Begitu selesai urusan dengan Regan, aku bergegas ke kantin. Beberapa saat lalu Marcell mengabari lewat aplikasi chat kalau dia dan Prince ada di sana. Nggak ngerti lagi deh. Bukannya langsung ke UKS malah ke kantin.
Kantin nggak terlalu penuh saat aku datang. Dari pintu masuk aku langsung bisa menemukan Prince dan Marcell yang duduk di meja paling pojok. Dia pasti sedang menghindari bertemu dengan guru.
"Luka lo harus dikasih obat," ujarku begitu sampai di hadapan mereka.
"Bahaya, Sin, kalau ada guru yang lihat." Marcell yang menyahut. Sementara Tuan Muda Arogan itu malah membuang muka dengan wajah ditekuk.
Aku menghela napas lantas beranjak ke mini market siswa dan membeli masker di sana. Aku kembali ke depan dua cowok itu sambil membuka bungkus masker.
"Nih pake ini. Makanya jangan sok jagoan."
"Ngapain sih lo ribet banget ngurusin gue? Kayak peduli aja. Sana, urus aja si Regan."
Aku mengerjap mendengar nada ketus Prince. "Lo ngambek?"
Dia nggak menjawab dan lagi-lagi membuang muka. Biar gimana juga luka lebam itu harus diobati.
"Nggak usah kayak anak kecil. Ayo buruan ke UKS."
"Nggak mau."
Si keras kepala ini nguji kesabaranku lagi. Aku membuang napas kasar. Kalau nggak ingat sikapnya yang perlahan berubah jadi lebih baik, mungkin aku nggak mau sesabar sekarang.
"Prince, mending lo nurut sama Sindy deh. Buat kebaikan lo. Muka lo bakal kalah ganteng dari Regan kalau nggak diobatin," ucap Marcell agak ngaco. Mana mempan Prince sama kata-kata aneh begitu.
Putra bungsu Bapak Akbar Suganda itu berdecak. Dia menatapku sekilas sebelum merebut masker yang aku pegang. Eh? Ternyata kalimat ngaco Marcell barusan berfungsi juga. Meski masih terlihat ogah-ogahan, Prince akhirnya mau mengikutiku ke UKS.
UKS berlawanan arah dengan ruang guru. Lokasinya berdekatan dengan perpustakaan. Jarang staf sekolah atau guru yang lewat tempat ini kalau nggak perlu-perlu banget. Aku mengambil kotak pertolongan pertama di dekat lemari unit kesehatan. Mencari kapas, cutton bath, alkohol, dan oparin gel. Sementara Prince sudah duduk di ranjang pasien sambil menekuk muka.
"Masih ngambek?" tanyaku sembari menuang sedikit alkohol ke kapas. Dia masih belum mau bicara. Tingkahnya sama persis saat lagi ngambek sama ibunya. Aku mendekat dan mulai membersihkan lukanya dengan pelan.
"Sakit! Pelan-pelan dong," pekiknya menjauhkan wajah.
"Ini udah pelan kok. Makanya kalau tahu sakit jangan berantem."
"Gue berantem juga gara-gara Lo."
Mataku memelotot. "Gara-gara gue? Gue di kelas sejak pagi ya. Kenapa jadi gara-gara gue?"
Bibir Prince maju dan mengerut seperti menahan kesal. Mungkin dia sadar kalau ucapanku benar.
"Nyebelin. Kenapa nggak lo obatin cowok lo aja? Nggak usah sok peduli sama gue."
Setelah membersihkan lukanya dengan alkohol, aku mengaplikasikan gel ke luka itu. "Regan pergi ke klinik sendiri. Anyway Regan itu temen gue, bukan cowok gue. Nggak usah sok tau."
Prince berdecih seolah meragukan ucapanku. "Masa? Bukannya lo seneng ya tiap kali dideketin dia?"
Aku mengabaikan kalimat itu dan fokus mengoleskan gel. Nggak butuh waktu lama melakukan itu. Setidaknya Prince sudah dapat pertolongan pertama. Harapanku saat Nyonya dan Tuan Besar pulang, lebam di wajah Prince sudah hilang.
