Rasanya ingin menangis kencang ketika akhirnya aku bisa menyabet medali emas dalam OSN bidang Fisika tingkat SMA. Aku nggak berhenti mengeluarkan air mata karena teringat ibu. Andai ibu bisa melihat ini. Andai ibu bisa ikut merasakan kebahagiaan seperti aku sekarang. Rasanya benar-benar tidak menyangka bisa sampai di titik ini.
"Ibu kamu pasti bangga di sana. Kamu hebat, Sindy."
Bu Elliana langsung memelukku saat penjemputan di sekolah. Sudut matanya basah. Bukan hanya memeluk, ibunya Prince itu juga mencium kedua pipiku.
"Nanti kita rayakan kemenangan Sindy ya. Kita dinner nanti malam," ujar Tuan Akbar. Bisa kulihat tatap bangga di wajahnya.
"Makasih ya, Pak."
Aku mengangkat alis saat Pak Akbar menggaruk pelipisnya sambil meringis. Apa aku salah ucap?
"Uhm, Sindy. Panggilan Pak itu sepertinya terlalu formal. Kalau kamu nggak mau panggil saya papi seperti Prince. Gimana kalau kamu panggil saya Om?"
Refleks aku membuka mulut, tapi kemudian terkekeh kecil dan mengangguk. "Iya, Pak. Eh, Om."
Dari samping Bu Elliana merangkul bahuku. "Karena kamu panggil suami saya Om, berarti kamu harus panggil saya Tante."
Mendengar itu aku menarik napas lega. Di sekitarku masih banyak orang yang peduli. Termasuk kedua orang tua ini.
"Iya, makasih tante dan om udah mau support dan nampung aku di rumah besar itu. A-aku nggak bisa balas apa pun," ucapku pelan. Miris menjadi anak tanpa ayah dan ibu.
"Astaga, Sindy. Kamu ngomong apa sih? Kamu udah kami anggap seperti anak sendiri."
"Iya, jangan sungkan pada kami. Anggap kami orang tua kamu. Kami akan menjagamu dengan baik," timpal Pak Akbar yang membuatku menahan napas haru.
Mau nggak mau, air mataku menggenang lagi. Aku menggigit bibir menahan tangis. Dan hanya ucapan terima kasih yang bisa aku katakan lirih.
Sebelum tangisku pecah, Bu Elliana langsung membawaku ke pelukannya.
Selain Pak Akbar—uhm maksudku Om Akbar dan Tante Elliana, ternyata Meysa dan Kara juga datang ke sekolah. Mereka berdua langsung memeluk brutal saat melihatku, sampai badanku ikut terhuyung diseruduk dua cewek centil itu.
"Ini emas beneran?! Sumpah lo keren banget dah!" Kara membolak-balik medali yang kupakai.
"Lo kira apa emang? Koin?" timpal Meysa. "Sobat gue emang beneran jenius. Otak Einstein diborong ke lo semua." Mesya merangkul dan lagi-lagi mengguncang badanku.
"Kita beneran senang lo balik bawa kemenangan!" Kara kembali merentangkan tangan. Tapi aku buru-buru mengangkat tangan sebelum dia memelukku lagi. Bisa-bisa badanku rontok.
"Nggak cuma gue yang bawa pulang juara. Dina juga dapat perak tuh. Semua dapat, nilai mereka memuaskan," kataku sambil mengarahkan mata pada anak-anak yang satu perjuangan denganku. Kami nggak sia-sia berjuang karena berhasil menyabet semua medali.
"Hmm para pengharum nama sekolah. Congrats ya, Sin! Besok gue traktir lo di kantin deh!" seru Meysa bersemangat.
"Gue mau traktir lo buku!" sambung Kara tak mau kalah.
Aku bahagia punya mereka!
"Sin..." Tiba-tiba Meysa merapat dan berbisik. Matanya tertuju pada kedua orang tua Prince yang sedang ngobrol dengan kepala sekolah. "Mereka mo jemput lo?" tanya dia. Dan aku mengangguk sebagai jawaban. "Prince mana? Kok dia nggak ikut?"
Aku mengangkat bahu. "Sibuk mungkin."
"Eh, gue jadi curiga. Lo bakal dijodohin sama Prince," ujar Kara mulai ngawur. Jodohin dari Hongkong!
"Ngaco!" sahutku mengerutkan alis.
"Ya siapa tau kan. Kombinasi otak cerdas lo dan muka ganteng Prince pasti kan bakal jadi bibit unggul."
Aku menyentil dahi Kara. Kepalanya kebanyakan diisi drama-drama Korea yang ngumbar halu.
"Jangan ngomong yang enggak-enggak!" Aku melotot gemas.
