"Mam! Ini nggak adil banget!"
Aku terkikik geli melihat cowok manja itu merajuk. Siapa lagi kalau bukan Prince?
Mendekati ujian akhir semester, Tante Elliana memintaku buat memadatkan jadwal les. Cowok itu protes lantaran sang mami juga melarang latihan basket.
"Kan kemarin pas liburan ujian anak kelas XII kamu udah banyak latihan, Prince. Sekarang waktunya kamu fokus ke pelajaran. Harus seimbang dong. Dan ingat ya, Prince. Kalau ujian ini nilai kamu nggak ada kenaikan, mami bakal potong uang jajan kamu."
Cowok yang saat ini mengenakan headband putih itu memelotot kaget. "Mami tega banget!"
Aku langsung menutup mulut, takut tawaku meledak. Pelan-pelan kakiku melipir, menghindari perdebatan ibu dan anak itu. Tapi—
"Kalau nilaiku turun harusnya Sindy yang potong gaji. Dia yang tanggung jawab. Kan dia guru lesnya!"
Sekarang giliranku yang melotot. Sembarangan aja tuh bocah.
"Nggak gitu dong, Sayang. Sindy udah ngerjain kewajiban buat ngajarin kamu, kan tinggal kamunya yang usaha."
Tante Elliana is the best. Aku kembali menyunggingkan senyum.
"Nggak usah senyum-senyum lo! Seneng kan lo bikin gue sengsara!" sentak Prince bikin aku terperanjat.
Aku mencibir, lalu bergerak ke samping rumah, tempat aku dan cowok bangor itu menghabiskan waktu belajar.
"Udah buruan belajar. You know, Son. Time is money!"
Prince berjalan menyusulku sambil misuh-misuh. Muka cemberutnya lucu banget.
"Kenapa sih di dunia ini harus ada ujian?" gerutunya seraya membanting diri ke sofa.
"Kalau nggak ada ujian gimana lo bisa tau kualitas diri lo," timpalku mulai membuka buku.
"Gue tau kualitas diri gue sendiri. Nggak perlu-lah pake ujian segala. Hidup tuh udah ribet, ini malah dikasih ujian."
Aku menghela napas. Susah ngomong sama orang yang lagi emosi.
"Please deh, Prince. Yang ujian itu bukan cuma lo doang. Tapi nggak ada tuh yang berisik kayak lo."
Ujung mata Prince menatapku tajam. "Suka-suka guelah mo berisik atau enggak. Rumah-rumah gue."
Memutar bola mata, aku mengetuk bab materi fisika tentang Kalor. Melihat itu, Prince langsung memegangi kepalanya persis orang frustrasi. Dia mengerang pelan.
"Kapan sih ini berakhir."
"Lo tau pengaruh kalor pada perubahan suhu?"
Prince menatapku putus asa karena aku nggak menghiraukan keluhannya. Dengan ogah-ogahan dia menjawab pertanyaanku.
"Suhu akan naik jika menyerap kalor dan turun jika melepaskan kalor. Semakin tinggi suhu suatu benda, semakin banyak kalor yang terkandung di dalamnya."
Aku mengangguk. "Good. Persis kek gue. Suhu gue selalu naik kalo ngedepin lo."
Prince berdecak. "Cuma lo doang cewek yang suhunya naik kalo deket gue. Cewek lain mah adem-adem aja." Tapi sejurus kemudian dia menyeringai jail. "Apa jangan-jangan suhu lo naik karena nafsu ke gue? Ya ampun, Sindy! Lo—Aww!"
Kugeplak kepalanya yang gesrek dengan buku tebal materi fisika.
"Sakit, Anj—"
Aku melotot garang. Biasanya Prince bakal melawan, tapi yang dia lakukan sekarang cemberut sambil mengusap kepalanya yang kesakitan. Syukurin.
"Dasar Cinderella galak!"
"Dasar Prince O'on!"
"Lo!"
"Apa?"
"Nggak ada yang nyuruh kamu ribut, Prince! Belajar yang serius!"
Seruan Tante Elliana dari dalam rumah membuat Prince langsung mengkeret. Dia nggak jadi menumpahkan emosi. Lalu merebut buku bacaanku.
Aku merasa di atas angin. Sejak Tante Elliana pulang aku dan Prince jarang ribut. Suhu yang sering memanas secara perlahan turun. Bahkan yang nggak aku duga sebelumnya, kami lebih sering jalan bareng. Refreshing setelah seharian belajar meski cuma sekedar makan es krim di depan mini market sambil lihatin jalanan.
***
Kelar ujian bukan berarti kelar kegiatan. Kelas XI yang aktif di OSIS harus mempersiapkan serangkaian kegiatan pelepasan kelas XII. Prince menjadi orang paling sibuk sejagat raya karena sebelum semesteran didaulat menjadi ketua panitia acara.
Tapi yang nyebelin, aku yang notabene memilih nggak terlibat dalam organisasi siswa sekolah malah ikut keseret repot. Bahkan ketika rapat final aku diseret ikut. Daripada wakil atau sekretaris, dia malah lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.
"Ini kenapa gue jadi ikut repot gini ya? Anggota osis juga bukan," gerutuku ketika membantu Prince meninjau dekorasi panggung di gedung tempat pelepasan siswa yang akan berlangsung besok. Menurutnya panggung sudah harus jadi sebelum pukul empat sore lantaran pukul lima akan diadakan gladi bersih acara.
"Gue nggak bakal bikin lo kerja gratis, Sin. Tahan dikit dong. Besok juga acara selesai," ujar Prince sambil mengutak-atik ponsel. Dia menghubungi seseorang. "Pras, konsumsi udah lo dobel cek kan?"