"Boleh tau alasan kalian ribut sampai berantem gini?" tanyaku melangkah mundur sambil bersedekap tangan.
"Dia itu ngeselin. Seenaknya nyuruh orang buat jauhin lo. Dan yang lebih ngeselin dia terang-terangan bilang kalau dia suka sama lo."
Aku mengangkat alis heran. "Lalu masalahnya apa? Hak dia dong mau suka sama siapa pun."
"Nggak bisa. Dia itu suka lo! Gue nggak peduli dia mau suka cewek mana pun, asal bukan Lo."
"Kenapa?"
"Ya karena gue juga---"
Tiba-tiba Prince menjeda kalimatnya. Dia mengerjap dan mematung bingung. Gesturnya seperti tengah tersadar sesuatu.
"Apa?" Aku menaikkan sebelah alis saat melihat dia mendadak salah tingkah dan mengalihkan tatapan.
Aku nggak terlalu peduli dan memilih mengembalikan perlengkapan pertolongan pertama ke lemari. "Kalian udah kenal lama kan? Tante Elliana pun kayaknya kenal Regan," tanyaku kemudian.
"Regan ngadu apa sama lo?"
Menarik napas panjang, aku kembali menghadap Prince. "Kalau kalian ada masalah yang belum selesai, omongin baik-baik. Berantem nggak akan menyelesaikan masalah. Kalian nggak sayang sama persahabatan kalian yang udah lama itu?"
Prince mendengus. Lalu senyum mengejeknya terbit. "Sahabat? Udah lama gue nggak nganggap dia sahabat." Cowok dengan poni yang menutupi dahi itu menatapku. "Dia udah cerita semua ke lo kan?"
"Karena Lula? Lo nyalahin dia atas meninggalnya Lula?"
"Ternyata dia beneran cerita."
"Prince, umur manusia nggak ada yang tau. Hidup dan mati seseorang Tuhan yang menentukan."
Tiba-tiba wajah Prince mengeras. Dia tampak emosi. "Tapi kalau bukan karena Regan yang jadi pemicunya, Lula mungkin masih hidup. Dia mungkin masih bisa menikmati masa remajanya."
"Regan bilang, Lula punya leukimia stadium akhir, apa lo tau?"
"Ya, aku tahu. Orang tua Lula yang bilang. Tapi si brengsek itu malah mutusin Lula sampai cewek itu drop dan nggak tertolong lagi."
Aku menggeleng tak percaya. Bahkan setelah tahu kondisi cewek itu, Prince masih menyalahkan Regan. "Sampai segitunya. Lo masih belum lupain Lula?"
"Ini bukan perkara lupa atau belum. Tapi ini soal Regan yang---"
"Stop, Prince. Kejadiannya udah lama banget. Apa nggak bisa lo maafin Regan? Mungkin Regan udah salah mutusin Lula, tapi kematian Lula itu takdir. Nggak ada yang bisa menghentikan takdir. Percuma lo tetap bersikap begini sama Regan, itu nggak akan mengubah apa pun."
Aku jadi ikut emosi. Haruskah aku mengingatkan sesuatu padanya tentang sakit dan kepergian ibu?
Menjelang keberangkatanku ke Bandung waktu itu, aku sempat mengunjungi makam ibu. Dan tanpa sengaja aku melihat Prince sudah lebih dulu ada di sana. Dia menaruh sebuket bunga di atas makam ibu lantas menangis. Itu pertama kalinya kulihat dia menangis.
Di sana dia meminta maaf karena merasa menjadi penyebab ibu sakit dan meninggal. Jujur waktu itu aku terkejut. Lalu mulai bertanya-tanya penyebab kecelakaan ibu. Sepulang dari makam, aku beranikan diri menanyakan itu ke Tante Elliana. Dan fakta yang aku tahu setelahnya cukup mengguncang ragaku yang belum sepenuhnya sembuh dari luka karena ditinggal ibu.
