Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinderella And The Bad Prince
MENU
About Us  

 

 

Apa nggak ada reaksi lain yang lebih elegan dibandingkan melotot dramatis seperti apa yang aku lakukan sekarang? 

 

Sepertinya memang nggak ada. Aku terlalu terkejut mendengar pengakuan Prince. Meski jantungku seolah ingin meloncat dari rongganya, aku nggak boleh terjebak. Siapa tahu cowok nggak waras ini sedang mengajakku bercanda. Muka Prince memang terlihat serius, tapi aku nggak bisa percaya begitu saja. 

 

"Lo bercanda ya?" responsku setelah beberapa saat berkubang dengan rasa kaget. 

 

Cowok di depanku tercenung sesaat. Lalu berdecak sebal. Dia pun melangkah mundur. Membuat udara di sekitarku kembali melimpah. Ya, sejak tadi aku menahan napas dengan dada berdebar-debar. 

 

"Muka gue udah bonyok begini masih dibilang bercanda."

 

Aku mengerjap. "Jadi lo serius?" 

 

"Menurut lo?!" 

 

Aku mengerutkan kening. Memang harus ngegas gitu? "Biasa aja kali." 

 

"Jadi, mulai sekarang. Jauhi Régan. Gue nggak suka lo terlalu dekat sama dia." 

 

"Prince, lo nggak berhak larang gue berteman dengan siapa pun." Mataku menyipit. Ada rasa senang ternyata perasaanku nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi aku juga kesal dengan sikap arogan cowok itu. 

 

Prince melengos lalu bersedekap tangan. "Gue nggak larang lo berteman kok, tapi ya itu. Kecuali Régan." 

 

Sepertinya akan susah memberi pengertian cowok satu ini. Berharap dia mau berbaikan dengan Regan juga lebih sulit daripada mengerjakan seratus soal fisika tentang termodinamika. 

 

"Terserah lo deh. Lo udah gue obatin, gue mau balik kelas." Lebih baik mengamankan diri. Mungkin aku terlihat biasa saja, tapi dalam hati sudah nggak karuan lagi bentuknya. 

 

"E-eh, lo nggak bisa kabur gitu aja!" 

 

Prince menarik lenganku hingga aku melangkah mundur. Nih cowok kenapa lagi sih? 

 

"Setelah lo bikin gue ngaku suka sama lo. Sekarang mau kabur gitu aja?" 

 

Ya Tuhan ternyata belum selesai. Aku mengusap wajah dengan sebelah tangan. Lalu menarik napas untuk meredakan jantungku yang masih berlompatan. 

 

"Ya terus apa?" 

 

Tiba-tiba saja wajah yang tadi terlihat galak mendadak seperti anak kecil. "Seenggaknya lo jawab dong." 

 

"Jawab apa?" Di sini aku bingung. Memang dia ngasih gue pertanyaan? 

 

"Lo bener-bener nggak peka ya!" Prince berkacak pinggang dan kembali menampilkan wajah sebal. "Jawab, lo suka gue juga atau enggak?" 

 

Tunggu! Mataku mengerjap. Memang aku harus jawab itu? Kalau aku jawab... Eham! Aku berdeham. "Kalau nggak kenapa, kalau iya kenapa?" 

 

"Jawabannya pasti iya. Iya kan lo suka gue?" 

 

Prince menyipitkan mata dengan badan condong ke arahku. Dia benar-benar percaya diri. Aku menggeleng, meski ada rasa hangat yang menjalari wajahku seketika mengingat betapa dekatnya jarak kami sekarang. 

 

"Bohong lo ya! Muka lo merah, Sindy." Prince menyeringai lebar. "Ngaku aja deh lo kalau lo suka gue juga." 

 

"Apaan sih?" Kusingkirkan tangannya yang menunjuk-nunjuk mukaku. "Nggak, gue nggak suka sama lo. Lo bukan tipe gue." 

 

"Emang tipe lo kayak apa?" 

