Apa nggak ada reaksi lain yang lebih elegan dibandingkan melotot dramatis seperti apa yang aku lakukan sekarang?
Sepertinya memang nggak ada. Aku terlalu terkejut mendengar pengakuan Prince. Meski jantungku seolah ingin meloncat dari rongganya, aku nggak boleh terjebak. Siapa tahu cowok nggak waras ini sedang mengajakku bercanda. Muka Prince memang terlihat serius, tapi aku nggak bisa percaya begitu saja.
"Lo bercanda ya?" responsku setelah beberapa saat berkubang dengan rasa kaget.
Cowok di depanku tercenung sesaat. Lalu berdecak sebal. Dia pun melangkah mundur. Membuat udara di sekitarku kembali melimpah. Ya, sejak tadi aku menahan napas dengan dada berdebar-debar.
"Muka gue udah bonyok begini masih dibilang bercanda."
Aku mengerjap. "Jadi lo serius?"
"Menurut lo?!"
Aku mengerutkan kening. Memang harus ngegas gitu? "Biasa aja kali."
"Jadi, mulai sekarang. Jauhi Régan. Gue nggak suka lo terlalu dekat sama dia."
"Prince, lo nggak berhak larang gue berteman dengan siapa pun." Mataku menyipit. Ada rasa senang ternyata perasaanku nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi aku juga kesal dengan sikap arogan cowok itu.
Prince melengos lalu bersedekap tangan. "Gue nggak larang lo berteman kok, tapi ya itu. Kecuali Régan."
Sepertinya akan susah memberi pengertian cowok satu ini. Berharap dia mau berbaikan dengan Regan juga lebih sulit daripada mengerjakan seratus soal fisika tentang termodinamika.
"Terserah lo deh. Lo udah gue obatin, gue mau balik kelas." Lebih baik mengamankan diri. Mungkin aku terlihat biasa saja, tapi dalam hati sudah nggak karuan lagi bentuknya.
"E-eh, lo nggak bisa kabur gitu aja!"
Prince menarik lenganku hingga aku melangkah mundur. Nih cowok kenapa lagi sih?
"Setelah lo bikin gue ngaku suka sama lo. Sekarang mau kabur gitu aja?"
Ya Tuhan ternyata belum selesai. Aku mengusap wajah dengan sebelah tangan. Lalu menarik napas untuk meredakan jantungku yang masih berlompatan.
"Ya terus apa?"
Tiba-tiba saja wajah yang tadi terlihat galak mendadak seperti anak kecil. "Seenggaknya lo jawab dong."
"Jawab apa?" Di sini aku bingung. Memang dia ngasih gue pertanyaan?
"Lo bener-bener nggak peka ya!" Prince berkacak pinggang dan kembali menampilkan wajah sebal. "Jawab, lo suka gue juga atau enggak?"
Tunggu! Mataku mengerjap. Memang aku harus jawab itu? Kalau aku jawab... Eham! Aku berdeham. "Kalau nggak kenapa, kalau iya kenapa?"
"Jawabannya pasti iya. Iya kan lo suka gue?"
Prince menyipitkan mata dengan badan condong ke arahku. Dia benar-benar percaya diri. Aku menggeleng, meski ada rasa hangat yang menjalari wajahku seketika mengingat betapa dekatnya jarak kami sekarang.
"Bohong lo ya! Muka lo merah, Sindy." Prince menyeringai lebar. "Ngaku aja deh lo kalau lo suka gue juga."
"Apaan sih?" Kusingkirkan tangannya yang menunjuk-nunjuk mukaku. "Nggak, gue nggak suka sama lo. Lo bukan tipe gue."
"Emang tipe lo kayak apa?"
"Seenggaknya bukan cuma ganteng doang. Tapi otaknya juga kudu berisi."
Prince ternganga mendengar jawabanku yang asal ceplos. "Maksud lo otak gue nggak ada isi? Lo bener-bener---"
"Apa?"
Bibir Prince terkatup rapat, tapi berkerut-kerut seakan sedang menahan kesal. Apa dia tersinggung?
"Fine! Gue emang nggak sepintar lo atau Regan yang bisa ikut Olimpiade nasional. Perkalian 1 sampai 100 juga kadang masih kebalik. Tapi kan bukan berarti otak gue kosong. Lo terlalu ngremehin gue, Sin."
