Banyak ucapan selamat yang kuterima saat aku masuk sekolah setelah kemenangan kemarin. Bahkan mereka mengerubungiku, memintaku cerita rasanya ikut lomba bergengsi melawan anak-anak pilihan dari seluruh Indonesia.
Ingin lepas, tapi sulit. Jujur, ini nggak nyaman. Apalagi mendengar celetukan pujian yang teman-teman lontarkan. Serius itu berlebihan.
"Hei, bubar-bubar! Kalian mau bikin Sindy sesak napas?!" seru Prince berkacak pinggang. Dia lantas menerobos kerubungan sampai membuat mereka bubar.
"Prince, kita kan cuma mau tanya tips Sindy bisa lolos OSN," celetuk salah satu anak yang nggak terima diusir Prince.
"Nggak ada tips. Mau lolos OSN ya belajar," sahut Prince.
"Gue udah belajar, tapi tetep nggak lolos gimana tuh," timpal anak lainnya.
"Ya itu artinya lo harus terima kenyataan kalo otak lo itu segede kutil!"
Kontan saja semua isi kelas tertawa. Aku yang melihatnya hanya bisa menurunkan bahu seraya menggeleng.
"Tapi Sindy keren sih, berkat mengharumkan nama sekolah dia jadi dapat beasiswa sampe lulus." Kali ini Ricky ikut bersuara. "Sekali-kali pinjemin otak Einstein lo ngapa, Sin."
"Lo kira otak itu penghapus yang bisa lo pinjem tapi nggak pernah dibalikin?" sahut Kara gemas. Penghapusnya yang dipinjam secara paksa sama Ricky konon nggak pernah balik lagi.
"Ya Allah, Beb. Lo masih inget aja."
"Ya inget-lah. Kalo itu penghapus nggak balik atau nggak lo ganti. Gue bakal minta ganti rugi di akherat ntar."
"Buset!" Ricky terlonjak mundur dan memasang wajah ngeri. "Iya, iya. Besok gue ganti. Serem amat lo, Kar. Sampe bawa-bawa akherat."
Yang jadi objek hanya mengibaskan rambut tak peduli. Kara memang agak sadis sama Ricky. Aku dan Meysa tahu pasti sebenarnya dia suka digangguin cowok itu, tapi seolah denial sama perasaannya sendiri, Kara nggak pernah mau mengakui itu.
Aku menggeleng seraya mengulum senyum melihat tingkah mereka. Lalu memalingkan wajah berniat mengabaikan. Tapi bertepatan dengan itu mataku malah bersirobok dengan mata Prince yang lagi menatapku.
Nih bocah kenapa? Aku mengedikkan dagu, bertanya ada apa. Tapi beberapa saat kemudian cowok itu malah menggeleng panik dan buru-buru membuang muka. Bocah aneh.
Perhatianku beralih ketika ponsel di saku bergetar. Kuraih benda itu dan kontan merapatkan bibir saat membaca nama Regan di layar. Herannya mataku malah spontan melirik Prince yang ternyata juga tengah menatapku dengan alis naik sebelah.
Tanpa permisi, aku segera beranjak dari kursi dan berjalan ke luar kelas.
"Ya, Regan?"
***
Aku langsung bisa menemukan sosok Regan di bangku taman sekolah yang berseberangan dengan lapangan basket dan voli. Dia yang ternyata sudah melihatku pun melambaikan tangan. Sebenarnya aku enggan bertemu secara personal begini, tapi nggak mungkin juga aku menghindarinya. Regan sudah menunggu jawabanku lama. Tanpa kutanya maksud cowok itu memintaku datang ke taman, aku bisa menebak apa yang akan dia katakan.
Menarik napas panjang, aku pun melangkah menghampiri cowok charming itu. Sebentar lagi kelas dua belas ujian akhir, aku nggak mau membebani pikiran Regan lagi.
"Hai, nunggu lama?" sapaku seraya menyunggingkan senyum. Bertemu dengannya lagi setelah dua Minggu lebih ternyata agak canggung juga.
"Hai." Dia tersenyum manis seperti biasa. Lalu menggeser posisi duduk. "Duduk, Sin. Aku punya sesuatu buat kamu."
Setelah tahu perasaannya, menerima sesuatu dari Regan bukan lagi hal menyenangkan. Malah menjadi semacam beban. Aku nggak bisa mengabaikan atau santai saja menerima kebaikannya.
"Aku juga punya."
"Oh ya?" Ada binar terang yang terpancar di mata bening cowok itu."Kamu punya apa?"