 

"Seenggaknya bukan cuma ganteng doang. Tapi otaknya juga kudu berisi."

 

Prince ternganga mendengar jawabanku yang asal ceplos. "Maksud lo otak gue nggak ada isi? Lo bener-bener---" 

 

"Apa?" 

 

Bibir Prince terkatup rapat, tapi berkerut-kerut seakan sedang menahan kesal. Apa dia tersinggung? 

"Fine! Gue emang nggak sepintar lo atau Regan yang bisa ikut Olimpiade nasional. Perkalian 1 sampai 100 juga kadang masih kebalik. Tapi kan bukan berarti otak gue kosong. Lo terlalu ngremehin gue, Sin." 

 

Aku tertegun. Sepertinya Prince benar-benar tersinggung. Aku nggak bermaksud---

 

"Thanks udah ngobatin luka gue," pungkasnya sebelum pergi meninggalkanku di ruang UKS. 

 

Mataku terpejam dengan kepala yang mendadak pusing. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Kutampol mulutku sendiri yang kadang sadis ini.  

 

***

 

"Prince belum pulang, Bi?" tanyaku pada Bi Tuti. 

 

Ini sudah pukul lima sore. Sejak di UKS siang tadi, aku nggak melihatnya lagi. Prince bahkan nggak kembali ke kelas sampai bel pulang berdering. Saat kutelpon ponselnya menggunakan telepon rumah, dia nggak menjawab. 

 

"Belum, Néng. Mungkin Den Prince main basket." 

 

Aku nggak yakin cowok itu masih di sekolah. Lapangan basket kosong saat aku pulang. Kutarik napas panjang dan berjalan gontai menuju ruang tengah. Aku sudah menyinggungnya. Padahal aku tahu banget progres belajar dia sejauh ini. Nggak seharusnya aku bicara begitu siang tadi. Mendadak aku menyesal. 

 

Bersamaan ketika aku hendak duduk di sofa, suara salam Prince terdengar. Nggak lama kemudian sosoknya yang masih mengenakan seragam muncul. 

 

"Prince, lo dari mana aja?" tanyaku segera menyerbunya. 

 

Tapi, cowok itu hanya melirikku sekilas sambil berjalan menuju lantai dua. Aku tersentak saat dia melewatiku begitu saja. Dan secara refleks aku mengejar langkahnya. 

 

"Prince!" 

 

Dia terus berjalan tanpa menoleh menuju kamarnya. 

 

"Prince...." 

 

Pintu kamar yang dibiarkan terbuka seolah menandakan kalau aku diizinkan masuk. Kakiku bergerak ragu memasuki kamar cowok itu. 

 

"Prince..." Kulihat Prince duduk di kursi meja belajar dengan posisi menghadap pintu. Matanya langsung menyorot begitu aku masuk. 

 

"Apa?" tanya cowok itu dengan nada bosan. 

 

Dia benar-benar masih marah. Sebaiknya aku nggak boleh memancing emosinya lagi. "Luka lo udah baikan?" 

 

Dia hanya mengangkat bahu. Lalu mengubah posisi duduk menghadap meja. Tangannya menggapai kubik yang warnanya masih berantakan. Melihat reaksinya, kuberanikan diri mendekat. 

 

"Prince, gue minta maaf. Gue nggak bermaksud ngatain lo. Gue--" 

 

"Iya gue maafin," potongnya cepat. Tapi ekspresinya masih belum bisa bikin aku lega.

 

Entah sejak kapan aku peduli dengan perasaan cowok itu. Aku selalu bersikap galak dan nggak peduli. Bahkan sering menyumpahi kalau sedang kesal padanya. 

 

"Hm, Thanks. Kalau gitu gue ke bawah dulu. Tadi Bi Tuti masak rendang kalau lo belum makan sebaiknya makan dulu." 

 

Setelah mengatakan itu aku memutar langkah hendak keluar dari kamar Prince. Tapi... 

 

"Lo beneran nggak suka gue?" tanya Prince tiba-tiba. 

