"Nih, ntar lo ganti pake kaos itu."
Keningku mengernyit melihat kaos yang Prince sodorkan.
"Iya itu kaos punya gue. Tapi itu bersih. Lo nggak bawa kaos ganti kan?" katanya lagi saat aku nggak juga menerima kaos itu.
Masih menatap bingung aku menerima kaos itu. "Kenapa kita harus ganti? Emang kita mau ke mana?"
"Ntar lo juga tau. Nih!"
Sekarang cowok yang katanya paling ganteng se-Dwi Warna itu menyerahkan helm.
"Ntar ganti di pom bensin aja. Dah, lo cepet naik."
Meski bingung nih bocah mau bawa aku kemana, aku nurut juga naik ke boncengan motornya. Oh satu hal lagi, Prince mengganti motor sportinya dengan motor matic yang ukurannya gede. Apa karena waktu itu aku protes soal motornya yang nggak nyaman ya? Entah, nggak mau aku pikirkan juga.
Menyanggupi pertanyaan cowok itu kemarin, pulang sekolah hari ini aku ikut dia. Sampai kami mampir ke SPBU Prince masih belum mengatakan tujuan sebenarnya.
"Prince! Kaos lo kebesaran. Lo kan bisa minta gue bawa kaos sendiri," protesku saat berhasil mengganti pakaian seragam dengan kaos pemberiannya.
Cowok itu nyengir di atas motor, lalu mengacungkan jempolnya. "Itu cocok kok buat lo. Ayo, jalan!"
Dengan muka bersungut-sungut aku kembali memakai helm. Penasaran juga endingnya dia mau ke mana.
Mall!
Prince sukses memarkirkan motor barunya itu di salah satu mal. Aku jarang banget main ke mal. Biasanya kalau terpaksa datang ke sini itu karena digeret Meysa dan Kara. Kalau sengaja datang buat cuci mata big no. Aku bukan anak sekolah yang punya banyak kelebihan uang jajan. Mal jelas bukan tempat main yang cocok buat pelajar kere sepertiku.
"Mo ngapain kita ke sini?" tanyaku sedikit enggan saat Prince mengajak masuk.
"Main, seneng-seneng."
Prince langsung mengajakku naik ke lantai paling atas menggunakan lift dan begitu keluar kami langsung berada di game center. Pusatnya permainan di mal ini. Aku melirik cowok di sampingku yang tengah tersenyum lebar sambil mengelilingi area ini dengan matanya.
Aku hanya mengekor saat dia top up kartu akses permainan. Nggak tanggung-tanggung, dia top up langsung setengah juta, bikin aku menelan ludah dan refleks melotot.
"Lo nggak salah?" tanyaku menatap cowok itu ngeri. Meysa paling banter juga top up cuma 50 ribu.
"Nggak kita habisin semua. Ya buat deposit lain hari kalo ke sini lagi. Nih bawa!" Dia menyerahkan kartu itu padaku. "Kita main apa pun yang lo mau. Kita tanding."
"Tanding?" Aku mengangkat sebelah alis.
"Ya, kenapa? Lo takut?"
"Tunggu." Aku mulai tertarik. "Tanding itu artinya harus ada kesepakatan."
Cowok yang saat ini mengenakan kaus hitam bergambar siluet Luffy itu tampak berpikir. Kepalanya lantas mengangguk. "Fine, yang kalah harus kabulin apa pun permintaan yang menang. Deal?"
Aku nggak langsung menjawab dan mikir untung ruginya. "Gue nggak punya apa-apa, kalau gue kalah nggak ada yang bisa lo minta dari gue."
"Siapa bilang?" Kulihat sudut bibir naik. Bikin aku curiga. "Ada kok. Berani enggak?"
Dia makin nantangin. "Oke, kalau gue nggak mampu jangan maksa."
"Kalau gitu pastiin lo hari ini menang."
