Seperti yang Nyonya Elliana bilang, Tuhan lebih sayang ibu. Di sana ibu akan mendapat tempat terbaik. Aku berusaha ikhlas menerima kepergian ibu. Mau bagaimana pun sedihnya aku, itu nggak akan bisa mengembalikan ibu.
Hari ini rumah Prince ramai karena kedatangan teman-teman sekelasku yang disambut ramah oleh Nyonya Besar. Mereka datang karena tahu tentang kabar dukaku dan berniat mengucapkan bela sungkawa.
Masalahnya ini rumah Prince. Kecuali Kara dan Meysa nggak ada lagi yang tahu aku tinggal di rumah cowok itu. Jadi, aku bisa melihat keterkejutan yang mereka sengaja sembunyikan saat kami berhadapan.
"Lo kok nggak pernah bilang kalo Cinderella tinggal sama lo?"
Suara bisik-bisik dari depan ruang tamu bisa aku dengar. Di sana ada Prince yang sedang berhadapan dengan teman-temannya.
"Iya. Ini terlalu mind blowing iya nggak sih?"
"Lebay lo."
"Sebenernya hubungan lo sama Sindy apa sih?"
Aku nggak heran bakal ada banyak pertanyaan itu. Sebenarnya aku juga ingin tahu jawaban dari Prince soal kekepoan mereka. Tapi sampai aku sibuk lagi, Prince nggak terdengar ingin menanggapi.
"Maaf ya kalau kami taunya telat," ucap Meysa merangkulku dari samping. "Lo pasti sedih banget. Nggak apa-apa kok kalau lo mau nangis di pelukan gue."
Kara di sisi sebelah kananku mengangguk, memasang wajah sedih. "Peluk gue juga boleh. Atau mau bareng-bareng peluk juga boleh." Dia pun ikut merangkulku.
Aku hargai usaha mereka, tapi pelukan mereka bikin aku sesak napas. Mereka mau membunuh apa menghiburku sih?
"Regan!" seruan Nyonya Elliana membuat perhatian kami teralihkan. Wanita cantik yang sedang membawa kue di piring bergegas menghampiri Regan yang baru saja datang.
"Regan juga baru tau kalau ibu lo meninggal, Sin," ucap Meysa. "Pas Kara ngasih tau mukanya tuh kayak syok dan khawatir banget."
Aku menatap Regan yang saat ini sedang dipeluk Nyonya Elliana. Mereka sepertinya sudah kenal lama. Interaksi mereka mengatakan begitu. Nggak lama mataku menangkap kemunculan Prince. Dia melenggang begitu saja melewati Regan dan ibunya.
"Prince! Ini Regan datang kok nggak disapa?" tegur Nyonya Elliana.
Aku masih memperhatikan dari sofa ruang tengah bersama Meysa dan Kara.
"Dia mau ketemu Sindy," sahut Prince acuh tak acuh, dan lanjut melangkah. Tatapanku mengikuti pergerakannya ke dapur. Dapur hari ini lumayan sibuk, Bi Tuti dan dua asisten rumah tangga lain tengah menyiapkan berbagai macam kudapan untuk teman-teman sekelas kami.
"Oh iya, itu Sindy ada di sana. Langsung ke sana aja ya, Tante ke depan dulu," ucap Nyonya Besar, menepuk bahu Regan sebentar sebelum meninggalkan cowok manis itu.
"Dia cemas banget sama lo. Lo lucky banget bisa disukai cowok kayak dia," bisik Kara terdengar usil saat Regan mulai mendekat.
"Daripada lucky, lo lebih cocok dibilang maruk sih. Udah ada Prince masih mau embat Regan juga," sambung Meysa, yang kontan bikin aku melotot padanya. Tapi cewek itu cuma terkikik menanggapinya. Aku baru akan menarik rambut Meysa saat Regan tiba di depanku. Atensiku langsung tersedot habis padanya.
"Sindy, aku turut berduka atas kepergian ibu kamu. Maaf aku belum sempat bertemu beliau. Dan—"
"Iya nggak apa-apa. Makasih, Regan," potongku cepat menyambut ucapan bela sungkawanya. Dia yang masih membuka mulut akhirnya mengangguk-angguk.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Aku menggeleng. "Tapi aku sudah nggak apa-apa."
Tiba-tiba botol minum air dingin yang tutupnya sudah dibuka nongol di depanku. Aku melirik tangan yang menyodorkan minuman itu.
"Nih, minum. Lo haus kan?"
Prince.
Mataku mengerjap bingung sebelum menerima dengan ragu pemberiannya itu. "Thanks."
Dia lantas ngeloyor kembali menuju ruang tamu bersama lainnya. Regan di depanku terlihat masam. Jangan bilang dia marah melihat Prince memberiku minuman.
"Kak Regan ke sini sama siapa?" tanya Meysa dengan logat centilnya.
"Aku sendiri." Mata bening cowok itu menatap Meysa dan Kara berganti. "Sori. Tapi apa aku boleh pinjam Sindy dulu? Ada sesuatu yang harus aku omongin sama Sindy."
Meski sempat saling pandang, Mesya dan Kara akhirnya mengangguk setuju. Namun saat mereka pergi, Regan enggan bicara di tempat ini katanya terlalu ramai. Aku terpaksa membawa cowok itu ke taman samping rumah.
"Sin, maaf kalau aku datang ke sini telat. Aku bahkan nggak hadir di pemakaman ibu kamu. Aku baru tahu kabar ini pagi tadi saat sekolah mengumumkan. Dari kemarin kamu sulit dihubungi."