Alasanku tiba-tiba dijemput keluarga Suganda dan tinggal di rumahnya lantaran mereka berhutang nyawa sama ibu. Kecelakaan yang menimpa ibu ternyata karena ibu berusaha menyelamatkan Prince. Kalau nggak ada ibu saat itu, mungkin Prince-lah yang mengalami kecelakaan itu.
Ibu mengorbankan dirinya demi anak manja dan arogan seperti Prince. Jujur aku sakit banget mendengar cerita itu dari Tante Elliana. Namun nggak ada yang bisa aku lakukan kecuali menerima semuanya. Pantas saja sikap Prince berubah lunak saat tahu kalau aku anak pengasuhnya.
"Maafkan Prince, Sayang. Sejak Bi Fatma koma di rumah sakit, Prince juga terus menyalahkan dirinya sendiri. Prince sayang banget sama Bi Fatma. Meninggalnya ibu kamu juga menjadi luka terberat anak itu. Kadang saya sering lihat anak itu di gudang, menata semua mainan masa kecilnya. Lalu menangis tanpa ada seorang pun tahu. Maafkan sikap dia juga, Sindy. Dia pasti merepotkan kamu. Kenakalan yang dia buat saya rasa karena dia ingin mengalihkan luka hatinya. Saya tahu meskipun kalian seumuran, kamu jauh lebih bisa berpikir dewasa daripada Prince. Saya senang kamu ada di sisi Prince selama ini."
Aku memejamkan mata demi menghalau rasa sedih yang kembali menyeruak. Aku sudah ikhlas dan memaafkan Prince. Menerima semua yang terjadi adalah sebagian dari takdir.
"Gue udah relain Lula buat jadian sama Regan. Tapi dia malah seenaknya mengecewakan Lula."
Tanganku mengepal. Rasa bencinya pada Regan cukup membuktikan bahwa Prince belum sepenuhnya melupakan Lula. Mungkin cewek itu cinta pertamanya. Aneh, selain kesal karena dia terus menyalahan Regan, aku juga kesal lantaran tahu kenyataan Prince yang belum bisa move on.
"Terus lo nyesel sampe sekarang? Kenapa dulu nggak lo aja yang jadian sama Lula?"
Prince menatapku tajam. "Ya, gue nyesel. Makanya sekarang, gue nggak bakal biarin lagi dia deketin cewek yang gue suka," ucapnya penuh dengan penekanan.
"Cewek yang lo suka?"
Dadaku mendadak berdebar mendengar kalimat terakhir cowok itu. Kalau dia beneran punya seseorang yang disukai, artinya perasaanku bertepuk sebelah tangan. Miris banget sih.
"L-lo lagi suka sama cewek?" tanyaku terbata. Harusnya aku nggak perlu tahu karena rasanya pasti bakal sakit kalau dia mengakui.
"Ya. Gue lagi suka sama cewek super nggak peka dan galaknya ngalahin Bu Siska."
Bu Siska adalah guru mapel matematika kelas kami. Tapi ... memang ada cewek di sini yang galaknya bisa ngalahin Bu Siska? Selera Prince benar-benar aneh.
Prince turun dari ranjang pasien, dan berjalan mendekatiku dengan mata yang menyorot tajam. Aku terhenyak dan refleks bergerak mundur.
"Lo mau tau cewek itu siapa?" tanya cowok itu terus mendekat. Sumpah, aura Prince saat ini benar-benar mengerikan. Emosi di wajahnya tergurat dengan jelas. Bikin kudukku merinding.
Aku tersentak ketika punggungku membentur lemari UKS. Secara refleks aku mengangkat tangan, menahan dada Prince agar tetap berjarak. Tatap kami mengunci satu sama lain, tapi mulut kami sama-sama rapat.
Aku masih belum bisa mencerna situasi macam apa ini. Mendadak hawa panas mengepungku. Tubuhku menegang dan jantung sialan ini pun ikut berdetak tak karuan. Prince dengan jarak yang begitu dekat, lengkap dengan tatapan tajamnya bikin aku mati gaya.
"Cewek itu lo! Lo cewek yang nggak bakal gue biarin deket sama Regan lagi."
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2