Sindy
Sudah jadi pemandangan umum kelas gaduh ketika ada jam kosong. Mungkin sekolah ini memang favorit, tapi urusan gaduh juga hampir sama dengan sekolah lainnya. Seperti sekarang. Bu Abel sebenarnya memberi kami tugas, tapi dari 20 anak di kelas yang benar-benar serius mengerjakan cuma beberapa biji saja. Yang lain lebih memilih mengerjakan hal unfaedah. Dan aku hapal banget akhir dari rangkaian kegaduhan ini.
Mataku melirik Meysa yang sedang berdiskusi tentang big sale kosmetik favoritnya di mal, bersama cewek-cewek yang satu frekuensi tentang kosmetik. Sementara Kara menjadi salah satu anak yang bisa kuhitung dengan jari mengerjakan tugas sepertiku. Tapi meski begitu dia nggak absen teriak-teriak ke Ricky, yang sepanjang pelajaran kosong terus mengusili dia.
Prince sendiri malah main gitar di pojokan kelas bersama teman-temannya yang bangor. Nyanyi-nyanyi lagu nggak jelas. Selain jago basket dan olahraga lainnya, aku akui dia pandai memetik gitar. Nggak jarang aku sering mendengar petikan gitarnya di rumah. Suaranya memang agak sumbang, tapi petikan gitarnya cukup bikin aku terdiam sesaat.
Marcell si ketua kelas juga terlihat nggak berdaya melihat situasi ini. Dia menutup rapat-rapat pintu kelas agar kegaduhan kelasnya nggak sampai ke kelas tetangga.
"Nyontek dong."
Ujung mataku bergerak, dan dari sini aku bisa melihat Prince menggondol kursi milik penghuni di sebelah mejaku. Tangannya sudah membawa selembar kertas kosong dan pena. Begitu duduk, kepalanya melongok lembar jawaban yang sedang kutulis.
Tanganku sontak menutup lembar jawaban tersebut.
"Lo tau nggak arti berbagi itu indah?" Prince menatapku dengan alis terangkat.
"Nggak peduli," sahutku cuek sambil terus menulis seraya menutup jawaban dengan lipatan ujung kertas.
"Harus peduli. Solidaritas kita sebagai teman sekelas perlu diuji." Itu suara Ricky yang dari tadi nongkrongin Kara.
"Solidaritas pala lo benjol!" gerutu Kara. "Minggir nggak lo!" Bola matanya nyaris lepas saat melotot begitu. Tapi yang dipelototin masih bisa cengengesan dengan santai.
"Nggak boleh galak-galak, ntar tambah manis," ujar Ricky tersenyum lebar seraya menggerak-gerakan alis. Usahanya patut diacungin jempol. Entah sudah berapa kali dijutekin Kara, tetap pantang menyerah.
"Sin, sepuluh menit lagi dikumpulin loh," bujuk Prince lagi, tapi aku pura-pura tuli. "Lihat, kertas gue masih seputih kapas. Ayolah, jangan pelit-pelit."
"Cuma sepuluh soal, dan jawabannya ada di buku semua. Kebangetan banget kalau kalian masih penginnya cuma nyontek," ujar Kara menuding Ricky dan Prince berganti.
"Males bacanya, Beb." Ricky terlalu jujur.
"Males baca, tapi nggak males gangguin orang!"
"Itu beda cerita dong, Beb. Apalagi gangguin kamu."
"Idih, jijik banget sih lo."
Aku nggak tahan untuk nggak terkikik melihat reaksi Kara. Sudah seperti lihat ulat bulu saja. Namun, kikikan ini terhenti ketika mendengar embusan napas Prince yang terdengar kasar. Aku spontan memasang wajah datar dan kembali mengerjakan tugas.
"Daripada lo gangguin gue. Mending lo kerjain tugas!" sentak Kara sebelum dia fokus nulis lembar jawaban lagi.
"Gue pinjem buku lo. Males balik ke meja." Dan tahu-tahu buku Biologiku sudah pindah ke tangan Prince. Detik berikutnya cowok yang malesnya naudzubillah dalam hal belajar itu sudah fokus nyari jawaban tiap soal.
Aku sudah merampungkan semua soal saat kulihat Prince baru menjawab tiga soal. Dia masih terlihat sibuk membolak-balik lembar buku.
"Gaes, lima menit lagi kumpulin ya!" seru Marcell membuat isi kelas panik, kecuali yang sudah selesai mengerjakan dan Prince. Cowok tersantai sedunia meskipun nilai matematika cuma dapat 30. Itu dulu sebelum aku menggemblengnya, tentu saja.
Sekarang setelah satu semester mabok soal, nilai pelajaran eksak cowok itu makin membaik.
