Aku sedang menjelaskan tentang karakteristik gelombang mekanik kepada Kara ketika suara gaduh di pintu kelas terdengar.
Kelas sedang ramai karena memang sudah nggak ada materi lagi dari guru pengajar. Mungkin karena itu kegaduhan yang ternyata dibuat Marcell nggak terlalu dapat perhatian.
"Sindy!"
Ketua kelas itu berlari tergopoh ke arah mejaku, baris dua kursi nomor tiga. Keningku sontak mengernyit begitu pun Kara di sebelahku yang dari tadi nyimak penjelasanku.
"Lo kenapa, Cell?" tanyaku heran melihat cowok itu terengah seperti habis lari maraton.
"Prince," ujarnya sambil menarik napas buru-buru. "Prince."
"Iya, Prince kenapa? Lo napas dulu yang bener deh."
Melihat gestur, raut wajahnya yang panik dan memerah aku yakin ada yang nggak beres.
Setelah mengatur napas, Marcell mendekat ke telingaku dan membisikkan sesuatu yang kontan bikin mataku terbelalak.
"Di mana?" tanyaku mendadak ikut cemas.
"Belakang sekolah. Pastikan nggak ada yang tau atau bisa berabe."
"Ada apa?!" Kara yang sejak tadi menonton kepanikan Marcel pun ikut bersuara karena dia nggak dikasih tahu berita itu.
"Ntar deh jelasinnya. Lo ikut gue dulu!" Marcell langsung menarik tanganku.
"Tap—" Kara tampak bingung, tapi terlihat pasrah saja ketika Marcell membawaku keluar kelas.
Sambil berlarian aku merapal doa dalam hati berharap nggak terjadi apa-apa pada mereka. Marcel bilang Prince dan Regan ribut di belakang sekolah.
Aku nggak tahu ada urusan apalagi Regan datang ke sekolah. Setahuku, kelas XII sedang masa tenang menunggu pengumuman.
Aku dan Marcell keluar lewat pintu belakang yang berdekatan dengan tempat parkir sepeda. Gerbang besi tua itu terbuka sedikit. Dan kami melewati celah itu.
Dari sini aku sudah bisa melihat sosok Prince dengan seragam putih abunya tengah berkelahi dengan seseorang.
"Itu mereka, Sin!"
Lawan Prince yang mengenakan pakaian biasa memang benar Regan. Aku melebarkan langkah mendekati mereka.
"Prince, stop!" teriakku, yang spontan menghentikan tangan Prince yang akan terayun ke arah Regan.
"Sindy?"
Detik berikutnya mataku kembali melebar saat Regan menghantamkan tinjunya ke pipi cowok itu.
"Bangs*$#!"
Prince hendak maju, tapi dengan cepat aku memeluk cowok itu dari belakang, menahannya agar nggak nyerang Regan lagi.
"Marcell! Tahan Regan!" seruku melihat Marcell malah kebingungan.
"I-iya!"
Mungkin karena takut kena pukul, Marcell melakukan hal sama sepertiku, memeluk Regan dari belakang.
"Kalian tolong stop! Stop, please!" teriakku, terus menahan Prince yang masih ingin menerjang Regan. "Stop, atau gue aduin ke sekolah. Lo tau konsekuensinya kan?"
Prince yang masih terlihat emosi membuang napas kasar. Tatapan tajamnya masih menghunus kepada Regan. Dia seperti nggak punya pilihan lain dan memutuskan mundur.
Setelah memastikan keduanya tenang, Marcell memberi mereka botol minum dingin yang entah dia dapat dari mana. Ada beberapa luka lebam di wajah kedua cowok hebat itu dan botol minuman dingin itu digunakan buat ngompres luka lebam mereka.
"Gue nggak tau masalah kalian apa, tapi bisa nggak sih diselesein baik-baik? Nggak harus sampai ribut begini," kataku seraya menekan emosi akibat ulah mereka. "Merasa hebat kalian?"