 

Aku mendadak berhenti melangkah. Mungkinkah Prince bad mood gara-gara aku bilang nggak suka? Bukan karena ucapanku yang buruk itu? 

 

Dengan ragu aku menoleh. Demi apa pun, satu kata belum keluar tapi dadaku kembali deg-degan melihat Prince terus menatapku lurus. "Gue---" 

 

Bibirku baru sedikit terbuka saat tiba-tiba Prince berdiri, mendekat ke arahku, lalu menunduk. Aku nggak sempat mundur atau menghindar ketika tahu-tahu kecupan singkat mendarat di bibirku. Aku terkejut bukan main. Kejadiannya terlalu cepat. 

 

"Gue tau kok lo juga suka sama gue. Nggak apa-apa deh kalau nggak mau ngaku juga," ucap Prince seraya meraih satu tanganku. "Tapi gue yakin perasaan kita sama." 

 

Ya Tuhan. Kakiku lemas seperti jelly. Nggak bisa bergerak untuk sekedar menyelamatkan diri. Tatapan lembut Prince dan genggaman tangannya bikin aku meleleh. Sumpah, aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Seperti yang orang bilang banyak kupu-kupu berterbangan di perut. Rasanya menggelitik tapi menyenangkan. Mukaku pasti sudah mirip kepiting rebus sekarang. Apalagi melihat senyum Prince yang mendadak jauh lebih... Manis? 

 

Aku menggeleng cepat. Sudah cukup. Euforia cinta remaja begini jangan sampai membuatku lupa segalanya. 

 

"Gu-gue..." aku menelan ludah, susah sekali mengatakan sesuatu padahal kata-kataku sudah di ujung lidah. Aku memutuskan menarik napas panjang sebelum lanjut bicara. "Oke, yang lo lakuin tadi mengejutkan."

 

"Yang mana?" tanya Prince berlagak sok polos. Ngeselin banget. 

 

Tanpa menjawab aku menunjuk bibir dengan cepat. Lalu segera mengalihkan pandang seraya berdecak. Melihat Prince malah mesem-mesem nggak jelas bikin aku ingin ngegetok kepalanya. 

 

"Tapi suka kan?" 

 

"Iya, suka," sahutku spontan. 

 

"Eh, serius?" 

 

Mata bulat Prince membuatku sontak terperanjat. "Eh, apanya?" 

 

"Ciuman tadi." 

 

Aku gelagapan dan panik. "Maksud gue bukan itu! Maksudnya yang gue suka sama lo juga. Ih!" 

 

Ya Tuhan, aku malah ngaku! Kampret memang! Tawa Prince pecah melihatku bertingkah absurd. Sumpah, malu-maluin! Dia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. Ngeselin. 

 

"Ngaku juga kan lo!" 

 

Sial! Aku terjebak. Beruntung tanganku sedang nggak pegang benda apa pun. Kalau lagi kesal begini biasanya aku suka memukul kepala cowok itu dengan benda apa pun yang kupegang. Seringnya sih menggunakan buku pelajaran. Terpaksa aku mengepalkan tangan yang sebenarnya sudah sangat gatal ingin menjambak rambutnya. 

 

"Udah ah, gue mo turun." Dengan cepat aku membalikkan badan, mengabaikan Prince yang masih saja terpingkal. 

 

"Sindy, Sindy, tunggu!" Prince mencekal lenganku. Tawanya raib seketika Dan wajahnya kembali serius. Secepat itu perubahan ekspresinya. "Kita jadian kan?" tanya dia kemudian. 

 

Jadian? Pacaran? Aku memang menyukai cowok itu, tapi nggak lantas bikin aku pengin pacaran. 

 

"Nggak," jawabku langsung tanpa pikir panjang. 

 

Wajah Prince tampak bingung. "Kok?" 

 

Aku kembali menghadap cowok itu sepenuhnya. "Gue emang suka sama lo juga. Tapi gue nggak mau pacaran. Gue masih mau fokus belajar. Banyak banget yang masih pengin gue capai, Prince. Gue nggak mau ngecewain almarhumah ibu, Tante Elliana dan juga Om Akbar," terangku mencoba membuat Prince paham. 