Tanpa banyak bicara, kami pun masuk ke area permainan. Prince mengincar basket, tapi langsung kutolak. Jelas itu permainan yang sangat dikuasai kapten basket itu. Pilihan pertama jatuh pada monster drop. Permainan gacha yang mengandalkan keberuntungan. Siapa yang berhasil mendapat tiket paling banyak dialah pemenangnya.
"Permainan kek gini mah gak pake konsen juga langsung menang," ucap Prince sombong sebelum meng-tap kartu pertamanya.
"Nggak usah sombong. Lo belum tentu beruntung."
"Let's see."
Prince melakukan putaran pertama, dan dia cukup puas cuma dapat 40 tiket. Sebenarnya itu lumayan sih. Aku harus dapat lebih dari itu agar bisa menang.
"Seratus, seratus, seratus...."
Aku merapal poin-poin yang terus berputar, berharap bola yang kujatuhkan bisa masuk ke lubang dengan poin besar.
Mataku dan Prince melebar bersamaan ketika bolaku hendak jatuh ke salah satu lubang. Bahkan aku sampai menahan napas. Dan...
Sontak aku bersorak girang saat bolaku jatuh di angka 50. 10 poin lebih besar dari Prince.
Prince berdecak sebal saat aku menjulurkan lidah karena menang di permainan pertama.
Monster Drop hanya awal. Kami masih harus bermain lagi agar bisa dapat tiket lebih banyak lagi.
Prince mengajakku ke bowling center. Aku belum pernah main itu. Tapi sepertinya mudah. Hanya perlu menggelindingkan bola kan?
Dan ternyata! Nggak semudah itu, Ferguso! Prince terus terpingkal saat bola yang kugelindingkan nggak pernah mengenai pin. Hanya beberapa pin yang bisa aku pukul. Di sini aku kalah telak. Membuat poinku dan Prince seimbang.
Banyak permainan yang kami jajal. Tiket pun makin panjang. Aku kembali beruntung di beberapa permainan.
"Serius?" Alis tebal Prince naik sebelah saat aku menunjuk salah satu permainan yang mengharuskan menari di atas stage dengan panduan monitor di depannya.
"Ya iyalah."
"Nggak mutu, nggak mau. Apaan itu nggak seru. Nari-nari kayak orang gila."
Aku segera menarik kaus Prince saat cowok itu mau kabur. "Ini masuk tantangan. Udah jangan banyak alasan."
"Gue nggak bisa dance, Sindy."
"Lo cuma perlu ikutin petunjuknya."
Saking gemasnya aku menarik tangan cowok itu agar mau naik. Prince pasrah saja akhirnya. Awalnya dia bisa mengikuti tapi saat pin di monitor bergerak cepat dia mulai kewalahan. Sementara aku makin bersemangat.
Energiku banyak terkuras habis di sini, tapi justru bikin perasaanku lega. Prince kembali bikin aku memilih permainan. Meski kadang kalah, dia tetap bersorak kalau aku menang.
Ini pertama kalinya kami bisa kompak. Pertama kalinya aku tertawa bebas bersama cowok yang kulabeli arogan itu. Entah bagaimana ceritanya dia bisa jadi partner bermain yang asyik.
"Males ah!"
Aku melengos saat Prince menunjuk mesin capit.
"Itu permainan bodoh. Tipu-tipu. Itu mesin pake algoritma. Nggak fair."
"Nggak fair. Lo aja yang nggak bisa." Prince berdecak dan kekeh berhadapan dengan mesin capit itu.
"Gue serius. Ngapain kita main mesin curang begitu."
"Gue mau main."
"Terserah lo, tapi itu nggak masuk hitungan. Dan gue jamin lo nggak bakal berhasil dapat satu pun yang ada di situ."
Cowok di sampingku menyeringai. Lalu mengusap hidung dengan ibu jari. "Oke, fine. Lo mau kasih gue apa kalau gue berhasil dapat satu boneka itu?"
"Apa pun asal nggak pake duit."
Prince mengulum senyum, sebelum tawanya pecah. Nyebelin banget.