Prince dan Regan duduk di bangku yang sama sambil menempelkan botol dingin ke pipi. Marcell ada di tengah keduanya. Sementara aku berdiri, berkacak pinggang di depan mereka.
"Dia dulu yang mulai, Sin. Kamu tau aku nggak suka keributan begini."
Jawaban Regan membuat Prince menoleh dengan alis menukik tajam. "Gue? Lo-lah! Dari dulu juga lo yang mulai." Dia lantas menatapku masih dengan mata yang penuh kobaran api. "Asal lo tau, Sin. Dia nyuruh gue buat jauhin lo. Dih! Emang dia siapa?"
"Maksudku nggak begitu. Kamu yang salah paham dan keburu terpancing emosi."
"Eh, kampret. Nggak usah sok kalem di depan Sindy. Lo tau betul kenapa gue bisa emosi!" Prince kembali meradang.
Aku memberi Marcell kode agar memisahkan keduanya. Dengan isyarat mata, aku meminta Marcel untuk membawa Prince pergi.
Aku perlu bicara dengan Regan lebih dulu untuk mengorek sedikit informasi apa yang terjadi. Prince akan kutanyai nanti setelah emosi cowok itu mereda.
"Kenapa jadi gue yang pergi? Sin! Lo lebih belain dia?!" Prince tampak tak terima ketika Marcell mengajaknya kembali ke sekolah.
"Gue nggak belain siapa pun. Gue cuma mau ngomong sama Regan."
Karena aku juga belum tahu kapan bisa ketemu cowok itu lagi.
***
Sesuai dugaanku. Prince dan Regan sudah saling mengenal lama. Tapi yang bikin aku bertanya-tanya, aura permusuhan pada keduanya terlihat begitu kental. Dan puncaknya hari ini. Bahkan Regan yang biasanya pintar mengendalikan diri ikut terpancing emosi.
"Aku berteman dekat dengan Prince sejak kelas 3 SD. Menjelang remaja, masuk seseorang yang pada akhirnya lumayan dekat juga dengan kami. Lula namanya," terang Regan.
Saat ini kami duduk berdua di sebuah kursi panjang depan warung kelontong yang menjual aneka minuman dingin.
"Cewek?" responsku kemudian.
Cowok itu mengangguk. "Lula itu cantik, pintar, dan supel. Dia pandai berteman dan gampang menarik perhatian."
"Gue tebak kalian berdua suka sama Lula itu." Ternyata hanya soal remaja tanggung yang rebutan cewek. Masa lalu yang belum kelar.
"Nggak juga. Tapi Prince memang suka Lula." Regan menghela napas, lantas meneguk minuman dingin yang dia bawa. "Tapi yang terjadi, Lula malah suka aku. Kamu bisa bayangkan?"
Mengingat bad temperamen Prince, dia pasti menyalahkan Regan. Gaya Prince banget, arogan dan manja.
"Lula confess dan memohon-mohon supaya aku jadi pacarnya."
Aku yang berniat meneguk minuman urung begitu mendengar kalimat itu. "Terus kalian jadian?"
Anggukan Regan membuatku agak terkejut. Kupikir cowok itu bakal nolak karena Prince menyukai cewek itu.
"Nggak ada pilihan lain. Lula bilang dia ingin bahagia dan rasain seperti remaja lainnya di sisa usianya yang katanya tinggal sedikit."
Aku mengerutkan kening dan menyipitkan mata. "Maksud?"
"Lula mengidap leukemia stadium akhir."
Aku spontan menutup mulut. Sedikit terperanjat. Masih muda tapi sudah memiliki penyakit mematikan. Kasihan sekali.
"Lula berbeda setelah kami pacaran. Dia selalu menempel ke mana pun aku pergi. Dia juga nuntut aku harus bersikap romantis. Kalau semua nggak sesuai keinginannya, dia ngambek. Parahnya dia membatasi pertemananku. Dan seperti mau mengatur hidup aku. Aku yang sebenarnya nggak suka dia jadi makin nggak nyaman."
