Rencananya aku nggak mau merepotkan siapa pun. Tapi ternyata keluarga Suganda kehebohan nganter aku ke sekolah. Tadinya malah agak berlebihan saat Nyonya Besar berkeinginan mengantar sampai ke Bandung.
"Sini tas lo biar gue bawain. Kok kayaknya berat." Prince mengernyit saat mengambil tas punggung yang kubawa. "Isinya apaan sih?"
"Itu buku."
"Emang harus dibawa semua?"
"Ya iya. Itukan buku penting. Udah sini aja gue yang bawa kalo keberatan."
Prince cepat berkilah saat aku hendak merebut tas itu lagi. Gerakan cepat itu bikin sebagian isi tas berhamburan. Untung kami masih ada di mobil.
Aku menggeram sebal, sementara cowok itu cuma bisa meringis.
"Sori."
Dengan cepat aku memungut barang-barang yang berjatuhan.
"Eh? Ini kan boneka yang kemarin?"
Dan tahu-tahu boneka katak hijau sudah di tangannya.
"Lo bawa ini?" tanya Prince dengan wajah ... entah sulit diartikan. Mungkin dia nggak percaya aku se-childish itu. Bawa-bawa boneka.
Dengan segera kurebut boneka itu. "Kenapa? Masalah?"
"Ya-ya enggak sih." Ekspresi Prince mendadak aneh, dia seperti orang salah tingkah. "Boneka singanya, nggak lo bawa sekalian?"
"Kebanyakan. Gue pilih yang paling gue suka aja."
Cowok itu manggut-manggut bertepatan dengan selesainya aku membereskan isi tas. Nggak lama Nyoya Elliana dan Tuan Akbar yang sudah keluar lebih dulu memanggil.
Anak-anak lain yang ikut karantina ternyata sudah stand by di sekolah lebih dulu. Aku pun segera bergabung dengan mereka. Berada sampai di titik ini benar-benar nggak pernah terpikirkan sebelumnya. Andai ibu masih ada, ibu pasti juga bahagia.
"Sindy!"
Aku menoleh dan menemukan Regan tengah berlari-lari kecil menghampiriku. Kenapa dia di sini?
"Huff, untung kamu belum berangkat," katanya sedikit terengah saat dia sampai di depanku.
"Kenapa kamu di sini?" tanyaku bingung. Nggak mungkin kan dia sengaja datang buat mengantarku? Oke, aku mulai GR.
"Aku mau nganter keberangkatan kamu."
Eh? Ternyata dugaanku benar.
"Sekalian mau kasih ini." Regan kemudian mengangsurkan sebuah paper bag yang dia bawa.
"Apa ini?" tanyaku sambil meraih tas kertas tersebut.
"Buku. Itu bakal bermanfaat buat kamu."
"Oh ya. Makasih ya.'
"Terus soal yang aku minta di pantai waktu itu..."
Tunggu! Jangan bilang dia minta jawabanku sekarang. Ini bukan waktu yang tepat, dan aku juga belum memutuskan apa pun.
"Apa kamu sudah punya jawaban?"
Sial. Aku kebingungan sendiri. Nggak tahu harus menjawab apa.
"Sin, travelnya udah siap! Buruan gih masuk."
Suara Prince kontan mengalihkan perhatian kami. Apa aku harus berterimakasih padanya karena berhasil mengeluarkan aku dari situasi sulit ini?
"Ya, gue ke sana sekarang," sahutku setengah berseru. "Regan, sori aku harus ke sana. Uhm, makasih sekali lagi buat ini." Aku mengangkat tas pemberiannya sebelum beranjak dengan tergesa.
Kabur adalah solusi terbaik. Bukannya lari dari masalah, tapi saat ini aku beneran mau fokus belajar untuk lomba. Aku harap Regan paham.
***
Selama karantina hidup benar-benar teratur. Kerjaanku hanya belajar, makan, istirahat. Tanpa memikirkan beban kerjaan lain seperti bersih-bersih rumah atau memberi Prince les. Intinya terjamin dan sangat diperhatikan. Sayangnya kegiatan ini cuma berlangsung selama dua Minggu sebelum akhirnya aku dan teman-teman akan dikirim ke medan tempur.
Hidup yang cuma punya beban buat belajar itu menyenangkan.
"Sin! Ada yang nyariin lo!"
Dina, salah satu roommate-ku sekaligus peserta yang juga akan ikut maju ke olimpiade nasional menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Siapa?" tanyaku heran. Di sini aku nggak mengenal siapa pun. Mungkin teman dari provinsi lain yang sempat berkenalan denganku.
