Di kelas XII aku makin sibuk belajar untuk persiapan mengikuti pelatnas. Akan ada tiga tahapan seleksi yang harus aku ikuti. Jika tiga-tiganya lolos aku bisa maju mewakili Indonesia ke International Physics Olympiad tahun depan. Dan itu butuh perjuangan yang serius. Nyaris semua waktu kuhabiskan untuk belajar dan belajar. Termasuk belajar bersama Prince karena cowok itu menolak usulan Tante Elliana ikut bimbel di luaran.
"Masa gue punya waktu lama berdua sama lo kalau belajar gini doang?" protes Prince suatu hari.
Aku yang sedang membolak-balik buku meliriknya sekilas. "Nggak usah lebay. Nggak cuma di rumah, di sekolah pun kita masih bisa ketemu. Nyaris 24/7 gue selalu liat lo."
Kulihat Prince meniup poninya. Sepertinya dia mulai kebosanan. "Tapi vibes-nya beda, Sin. Tiap hari kita pulang sore karena ada jam tambahan. Di sekolah pun lo lebih banyak bareng teman-teman lo. Belum lagi kalau dipotong latihan sama anak-anak fisika. Hari Minggu pun lo kadang masih harus belajar di luar sama pembimbing. Ya ampun, Sin. Emang lo nggak bosen hidup cuma buat belajar dan belajar?"
"Gue udah bilang sama lo sebelumnya kan kalau gue bakal fokus belajar selama kelas akhir ini. Gue pengin bisa ikut IPHO." Entah ini harus berapa kali aku bilang padanya. Tapi lagi-lagi Prince merengek karena masalah yang sama.
"Tapi gue juga pengin main sama lo," ucap Prince dengan nada memelas sambil menunduk.
Kalau sudah begini, aku akan mengalah dan menunda jadwal belajar demi mengembalikan mood pangeran kolokan itu. Terhitung sudah lima bulan aku akhirnya memutuskan pacaran dengan Prince. Ya. Dengan berbagai pertimbangan dan syarat-syarat yang kuajukan. Khususnya nggak akan ada drama kalau aku harus mengutamakan belajar dibanding anak manja itu.
Tapi realita nggak sesuai apa yang aku mau. Prince lebih sering merengek seperti hari ini. Sore ini pun akhirnya aku menuruti keinginannya nonton daripada belajar. Yang dilanjut main di game center dan makan malam di salah satu kafe favoritnya.
"Setelah lulus lo mau lanjut ke mana? Please jawab mau lanjut kuliah di kampus yang sama bareng gue," tanya cowok itu saat aku baru mengaduk bakmi yang kupesan.
"Jawabannya kok maksa banget."
Prince nyengir. "Soalnya gue mau bareng sama lo terus. Tenang, gue bakal usaha maksimal biar bisa lolos di universitas negeri favorit kok. Lo pasti ngincer ke sana kan?"
Aku hanya tersenyum kecil. Tanpa Prince tahu, aku sedang mempertimbangkan beasiswa salah satu perguruan tinggi di Jerman. "Lo wajib belajar serius kalau lo mau lolos. Jangan banyak main-main kayak gini."
"Ini kan cuma sesekali, Sindy. Refreshing, biar otak lo nggak kebakaran gara-gara terus dijejali rumus fisika dan matematika. Jangan forsir terus otak lo, kasihan, dia juga butuh istirahat."
Cowok ini paling bisa berargumentasi. Aku suka aktivitas mengutak-atik rumus fisika atau praktikum ke lab. Itu sudah menjadi mainanku setiap hari. "Lo suka basket kan?"
"Jelas dong," sahutnya tersenyum lebar. "Basket udah kayak jiwa gue."
Aku mengangguk-angguk. "Itu juga yang gue rasain sama fisika." Kali ini aku tersenyum lebar. Menggantikan senyum Prince yang tiba-tiba surut. "Fisika itu jiwa gue. Gue suka dan menikmati aktivitas gue sama fisika."
Prince tampak menyerah sampai mengangkat tangannya. "Speechless gue. Di saat cewek lain suka sama skincare atau alat makeup baru, cewek gue malah lebih suka mainan sama Hukum Archimedes dan Hukum Newton."
Aku terkekeh mendengar kalimatnya. Kadang aku perlu menyadarkan Prince betapa cintanya aku sama fisika. Agar dia nggak terus memblokade jalanku.
"Kadang gue cemburu kalau lo udah fokus di lab sampai nolak main bareng gue. Gue pikir setelah juara OSN lo nggak bakal sibuk lagi. Tapi ternyata malah jauh lebih sibuk."
"Sori, Prince. Gue nggak bermaksud cuekin lo. Tapi dari awal gue udah bilang kan kalau—"
"Iya, iya, gue ngerti kok," potong Prince menunduk, kembali memekuri bakminya.
Serba salah. Sebenarnya masih menjadi tanda tanya besar kenapa Prince masih bertahan pacaran sama cewek yang ngebosenin seperti aku. Yang suka sama dia banyak. Yang meluangkan waktu buat dia juga banyak. Sementara aku, lebih banyak menghabiskan waktu memecahkan soal dan main di lab.
Sudah pukul sepuluh malam saat akhirnya kami sampai rumah. Prince memarkirkan motornya di halaman rumah. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku memikirkan banyak hal. Terutama soal hubunganku sama Prince.
Tekadku sudah bulat. Karena aku yakin ini yang terbaik.
Sebelum Prince membuka pintu rumah, aku menarik ujung jaketnya, dan memeluknya dari belakang.
"Sindy!"