Aku tertegun. Sepertinya Prince benar-benar tersinggung. Aku nggak bermaksud---
"Thanks udah ngobatin luka gue," pungkasnya sebelum pergi meninggalkanku di ruang UKS.
Mataku terpejam dengan kepala yang mendadak pusing. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Kutampol mulutku sendiri yang kadang sadis ini.
***
"Prince belum pulang, Bi?" tanyaku pada Bi Tuti.
Ini sudah pukul lima sore. Sejak di UKS siang tadi, aku nggak melihatnya lagi. Prince bahkan nggak kembali ke kelas sampai bel pulang berdering. Saat kutelpon ponselnya menggunakan telepon rumah, dia nggak menjawab.
"Belum, Néng. Mungkin Den Prince main basket."
Aku nggak yakin cowok itu masih di sekolah. Lapangan basket kosong saat aku pulang. Kutarik napas panjang dan berjalan gontai menuju ruang tengah. Aku sudah menyinggungnya. Padahal aku tahu banget progres belajar dia sejauh ini. Nggak seharusnya aku bicara begitu siang tadi. Mendadak aku menyesal.
Bersamaan ketika aku hendak duduk di sofa, suara salam Prince terdengar. Nggak lama kemudian sosoknya yang masih mengenakan seragam muncul.
"Prince, lo dari mana aja?" tanyaku segera menyerbunya.
Tapi, cowok itu hanya melirikku sekilas sambil berjalan menuju lantai dua. Aku tersentak saat dia melewatiku begitu saja. Dan secara refleks aku mengejar langkahnya.
"Prince!"
Dia terus berjalan tanpa menoleh menuju kamarnya.
"Prince...."
Pintu kamar yang dibiarkan terbuka seolah menandakan kalau aku diizinkan masuk. Kakiku bergerak ragu memasuki kamar cowok itu.
"Prince..." Kulihat Prince duduk di kursi meja belajar dengan posisi menghadap pintu. Matanya langsung menyorot begitu aku masuk.
"Apa?" tanya cowok itu dengan nada bosan.
Dia benar-benar masih marah. Sebaiknya aku nggak boleh memancing emosinya lagi. "Luka lo udah baikan?"
Dia hanya mengangkat bahu. Lalu mengubah posisi duduk menghadap meja. Tangannya menggapai kubik yang warnanya masih berantakan. Melihat reaksinya, kuberanikan diri mendekat.
"Prince, gue minta maaf. Gue nggak bermaksud ngatain lo. Gue--"
"Iya gue maafin," potongnya cepat. Tapi ekspresinya masih belum bisa bikin aku lega.
Entah sejak kapan aku peduli dengan perasaan cowok itu. Aku selalu bersikap galak dan nggak peduli. Bahkan sering menyumpahi kalau sedang kesal padanya.
"Hm, Thanks. Kalau gitu gue ke bawah dulu. Tadi Bi Tuti masak rendang kalau lo belum makan sebaiknya makan dulu."
Setelah mengatakan itu aku memutar langkah hendak keluar dari kamar Prince. Tapi...
"Lo beneran nggak suka gue?" tanya Prince tiba-tiba.
Aku mendadak berhenti melangkah. Mungkinkah Prince bad mood gara-gara aku bilang nggak suka? Bukan karena ucapanku yang buruk itu?
Dengan ragu aku menoleh. Demi apa pun, satu kata belum keluar tapi dadaku kembali deg-degan melihat Prince terus menatapku lurus. "Gue---"
Bibirku baru sedikit terbuka saat tiba-tiba Prince berdiri, mendekat ke arahku, lalu menunduk. Aku nggak sempat mundur atau menghindar ketika tahu-tahu kecupan singkat mendarat di bibirku. Aku terkejut bukan main. Kejadiannya terlalu cepat.
"Gue tau kok lo juga suka sama gue. Nggak apa-apa deh kalau nggak mau ngaku juga," ucap Prince seraya meraih satu tanganku. "Tapi gue yakin perasaan kita sama."
Ya Tuhan. Kakiku lemas seperti jelly. Nggak bisa bergerak untuk sekedar menyelamatkan diri. Tatapan lembut Prince dan genggaman tangannya bikin aku meleleh. Sumpah, aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Seperti yang orang bilang banyak kupu-kupu berterbangan di perut. Rasanya menggelitik tapi menyenangkan. Mukaku pasti sudah mirip kepiting rebus sekarang. Apalagi melihat senyum Prince yang mendadak jauh lebih... Manis?