Selagi Prince menelepon sesi konsumsi aku berjalan mendekati anak-anak yang sedang sibuk menghias panggung. Keadaan panggung masih sangat berantakan, tapi layar putih besar sudah berhasil dibentangkan. Prince bilang, layar itu akan memonitoring semua acara. Dan akan dikendalikan tim visual di sayap kiri aula.
Aku baru berniat akan membantu anak yang sedang memasang bunga di pinggir panggung ketika tiba-tiba pinggangku ditarik dengan cepat dari belakang. Dan--
"Awas!"
Detik berikutnya aku dikejutkan suara benda jatuh menghantam lantai panggung. Sebuah pot bunga beserta isinya pecah. Mataku melebar seketika melihat jarak jatuhnya pot itu yang nggak jauh dari posisiku. Jujur, aku deg-degan dan membeku seketika. Kalau pot itu jatuh mengenai kepalaku, entah apa yang terjadi.
"Gimana sih lo kerja?!" seru Prince sambil mendongak ke atas.
"Sori, Prince. Nggak sengaja kesenggol tadi," ucap seseorang yang berada di atas steager sambil nyengir.
"Kenapa juga itu pot ada di atas. Utamakan safety yang lain juga dong!"
"Iya, iya, Sori."
Prince marah-marah sampai nggak sadar kalau lengannya masih melingkari pinggangku. Aku yang kembali sadar segera menepuk lengannya.
"Lo nggak apa-apa kan?" tanya cowok itu mengalihkan perhatiannya.
"Gue nggak apa-apa. Tapi ini..." Aku menunjuk lengannya. Kalau tadi deg-degan karena tiba-tiba ada pot jatuh, sekarang dadaku berdebar-debar karena lengan Prince masih melingkar erat di pinggangku. Sialan. Efek apa ini sebenarnya? Kenapa bikin aku mati gaya begini?
Cowok yang katanya paling ganteng se-Dwi Warna itu terperanjat, lantas segera melepasku. "Sori, itu tadi refleks," katanya meringis dengan muka salah tingkah.
"Nggak pa-pa." Aku ikut meringis sambil menggaruk belakang leher. Kenapa situasinya mendadak aneh gini?
Beruntung ponsel Prince lantas berdering. Membuatku sekonyong-konyong mengembuskan napas lega. Dia lantas menjauh sambil mengangkat panggilan. Namun sebelum itu dia sempat berpesan, "Sin, lo duduk di sana aja. Biar aman. Bentar lagi kita pulang."
Pesan simpel, tapi bikin aliran darahku menderas seketika. Sebenarnya aku kenapa?
Lalu saat konfirmasi apa yang aku rasakan akhir-akhir ini pada dua sohibku yang paling baik sedunia, jawaban keduanya malah bikin aku melotot horor.
"Ya kali gue jatuh cinta sama anak bangor itu. Udah bangor sering bikin emosi, resek, disuruh belajar susah, kerjaannya gangguin orang. Pokoknya nggak ada baiknya deh." Aku mengerang jengkel di hadapan Meysa dan Kara. Yang lebih menyebalkan keduanya malah cengar-cengir sambil sesekali melempar pandang. Reaksi macam apa itu?
"Fix, Kar. Sohib kita jatuh cinta beneran sama Prince. Udah gue duga sih, endingnya bakal gini," ujar Meysa sambil menaik-turunkan alisnya.
Aku menatap dua cewek yang saat ini malah ber-highfive. Cerita ke mereka bukannya ngasih solusi malah bikin asumsi yang bikin kepala makin pening. Jatuh cinta sama Prince, yang benar saja! Mustahil bin nggak mungkin.
"Percuma deh gue ngomong sama kalian," desahku akhirnya.
"Sindy, Sayang." Kara merangkul bahuku dengan senyum lebar. "Nggak usah denial sama perasaan lo sendiri."
Aku melepas rangkulan Kara dengan kasar. "Yang denial itu lo sama Ricky."
Kara hanya mengangkat alis, lalu mengedikkan dagu ke arah Meysa. Membuat cewek rambut lurus itu mengulum senyum.
"Lo nggak pernah loh seuring-uringan ini sama seseorang." Meysa seakan membuka fakta yang baru aku sadari. "Lo kan biasanya nggak peduli. Sebadung apa pun Prince, lo nggak pernah uring-uringan gini sampe curcol ke kita," lanjutnya lagi sampai bikin aku menelan ludah. Apa iya?
Kara kembali merapat saat melihatku terbengong. "Tanpa lo sadari perasaan itu tumbuh. Itu sesuatu yang wajar di usia kita kok. Nggak ada yang salah sama orang jatuh cinta."
Gaya sok bijak cewek berambut ikal itu mulai keluar. Aku juga tahu teori itu. Yang bikin aku nggak yakin, kenapa harus Prince. Sedang Regan yang jelas pintar dan cakep saja nggak ada pengaruhnya buatku.
"Ya mana gue tau. Emang kita bisa ngatur perasaan suka kita ke seseorang?"
Aku memejamkan mata mendengar ucapan Meysa. Dia benar. Sulit mengatur hati. Tuhan benar-benar sedang mengajakku bercanda. Dan sedang pusing-pusingnya, aku malah melihat Prince yang mengenakan seragam panita dari kejauhan. Ada landyard menggantung di lehernya serta topi putih yang senada dengan warna seragam kausnya. Sial. Kenapa di mataku dia mendadak jadi charming banget.
Aku sedikit terkesiap saat dia melambaikan tangannya ke arahku. Tanpa permisi, dadaku mulai berdentam-dentam nggak karuan. Bahkan aku harus meremas tanganku sendiri yang mendadak gemetar. Jatuh cinta sama Prince? Impossible!
========
yuk teman-teman, jangan lupa like dan komen.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2