Meski nggak lihat wajahnya, tapi aku bisa merasakan dia kaget dengan aksiku yang tiba-tiba. Tubuhnya menegang saat kupeluk.
"Lo kenapa?" tanya cowok itu terdengar bingung.
Demi apa pun aku sayang dia. Karena itu aku nggak sampai hati lihat dia kecewa lagi gara-gara masalah yang sama.
"Prince, kita putus aja ya."
Akhirnya setelah mengumpulkan keberanian dan berpikir selama beberapa hari ke belakang, aku mengatakan kalimat itu juga.
Selama beberapa detik lamanya, Prince nggak menanggapi. Dia mendengarku kan?
"Gue cewek yang ngebosenin dan nggak bisa memenuhi ekspektasi lo sebagai pacar. Gue—"
"Oke. Kalau itu yang lo mau."
Aku sedikit terperanjat saat dia langsung mengiyakan ajakan putus. Padahal aku sudah menyiapkan beberapa kalimat jika saja dia menolak putus. Tapi ternyata nggak sesulit yang aku bayangkan.
Prince tampak menarik napas panjang, lalu melepas pelukanku dengan pelan sebelum berbalik menghadapku.
"Apa pun yang terjadi dan yang akan lo liat nanti, gue mau lo tau. Kalau gue sayang sama lo."
Aku belum bisa mencerna kalimatnya barusan ketika dia mencium keningku lalu beranjak masuk ke rumah. Dia sama sekali nggak menjelaskan lebih detail maksud kalimatnya.
***
Putus dari Prince nggak bikin aku merasa kehilangan banget. Hari-hari berjalan seperti biasa. Aku masih berangkat bersama cowok itu dan kalau nggak ada kegiatan kami juga masih pulang bersama. Melihat Prince baik-baik saja di sekitarku, itu sudah lebih dari cukup. Bedanya adalah, secara ajaib Prince menyetujui buat ikut bimbel di luar. Dan setelah kami putus dia nggak pernah merengek lagi, memintaku jalan atau main. Sikapnya juga nggak serenyah biasanya. Nggak ada lagi tingkah isengnya. Komunikasi kami tetap baik, tapi aku merasa ada jarak.
Aku mencoba paham situasi ini dan berusaha memaklumi sikap cowok itu.
"Lo putus sama Prince?" tanya Meysa mengejutkanku yang sedang serius mengerjakan soal matematika.
Aku mengerjap. Nggak ada yang tahu putusnya aku sama Prince, kecuali kalau cowok itu menyebar berita itu. Menurutku masalah pribadi nggak perlu disebar-luaskan. Ya seperti saat aku jadian. Tanpa bilang pada siapa pun, mereka tahu dengan sendirinya.
"Lo tau dari mana?"
Meysa malah melotot. "Jadi bener?"
Aku mengerutkan kening. Dia tanya atau hanya mengonfirmasi kecurigaannya? Dan sekarang Meysa malah meraup wajahnya yang tiba-tiba gusar.
"Sumpah ya, sejak kapan kalian putus?"
"Mungkin sebulan atau lebih?" Aku mengedikkan bahu tak yakin.
Meysa lagi-lagi terkejut. Tapi beberapa saat kemudian dia tampak membuang napas lemah. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Gue nggak tahu masalah kalian apa. Tapi sayang banget sih kalau kalian putus. Kalian kan couple goal-nya Dwi Warna."
Bola mataku berputar. Lagi-lagi aku dengar omong kosong itu. Mungkin Meysa juga yang menyebarkan statemen unfaedah itu.
"Jadi, tadi lo cuma nebak?" tanyaku kembali menekuri deret angka di buku tulis.
"Tepatnya mengonfirmasi sih. Soalnya tadi gue lihat..."
Cewek berkulit putih itu tampak ragu-ragu melanjutkan kalimatnya.
"Lihat apa?"
Dia malah meringis keki. "Janji lo nggak bakal sedih kalau denger ini ya?"
Dua alisku menyatu. Meysa terlalu bertele-tele, membuatku serta-merta berdecak. Aku kembali menarikan pena, menggambar kurva sesuai titik koordinat yang sudah kutandai.
"Tadi di kantin, gue lihat Prince makan bareng Devita anak kelas XI. Dan mereka kayaknya akrab banget. Prince bahkan nggak segan-segan menyuapi cewek itu."
Aku menghentikan aktivitasku seketika, lantas menatap teman semejaku itu. Wajah Meysa tampak cemas. Dia melipat bibir seolah salah ucap. Dan nggak aku pungkiri hatiku berdenyut nyeri mendengar itu. Ada sesuatu yang nggak nyaman melingkupi dadaku.
Untuk beberapa lama aku nggak langsung merespons berita yang Meysa bawa. Aku harus bisa menenangkan diri lebih dulu sebelum menanggapinya.
"Lo nggak apa-apa kan, Sin?" tanya Meysa terdengar hati-hati.
Aku menarik napas panjang. Dan dalam hitungan ketiga, aku mencoba melengkungkan bibir. Ya meski kuyakin lengkungannnya nggak sesempurna kurva yang sedang kugambar.
"Gue nggak apa-apa kok. Kami udah putus. Jadi Prince bebas akrab sama cewek mana pun yang dia sukai," ucapku diplomatis, lalu segera kembali menekuri buku.
Aku nggak mau Meysa menyadari perasaanku yang mendadak berantakan. Beberapa kali aku merapalkan kalimat penyemangat agar berita itu nggak mendistraksi konsentrasiku belajar. Namun ternyata sulit. Fokusku kacau dalam sekejap.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2