Sebuah pena dan kaos yang kubeli saat jalan-jalan di Braga. Bukan barang mahal. Seenggaknya sebagai balasan saat cowok itu memberiku sebuah buku berharga yang memang bermanfaat buat ikut OSN kemarin.
"Sindy, ini—harusnya kamu nggak perlu repot begini," katanya saat menerima barang tersebut.
"Sama sekali enggak. Itu juga bukan barang mahal. Dibanding buku yang kamu kasih, itu nggak ada apa-apanya. Maaf ya, aku cuma bisa kasih itu."
Alih-alih menyahut, Regan malah menatapku lama. Bikin aku salah tingkah dan cepat-cepat memalingkan muka.
"Makasih sudah mau ingat aku waktu kamu di sana."
Mana mungkin aku lupa. Berkatnya, aku sangat terbantu. Setelah ini aku harus mengikuti tahap seleksi ketat lagi agar bisa mewakili tim Indonesia di International Physical Olimpiade.
"Ini hadiah kemenangan kamu dari aku."
Ini bebanku selanjutnya. Aku nggak langsung terima. Rasa takut memiliki utang budi menyelinap. Utang budiku pada keluarga Prince sudah terlalu banyak. Aku nggak perlu menambah lagi dari Regan.
"Kok diam?" tanya Regan saat aku bergeming.
"Sebenarnya itu nggak perlu. It—"
Regan menarik tanganku, dan meletakkan benda itu di telapak tanganku, mengabaikan penolakanku. "Ini perlu. Kamu sudah berjuang keras dan layak dapat reward. Buka ya sekarang. Biar aku bisa bantu pakaikan."
Keningku berkerut samar melihat benda berbentuk kubus yang ada di tanganku. Apa isi kubus ini sebenarnya?
Begitu membukanya aku menemukan sepasang anting cantik. Anting itu memiliki gantungan berbentuk bintang yang begitu shiny. Cantik banget, aku bakal girang kalau situasinya nggak lagi begini.
Saat bola mataku bergulir ke arahnya, Regan tersenyum dan bertanya, "kamu suka?"
Aku nggak bisa senyum selebar dia. Ini terlalu bagus. Aku nggak mungkin menerima. Alih-alih mengambil benda cantik itu, aku menutup kotak kubus itu lagi. Namun sebelum kotak itu tertutup sempurna, Regan menahan tanganku.
"Aku pakein ya?"
Aduh, wajah Regan bikin aku sulit menolak. Tapi...
"Maaf, Regan. Kayaknya aku nggak bisa terima ini. Buku dari kamu waktu itu udah lebih dari cukup. Ini—"
"Tapi itu hadiah kemenangan yang udah aku siapin buat kamu. Please, jangan tolak ya," ucapnya memohon.
Aku menggigit bibir. Bingung banget. Pandanganku juga mendadak gelisah nggak nyaman.
"Terus soal permintaanku waktu itu, apa aku bisa mendapat jawaban kamu sekarang?"
Setelah dilanda bingung, sekarang aku terkesiap. Ah, anting ini hampir bikin aku lupa masalah yang satu itu.
Sial, aku terserang gugup hanya karena ingin memberi jawaban yang sebenarnya sudah kusiapkan.
"Regan—"
"Cinderella pun tiba! Dengan kreta kencana! Sepatu kaca hiaaaasi kakinya!!!"
Aku memelotot dan menoleh seketika saat tiba-tiba saja dari arah lapangan basket anak-anak cowok menyanyikan lagu itu dengan kencang. Mereka lantas ngakak so hard seolah itu lucu. And well, mereka itu si biang keladi sekolah alias Prince dan kawan-kawannya.
"Mereka ada masalah apa sih?" tanya Regan heran seraya menggelengkan kepala.
"Re—"
"Semua mata terpana! Akan kecantikannya! Sang pangeran pun jatuh ciiinta padanya!"
Hrrgh! Lagi-lagi suara mereka kembali melengking. Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang menahan geram. Dengan alis menukik tajam, aku berdiri dan berkacak pinggang ke arah mereka.
"Heh! Kalian nggak ada tempat lain buat nyanyi-nyanyi nggak jelas gitu ya?! Berisik tau! Mending suara kalian bagus! Merusak lingkungan aja!" seruku kesal dengan suara lantang.
"Udah, Sin. Biarin aja. Mereka pada kurang kerjaan. Kita pindah tempat aja."
Mereka lagi-lagi tergelak, terlebih saat melihatku dan Regan akhirnya menjauhi taman. Gara-gara anak-anak bangor itu, urusanku dan Regan nggak selesai-selesai.