Oh ya, selama karantina aku dan lainnya tinggal di sebuah asrama. Bangunan rumah tua tapi sangat asri dan teduh. Vibes di sini sangat nyaman buat belajar.
"Lo liat aja sendiri. Dia di taman samping," ujar Dina sebelum pergi lagi.
Bukan kebiasaan teman sesama peserta datang lalu memilih taman samping untuk bertemu. Biasanya mereka langsung datang ke rumah tengah. Dina sukses bikin aku penasaran.
Aku menyeret kaki dengan tergesa menuju taman samping. Siapa sebenarnya yang datang?
Langkahku memelan saat mataku menangkap punggung seseorang yang tengah duduk di beton teras. Postur tubuh itu sangat aku kenal. Mataku sampai mengerjap beberapa kali, memastikan pandanganku nggak salah. Kenapa dia bisa sampai sini?
"Prince?"
Dia menoleh. Lantas tersenyum lebar begitu melihatku. Jujur aku kaget dan malah melongo melihat cowok itu beneran di sini. Mau apa?
"Kenapa lo di sini?" tanyaku seraya mendekat dengan raut penuh tanda tanya.
"Disuruh nyokap buat jenguk lo."
Keningku mengernyit. Jelas-jelas semalam kami telponan. Ya, kami diberi jatah menelepon satu minggu sekali kepada keluarga. Aku yang memang sudah nggak punya siapa pun hanya bisa menelepon mereka.
"Lo sehat kan?" tanya cowok itu lagi.
"Kayak yang lo lihat," sahutku, lantas duduk di sebelahnya dengan arah berlawanan.
Mau nggak mau ada sesuatu yang terasa hangat mengalir di dada saat ternyata masih ada orang yang mau peduli dengan keberadaanku.
"Ini titipan mami."
Aku mengangkat alis ketika Prince meletakkan sebuah paper bag berlogo bakery ternama di Kota Bandung ini ke space kosong di antara tempat kami duduk.
"Gue sih yang beli, tapi atas perintah mami. Katanya kalau makanan mami yakin kamu di sini terjamin. Tapi kalau cemilan belum tentu."
Menarik napas panjang aku menarik paper bag itu. "Bilangin makasih ke Bu Eli."
Prince mengangguk seraya bergumam. Dia lantas menyodorkan kantong kertas cokelat. "Kalau ini dari gue?"
"Hm?" Aku nggak tahan untuk nggak melebarkan mata. "Apa?"
Karena penasaran kulongok isinya. Beberapa batang cokelat dan susu uht? Sontak aku melirik takjub cowok itu. Nggak pernah-pernah dia baik begini. "Serius ini buat gue?"
"I-iya. Kenapa? Nggak suka?"
Aku mengulum senyum melihat ekspresi tergagap cowok itu. Lucu. Bahkan telinganya langsung memerah.
"Ya suka. Cewek mana yang nggak suka coklat," ujarku setengah bergumam. Saat ujung mataku meliriknya lagi, dia terlihat menyunggingkan senyum malu-malu.
Astaga, ini pertama kalinya aku melihat cowok itu malu-malu nggak jelas. Dia baik-baik aja kan?
"Ini!"
Kali ini bukan hanya alisku yang terangkat, mataku juga melebar saat Prince tiba-tiba meletakkan boneka singa yang waktu itu kami dapat di games center. Sontak saja aku terpekik dan langsung meraih benda itu.
"Layen! Kok bisa sih lo bawa dia ke sini?!" tanyaku girang.
"Katanya dia kangen sama si katak hijau."
Tawaku pecah mendengar sahutan nggak masuk akal Prince. Aku memainkan rambut jabrik boneka itu dengan gemas.
"Jangan diacak-acak rambutnya, dia galak kayak lo."
"Heh?" Aku melotot tapi kemudian tersenyum lagi sambil memperhatikan lagi boneka lucu itu. "Thanks ya. Lo datang ke sini aja udah surprise banget. Eh bawa Layen segala. Katak ijo pasti seneng ketemu Layen."
"Pasti sih. Gue juga seneng ketemu lo dan liat lo dalam keadaan sehat."
Gerakan tanganku yang tengah mengusap rambut Leyan memelan mendengar ucapan Prince barusan. A-aku nggak salah dengar kan?
Dan ketika aku menoleh, ternyata Prince sedang menatapku. Sejenak tatap kami berdua bertemu. Lalu ketika mendapati sesuatu yang terasa aneh mengusik dadaku, aku segera memalingkan wajah.
Aku deg-degan!
Tanpa alasan jantungku berdetak nggak terkendali. Apa ini?! Aku nggak pernah begini saat berhadapan dengan cowok arogan itu.
=============
Jangan lupa tap like ya teman-teman, teng kyu...
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2