"Anjir, tambahin lima menit lagi woy!" teriak Ricky.
Marcell di depan kelas menyeringai, lalu mengangguk. "Boleh-boleh aja. Asal lo kumpulin sendiri."
"Bangke lo, Cel."
"Daripada bacot terus, mending lo kerjain. Waktu terus berjalan," ucap Kara setengah melotot.
Ricky mencebik. Dia bergerak ke samping Prince karena nggak dapat contekan dari Kara.
"Ini nomor sembilan mana sih? Di buku nggak ada," tanya Prince entah pada siapa.
Aku melirik, agak kaget. Secepat itu?
Wajah cowok itu tampak serius, membolak-balik buku.
"Lah, ngapain repot. Cari jawaban di google aja," sambar Rikcy.
"Ah, lo bener juga. Kenapa gue gak kepikiran, ya," sambut Prince dan mulai mengambil ponsel dari saku seragamnya.
Namun, sebelum dia sempat mengaktifkan internet aku segera merebutnya. "Biasakan cari jawaban lewat buku. Biar nggak malas baca."
Prince sudah akan membuka mulut namun segera aku tebas lagi.
"Hal 42 paragraf dua dari atas," ujarku membuat mulutnya bungkam dan tangan cowok itu bekerja seketika.
Prince membuka halaman yang kumaksud. Dan nggak lama dari itu dia berseru. "Ini dia!"
Cowok itu kembali berkutat dengan kertas jawaban. Namun, baru beberapa baris, kertasnya sudah direbut Marcell.
"Time out!" ujar Marcell menyeringai.
"Eh, anjir itu tinggal dikit lagi," protes Prince hendak mengambil kembali lembar jawabannya. Tapi, Marcell berhasil berkelit dan malah meledek seraya menaik-turunkan alis. Ketua kelas itu lantas beranjak meninggalkan kelas sambil melambaikan tangan, membawa seluruh lembar jawaban anak-anak lain.
"Emang kutu kupret, si Marcel. Gue baru juga ngerjain tiga soal, udah main rebut aja," gerutu Ricky memukul tangannya sendiri. "Perlu kita kasih pelajaran nggak, sih?"
"Nggak sportif banget. Yang mesti dikasih pelajaran itu lo, yang males-malesan. Marcell kan cuma menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas," ujar Kara, membela Marcell.
"Beb, kok lo gitu, sih. Harusnya lo dukung gue dong."
Kara bergidik, lalu beranjak dari tempat duduknya. "Lama-lama gue muntah beneran deket sama lo," balasnya lantas pergi.
"Cari cewek lain. Heran, udah ditolak ribuan kali masih maju aja," cibir Prince seraya mengaitkan pena ke saku baju. Si Ricky cuma nyengir, dan bergerak menyusul Kara.
"Hari ini lo pulang cepet, kan?" tanya Prince berpaling ke arahku.
"Gue ada bimbingan OSN."
Kapten basket cowok itu berdecak. "Mau balik bareng kakak kelas itu lagi?" tanya Prince dengan satu alis terangkat.
"Apaan sih?" Aku melirik sebal. Selalu saja disangkut pautkan dengan Regan.
"Tuh, baru juga diomongin. Orangnya udah nongol," ucap Prince dengan tatap menuju pintu.
Aku refleks mengikuti arah pandangnya. Dari sini aku bisa melihat Regan tengah dikerubungi anak-anak cewek.
"Dia pasti nyari lo. Tau bentar lagi bel udah langsung ngibrit ke kelas XI aja," cibir Prince. Ujung matanya melirikku. "Atau jangan-jangan kalian udah janjian ya?"
Dugaannya selalu saja bikin kesal. Belum tentu Regan ke sini mencari aku. Tanpa menghiraukan Prince yang masih saja betah duduk di samping mejaku atau pemandangan Regan yang dikerubungi anak-anak cewek, aku menyibukkan diri membereskan buku yang berserakan di meja.
"Sin, dicariin Kak Regan tuh!" seru salah seorang dari ambang pintu kelas.
Prince berdecak. "Emang dia masih harus sibuk ngurus club? Dia kan udah kelas XII."
"Gue nggak tau. Kenapa sih lo tanya hal yang gue nggak tau?" sahutku sedikit ketus.
"Ya, kan lo yang ada di club itu. Masa gue nanya Bambang?"
"Ya udah lo tanya sendiri aja sama orangnya," tukasku sembari meresleting tas dengan kasar. Lalu beranjak berdiri.
"Eh, lo mau ke mana?" tanya Prince terlihat kaget.
"Gue kan tadi bilang hari ini ada bimbingan OSN." Aku melihat Regan melambaikan tangan lengkap dengan senyumnya yang menawan. Aku baru akan membalas lambaian tangannya ketika si anak manja di dekatku ini bersuara lagi.