 

"Gue jamin pacaran sama gue nggak bakal mengganggu waktu belajar kita, Sin."

 

Mengetahui sama-sama suka ternyata nggak cukup buat cowok itu. Aku menghela napas. Mencoba mencari cara agar dia paham. 

 

"Emang lo nggak butuh kepastian? Lo nggak mau kan hubungan kita menggantung?" 

 

"Kita tetap berteman." 

 

"Apa lo bisa jamin hati lo nggak sakit kalau lihat gue dekat sama cewek lain? Kalau gue sih jelas nggak rela liat lo sama cowok lain."

 

"Prince--" Sekarang aku yang bingung sendiri. 

 

"Kalau status kita jelas. Seenggaknya kita punya hak buat larang satu sama lain buat dekat sama lainnya." 

 

"Gue nggak punya teman dekat cowok selain lo. Tapi banyak cewek yang deketin lo." Aku melupakan fakta itu. 

 

"Nah, apa lo aman melihat mereka kecentilan ke gue?" 

 

Tanpa sadar aku menggeleng. Bahkan membayangkannya saja sudah bikin sebal. Aneh, dulu aku nggak memiliki perasaan begini. Sebanyak apa pun cewek yang mendekati Prince, nggak ada pengaruhnya buatku. 

 

Aku menggigit bibir. Kenapa soal perasaan manusia mendadak sama sulitnya seperti gravitasi kuantum? Gravitasi kuantum adalah masalah fisika terbesar yang belum terpecahkan di dunia. Bagaimana gravitasi dan kuantum dapat hidup berdampingan dalam teori yang sama. Benar-benar sulit dipahami. 

 

"Mungkin kita bisa berteman dengan beberapa catatan?" 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • kori

    Colokin aja tuh daun ke matanya

    Comment on chapter Bab 2
  • kori

    Prince tipe yang kudu ditampol dulu

    Comment on chapter Bab 1
  • shasa

    Bakal seru ini wkwk...

    Comment on chapter Bab 1
  • jewellrytion

    Bener-bener bad Prince!! Sesuai dengan judulnya. Baru baca Bab 1 aja udah bikin spaneng sama kelakuannya πŸ˜©πŸ˜‚πŸ˜‚

    Comment on chapter Bab 1
Similar Tags
I'il Find You, LOVE
6488      1851     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
Mimpi & Co.
3189      1674     4     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Kisah Kemarin
8888      2146     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
Story Of Chayra
14614      3758     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
Bittersweet Memories
124      115     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
CHERRY & BAKERY (PART 1)
4551      1328     2     
Romance
Vella Amertaβ€”pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Ich Liebe Dich
12440      2049     4     
Romance
Kevin adalah pengembara yang tersesat di gurun. Sedangkan Sofi adalah bidadari yang menghamburkan percikan air padanya. Tak ada yang membuat Kevin merasa lebih hidup daripada pertemuannya dengan Sofi. Getaran yang dia rasakan ketika menatap iris mata Sofi berbeda dengan getaran yang dulu dia rasakan dengan cinta pertamanya. Namun, segalanya berubah dalam sekejap. Kegersangan melanda Kevin lag...
A Day With Sergio
2036      917     2     
Romance
Ruang Suara
412      303     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa β€˜bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Dearest Friend Nirluka
2141      1069     1     
Mystery
Kasus bullying di masa lalu yang disembunyikan oleh Akademi menyebabkan seorang siswi bernama Nirluka menghilang dari peradaban, menyeret Manik serta Abigail yang kini harus berhadapan dengan seluruh masa lalu Nirluka. Bersama, mereka harus melewati musim panas yang tak berkesudahan di Akademi dengan mengalahkan seluruh sisa-sisa kehidupan milik Nirluka. Menghadapi untaian tanya yang bahkan ol...