Ya, aku memang membiarkan ponselku mati sampai sekarang. Larut dalam kesedihan bikin aku mengesampingkan alat komunikasi itu.
"Nggak apa-apa. Ponselku dari waktu kita pergi emang udah mati."
Regan menatapku ragu. Bibirnya tampak ingin mengatakan sesuatu tapi kalimatnya nggak kunjung keluar.
"Ada apa? Apa ada hal yang ingin kamu sampaikan lagi?"
Regan sudah akan membuka mulut, tapi kemudian dia menggeleng. "Kamu istirahat saja. Kayaknya kamu lelah banget. Soal permintaan dan harapanku malam itu nggak perlu kamu pikirkan. Aku lega melihat kamu baik-baik saja."
Regan tersenyum tipis lantas menepuk pelan puncak kepalaku. Sekarang aku yang penasaran, mungkinkah sebenarnya Regan ingin meminta jawabanku soal itu? Jujur, kalau benar, aku nggak punya jawaban. Kondisiku masih berkabung, dan kalau pun luka ini bisa kuatasi, aku belum ingin memikirkan apa yang menjadi kemauan cowok itu.
***
Acara tahlilan tujuh hari ibu baru saja selesai. Aku bersama Bi Tuti membantu membereskan sisa-sisa acara. Sebenarnya aku nggak mengharapkan ada acara tahlil yang dilakukan 7 malam berturut-turut karena pasti memakan biaya cukup besar. Bukankah doa dari anaknya sudah cukup? Tapi Nyonya besar dan keluarganya menginginkan acara ini tetap dilaksanakan.
"Ini sama sekali nggak repot, Sindy. Bu Fatma sudah seperti keluarga kami sendiri. Terlebih Bu Fatma dulu yang membantu saya menjaga Prince. Seperti permintaan Prince, acara tahlilan akan diadakan sampai 7 hari."
Ya, aku nggak nyangka kepergian ibu ternyata membawa luka tersendiri buat cowok itu. Sesekali aku melihat dia termenung sendiri. Sejak pertengkaran kami sikap Prince memang berubah. Dia lebih bisa mengendalikan emosi, bahkan cenderung lebih banyak diam. Dan puncaknya begitu ibu pergi sikapnya benar-benar lunak dan nggak merepotkan seperti biasanya.
"Ini bakal jadi hari terakhir gue kasih lo les."
Prince mengangkat wajah dari buku yang dia baca saat aku mengatakan itu. Wajahnya agak kaget. "Kenapa?"
"Besok lusa gue ke Bandung. Ikut pelatihan OSN selama dua Minggu sama anak-anak lain yang lolos."
"Kok lo baru bilang? Dua Minggu kan lama."
Aku menyodorkan satu bundel kertas yang berisi ringkasan dan soal-soal kepada Prince. "Sebagai gantinya gue udah nyiapin ini."
Dengan ragu cowok itu menerima bundelan kertas yang aku jepit pake paper clip.
"Persiapan lo matang juga ya." Prince menatap serius kertas-kertas di tangannya selama beberapa saat sebelum matanya jatuh menatapku lagi. "Terus lo ke Bandung sama siapa aja? Naik apa?"
"Ada lima anak yang ke sana dari sekolah kita. Sekolah langsung yang akan mengantar kami ke tempat pelatihan." Aku menarik kertas dan mulai menulis soal latihan hari ini. Bertepatan dengan itu, Nyonya Elliana dan Tuan Akbar yang baru turun dari lantai atas bergabung bersama kami.
"Katanya Sindy mau ikut pelatihan buat persiapan OSN di Bandung ya?" tanya Tuan Akbar.
"Iya, Pak," sahutku tersenyum tipis. Aku masih agak sungkan sama Tuan yang maunya aku panggil Bapak itu.
"Hebat banget ya, Sindy. Saya bangga sama kamu," timpal Nyonya Elliana tersenyum lebar. "Prince, mami harap kamu bisa belajar banyak dari Sindy. Mami nggak akan nuntut kamu seperti Sindy, tapi seenggaknya kamu bisa lebih baik dari sebelumnya."
"Hm, ya," sahut cowok itu asal. Mukanya terlihat malas dan enggan. "Mami sama papi ngapain sih di sini? Aku sama Sindy lagi belajar. Jangan ganggu. Mami katanya mau aku pinter."
Dua orang tua itu terkekeh bersama. Kemudian pamit lantaran nggak mau mengganggu kegiatan kami belajar.
"Lo...."
Aku mendongak dan menatap Prince dengan kening berkerut.
"Lo baik-baik aja?"
Dengan ragu aku mengangguk. Pertanyaan cowok ini yang tiba-tiba terdengar aneh.
"Lo udah nggak sedih lagi?" tanya dia terdengar hati-hati.
"Kalo yang lo maksud soal ibu gue. Gue masih sedih. Tapi, gue nggak perlu nunjukin itu ke lo kan?"
Cowok berponi di depanku mengangguk ragu. Bibirnya bergerak ke kanan-kiri aneh. Bodo amat, aku kembali pada kegiatanku membuat soal.
"Besok, pulang sekolah lo ada latihan di club?"
"Nggak ada. Kenapa? Lo mo minta tambahan les?"
Prince menggeleng. Wajahnya terlihat merah entah untuk alasan apa.
"Besok, pulang sekolah lo bisa ikut gue?"
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2