"Oke. Gue pegang omongan lo." Prince dengan penuh percaya diri menempelkan kartu kembali. Lantas terlihat berkonsentrasi di depan mesin boneka itu.
Aku di sebelahnya ikut tegang saat dia mulai menggerakkan tuas, memposisikan capitan agar pas. Saat capitan itu turun, aku menahan napas. Dia berhasil mencapit satu boneka singa.
"I get it!" serunya.
Perlahan capitan itu bergerak ke arah lubang dan boneka itu pun masuk. Aku kontan melompat girang. Ini pertama kalinya aku melihat ada yang berhasil mendapat boneka di permainan konyol itu.
Dengan bangga Prince menunjukkan hasil tangkapannya. "Sukses, kan?"
Hebatnya di putaran kedua, dia dapat satu boneka keropi hijau.
Aku jadi penasaran ingin mencobanya juga, dan itu langsung Prince wujudkan. Sayangnya aku nggak seberuntung dia. Aku gagal mencapit dan mencebik kecewa.
"Nggak apa-apa, yang penting udah dapat dua," ujar Prince seraya menepuk pelan kepalaku. Eh?
Sepertinya tadi gerakan refleks karena cowok itu buru-buru melengos. Lucu banget tingkahnya.
"Buat gue satu ya!"
"Semua juga boleh."
"Wah! Beneran?!"
Lagi-lagi Prince melengos saat mata kami bertemu. "Iya, cowok mana ada yang main boneka."
"Thanks." Aku tersenyum senang dan memeluk dua boneka lucu itu. Tapi mendadak aku ingat sama janji sebelumnya.
"Jadi lo mau gue kasih apa?" tanya Prince dengan tampang penuh kemenangan.
"Lo maunya apa?"
"Simpel sih, contekin gue pas ujian."
"Dih ogah!"
Prince kontan tertawa melihatku cemberut. "Bercanda, Sindy. Nggak berat deh."
"Ya apa dong!"
Tiba-tiba cowok itu diam dan menatapku. Hanya beberapa jenak, tapi anehnya bikin dadaku mendadak berdebar.
"Gue cuma pulang pergi sekolah lo bareng gue. Nggak boleh sama selain gue, apalagi Regan."
Aku mengangkat alis heran. "Kok?"
"Nggak terima pertanyaan!"
Prince langsung mengangkat tangan saat aku mau membuka mulut.
"Inget, cuma sama gue. Lo udah janji bakal kasih apa pun yang gue minta. Dan permintaan gue nggak pake duit kan?"
Dia sama sekali nggak memberi kesempatan aku ngomong. Hingga akhirnya aku mengangguk pasrah. Dia tersenyum sangat lebar sebelum belok ke permainan lainnya.
Sudah cukup sore saat kami memutuskan keluar dari games center. Dan bisa ditebakkan yang menang dari pertandingan ini siapa? Obviously Tuan Muda Prince.
"Jadi, lo mau minta apa dari gue?" tanyaku sedikit kesal lantaran kalah lagi.
"Uhm..." Kening cowok di depanku berkerut selaras dengan bibirnya. Seolah tengah berpikir keras.
"Nggak sesuatu yang harus dibeli pake uang loh. Soalnya gue nggak punya duit."
"Iya, gue tau."
"Jadi?"
"Ntar ajalah! Gue belum kepikiran mau minta apa. Ntar kalo kepikiran baru gue kasih tau lo."
Aku mengangkat bahu. Terserah Tuan Muda saja. "Kita langsung pulang kan?"
"Emang lo nggak laper?"
Kalau ditanya lapar jelas laparlah! Seolah mengerti reaksiku, Prince mengajakku ke salah satu resto yang ada di mal. Resto yang menu andalannya udon. Yang bagi orang sepertiku harus mikir seribu kali buat masuk ke sana.
"Calm. Gue traktir, gue tau lo nggak punya duit," katanya terkikik.
"Songong!"
Tapi sejurus kemudian aku ikut terkikik. Setelah puas makan dan Prince membelikanku jelly coffee ukuran besar di Chatime, kami baru balik ke rumah.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2