Aku menggeleng cepat. Sudah cukup. Euforia cinta remaja begini jangan sampai membuatku lupa segalanya.
"Gu-gue..." aku menelan ludah, susah sekali mengatakan sesuatu padahal kata-kataku sudah di ujung lidah. Aku memutuskan menarik napas panjang sebelum lanjut bicara. "Oke, yang lo lakuin tadi mengejutkan."
"Yang mana?" tanya Prince berlagak sok polos. Ngeselin banget.
Tanpa menjawab aku menunjuk bibir dengan cepat. Lalu segera mengalihkan pandang seraya berdecak. Melihat Prince malah mesem-mesem nggak jelas bikin aku ingin ngegetok kepalanya.
"Tapi suka kan?"
"Iya, suka," sahutku spontan.
"Eh, serius?"
Mata bulat Prince membuatku sontak terperanjat. "Eh, apanya?"
"Ciuman tadi."
Aku gelagapan dan panik. "Maksud gue bukan itu! Maksudnya yang gue suka sama lo juga. Ih!"
Ya Tuhan, aku malah ngaku! Kampret memang! Tawa Prince pecah melihatku bertingkah absurd. Sumpah, malu-maluin! Dia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. Ngeselin.
"Ngaku juga kan lo!"
Sial! Aku terjebak. Beruntung tanganku sedang nggak pegang benda apa pun. Kalau lagi kesal begini biasanya aku suka memukul kepala cowok itu dengan benda apa pun yang kupegang. Seringnya sih menggunakan buku pelajaran. Terpaksa aku mengepalkan tangan yang sebenarnya sudah sangat gatal ingin menjambak rambutnya.
"Udah ah, gue mo turun." Dengan cepat aku membalikkan badan, mengabaikan Prince yang masih saja terpingkal.
"Sindy, Sindy, tunggu!" Prince mencekal lenganku. Tawanya raib seketika Dan wajahnya kembali serius. Secepat itu perubahan ekspresinya. "Kita jadian kan?" tanya dia kemudian.
Jadian? Pacaran? Aku memang menyukai cowok itu, tapi nggak lantas bikin aku pengin pacaran.
"Nggak," jawabku langsung tanpa pikir panjang.
Wajah Prince tampak bingung. "Kok?"
Aku kembali menghadap cowok itu sepenuhnya. "Gue emang suka sama lo juga. Tapi gue nggak mau pacaran. Gue masih mau fokus belajar. Banyak banget yang masih pengin gue capai, Prince. Gue nggak mau ngecewain almarhumah ibu, Tante Elliana dan juga Om Akbar," terangku mencoba membuat Prince paham.
"Gue jamin pacaran sama gue nggak bakal mengganggu waktu belajar kita, Sin."
Mengetahui sama-sama suka ternyata nggak cukup buat cowok itu. Aku menghela napas. Mencoba mencari cara agar dia paham.
"Emang lo nggak butuh kepastian? Lo nggak mau kan hubungan kita menggantung?"
"Kita tetap berteman."
"Apa lo bisa jamin hati lo nggak sakit kalau lihat gue dekat sama cewek lain? Kalau gue sih jelas nggak rela liat lo sama cowok lain."
"Prince--" Sekarang aku yang bingung sendiri.
"Kalau status kita jelas. Seenggaknya kita punya hak buat larang satu sama lain buat dekat sama lainnya."
"Gue nggak punya teman dekat cowok selain lo. Tapi banyak cewek yang deketin lo." Aku melupakan fakta itu.
"Nah, apa lo aman melihat mereka kecentilan ke gue?"
Tanpa sadar aku menggeleng. Bahkan membayangkannya saja sudah bikin sebal. Aneh, dulu aku nggak memiliki perasaan begini. Sebanyak apa pun cewek yang mendekati Prince, nggak ada pengaruhnya buatku.
Aku menggigit bibir. Kenapa soal perasaan manusia mendadak sama sulitnya seperti gravitasi kuantum? Gravitasi kuantum adalah masalah fisika terbesar yang belum terpecahkan di dunia. Bagaimana gravitasi dan kuantum dapat hidup berdampingan dalam teori yang sama. Benar-benar sulit dipahami.
"Mungkin kita bisa berteman dengan beberapa catatan?"
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2