"Gue boleh ikut lo bimbingan OSN nggak sih?" tanya Prince, nadanya terdengar ragu.
"Ngapain?" tanyaku mengernyit.
Anak bengal itu paling susah diajak belajar. Mendengar dia menyerahkan diri ikut les itu suatu keajaiban.
"Ya ikut aja. Siapa tau aja gue nambah pinter kan?"
Jawabannya bikin keningku tambah berlipat. Tapi tentu saja itu nggak bakal aku izinkan. Seantero Dwi Warna bisa gempar lihat Prince masuk Club Fisika alih-alih lapangan basket.
"Nggak boleh. Gue nggak mau ada keributan di sana." Aku mulai berdiri setelah memberi kode kepada Regan untuk menunggu.
Hidung bangir Prince berkerut, lalu mukanya memberengut. "Bilang aja lo mau berduaan sama Regan, dan nggak mau diganggu."
Aku yang sudah keluar dari rongga antara kursi dan meja berbalik menghadap cowok bengal tapi manja itu. "Berduaan gimana? Emang gue bimbingan bareng dia?! Nggak usah ngadi-ngadi dan bikin gosip yang enggak-enggak. Udah, sana mending lo balik."
Bertepatan dengan itu bel pulang berdering. Aku bisa melihat muka Prince bersungut-sungut sembari berdiri lalu mengembalikan kursi ke meja sebelah.
"Gue nggak tanggung jawab kalau ban mobil Regan kempes lagi, ya," ujarnya sebelum dia balik ke bangkunya.
Mendadak kesabaranku yang setipis tisu ini bergejolak. "Lo nggak ada prestasi lain selain kempesin ban mobil orang, ya?" tanyaku sinis.
"Ada kok." Prince menyeringai seraya menatapku tajam. "Gangguin hidup lo!"
Dasar kurang kerjaan. Aku membalas tatapannya tak kalah sengit sebelum beranjak menghampiri Regan yang sudah menunggu di luar kelas.
Prince sendiri sudah bergabung dengan teman-temannya yang lain. Namun aku tahu tatap tajamnya terus terhunus ke arahku.
"Ada apa, Sin?" tanya Regan begitu aku sampai di depannya. Aku lupa mengubah ekspresi wajah sehingga mungkin menimbulkan tanya.
Dengan cepat aku menggeleng dan melempar senyum. "Aku nggak apa-apa kok. Ada apa ya nyari aku?"
Regan seolah teringat sesuatu dan langsung memutar tasnya. Dia membuka tas itu dan mengambil sesuatu di sana. "Aku punya beberapa tips yang aku bikin sendiri biar bisa menang OSN. Ini udah aku print buat kamu."
Mataku melebar melihatnya repot-repot memberiku selembar print out yang mungkin isinya bakal bermanfaat banget buatku.
"Regan, harusnya kamu nggak perlu serepot ini," ujarku nggak enak. Dari pertama kenal dia sudah baik, dan makin ke sini makin baik.
"Nggak repot. Itu cuma tips yang aku susun. Siapa tahu kamu butuh. By the way selamat ya udah lolos buat maju ke Provinsi."
Ucapannya terdengar tulus. Dia bahkan mengulurkan tangan. Aku tentu langsung menyambut.
"Terima kasih, ya. Itu juga berkat kamu yang mau berbagi ilmu," balasku seraya tersenyum lebar. Aku juga menerima lembar print out yang dia kasih. "Sekali lagi terima kasih."
"Iya, sama-sama." Mata Regan menyipit saat tersenyum dan wajahnya terlihat manis berkali-kali lipat.
Sejenak kami saling tatap sebelum aku membuang pandang ke selembar kertas yang kupegang. Lama-lama bertatapan dengan cowok satu itu bikin jantung nggak aman.
"Ehem! Biasa aja kali liatnya!"
Baru saja tenang sejenak. Suara itu mengganggu lagi. Refleks aku menghela napas mendengar suara menjengkelkan itu. Prince dan teman-temannya muncul. Mereka berjalan melewati kami.
"Ada masalah?" balas Regan dengan alis terangkat. Hal itu membuat langkah Prince dan lainnya berhenti. Seharusnya Regan tidak perlu meladeni ucapan unfaedah itu. Hufft.
"Masalah? Enggak, sih. Itu kan mata lo. Jadi, ya terserah lo," sahut Prince mengedikkan bahu.
"Oh ya? Kalau aku deketin Sindy itu juga bukan masalah kan?"
Eh? Tunggu! Gimana maksudnya?