"Gue sih udah iklas kalau lo sama Prince. Asal Regan buat gue." Mesya kembali menimpali. Bikin aku geleng-geleng nggak habis mengerti.
Prince. Aneh. Kenapa aku agak kecewa dia nggak ikut datang menyambut?
Astaga! Aku menggeleng cepat, membuang pikiran aneh yang mulai mengganggu. Ada atau nggak ada dia, nggak akan terpengaruh buatku. Iya. Nggak akan.
***
Aku mengangkat alis dan melebarkan mata saat tiba-tiba saja Prince-lah yang membuka pintu pertama kali begitu aku pulang. Pasalnya bukan hanya membuka pintu, dia juga tersenyum begitu lebar menyambut kami.
Om Akbar dan Tante Elliana cuma bisa menggeleng melihat tingkah aneh putranya. Yang membuatku terkejut, tiba-tiba Prince menarik tanganku.
"Ikut gue."
"Loh! Prince, Sindy mau kamu bawa ke mana?!" seru Tante Elliana melihat Prince buru-buru membawaku masuk.
"Prince! Lo mau ap—"
Prince membawaku ke dapur, dan membimbingku duduk di kursi tinggi mini bar. Di meja bar sudah tersedia mie rebus dengan toping melimpah. Aku menatapnya bingung.
"Ini—"
"Lo pasti laper kan? Gue bikin mie nyemek spesial buat lo karena lo berhasil jadi juara," katanya penuh semangat.
Mulutku terbuka. Demi apa pun aku takjub. Biasanya kan dia yang suka nyuruh bikin mie rebus spesial. Ini jadi seperti keajaiban dunia rasanya.
"Jangan cuma dilihatin, Sin. Dimakan. Mie buatan gue pasti enak. Abang-abang yang jual mi tek-tek kalah pokoknya."
Kehebohan cowok itu bikin aku mengulum senyum. Ini beneran lucu. Bersamaan dengan itu mataku tanpa sengaja melihat Bi Tuti yang berdiri di pintu dapur, tepat di belakang Prince. Wanita tua itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. Mengangkat dua ibu jarinya.
Aku mengangkat sendok yang tersedia di sisi mangkok mie. "Kelihatannya sih enak. Tapi gue nggak tau soal rasanya."
"Makanya cepet coba," sahut Prince tak sabar.
Kusendok sedikit kuahnya, tiup sebentar sebelum menyeruputnya. Alisku kontan terangkat saat lidahku merasakan kuah nikmat itu.
"Gimana?" tanya Prince dengan wajah antusias. Sepertinya dia tahu kalau mie buatannya itu sukses.
"Enak."
Aku nggak boleh bohong kan? Bisa kulihat cowok di depanku itu bernapas lega. Wajahnya begitu girang. Dia makin mengumbar senyum bangga.
"Siapa dulu dong yang bikin. Prince!" Dia menepuk dadanya sombong. Anak manja dan arogan seperti dia bisa bikin mie rebus yang aslinya simple ini memang sebuah prestasi sih. Nggak heran kalau dia begitu bangga.
"Yang bener aja, Prince. Masa kamu cuma kasih Sindy mie rebus? Mie rebus gitu doang mah Sindy juga bisa bikin sendiri. Yang spesial dikit kek," komentar Om Akbar begitu dia dan istrinya ke dapur dan melihat hasil karya sang putra.
"Yee! Papi! Ini mie bukan sembarang mie! Jarang-jarang loh aku masak sendiri begini," protes Prince terlihat nggak terima.
Tante Elliana tertawa geli melihat putranya manyun. Dia menyenggol lengan suaminya. "Itu usaha keras Prince. Biarin ajalah, Pi. Gitu juga udah hebat karena nggak nyuruh Bi Tuti. Anak manja seper—"
"Mam!" tegur Prince makin tak terima.
Namun Tante Elliana malah tertawa bukannya menyesal. Dia lantas mengajak suaminya meninggalkan dapur sebelum kena amuk putranya.
"Nyebelin banget sih mereka. Nggak ngehargai usaha gue banget," gerutu Prince dengan muka cemberut.
Diam-diam aku tersenyum. Muka Prince yang jengkel terlihat lucu. "Thanks ya. Boleh gue habisin?"
Ekspresi cemberut itu kontan berganti dengan ekspresi senang. Cowok poni lempar itu langsung mengangguk antusias. "Habisin! Lo harus abisin. Gue susah payah bikinnya sampe nggak ikut bonyok buat jemput lo ke sekolah."
Oh, jadi dia nggak datang karena sibuk bikin mie tho? Aku menatap cowok itu sejenak. Si nyebelin itu kenapa jadi manis gini sih?
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2