresinya begitu datar ada di urutan pertama. Lelaki itu berhasil menebak dua belas lagu dalam enam puluh detik. Selanjutnya, ada Ren dengan sepuluh lagu. Arthur ada di posisi ketiga dengan delapan lagu. Demikian seterusnya sampai nama peserta terakhir.
"Judul lagu yang ada di amplop tersebut adalah lagu yang harus kalian nyanyikan di atas panggung."
Sebagai pemenang, Alan diberi kesempatan untuk mengambil amplop pada urutan pertama. Dia mengambilnya, kemudian membuka amplop tersebut. Sebuah lagu yang dinyanyikan Keisya Levronka berjudul “Tak Ingin Usai” tersaji di depan mata. Dia tampak terkejut karena itu lagu perempuan dan jelas harus memiliki teknik vokal yang baik. Nada tinggi di beberapa bagian bisa menjadi nilai jualnya, tetapi bisa juga menjatuhkannya.
Alan menggeleng cepat. Siapa peduli. Dia hanya harus tampil sebagai formalitas agar bundanya tahu dia sudah berjuang. Andai harus berhenti pun, yang penting dia sudah melakukannya.
Selesai menentukan pilihan, mereka mulai tampil satu per satu. Alan tampil pada urutan ketika setelah Ren. Dia naik ke panggung, kemudian mulai menyanyikan lagu yang sudah dipilih. Ucapan sang bunda yang masih Alan terapkan sampai detik ini hanya satu, bagaimana cara menjiwai lagu. Apa pun lagunya, kalau sedih bayangkan ayahnya yang sudah meninggal. Anggap saja Alan gagal membahagiakan sang ayah, sebab yang erat dengan rasa sedih adalah sakit, kecewa, dan kehilangan. Jika lagunya bertolak belakang, anggap saja Alan berada di puncak mimpinya, hampir atau bahkan sudah sampai, rasakan euforianya dan berbahagialah. Begitu katanya. Jadi, sepanjang audisi dari tahap awal, Alan melakukan itu.
Terluka dan menangis, tapi kuterima
Semua keputusan yang telah kau buat
Satu yang harus kau tahu
Kumenanti kau 'tuk kembali
Para juri terkejut saat Alan memberi improvisasi pada bagian setelah lirik tersebut. Lagu yang penuh power tiba-tiba terdengar begitu lembut dan menyakitkan. Alan berhasil membawa lagu itu keluar dari zona penyanyi aslinya. Para juri saling berbisik memuji penampilan pemuda itu. Lima orang sekaligus kompak memberi standing ovation di akhir lagu.
"Hampir dua tahun menjadi trainee sepertinya memberi dia banyak pelajaran. Dia jauh lebih baik dari sebelumnya," bisik salah salah satu Juri. CEO sekaligus produser utama Miracle entertainment.
"Benar. Dia bisa memakan lagu genre apa pun," sahut produser di sebelahnya.
Penampilan selanjutnya tak kalah mengagumkan. Seluruh peserta benar-benar menunjukkan kemampuan terbaiknya.
Saat mendebarkan pun tiba. Lima belas finalis berdiri di tengah panggung dengan lampu putih di bawah pijakan mereka yang menyala seperti tuts piano. Sang pembawa acara menjelaskan, pijakan tersebut bisa berubah merah jika mereka mereka dinyatakan tidak lolos. Jelas keberadaannya memberi debar berbeda.
Setelah berdiskusi panjang lebar, para juri akhirnya memutuskan.
"Penampilan kalian secara keseluruhan sudah sangat bagus. Kalian mengalahkan ribuan orang untuk sampai sini, itu pencapaian yang luar biasa. Jadi, apa pun keputusannya, bahkan andai kalian hanya berhasil sampai di sini, kami harap kalian tidak sedih dan putus asa," ujar Mami Adel, salah satu produser musik sekaligus aktris ternama.
Lelaki yang akrab dipanggil Bang Jalu tampak setuju. Dia mendekatkan bibirnya pada mikrofon, lalu berkata, "Kalian semua hebat. Jangan putus asa dan coba lagi suatu hari. Mungkin kalian bisa lolos di The Spotlight season dua tahun depan."
Mereka semakin cemas mendengar ucapan beliau. Lagi-lagi, hanya Alan yang terlihat santai. Seperti lolos syukur, gagal ya udah.
Setelah mempermainkan lampu sorot, menyempurnakan ketegangan, tak sampai lima menit, mereka mendapatkan putusan. Isa, Dami, Frans, Zico, dan Putra terpaksa harus menanggalkan mimpinya menjadi vokalis band jebolan agensi ternama. Mereka tampak marah dan sedih, tetapi tidak punya pilihan selain menyerah.
Isa salah lirik. Dami, terlalu berlebihan saat tampil. Frans false di tengah-tengah lagu. Zico tidak bisa menjangkau nada tinggi. Sedangkan Putra terdengar kejar-kejaran dengan tempo saking gugupnya. Kesalahan yang bisa diperbaiki andai mereka tidak sedang berkompetisi. Sebab kompetisi jelas mencari yang terbaik dari yang terbaik.
Di satu sisi Ren merasa senang karena berhasil lolos, tetapi di sisi lain, Dami, orang yang sudah dia anggap kakak—selain Alan—harus berhenti di sini. Sedangkan Alan tidak bereaksi berlebihan. Dia hanya memberi dukungan dan mengucapkan selamat tinggal. Dunia memang terkadang tidak adil bukan? Mereka yang memiliki tekad kuat justru dijegal, sedangkan Alan yang hidup segan, mau mati masih banyak dosa diberi langkah semudah itu.
"Untuk kalian yang lolos, silakan beristirahat. Ingat, ini langkah awal kalian menuju persaingan sesungguhnya," pesan sang pembawa acara.
Usai saling berpeluk, pamitan satu sama lain, mereka yang lolos langsung digiring menuju ruang istirahat. Kamar ditentukan berdasarkan penilaian terakhir. Jadi, mereka berhak menempati kamar terbaik jika menjadi yang terbaik.
Alan menepuk pipinya berkali-kali. Tugasnya semakin berat terhitung hari ini. Hidup di satu tempat dengan karakter beragam tentu memberi tekanan yang tidak sederhana, dan dia harus bisa sampai suatu hari benar-benar tidak bisa melakukannya lagi. Alan ingat pesan sang bunda, jadilah Alan versi lebih hidup agar mudah diterima oleh siapa saja.
Bertahan sampai akhir, Lan... Aku dukung kamu buat maju terus... dua bayi juga berusaha bertahan sampai akhir yaa... saling dukung terus...
Comment on chapter Chapter 6 - Hal baru