Aku dapat poinnya di sini. Cowok mana yang nyaman punya cewek posesif begitu?
"Dan yah, aku minta putus. Nggak lebih dari empat bulan setelah kami jadian. Prince nggak marah saat aku jadian sama Lula, tapi pas kami putus dia ngamuk. Puncaknya saat aku pura-pura dekat sama cewek lain supaya Lula berhenti mengganggu."
"Harusnya Prince paham," gumamku. Menyayangkan pecahnya persahabatan mereka karena cewek.
"Harusnya, tapi enggak setelah dapat kabar kalau Lula koma di rumah sakit. Prince menuduh aku yang menyebabkan Lula sakit dan meninggal."
Kali ini aku terbelalak kaget. Nyaris saja aku tersedak. "Lula meninggal?"
Regan mengangguk lemah."Prince nggak tau kalau Lula mengidap leukimia stadium akhir."
"Harusnya kamu jelasin semuanya ke Prince. Agar dia nggak makin salah paham."
Regan tampak menghela napas berat. "Dia udah terlanjur benci. Sebanyak apa pun aku menjelaskan, dia nggak akan percaya. Dan kalau pun akhirnya dia paham, pertemanan kami nggak akan kembali seperti dulu. Kamu lihat saja sekarang." Dia mengangkat bahu, lantas kembali meminum isi botolnya.
"Jadi, tadi kalian berantem gara-gara masa lalu?"
Cowok di sebelahku menoleh dan menatapku. Senyum mautnya terbit, tapi anehnya nggak bikin aku berdesir seperti waktu itu.
"Nggak sih. Kayaknya kali ini lebih ke dia takut aku merebut kamu."
Alisku naik seketika. "Rebut apaan? Ngaco banget dia." Aku buru-buru memalingkan muka. Aneh, perutku merasa geli mendengar asumsi nggak masuk akal Regan.
"Dugaanku tepat. Dia suka sama kamu. Mungkin dia takut kejadian dulu terulang lagi."
Aku makin salah tingkah. Meski begitu sebisa mungkin aku memasang wajah datar.
"Itu nggak mungkin, Regan. Aku bukan tipe dia. Tipenya yang kayak Lula kan? Aku yakin Lula itu cantik banget."
Seringai di bibir Regan bikin aku jiper. "Kamu juga suka Prince kan?"
"Apa?!" Sial! Aku nggak suka ditebak secara langsung begini. "Nggaklah! Mana mungkin aku suka cowok kolokan kayak dia. Dia itu bukan tipeku banget." Spontan aku berdiri, menghindari tatapan menyelidik Regan.
"Yakin?" Regan menyipitkan mata, menyeringai seolah nggak percaya. "Reaksi kamu nggak bilang begitu. Kalau memang nggak suka harusnya kamu santai aja."
Saat itulah aku sadar. Regan benar, nggak seharusnya aku gugup dan panik. Ah, sial.
Regan tertawa kecil melihatku nggak berkutik lagi. Sumpah, aku malu.
"Nggak apa-apa kalau memang kamu suka Prince. Aku paham. Hari ini kamu suka dia, tapi besok nggak ada yang tau kan? Bisa jadi besok malah hati kamu buat aku."
Aku jadi merasa nggak enak. Cintanya kutolak dengan alasan ingin fokus belajar. Tapi—
"Maaf," cicitku lirih seraya menundukkan pandang.
"Nggak apa-apa, Sindy. Perasaan memang nggak bisa dipaksa. Aku udah pengalaman soal itu."
Lega rasanya melihat senyum tulus itu lagi. Regan nggak menyalahkan aku.
"Kapan nih kalian jadian?"
"Hah?!"
Aku menggeleng. Mungkin memang benar aku suka Prince, tapi jadian nggak ada dalam daftar keinginanku. Masih banyak cita-cita yang ingin kugapai.
=========
Hai, teman. Jangan lupa like dan komen yak
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2