Aku belum bisa mencerna pertanyaan Regan ketika melihat wajah Prince memerah dan tampak mengeras. Dia bahkan melangkah maju.
"Apa lo bilang?" tanya Prince seolah ingin membuat Regan mengulangi perkataannya.
"Aku bilang, nggak masalah kan kalau aku deketin Sindy?" ucap Regan lagi. Dan itu cukup membuatku bingung. Apalagi saat melihat reaksi Prince selanjutnya.
"Lo tau siapa dia, huh? Kalau lo mau deketin dia, lo berurusan sama gue."
"Kenapa? Sindy bukan cewek kamu, kan?"
"Siapa bilang?"
Aku makin bingung dan pusing di sini. Kenapa mereka jadi ribut gini?
"Sindy itu milik gue! Jadi, mending lo jauh-jauh dari dia."
Tubuh Regan terhuyung ketika Prince mendorong dadanya. Kembali dua cowok itu menjadi pusat perhatian anak-anak. Sebenarnya apa yang ada di pikiran Prince sih?
Nggak seperti biasanya yang bersikap tenang, Regan terlihat ingin membalas perlakuan cowok arogan itu.
"Milik kamu? Halu banget."
"Gue nggak halu, ya!" Prince makin nyolot.
Aku kontan maju dan menghalangi mereka lantaran anak-anak lain malah terkesan membiarkan keributan ini.
"Cukup, stop! Kalian lagi pada ngapain sih?" Aku merentangkan tangan dan berdiri di antara keduanya. "Tolong, jangan bikin keributan di sini. Maaf, Regan. Aku nggak tau apa maksud kata-kata kamu, tapi mungkin sebaiknya kamu pulang dulu." Aku menatap Regan lalu berganti menatap Prince. "Dan lo! Mending lo diam dan jangan ngoceh yang nggak-nggak. Balik sana."
Ya, anggap saja aku mengusir keduanya. Aku nggak tahu ada masalah apa di antara mereka. Tiap kali bertemu selalu bikin ribut.
"Nggak. Gue mau nemenin lo bimbingan."
Aku tahu banget tabiat Prince yang satu ini. Daripada membuat keributan dan jadi tontonan, apa lagi sampai ada yang melapor guru BK, lebih baik aku memisahkan mereka dulu.
"Regan, aku mohon jangan dilanjut. Lebih baik kamu pulang, oke? Oh ya, terima kasih sekali lagi buat ini."
Aku menunjukkan lembar yang dia kasih dengan senyuman. Lalu beralih menghadap cowok arogan yang satu.
"Lo ikut gue!" ujarku dengan mata melotot. Lantas menarik tangan Prince menjauhi si charming Regan.
“Sin, kalau ada apa-apa kamu telepon aku,” seru Regan sebelum langkahku jauh.
“Sindy nggak butuh perhatian lo!” teriak Prince, yang langsung kusentak tangannya.
Di sini aku nggak memihak siapa pun. Akan lebih baik membawa Prince menjauhi Regan daripada sebaliknya. Aku tahu bagaimana menyebalkannya anak mami itu kalau marah. Kalau aku ninggalin dia dan memilih pergi bersama Regan, bukan hanya ban mobil saja yang bakal bocor nanti. Mungkin kepala anak orang juga ikut bocor.
"Apa maksud lo bilang gitu tadi?" tanyaku dengan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. Saat ini posisi kami ada di dekat pintu ruang OSIS yang sepi.
"Bilang yang mana? Yang gue bilang kan banyak."
Dia mulai drama. "Nggak usah berlagak bego. Apa maksud bilang kalau gue milik lo? Apa mentang-mentang gue anak asuh mami lo? Atau karena gue anak dari pengasuh lo? Dengar ya, Prince. Gue bukan milik siapa pun! Jadi, nggak usah ngomong aneh-aneh."
Aku bisa memperhatikan perubahan pada wajah Prince. Mukanya seperti orang kaget campur bingung.
"Tunggu, lo bilang apa?" tanya dia dengan mata menyipit. "Gue tau lo anak asuh nyokap gue, tapi lo bilang apa tadi? Anak pengasuh gue? Memangnya lo ...."
Tiba-tiba Prince terperangah. Dia seperti tengah mendapat kejutan besar. Jujur, aku heran dengan ekspresinya sekarang. Jangan bilang dia nggak tahu siapa aku.
"Lo anak—"
"Gue anak Bu Fatma."
Mata Prince terbelalak ketika aku menyebut nama ibu. Melihat ekspresinya aku mulai paham. Jadi selama ini dia nggak tahu kalau aku anak dari orang yang mengasuh cowok itu sejak dia masih kecil.
==============
Suka cerita ini? Jangan lupa like dan komen ya teman-teman. Teng kyu....
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2