"Jadi, gimana?" tanya Regan ketika tahu-tahu langkah kami sudah berada di depan ruang club fisika.
It's time. Aku nggak perlu nunda-nunda lagi.
"Regan, sori. Tapi kayaknya kita lebih baik temenan aja. Nggak bisa lebih lagi."
Wajah antusias Regan yang sempet dia tunjukan mendadak raib. Raut kecewa terlihat jelas sekali. Aduh, kalau Meysa atau Kara liat idolanya memasang wajah sendu gara-gara aku, habis sudah aku digasak mereka berdua.
"Kenapa? Kupikir kita—oh, apa ini karena Prince?"
Eh? Kok jadi Prince? Aku mengerjap, nggak nyangka Regan berpikir sampai sejauh itu.
"Kalian sering kulihat bersama sekarang."
Ya, tentu. Karena kami memang pulang pergi sekolah sama-sama. Tapi bukan berarti...
"Nggak, Regan. Ini nggak ada hubungannya sama Prince. Aku mau fokus belajar. Uhm, kamu juga mau ujian nasional kan? Jadi kupikir kita harus prioritaskan itu dulu."
Aku harap Regan mau mengerti. Nggak bermaksud mengecewakan orang sebaik dia, hanya perasaanku padanya memang sebatas ini.
"Ini..." Aku menyodorkan kembali hadiah pemberiannya. "Kayaknya aku beneran nggak bisa terima ini," ucapku sarat penyesalan. Membiarkan benda itu ada di tanganku cuma bisa bikin aku makin merasa bersalah.
"Sin, aku mau kamu simpan itu. Aku terima kamu nolak aku, tapi jangan pemberianku."
"Tapi—"
"Please...."
Wajah penuh permohonan itu bikin aku nggak tega menolaknya lagi. Akhirnya aku terpaksa mengangguk.
"Kamu benar. Kita harus fokus belajar. Aku sebentar lagi ujian dan persiapan buat lanjut kuliah. Kamu juga mau berjuang lagi buat maju ipho berikutnya."
Aku mengangguk, merasa lega karena Regan mau mengerti.
"Tapi Sindy. Kalau kita sudah menyelesaikan tugas kita dan sama-sama sudah meraih cita-cita yang kita inginkan. Boleh aku datang ke kamu?"
Tunggu, ini maksudnya gimana? Kenapa kepalaku mendadak roaming?
"Maksud?"
"Saat itu aku boleh kan datang dan minta kamu jadi pacar aku?"
Nyaris saja jantungku copot mendengar itu. Regan terlalu blak-blakan bikin aku mati kutu. Kupikir masalahku sudah selesai.
"Itu...."
Sumpah aku kesulitan menjawab. Aku nggak tahu ke depannya bakal gimana. Tuhan, bantu aku lepas dari situasi ini!
"Time out!"
Aku terlonjak kaget mendengar suara yang datang tiba-tiba itu. Aku memejamkan mata sambil membuang napas kasar saat tahu dia Prince. Meski datangnya sudah kayak jelangkung, Prince menyelamatkan aku dari situasi ini.
"Urusan kalian udah selesai kan?" tanya Prince dengan alis terangkat sebelah. "Ayo, pulang!"
Cowok itu lantas berbalik arah.
"Gan, kayaknya aku harus pulang sekarang. Makasih buat hadiahnya," ucapku segera
"Sin—"
"Prince! Tungguin gue!" teriakku segera kabur dari hadapan Regan.
Demi menjaga situasi agar tetap kondusif sepertinya aku memang harus jaga jarak dengan Regan. Aku nggak mau dibilang pemberi harapan palsu. Regan memang ganteng sempat bikin dadaku deg-degan, baik banget lagi. Tapi nggak lantas bikin aku jatuh hati.
"Lo jadian sama Regan?"
"Hah?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulut Prince saat kami berada di parkiran sekolah.
"Lo jadian sama Regan?" ulang cowok itu sekali lagi sambil menyerahkan helm padaku.
"Ya nggaklah." Kuambil helm itu dengan kasar lalu kupakai. "Gue masih harus nyiapin diri buat ikut pelatnas. Boro-boro mikirin gituan," ujarku sedikit menggerutu.
Cowok di depanku tersenyum lebar dengan muka aneh. "Good. Lo harus fokus, fokus! Nggak usah mikir lainnya."
Saat kami sudah siap jalan di atas motor, tiba-tiba Prince membuka kaca helm dan menoleh ke belakang.
"Tapi sebenarnya lo suka nggak sih sama Regan?"
Pertanyaan macam apa itu?
"Kepo!" sahutku seraya menutup kaca helmnya.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2